UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
PEMBERIAN CHITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGAWET ALAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK PADA BAKSO UDANG

PERAN CHITOSAN SEBAGAI PENGAWET ALAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK BAKSO AYAM SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tidak bermotif ekonomi, artinya kegiatan yang dilakukan didasarkan profit

Pengaruh sodium tripoliphosphat (STPP) terhadap sifat karak (kerupuk gendar) Noor Ernawati H UNIVERSITAS SEBELAS MARET I.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

BAB I PENDAHULUAN. dan merata. Maksudnya bahwa dalam pembangunan kesehatan setiap orang

I. PENDAHULUAN. dan bumbu-bumbu yang dibentuk bulat seperti kelereng dengan bera gram

BAB 1 PENDAHULUAN. kedelai yang tinggi protein, sedikit karbohidrat, mempunyai nilai gizi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan

BAB I PENDAHULUAN. Zat gizi dalam makanan yang telah dikenal adalah karbohidrat, lemak,

CONTOH KARYA TULIS ILMIAH

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang mudah dimasak

BAB I PENDAHULUAN. penjual makanan di tempat penjualan dan disajikan sebagai makanan siap santap untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kerupuk karak merupakan produk kering dari proses penggorengan,

PENDAHULUAN. ekonomi yang masih lemah tersebut tidak terlalu memikirkan akan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. ilmu pengetahuan terpenuhi. Menurut UU No.7 tahun 1996 menyebutkan bahwa

STUDI KASUS KADAR FORMALIN PADA TAHU DAN KADAR PROTEIN TERLARUT TAHU DI SENTRA INDUSTRI TAHU DUKUH PURWOGONDO KECAMATAN KARTASURA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERBEDAAN KADAR FORMALIN PADA TAHU YANG DIJUAL DI PASAR PUSAT KOTA DENGAN PINGGIRAN KOTA PADANG. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan di dalam kehidupannya (Effendi, 2012). Berdasakan definisi dari WHO

Zat Kimia Berbahaya Pada Makanan

IDENTIFIKASI KANDUNGAN FORMALIN PADA TAHU YANG DIJUAL DI PASAR SENTRAL KOTA GORONTALO. Sriyanti Dunggio, Herlina Jusuf, Ekawaty Prasetya 1

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 22%, industri horeka (hotel, restoran dan katering) 27%, dan UKM

MENGENAL BAHAYA FORMALIN, BORAK DAN PEWARNA BERBAHAYA DALAM MAKANAN

BAB I PENDAHULUAN. terdapat pada tepung adalah kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa

PELATIHAN PEMBUATAN CHITOSAN DARI LIMBAH UDANG SEBAGAI BAHAN PENGAWET ALAMI UNTUK MEMPERLAMA DAYA SIMPAN PADA MAKANAN DI KELURAHAN PUCANGSAWIT

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang

BAB I PENDAHULUAN. sangat terkenal dan digemari oleh semua lapisan masyarakat, karena memiliki

Assalamu alaikum Wr. Wb. BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP) Disusun oleh : Devi Diyas Sari ( )

I. PENDAHULUAN. sehingga memiliki umur simpan yang relatif pendek. Makanan dapat. dikatakan rusak atau busuk ketika terjadi perubahan-perubahan yang

UJI ORGANOLEPTIK FRUITGHURT HASIL FERMENTASI LIMBAH BUAH ANGGUR (Vitis vinifera) OLEH Lactobacillus bulgaricus SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha di Indonesia pada saat ini kian pesat, terutama di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diminati oleh mayoritas masyarakat Indonesia, karena rasanya yang gurih dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berupa pengawet yang berbahaya (Ismail & Harahap, 2014). Melihat dari

PEMANFAATAN DAUN KELOR (Moringa oleifera Lamk.) SEBAGAI BAHAN CAMPURAN NUGGET IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis C.)

CARA PEMINDANGAN DAN KADAR PROTEIN IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI KABUPATEN REMBANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi

I. PENDAHULUAN. additive dalam produknya. Zat tambahan makanan adalah suatu senyawa. memperbaiki karakter pangan agar mutunya meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

BAKSO POPULER DI MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN. tengah masyarakat harus segera diatasi. Maraknya penggunaan daging babi yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

1 I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. teknologi pangan dan bahan kimia yang dibutuhkan agar mutunya baik.

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Optimalisasi Penciuman Gas Formalin dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Pada Empat Buah Sensor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TELUR ASIN PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan sebagian kecil masyarakat (Chasanah dkk., 2013).

DAFTAR ISI. Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PENGESAHAN DEDIKASI RIWAYAT HIDUP PENULIS ABSTRAK

PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN BPTP KARANGPLOSO

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

Total. Warung/ Kios. Pedagang Kaki Lima

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pola hidup sehat masyarakat sangat terdukung oleh adanya makanan dan

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG. Oleh : MAULITA NOVELIANTI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tampilan dan teksturnya mirip dengan tahu yang berwarna putih bersih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Biologi DIAH AYU FITRIANI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a

I. PENDAHULUAN. satu produk olahan pangan asal hewan yangpaling banyak diminati

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: UJI KANDUNGAN FORMALIN PADA IKAN ASIN DI PASAR TRADISIONAL KOTA BANDA ACEH ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Budaya mengkonsumsi daging sudah menyebar di sebagian besar. masyarakat dunia. Kalau tidak ada daging mungkin dirasa kurang lengkap

BAB I PENDAHULUAN. harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan kimia

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saus cabai atau yang biasa juga disebut saus sambal adalah saus yang

PEMANFAATAN CHITOSAN DARI LIMBAH UDANG SEBAGAI BAHAN PENGAWET ALAMI UNTUK MEMPERLAMA DAYA SIMPAN PADA MAKANAN. Budi Hastuti 1) & Saptono Hadi 2) 1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kerupuk adalah salah satu produk olahan tradisional yang digemari

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

BAB 1 PENDAHULUAN. akan tetapi sering dikonsumsi sebagai snack atau makanan selingan. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang gizi

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak memenuhi syarat keamanan dan dapat membahayakan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. ikan laut yang dicampur dengan bahan-bahan, seperti cabe kering yang dihaluskan

BAB I PENDAHULUAN. minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara alami, bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. senyawa xanthone sebagai antioksidan, antiproliferativ, dan antimikrobial yang

I. PENDAHULUAN. Buah naga (Hylocereus polyrhizus) merupakan buah yang saat ini cukup populer

b. Bahan pangan hewani bersifat lunak dan lembek sehingga mudah terpenetrasi oleh faktor tekanan dari luar.

BAB I PENDAHULUAN. macam belimbing yaitu belimbing manis (Averrhoa carambola) dan

Transkripsi:

PERAN CHITOSAN SEBAGAI PENGAWET ALAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROTEIN SERTA ORGANOLEPTIK PADA BAKSO DAGING SAPI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Biologi Disusun Oleh : RENI KURNIAWATI A.420 040 094 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMPENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 i

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakso merupakan salah satu produk olahan yang sangat populer. Bakso dapat ditemukan di pasar tradisional maupun supermarket, bahkan banyak juga dijual oleh pedagang keliling. Bakso tidak hanya hadir dalam sajian seperti bakso atau mie ayam, tetapi biasanya juga dijadikan bahan campuran dalam beragam masakan lain, misalnya pada aneka sup, nasi goreng, tahu bakso, mie goreng dan cap cay. Bakso merupakan daging yang dihaluskan, dicampur dengan tepung terigu, bawang putih, merica dan garam dapur. Setelah itu dibentuk bulatbulat dengan manual atau alat dengan ukuran antara 3 cm-5 cm, dengan berat 25 gram-30 gram per butir yang dimasak dalam air panas untuk siap saji. Bakso mengandung protein tinggi, memiliki kadar air tinggi dan ph netral sehingga rentan terhadap kerusakan sehingga memiliki daya awet maksimal satu hari pada suhu kamar. Istilah bakso biasanya diikuti dengan nama jenis dagingnya, seperti bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi dan bakso udang. Jika bakso daging sapi terbuat dari daging sapi segar, bebas urat, sedikit lemak seperti daging lemusir dan gandik akan menghasilkan bakso yang bermutu baik. Bisa juga menggunakan daging penutup, paha depan, atau daging iga (Anonim, 2006).

2 Bakso yang dijual oleh pedagang belum tentu habis dalam satu hari. Dengan demikian pedagang akan mengalami kerugian sehingga pedagang mengambil jalan pintas untuk memproduksi bakso agar lebih awet dengan memberikan bahan pengawet yang total pemakaiannya masih jauh dari batas aman, padahal penggunaan bahan pengawet daging olahan dan daging awetan ada batas maksimumnya misalnya : asam benzoat (benzoic acid) 1 g/kg, kalium nitrat (Potassium Nitrate) 500 mg/kg, kalium nitrit (potassium nitrite) 125 mg/kg, natrium nitrat (sodium nitrate) 500 mg/kg dan natrium nitrit (sodium nitrite) 125 mg/kg (Yuli, 2007). Para pedagang biasanya memilih bahan pengawet yang harganya murah sehingga memperoleh keuntungan yang banyak, misalnya formalin dan boraks. Formalin pada bakso berfungsi untuk memperpanjang daya awet kurang lebih 4 hari, sedangkan boraks yang dikenal sebagai obat bakso dapat mengenyalkan, warna bakso lebih putih, saat direndam dalam kuah panas menebarkan aroma mirip obat atau kapur. Bakso sapi tanpa boraks memiliki ciri lebih gelap warnanya dan cenderung coklat gelap (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Selain itu, memiliki tekstur yang kenyal tetapi lembut, empuk dan tidak lengket (Anonim, 2006). Formalin atau formaldehide adalah bentuk aldehid yang paling sederhana (H 2 CO). Formalin mudah larut dalam air, sampai kadar 55% sangat reaktif dalam suasana alkalis serta bersifat sebagai zat pereduksi yang kuat, mudah menguap pada suhu ruang karena titik didihnya yang rendah yaitu 20 0 C (WHO, 1989). Formalin biasanya digunakan sebagai antiseptik

3 untuk membunuh bakteri dan kapang, terutama untuk mensterilkan peralatan kedokteran, disinfektan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi serangga, lalat, dan mengawetkan spesimen biologi termasuk mayat dan kulit (Olson dalam Mustofa, 2006). Formalin selain merupakan bahan pengawet pada mayat, saat ini penggunaannya sudah merambah ke produk pangan. Hal ini disebabkan formalin memperpanjang umur simpan suatu produk. Masalah yang terjadi adalah bahwa formalin bukan merupakan bahan pengawet makanan. Jika formalin digunakan pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa ditimbulkan antara lain : sukar menelan, sakit perut akut disertai muntahmuntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf atau gangguan peredaran darah. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvolsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan pada dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam. Boraks juga dapat menimbulkan efek racun pada manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya berbeda dengan formalin. Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif pada hati, otak atau testis (buah zakar), sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi. Pada dosis yang cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntahmuntah, mencret dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosisnya

4 mencapai 5 gram atau lebih akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya mencapai 10-20 gram atau lebih (Winarno dan Rahayu, 1994). Melihat bahaya formalin dan boraks yang ditimbulkan maka perlu dilakukan penyuluhan pada masyarakat agar tidak menggunakan bahan tersebut. Sebenarnya ada bahan pengawet lain yang aman digunakan misalnya chitosan. Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin yakni produk samping limbah dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang, kepiting dan rajungan, memiliki bentuk mirip dengan selulosa dan bedanya terletak pada gugus C 2, berwarna putih dan berbentuk kristal dan dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya (Anonim, 2006). Saat ini chitosan komersil diproduksi secara termokimiawi. Cara ini dalam banyak hal tidak menguntungkan diantaranya tidak ramah lingkungan, prosesnya tidak mudah dikendalikan dan chitosan yang dihasilkan memilki berat molekul dan derajat deasetilasi tidak seragam (Chang, 1997; Tsigos, 2000). Hal ini karena proses deasetilasi rantai chitin yang berlangsung secara acak menghasilkan chitosan dengan derajat deasetilasi minimal 70 %. Umumnya dimanfaatkan untuk industri pangan, industri kosmetika dan biomedis sedikitnya 80 dan 90 % (Tsugita, 1997). Berdasarkan hasil penelitian Suseno (2006), menunjukkan bahwa chitosan merupakan salah satu contoh bahan pengawet alami. Percobaan pengawetan ikan asin dengan chitosan, formalin dan kontrol diperoleh

5 bahwa kadar protein, lemak dan organoleptik sesudah penambahan chitosan adalah paling baik. Sehingga chitosan paling efektif untuk mengawetkan ikan asin. Oleh karena itu, peneliti ingin menganalisis kadar protein dan organoleptik pada bakso daging sapi dengan berbagai konsentrasi dan lama pengawetan yang berbeda. Maka peneliti mengajukan judul Peran Chitosan Sebagai Pengawet Alami dan Pengaruhnya Terhadap Kandungan Protein serta Organoleptik pada Bakso Daging Sapi. B. Pembatasan Masalah Berdasarkan berbagai masalah yang ada maka harus dibuat pembatasan masalah supaya permasalahan tidak melebar dan rancu. Oleh karena itu, peneliti membatasi masalah sebagai berikut : 1. Objek penelitian adalah bakso daging sapi. 2. Subjek penelitian adalah pengaruh chitosan terhadap kadar protein dan organoleptik bakso daging sapi. 3. Parameter penelitian adalah kadar protein dan organoleptik (warna, rasa, bau dan tekstur ) pada bakso daging sapi.

6 C. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah ada pengaruh dosis chitosan yang berbeda terhadap kadar protein bakso daging sapi? 2. Berapakah kadar protein bakso daging sapi dengan lama pengawetan yang berbeda? 3. Berapakah dosis chitosan dan lama pengawetan yang paling efektif terhadap kadar protein bakso daging sapi? 4. Bagaimana perbedaan organoleptik bakso daging sapi dengan lama pengawetan dan dosis chitosan yang berbeda? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Mengetahui ada atau tidaknya pengaruh konsentrasi chitosan yang berbeda terhadap kadar protein bakso daging sapi. 2. Mengetahui kadar protein bakso daging sapi dengan lama pengawetan yang berbeda. 3. Mengetahui dosis chitosan dan lama pengawetan yang paling efektif terhadap kadar protein bakso daging sapi. 4. Mengetahui perbedaan organoleptik pada bakso daging sapi dengan lama pengawetan dan konsentrasi chitosan yang berbeda.

7 E. Manfaat Penelitian 1. Memberi informasi kepada masyarakat mengenai penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet alami pengganti formalin dan boraks pada produk bakso daging sapi. 2. Memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa chitosan tidak berbahaya bagi kesehatan.