BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki perjalanan sejarah tersendiri, seperti halnya yang dimiliki bangsa lain

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Novi Pamelasari, 2013

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. Modul ke: 06Fakultas Ekonomi. Program Studi Manajemen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

2015 KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki akal dan pikiran yang mampu

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB I PENDAHULUAN. (kurang lebih ) yang ditandai dengan adanya beberapa situs-situs

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

2015 PERBAND INGAN PERILAKU SOSIAL ANTARA SISWA YANG MENGIKUTI EKSTRAKURIKULER CABANG OLAHRAGA IND IVIDU D AN BEREGU D I SMA PASUND AN 2 BAND UNG

PENDIDIKAN PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. Sastra dalam keutuhan bentuknya menyentuh seluruh kehidupan. manusia. Karya sastra dalam bentuknya memuat berbagai aspek dimensi

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesenian Angklung Buncis merupakan kesenian turun temurun yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

PENDIDIKAN PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamika perubahan sosial budaya masyarakat. mengembangkan dan menitikberatkan kepada kemampuan pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PANCASILA AKTUALISASI PANCASILA DALAM PENGEMBANGAN IPTEK DAN KEHIDUPAN AKADEMIK. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam. Begitupun negara Indonesia. Dengan banyak pulau dan suku

BAB I PENDAHULUAN. generasi muda untuk mengembangkan generasi muda yang berkualitas sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

Bahasan Kajian Filsafat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

MAKNA PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT DAN DASAR ILMU

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

Etika dan Filsafat. Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DI AS

BAB I PENDAHULUAN. dengan bangsa lainnya. Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat suatu bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini dilanda era informasi dan globalisasi, dimana pengaruh dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian. Lembaga pendidikan salah satu sistem organisasi yang bertujuan membuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berperan penting bagi pembangunan suatu bangsa, untuk itu diperlukan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aini Loita, 2014 Pola Pewarisan Budaya Membatik Masyarakat Sumedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

I. PENDAHULUAN. generasi muda untuk mempunyai jiwa kemanusiaan.

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya,

I. PENDAHULUAN. dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. a. Upaya pemertahanan bahasa Bali dalam keluarga. Hal ini tampak dalam situasi

BAB V PENUTUP. 1. Konsep Tuhan Dalam Perspektif Agama Islam, Kristen, Dan Hindu. berbilang tidak bergantung pada siapa-siapa melainkan ciptaan-nyalah

PENDEKATAN ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Analisis Desain Strategi Pendidikan Agama Islam)

BAB I PENDAHULUAN. memberikan hiburan atau kesenangan juga sebagai penanaman nilai edukatif.

Filsafat Manusia. Manusia Sebagai Persona. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 05Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat

FILSAFAT ILMU Karya : Jujun S. Suriasumatri Penerbit : Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Tahun : 1984 (Cet. I) Tebal : 384 hlm

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia kaya keragaman budaya. Keragaman budaya yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Batak Toba adalah salah satu suku yang terdapat di Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. Oleh: Hambali ABSTRAK

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

NOVIA KENCANA, S.IP, MPA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. primer dan sekunder yang berbeda (R.M. Soedarsono, 2001: 170).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

Transkripsi:

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi suatu bentuk pertunjukan kesenian dan kebudayaan yang tergolong langka yang secara khusus hanya terdapat pada beberapa daerah di Banten. Kelangkaan debus, selain karena karakter dan kekhasannya ini menimbulkan daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk mengetahui dan mempelajarinya. Terdapat beberapa hal yang bisa disimpulkan terkait pembahasan tentang dimensi ontologi debus, antara lain sebagai berikut: 1. Debus secara hakiki adalah debus itu sendiri dan merupakan suatu bentuk pembuktian kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan benda tajam melalui suatu peragaan yang disebut dengan atraksi debus. Kekebalan tersebut diperoleh melalui keyakinan dan kepasrahan total seorang pelaku debus terhadap keberadaan Tuhan Sang Pemberi Kekebalan. Oleh karena itu, hakikat utama debus adalah sebagai suatu sarana untuk meningkatkan keyakinan diri pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala fenomena realitas dalam kehidupan. 2. Pandangan para pelaku debus tentang Tuhan, manusia dan alam semesta merupakan suatu bentuk pemikiran yang merefleksikan ajaran agama Islam. Tuhan dipandang sebagai penyebab eksistensi dan pemberi makna segala 259

pengada. Segala pengada, baik itu manusia dan alam semesta diciptakan oleh Tuhan disertai dengan segala potensi geraknya. Manusia merupakan pengada yang paling sempurna karena memiliki kelebihan dalam berpikir sehingga memungkinkannya untuk bebas berkehendak, tetapi segala ketentuan sama halnya dengan dinamika alam semesta telah berada dalam ketetapan Tuhan. 3. Para pelaku debus, sebagai konsekuensi dari pemelukan agama Islam, meyakini bahwa kepercayaannya merupakan bentuk monoteisme, percaya akan adanya Tuhan yang satu. Tuhan merupakan pencipta dan dianggap sebagai sumber kekuatan hidup dan tanpa itu manusia dan segala ciptaannya tidak dapat hidup. Prinsip pertama dalam ontologi debus dengan demikian adalah Tuhan Yang Mutlak. Realitas pengada yang berciri monistis, yakni bahwa Tuhan sebagai prinsip pertama yang mendasari seluruh realitas. Tuhan tidak lain adalah suatu kemutlakan. Tuhan merupakan sumber segala pengada, tidak ada pengada yang luput dari Tuhan. Segala pengada merupakan ciptaan Tuhan yang wujud dan geraknya mutlak di bawah kendali Tuhan. 4. Dimensi kuantitas pengada berciri pluralistik, karena terdiri dari pengada jasmani, pengada rohani dan pengada jasmani sekaligus rohani, tetapi Tuhan dianggap paling utama dan sumber segala pengada. Oleh karena itu, dimensi kuantitas segala pengada adalah Pluralisme-Metafisika-Sentris. 5. Para pelaku debus meyakini bahwa realitas kenyataan itu memiliki gerak dengan segala potensinya yang disebabkan oleh adanya hukum kausalitas yang ada di belakang peristiwa. Hakikat dunia materi selalu berubah terusmenerus secara tetap dan bebas. Segala kenyataan tidak statis. Dinamika 260

pengada membuatnya memiliki kebebasan dan bertujuan, tetapi kebebasan itu tidak mutlak. Perkembangan itu berada dalam kehendak Tuhan. Oleh karena itu segala gerak dan perubahan terbatas dan tergantung pada ketentuan Tuhan, sehingga segala pengada dan dinamikanya pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan. Dimensi dinamika pengada yakni bahwa Tuhan sebagai pencipta wujud pengada beserta potensi geraknya yang bersifat dinamis-ditentukanbertujuan (dinamis-deterministik-teleologis). 6. Segala pengada yang pluralistik terdiri dari unsur pengada jasmani (benda mati dan tumbuhan), pengada rohani (malaikat, jin, iblis, setan) dan pengada jasmani-rohani (hewan dan manusia). Manusia sebagaimana ciptaan Tuhan lainnya disatu sisi terikat dengan ketentuan Tuhan, tetapi di sisi lain manusia memiliki kebebasan dengan akalnya. Tuhan menciptakan segala pengada dengan dimensi yang berbeda-beda, sehingga Tuhan melingkupi segala pengada. Tuhan mengatasi segala pengada tetapi berbeda sama sekali dengan pengada, karena pengada hanyalah ciptaan yang ada menurut kehendaknya. 7. Subjek dari debus adalah manusia dan debus merupakan yang-ada itu sendiri. Meskipun manusia merupakan ciptaan Tuhan yang harus tunduk pada ketentuannya, tetapi manusia adalah makhluk yang bebas karena akalnya. Ada semacam determinisme, tetapi bukan determinisme total. Pelaku debus memiliki kebebasan untuk melakukan segala perbuatan dan atraksi debus yang berbahaya. Atraksi kekebalan tubuh tersebut tidak hanya diperoleh melalui latihan-latihan fisik dan mental, tetapi harus disertai dengan berdoa, yakni mendekatkan diri pada Tuhan. Doa kepada Tuhan adalah upaya untuk 261

mendapatkan perlindungan sehingga bisa kebal. Kekebalan dalam debus tergantung atas ketentuan Tuhan. Kebebasannya pada akhirnya bersifat semu karena terbatasi oleh kehendak dan ketentuan Tuhan. Bentuk determinisme yang lain adalah bahwa pelaku debus memiliki prinsip keyakinan dan kepasrahan total kepada Tuhan. Segala pengada dan geraknya juga sudah ditentukan di dalam Loh Mahfud, adanya kodrat Tuhan, dengan kata lain Loh Maufud merupakan Hukum Tertinggi realitas yang mengatur keberadaan setiap entitas pengada. Dimensi norma ontologis debus dengan demikian adalah determinisme dan harmoni. 8. Debus di era globalisasi ini dihadapkan pada perubahan-peruhanan. Perubahan ini terjadi baik di dalam sistem debus itu sendiri maupun hal yang berada di luar debus. Globalisasi mengakibatkan debus dihadapkan pada kondisi-kondisi yang telah banyak berubah dibandingkan sebelumnya yang pada akhirnya menuntut debus untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Upaya yang tampak dari penyesuaian diri tersebut terlihat dari sejumlah gejala yang menunjukan adanya perubahan di dalam sistem permainannya yang telah mengalami perubahan materi dari hasil proses modifikasi agar pertunjukan debus tidak monoton dan lebih menarik serta menghibur. Perubahan yang paling mencolok adalah bahwa debus kini tidak lagi merupakan suatu representasi dari ajaran tarekat tertentu karena lebih mementingkan aspek komersialisasi. 9. Debus sebagai fenomena kesenian dan kebudayaan tradisional kini menjadi suatu ciri identitas seni dan budaya Banten. Debus sebagai seni dan budaya 262

pertunjukan sekarang lebih menonjol ke permukaan dibandingkan suatu kelompok-kelompok tarekat seperti pada masa awal debus yang mempertunjukan debus sebagai suatu sarana syiar agama Islam. 10. Debus sebagai suatu sistem permainan memiliki sejumlah unsur-unsur yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lainnya dan masingmasing unsur memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Fungsi unsur-unsur debus tersebut menjadi suatu penggerak kesatuan fungsi debus secara keseluruhan yang berdampak ke dalam sistem debus itu sendiri maupun keluar kepada masyarakat yang ada disekitarnya, terutama identitas budaya masyarakat Banten. 11. Debus merupakan salah satu kebudayaan daerah Banten warisan leluhur yang masih dipertahankan dan dilestarikan sebagai bentuk identitas budaya masyarakat Banten. Usaha pembentukkan identitas budaya Banten melalui debus masih banyak dilakukan di beberapa daerah di Banten dengan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan debus yang diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Banten dengan menjaga regenerasi dan melakukan penanaman pewarisan seni dan budaya debus kepada generasi muda, seperti melakukan pelatihan debus di lingkungan masyarakat dan mengikutsertakan generasi muda dalam kegiatan dan pertunjukan debus. 12. Pandangan ontologis dalam debus secara konseptual memiliki dua fungsi, yakni fungsi teologis dan dan fungsi praktis. Fungsi teologis berlandaskan pada bahwa manusia harus memiliki keyakinan secara penuh terhadap kuasa dan kekuatan Tuhan sebagai satu-satunya kekuatan yang utama dan tertinggi. 263

Fungsi praktis berarti bahwa manusia tidak serta merta bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi tetap harus berusaha dalam hidupnya. 13. Fungsi debus tampil di tengah-tengah masyarakat. Debus berperan dalam menjaga nilai seni dan budaya tradisional yang ada dan hidup di tengah masyarakat. Nilai yang terkandung dalam debus yakni nilai-nilai patriotisme dan heroisme, serta nilai-nilai keagamaan seperti peningkatan ketakwaan kepada Tuhan dan ketaatan dalam pelaksanaan kegiatan religious secara penuh dan utuh, meningkatkan rasa solidaritas yang tinggi pada masyarakat, debus sebagai simbol masyarakat Banten yang merepresentasikan perjalanan sejarah masyarakat Banten yang sarat dengan perjuangan dan menetapkan tingkah laku manusia di dalam kehidupannya. B. SARAN Ada beberapa saran yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mempertegas pengembangan dimensi ontologi debus yang berpengaruh pada pembentukan identitas budaya masyarakat Banten sebagai berikut: 1. Ontologi debus sangat berhubungan dengan disiplin ilmu lain seperti filsafat kebudayaan, filsafat ketuhanan, aksiologis dan lain sebagainya karena beberapa cabang ilmu filsafat tersebut memiliki topik kajian yang bisa memberikan kontribusi satu sama lain. Ada semacam hubungan simbiosis mutualisme, yakni hubungan saling menguntungkan. Ontologi debus, dengan demikian memberikan kontribusi positif bagi terbukannya ruang dialogis bagi dunia akademis, terutama bidang filsafat. 264

2. Diskursus antara ontologi debus dan kebudayaan terletak pada ruang lingkup pembahasan debus sebagai suatu bentuk kebudayaan khas Banten yang menempatkan manusia sebagai subjek kebudayaan. Kaduanya bisa menggali berbagai nilai dan fenomena dalam kebudayaan debus yang berkembang sebagai kearifan lokal nusantara, sehingga dapat menjadi rujukan alternatif bagi media pendidikan muatan lokal di sekolah-sekolah yang mendukung perkembangan pendidikan Indonesia. 3. Diskursus antara ontologi debus dengan filsafat ketuhanan terletak pada kajian teologis karena keduanya sama-sama menaruh perhatian pada persoalan tentang Tuhan. Persoalan tentang Tuhan yang ada pada ontologi debus dapat diperkaya dan dikrucutkan dengan telaah dari perspektif filsafat ketuhanan. 4. Diskursus antara ontologi debus dengan filsafat seni terletak pada perubahanperubahan debus bahwa debus kini menjadi salah satu seni dan budaya pertunjukan di Banten. Ontologi debus mampu memberikan pemahaman tentang unsur-unsur dalam pertunjukan debus dan filsafat seni dapat lebih mengeksplorasi nilai-nilai seni yang terkandung di dalam pertunjukan debus. 5. Diskursus antara ontologi debus dengan aksiologi terletak pada pembahasan tentang nilai-nilai pada kearifan lokal, karena keduanya memiliki lingkup kajian pemahaman atas nilai. Ontologi debus memberikan kontribusi dalam hal pengkajian debus secara hakiki yang sarat dengan nilai-nilai dan aksiologi dapat memberikan pembahasan secara rinci tentang nilai-nilai yang ada pada simbol pamaknaan berbagai unsur-unsur dalam debus. 265

6. Temuan dalam penelitian ini bahwa dimensi-dimensi ontologi debus yang digali dari kearifan lokal bangsa Indonesia dapat membentuk identitas budaya masyarakat, nilai-nilai tersebut perlu diinternalisasikan di dalam diri generasi penerus bangsa. Upaya pewarisan nilai-nilai seni dan budaya debus dalam pembentukan identitas budaya generasi muda di banten hendaknya terus dilakukan dalam lingkup generasi muda melalui pembelajaran kesenian dan kebudayaan dengan mengikutsertakan generasi muda dan anak-anak sebagai bentuk pengembangan nilai-nilai yang terkandung di dalam debus. Pewarisan secara vertikal yakni diwariskan langsung dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya di dalam lingkungan keluarga para pelaku debus dengan menanamkan nilai-nilai dalam debus dan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang makna yang terkandung di dalam debus. Pewarisan debus secara horizontal yakni pewarisan kepada masyarakat di lingkungan sekitar padepokan debus dengan turut berpartisipasinya masyarakat ke dalam rangkaian acara debus sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengaplikasikan nilai-nilai debus ke dalam kehidupan sehari-hari. Upaya pewarisan seni dan budaya debus dilakukan untuk mempertahankan kearifan lokal masyarakat Banten. 7. Kesenian dan kebudayaan debus Banten hendaknya tidak menghilangkan ciri khas dari proses ritual seperti selalu menggunakan ritual-ritual khusus yang sering dilakukan pada saat proses ritual kesenian debus Banten berlangsung. Pemerintah, masyarakat dan peneliti selanjutnya hendaknya membuat dan menginventarisasi karya tulis yang berkaitan dengan debus secara lebih 266

mendalam kemudian menyajikannya ke dalam bentuk tulisan-tulisan ilmiah yang terstruktur seperti buku. Hal ini dikarenakan peneliti mengalami kesulitan dalam mencari beberapa sumber tertulis tentang debus. 8. Terdapat sejumlah atraksi permainan yang harus dikuasai oleh pelaku debus. Debus memiliki makna dan simbol seni dan budaya yang mewakili karakteristik masyarakat Banten sepanjang sejarah. Kekebalan tubuh, sebagai bentuk salah satu dari atraksi debus menjadi cermin keberanian masyarakat Banten. Simbol tersebut mangindikasikan bahwa masyarakat Banten memiliki sikap yang keras dan tegar. Benda seperti golok, misalnya, menjadi lambang watak masyarakat Banten. Benda debus yang tajam menjadi benda lembut dalam pertunjukan debus. Pesan yang tersirat dari pemaknaan simbol tersebut adalah bahwa masyarakat Banten masih memiliki semangat heroisme yang tinggi yang kini tersalurkan dalam pertunjukan debus. Debus dalam atraksinya masih menggunakan unsur-unsur keagamaan (Islam) yang memperlihatkan bentuk ketaatan religius. Fenomena tersebut memberi gambaran bahwa masih terbuka lebar untuk dilakukan penelitian tentang debus selanjutnya. 9. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Peneliti menyarankan agar penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan debus secara filosofis dapat dilakukan dengan menggunakan perspektif yang berbeda karena masih banyak bidang studi lain yang bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah, sehingga nantinya dapat melengkapi pandangan-pandangan dan kekurangan-kekurangan yang belum dapat 267

disajikan oleh peneliti serta dapat menggali kembali potensi yang belum terungkap tentang kesenian dan kebudayaan debus. 10. Penelitian tentang seni dan budaya debus selanjutnya disarankan lebih mampu memberikan kontribusi positif dan mendukung peran filsafat, khususnya kajian ontologi dalam usaha menyoroti fenomena-fenomena dalam seni dan budaya pertunjukan debus yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan, sehingga mampu memperluas wacana dan pengetahuan baik bagi pemerhati seni dan budaya debus, filsafat, ilmu pengetahuan maupun masyarakat yang lebih luas. 268