BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya,
|
|
- Hendra Budiman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 599 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Makna kearifan budaya Sunda merupakan suatu kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat Sunda, baik muncul dalam tradisi lisan maupun tulisan sebagai suatu kepribadian menjadikan identitas kultural masyarakat berbentuk nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus yang teruji kemampuannya sehingga dapat bertahan terus-menerus. Esensi kearifan lokal budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai mengandung nilai moral kebaikan sebagai suatu keunggulan budaya yang mengungkap pikiran, perasaan, dan pengetahuan yang berkaitan dengan kebijaksanaan (wisdom) yang terdapat dalam masyarakatnya sesuai identitas budayanya. Kearifan budaya Sunda ini muncul dalam realitas kehidupan masyarakat sehari-hari menjadikan suatu kebiasaan sebagai tuntunan moral yang bersumber dari nila-nilai agama dan kebudayaannya yang terdapat dalam unsur-unsur kebudayaan berbentuk budaya ide, budaya aktivitas, dan budaya artefak pada kebudayaan masa lalu hingga kini. Nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya merupakan hasil reduksi dari perkembangan kebudayaan masyarakat sebagai hasil akulturasi dan inkulturasi budaya masyarakatnya yang dipilah dan dipilih sesuai kebudayaannya menjadikan pandangan hidup dan pedoman dalam kehidupannya. Sumber kearifan
2 600 budaya Sunda terdapat dalam kebudayaan masyarakat masa lalu hingga kini yang bersumber dari tradisi lisan berbentuk carita, nasihat, pantun, uga, folklor lisan yang juga terdapat dalam bukti-bukti tertulis berbentuk prasasti dan situs, naskah (manuscript) seperti babat, serat, carita, wawacan, karya sastra lainnya yang bersifat tertulis. 2. Kearifan budaya terdapat dalam masyarakat Sunda yang meletakkan pentingnya keharmonisan hubungan antar manusia melalui kehidupan masyarakat yang hidup saling ketergantungan dengan tidak melupakan jati diri dan habitatnya adalah bertujuan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan, terkandung dalam konsep silih asih, silih asah, dan silih asuh (3 SA.). Konsep 3 SA. diidentifikasi dikembangkan dalam kebudayaan Sunda masa lalu pada masa kepemimpinan Prabu Siliwangi sebagai realisasi keluhuran hati budi nurani yang kemudian digali oleh Bung Karno sebagai falsafat Pancasila. Makna konsep 3 SA. ini memiliki keterkaitan dengan makna yang terkandung dalam kata pembentuknya, berupa kata silih dan kata asih, asah, asuh yang menjadi esensi kandungan nilainya. Kata silih berarti saling, mengandung makna nilai transformasi yang bersifat resiprokal dan saling memberikan respon dengan penuh kesantunan. Kata asih berarti cinta, mengandung makna nilai ontologis, bahwa keberadaan asih berasal dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga nilai asih menjadi landasan kehidupan dalam membangun keharmonisan hidup manusia. Kata asah berarti menajamkan, mengandung makna nilai epistemologis, bahwa kemampuan mengasah jiwa berupa akal, rasa, dan karsa dalam kesatuan badannya, sehingga menghasilkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan dalam kehidupannya. Kata asuh berarti membimbing, mengandung
3 601 makna nilai aksiologis, bahwa dalam membangun hubungan silaturrahmi didasari atas saling menghargai kewajiban dan hak asasi manusia berlandaskan pada nilainilai keharmonisan dalam membangun kualitas kemanusiaan. Perpaduan kata silih dengan masing-masing kata asih, asah, asuh menjadikan kata majemuk yang mengandung makna transformasi dari substansi makna yang terkandung dalam nilai: asih, asah, asuh dalam kehidupan antar manusia melalui realitas kehidupan masyarakat, sehingga terbangun harmonisasi yang saling ketergantungan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan. Orientasi nilai yang terkandung dalam makna 3 SA. pada hakikatnya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam kehidupan sosialnya, sehingga dapat dijadikan metode pemberdayaan manusia dalam kehidupan masyarakat menjadi landasan pendidikan masyarakat, baik pendidikan keluarga, pendidikan formal dan non-formal maupun pendidikan di lingkungan masyarakat. 3. Manusia miskin pada hakikatnya akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, karena ketidakberdayaan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodratnya berupa jiwa (akal, rasa, karsa) dan raganya dalam satu-kesatuan pada struktur sosial masyarakat yang tidak memberikan peluang atas keberdayaan dirinya. Secara ontologis, bahwa keberadaan manusia miskin pada hakikatnya akibat ketidakmampuan mengoptimalkan potensi unsur jiwa berupa akal dalam menghasilkan pemikiran produktif menjadikannya tidak miskin, rasa yang dimiliki belum mampu membangun saling peduli dalam membangun kehidupan yang harmonis, karsa yang dimiliki belum mampu memunculkan budaya ide inovatif dan kreatif yang dapat direalisasikan dalam budaya aktivitas untuk meningkatkan
4 602 kesejahteraan hidupnya. Beranjak dari substansi kemiskinan manusia yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, maka akar penyebab kemiskinan dapat diakibatkan oleh faktor alamiah, kultural dan struktural yang bersifat multidimensional. Secara epistemologis, bahwa kebudayaan kemiskinan disebabkan oleh perilaku menyimpang, dalam arti budaya miskin yang tetap dipertahankan pada strata masyarakat terbawah yang kapitalistik dalam merespon kondisi deprivasi ekonomi. Dalam pandangan struktural masyarakat, bahwa manusia miskin pada kehidupan masyarakatnya mengalami tekanan dari luar dirinya yang bersifat eksploitatif, sehingga ketidakmampuan menghadapi tekanan tersebut berakibat pada ketidakberdayaan dirinya. Kehidupan manusia miskin terjadi dalam suatu rumahtangga miskin yang hidup dalam suatu daerah, ternyata memiliki mata-rantai saling memiliki keterkaitan yang bersifat multidimensional, diakibatkan oleh faktor; kemiskinan dalam arti tidak terpenuhinya standar hidup layak, kelemahan jasmani, isolasi dalam arti bahwa hidupnya dalam masyarakat kurang memperoleh aksebilitas bagi kehidupannya karena keterpencilan atau sikap menyingkirkan dirinya akibat rendah diri, kerentanan dalam arti ketidakpastian atas penghidupannya menghadapi pemenuhan untuk hidup secara layak, ketidakberdayaan dalam arti ketidakmampuan diri menghadapi tekanan kaum yang lebih kuat. Secara aksiologis, bahwa manusia miskin tidak terpenuhinya kebutuhan nilai-nilai utama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia secara layak, berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain, sehingga terjadi jurang (gap) dalam realitas sosial pada kebudayaan masyarakatnya. Penyebabnya ketidakmampuan memenuhi nilai-nilai utama ini diidentifikasi dalam kebudayaan manusia miskin
5 603 adalah dimilikinya nilai-nilai negatif berupa perilaku malas, kurang menghargai waktu, rendah diri, tidak kreatif dan produktif serta inovatif, tidak disiplin, dan sifatsifat perilaku negatif lainnya. 4. Landasan pemberdayaan masyarakat miskin dalam hakikat kodrat manusia bertumpu pada kata daya, yang dimaknai sebagai suatu kekuatan yang ada dalam jiwa pada kesatuan badannya. Secara ontologis, bahwa keberadaan daya pada diri manusia terdapat dalam susunan hakikat kodratnya berupa jiwa yang terdiri dari unsur akal, rasa, karsa pada kesatuan badannya yang mengandung unsur benda mati, sifat-sifat naluriah seperti binatang, dan sifat-sifat seperti pada tumbuhan yang pada hakikat keberadaannya berasal dari sumber segala kekuatan, yaitu Tuhan Maha Kuasa. Ketidakberdayaan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodrat berupa kesatuan jiwa (akal, rasa, karsa) dan raganya dalam diri manusia menjadi penyebab manusia kurang atau tidak berdaya, sehingga berakibat pada kemiskinan dirinya. Manusia yang kurang atau tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak yang terdapat pada keluarga dalam komunitas masyarakat yang berada pada suatu wilayah tertentu disebut manusia miskin. Pemberdayaan masyarakat miskin pada hakikatnya adalah mendorong menumbuhkan kekuatan yang bersumber pada susunan hakikat kodrat pada diri manusia miskin yang diinisiasikan melalui transformasi nilai pemberdayaan berasal dari orang lain yang disebut pemberdaya, sehingga tumbuh keberdayaan dirinya menjadikan hidupnya tidak miskin. Esensi dari transformasi nilai keberdayaan dalam kehidupan manusia ini terjadi melalui interaksi sosial berlandaskan pada sifat hakikat kodrat manusia dalam menyeimbangkan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang bersifat
6 604 monodualis. Ketidakseimbangan manusia sebagai makhluk individu dalam keadaan miskin akan mencari solusi menanggulangi kemiskinan dirinya yang selalu berusaha dan berikhtiar memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak melalui upaya peningkatan keberdayaan diri, yang biasanya membutuhkan stimulasi bantuan orang lain sebagai makhluk sosial. Pada diri manusia harus selalu ada kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri dan orang lain sebagaimana semestinya menjadikan kewajiban moral sesuai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena itu, dalam kehidupan sosial inilah terjadinya pemberdayaan masyarakat miskin yang pada hakikatnya mengandung nilai transformasi dalam mendorong fungsi susunan hakikat kodratnya menjadikan lebih optimal mengatasi kemiskinannya sebagai pengejawantahan dari watak keadilan. Transformasi nilai ini, terjadi dalam proses pemberdayaan masyarakat melalui tahapan; penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Dalam implementasinya, program pemberdayaan masyarakat miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan masih berkutat pada tahapan pengkapasitasan, karena belum sepenuhnya menyentuh esensi kemiskinan manusia berupa nilai keberdayaan dalam tahapan pendayaan dalam mengoptimalkan unsurunsur hakikat kodrat manusia yang bersifat monopluralis sebagai landasannya. Memaknai pemberdayaan masyarakat miskin dalam perspektif epistemologi, pada hakikatnya adalah mentransformasikan nilai-nilai pengetahuan yang bersumber dari akal, rasa, dan karsa dalam kesatuan badannya melalui kehidupan masyarakat agar memiliki keberdayaan diri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Nilai-nilai pengetahuan ini berkaitan dengan pemenuhan kelangsungan kehidupan dalam penghidupannya yang bersifat praksis, baik dari aspek ekonomi, sosial,
7 605 budaya, dan politik. Dalam perspektif aksiologis, bahwa dalam pemberdayaan masyarakat terjadi transformasi nilai-nilai positif dari manusia yang tidak miskin seperti; jujur, kerja keras, rajin, disiplin, produktif, kreatif, inovatif, menghargai waktu, percaya diri, selalu mau belajar, dan nilai-nilai positif lainnya kepada manusia miskin yang memiliki nilai negatif seperti; malas, rendah diri, tidak menghargai waktu, tidak disiplin, tidak produktif dan kreatif, dan nilai negatif lainnya menjadikannya nilai positif. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan diberi otonomi dan kewenangan untuk eksistensi dirinya, maka segala tindakannya merupakan tanggungjawab diri pribadi dan juga kepada Tuhannya. Karena itu, membangun keberdayaan diri mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodrat yang dimilikinya, merupakan kewajiban moral dalam kehidupan sosial berdasarkan sifat hakikat kodratnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang seimbang dalam membangun eksistensi dirinya sebagai makhluk yang berdiri sendiri. Secara ontologis, keberdayaan manusia pada hakikatnya merupakan suatu tuntutan bagi keberadaan eksistensi diri pribadi sebagai makhluk Tuhan yang telah mengaruniakan susunan hakikat kodratnya berupa jiwa dan raganya, sehingga menjadikan kewajiban agar patuh dan taat melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya. 5. Esensi makna nilai 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda pada hakikatnya merupakan upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, karena mengandung transformasi nilai pemberdayaan manusia. Secara ontologis, bahwa keberadaan kehidupan manusia di dunia atas asih nya Tuhan Yang Pengasih, sehingga kedudukan hakikat kodratnya sebagai makhluk Tuhan dan juga makhluk berdiri
8 606 sendiri sebagai satu-kesatuan. Nilai asih pada hakikatnya berasal dari Tuhan inilah menjadikan landasan dalam membangun hubungan harmonisasi kehidupan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan. Nilai asih sesama manusia merupakan nilai moral kebaikan dalam diri manusia bersumber dari hati nurani yang dilandasi nilai religius berasal dari dalam jiwa diri manusia. Karena itu, nilai asih dalam bentuk rasa asih pada setiap orang akan berbeda-beda, ada yang bependapat sebagai suatu kewajiban moral karena dilandasi nilai religius, tetapi juga sebagai kesukarelaan yang didasarkan pada kesadaran dirinya. Manusia sebagai makhluk Tuhan menjadikan kewajiban moral melakukan 3 SA. dalam pemberdayaan masyarakat miskin dilandasi nilai moral kebaikan yang diamanatkan Tuhannya untuk membangun kualitas kemanusiaan. Upaya itu dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodratnya berupa jiwa (akal, rasa, karsa) dan raganya yang merupakan esensi makna nilai 3 SA. dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin. Dalam kehidupan sosial, bahwa sifat hakikat kodrat manusia selalu berusaha membangun keseimbangan sebagai makhluk individu untuk meningkatkan kualitas diri sehingga pada saat mengalami kekurangberdayaan membutuhkan transformasi nilai pemberdayaan dari orang lain sebagai makhluk sosial. Sebaliknya, pada saat manusia mengalami keberdayaan diri sebagai makhluk sosial, maka merupakan kewajiban moral mentransformasikan nilai keberdayaan dirinya kepada orang lain yang mengalami kekurangberdayaan sebagaimana mestinya. Esensi nilai 3 SA. mengandung makna transformasi nilai pemberdayaan sehingga menjadikan metode pemberdayaan masyarakat yang memiliki ciri-ciri berpikir kefilsafatan bersifat konseptual, runtut (koheren), dan sistematis. Walaupun 3 SA. merupakan kearifan
9 607 lokal budaya Sunda, tetapi makna nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, baik yang terkandung dalam nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Menginternalisasikan makna 3 SA. dalam program pemberdayaan masyarakat miskin melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan dan Perdesaan lebih kondusif pada masyarakat perdesaan, karena lebih termotivasi membangun kebersamaan hidup mengembangkan nilai sosial dari pada masyarakat perkotaan. Dalam menginternalisasikan nilai 3 SA. menghadapi kendala antara lain: (a) kurangnya pemahaman masyarakat mengenai hubungan makna nilai 3 SA. relevansinya bagi program tersebut, (b) mulai tergerusnya nilai 3 SA. dalam akulturasi dengan budaya luar, (c) kurangnya kesadaran kolektif mereaktualisasikan dalam realitas kehidupan melalui program ini, sehingga diperlukan refungsionalisasi makna nilai 3 SA. dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat miskin yang disosialisasaikan kepada masyarakatnya. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat disumbangkan atas hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Makna yang terkandung dalam nilai 3 SA. sebagai kearifan budaya Sunda lama yang hingga saat ini masih digunakan dalam masyarakat Sunda telah mengalami penggerusan, sehingga dibutuhkan usaha-usaha pelestarian dan pengembangan yang tidak hanya terfokus pada program pemberdayaan masyarakat semata, sehingga perlu dilakukan refungsionalisasi sebagai suatu tindakan penggunaan kembali dengan
10 608 melakukan relevansi dengan kebutuhan kebudayaan Sunda masa kini dengan tidak mengubah esensi makna nilainya sebagai upaya revitalisasi dalam kebudayaannya. Revitalisasi kebudayaan adalah upaya terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya tersebut bukan hanya dipahami para pemiliknya, tetapi juga membangkitkan segala kreativitas dalam kehidupan keseharian menghadapi kendala dan tantangan dalam mengimplementasikan pada kehidupan masyarakatnya. Sistem kapitalisme global yang cenderung materialistik mengarah kepada individualistik dan egoisme telah berkembang menjadi tantangan dalam membangun nilai kebersamaan yang diadopsi sebagian masyarakat Sunda sebagai kendala dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dalam masyarakat Sunda bersama-sama pemerintah daerah untuk berkomitmen mereaktulisasikan makna nilai 3 SA. melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat secara terintegrasi dan berkesinambungan. Pemahaman masyarakat dalam memaknai 3 SA. dalam perspektif etimologis semata, belum sepenuhnya dapat mengimplementasikan secara utuh dalam memahami makna nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga diperlukan pemaknaan secara hermeneutik yang direaktualisasikan dalam program pemberdayaan masyarakat miskin melalui berbagai sosialisasi, seperti salah satunya pembuatan buku pedoman yang disajikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami agar mudah diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Sosialisasi ini membutuhkan partisipasi program Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang dalam mereaktualisasikan nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda yang tidak bersifat insidentil berorientasi pada proyek semata, tetapi program yang
11 609 terintegralistik dan berkesinambungan melibatkan tenaga ahli dari dunia pendidikan, budayawan, dan tokoh-tokoh masyarakat dalam menyusun program pelestarian dan pengembangan kearifan budaya Sunda. Pelaksanaan program ini melibatkan partisipasi seluruh masyarakat yang harus selalu dilakukan evaluasi secara terus-menerus untuk keberlangsungan kesinambungan program ini. Program pemberdayaan masyarakat miskin di Jawa Barat belum seutuhnya dapat mengembangkan esensi pemberdayaan masyarakat, yang bertumpu pada nilai pemberdayaan manusia berlandaskan hakikat kodratnya bersifat monopluralis. Hakikat kodrat manusia terdiri dari susunan kodrat, sifat kodrat, dan kedudukan kodrat yang menjadi substansi dalam pemberdayaan manusia menjadikan landasan menanggulangi kemiskinan. Karena itu, perhatian terhadap esensi pemberdayaan manusia miskin dilakukan melalui transformasi nilai pemberdayaan masyarakat dengan menumbuhkembangkan nilai-nilai yang bersumber dari unsur-unsur hakikat kodratnya menjadikan manusia yang berdaya dan mandiri agar dapat terbebas dari kemiskinan dirinya. Upayaupaya dalam melakukan pemberdayaan manusia miskin melalui sistem sosial budayanya beranjak dari penguatan ketahanan keluarga yang melibatkan partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah. Penelitian ini baru mengkaji makna 3 SA. dalam perspektif filsafat nilai sebagai objek formalnya. Peneliti lain disarankan agar meneliti lebih lanjut dengan objek material makna 3 SA melalui sudut pandang objek formal yang berbeda, misalnya dari sudut pandang filsafat sosial atau filsafat budaya dan metafisika, yang tentunya memperhatikan relevansi bagi kemanfaatan kehidupan masyarakatnya.
Kandidat Doktor Ilmu Filsafat Fakultas Filsafat UGM. Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
MAKNA SILAS MENURUT KEARIFAN BUDAYA SUNDA PERSPEKTIF FILSAFAT NILAI: RELEVANSINYA BAGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN Firdaus Saleh 1, Soejadi 2 dan Lasiyo 2 1 Kandidat Doktor Ilmu Filsafat Fakultas Filsafat
Lebih terperinciBahasan Kajian Filsafat
PENGERTIAN FILSAFAT Secara etimologi istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philein yang artinya cinta dan sophos yang artinya hikmah atau kebijaksanaan atau wisdom. Secara harfiah istilah filsafat
Lebih terperinciPancasila sebagai Sistem Filsafat
PENDIDIKAN PANCASILA Modul ke: 07 Pancasila sebagai Sistem Filsafat Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil www.mercubuana.ac.id Ramdhan Muhaimin, M.Soc.Sc Pendahuluan Pancasila merupakan filsafat bangsa
Lebih terperinciSAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Handout 4 Pendidikan PANCASILA SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PANCASILA sebagai Sistem Filsafat Kita simak Pengakuan Bung Karno tentang Pancasila Pancasila memuat nilai-nilai universal Nilai-nilai
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT PENGERTIAN FILSAFAT FILSAFAT (Philosophia) Philo, Philos, Philein, adalah cinta/ pecinta/mencintai Sophia adalah kebijakan, kearifan, hikmah, hakikat kebenaran Cinta pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
Lebih terperinciModul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK
Modul ke: 07 Fakultas DESAIN SENI KREATIF Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Modul ini membahas mengenai Pancasila Sebagai Sistem Filsafat, Pengertan Filsafat, filsafat pancasila, karakteristik sistem filsafat
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
142 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap temuan penelitian yang diperoleh melalui wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan studi literatur, maka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa, oleh karena itu setiap individu yang terlibat dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan memegang peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karena itu setiap individu yang terlibat dalam pendidikan dituntut berperan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan upaya mencapai kedewasaan subjek didik yang mencakup segi intelektual, jasmani dan rohani, sosial maupun emosional. Undang-Undang Sisdiknas
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra bukanlah hal yang asing bagi manusia, bahkan sastra begitu akrab karena dengan atau tanpa disadari terdapat hubungan timbal balik antara keduanya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
Lebih terperinciPancasila sebagai Sistem Filsafat
PENDIDIKAN PANCASILA Modul ke: 07 Pancasila sebagai Sistem Filsafat Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Program Studi AKUNTANSI Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.Sc Pendahuluan Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh masingmasing guru di kelas. Guru yang profesional dapat ditandai dari sejauh mana
Lebih terperinciNOVIA KENCANA, S.IP, MPA
NOVIA KENCANA, S.IP, MPA novia.kencana@gmail.com PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT???? Cabang ilmu Cara berpikir ILMU FILSAFAT Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana
Lebih terperinciCERITA RAKYAT DEWI SRITANJUNG SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI KEARIFAN LOKAL
CERITA RAKYAT DEWI SRITANJUNG SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI KEARIFAN LOKAL Firdauzia Nur Fatimah, Edy Tri Sulistyo Universitas Sebelas Maret ningfirda15@gmail.com, edytrisulistyo9@gmail.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi sekarang ini sudah mengarah pada krisis multidimensi. Permasalahan yang terjadi tidak saja
Lebih terperinciANALISIS TUJUAN MATA PELAJARAN Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam. Ranah Kompetensi K A P
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam 1. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang
Lebih terperinciPancasila sebagai Sistem Filsafat
Pancasila sebagai Sistem Filsafat 1 PENGERTIAN FILSAFAT DAN FILSAFAT PANCASILA Pengertian Filsafat Istilah filsafat secara etimologis merupakan padanan kata falsafah (Arab) dan philosophy (Inggris) yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai orang tua kadang merasa jengkel dan kesal dengan sebuah kenakalan anak. Tetapi sebenarnya kenakalan anak itu suatu proses menuju pendewasaan dimana anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya dari aspek jiwa, manusia memiliki cipta rasa dan karsa sehingga dalam tingkah laku dapat membedakan benar atau salah, baik atau buruk, menerima atau menolak
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2017 TENTANG PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2017 TENTANG PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Indonesia sebagai bangsa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan dan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan dan pembelajaran yang secara programatik-prosedural berupaya memanusiakan dan membudayakan serta memberdayakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi semua orang. Pendidikan bersifat umum bagi semua orang dan tidak terlepas dari segala hal yang berhubungan
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT Modul ke: A. Pengertian Filsafat B. Filsafat Pancasila C. Hakikat Sila-Sila Pancasila Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Udjiani Hatiningrum, SH., M Si Program Studi Manajemen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 1. Permasalahan. Kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memegang peranan penting
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memegang peranan penting untuk pengendalian dan memberikan arah terhadap perkembangan kebudayaan
Lebih terperinciBAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK
BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK A. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma 1. Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan
Lebih terperinciBAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN
BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.5.1 Visi Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke arah mana dan bagaimana Kabupaten Situbondo akan dibawa dan berkarya agar konsisten dan eksis, antisipatif, inovatif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan seseorang atau individu menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus mendapatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-nilai moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota suatu
Lebih terperinciKODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA
KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA STIKOM DINAMIKA BANGSA MUKADIMAH Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Dinamika Bangsa didirikan untuk ikut berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk memotivasi, membina, membantu, serta membimbing seseorang untuk mengembangkan segala
Lebih terperinciPANCASILA IDEOLOGI TERBUKA
PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA Era global menuntut kesiapan segenap komponen Bangsa untuk mengambil peranan sehingga pada muara akhirnya nanti dampak yang kemungkinan muncul, khususnya dampak negatif dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya dan upaya mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT PREVIEW PENGERTIAN FILSAFAT PANCASILA SEBAGAI SISTEM KESATUAN SILA-SILA PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM FILSAFAT NILAI-NILAI PANCASILA MENJADI DASAR DAN ARAH KESEIMBANGAN
Lebih terperinci4.4 Uraian Materi Nilai-Nilai Pancasila dalam Hidup Bermasyarakat. Ideologi merupakan seperangkat sistem yang menjadi dasar pemikiran setiap
4.4 Uraian Materi. 4.4.1 Nilai-Nilai Pancasila dalam Hidup Bermasyarakat. Ideologi merupakan seperangkat sistem yang menjadi dasar pemikiran setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
Lebih terperinciKompetensi Inti Kompetensi Dasar
Kompetensi Inti 2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukan sikap sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas Sumber
Lebih terperinciPENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1 Oleh Drs. H. Syaifuddin, M.Pd.I Pengantar Ketika membaca tema yang disodorkan panita seperti yang tertuang dalam judul tulisan singkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk terdiri dari berbagai suku, ras, adat istiadat, bahasa, budaya, agama, dan kepercayaan. Fenomena tersebut sebenarnya
Lebih terperinciBAB VI REALISASI PANCASILA
BAB VI REALISASI PANCASILA Disusun Oleh: Nadya Athira C. 143020318 Heni Nurhaeni 143020336 Mirasitkha Virana P. 143020342 Asri Nur Fitriani 143020343 Azka Lithia Amanda 143020354 Raj ba Rohmatullah 143020371
Lebih terperinciBAB V VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN
- 107 - BAB V VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,
Lebih terperinciPendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis
Modul ke: Pendidikan Pancasila Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id Pancasila
Lebih terperinciGUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN KHUSUS TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL
GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN KHUSUS TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang Mengingat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pribadi dalam menciptakan budaya sekolah yang penuh makna. Undangundang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan wahana pendidikan formal dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai peserta didik yang mampu melahirkan nilai-nilai pancasila
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Modul ke: PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT BAHAN TAYANG MODUL 6A Semester Gasal 2016 Fakultas FAKULTAS TEKNIK RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Program Studi Teknik SIPIL www.mercubuana.ac.id Secara umum,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai. Budaya dan nilai-nilai yang dipandang baik dan dijunjung tinggi oleh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya transformasi budaya dan nilai-nilai. Budaya dan nilai-nilai yang dipandang baik dan dijunjung tinggi oleh generasi terdahulu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh karena itu tentu pendidikan juga akan membawa dampak yang besar terhadap peningkatan
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakekatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma, baik norma hukum, moral maupun norma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan sosial yang sering terjadi di masyarakat membuktikan adanya penurunan moralitas, kualitas sikap serta tidak tercapainya penanaman karakter yang berbudi
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Masyarakat Jawa sudah sejak lama mengenal adanya ungkapan-ungkapan
214 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Masyarakat Jawa sudah sejak lama mengenal adanya ungkapan-ungkapan /peribahasa yang bisa dijadikan acuan atau pedoman dalam hidup sehari-hari. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga memiliki fungsi yang sangat fundamental. Selain bersifat yuridis formal, yang mengharuskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM, Menimbang : a. bahwa keberadaan dan peranan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Di samping
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, dunia pendidikan menghadapi berbagai masalah yang sangat kompleks yang perlu mendapatkan perhatian bersama. Fenomena merosotnya karakter kebangsaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Fokus Penelitian, Penegasan Istilah. A. Latar Belakang Di era globalisasi
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat
Lebih terperinciPancasila; sistem filsafat dan ideologi Negara
Pancasila; sistem filsafat dan ideologi Negara FILSAFAT PANCASILA Filsafat Harafiah; mencintai kebijaksanaan, mencintai hikmat atau mencintai pengetahuan. Filsafat Pancasila; refleksi kritis dan rasional
Lebih terperinciLANDASAN FILSAFAT. Imam Gunawan
LANDASAN FILSAFAT Imam Gunawan PENGERTIAN FILSAFAT Berasal dari kata (harfiah): Philos: cinta yang sangat mendalam; Shopia: kebijakan, kearifan. Filsafat secara bahasa populer: Sebagai suatu pendirian
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, refleksi, serta rencana tindakan yang telah dilakukan pada setiap siklus. Mulai dari siklus pertama, siklus kedua sampai dengan
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT 1 PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT Filsafat (Philosophia) : - Philo/Philos/Philein yang berarti cinta/pecinta/mencintai. - Sophia yang berarti kebijakan/kearifan/hikmah/hakekat
Lebih terperinciBAB 6 PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT
BAB 6 PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT Modul ke: Mengapa mempelajari? Agar memahami Pancasila sebagai filsafat yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Fakultas Rina Kurniawati, SHI, MH Program Studi www.mercubuana.ac.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,
Lebih terperinciPENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. Modul ke: 06Fakultas Ekonomi. Program Studi Manajemen
Modul ke: 06Fakultas Gunawan Ekonomi PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen Latar belakang Teori dan Konsep Globalisasi telah mengancam bahkan menguasai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. motivasi pokok penanaman pendidikan karakter negara ini. Pendidikan karakter perlu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Gambaran situasi masyarakat dan dunia pendidikan di Indonesia menjadi motivasi pokok penanaman pendidikan karakter negara ini. Pendidikan karakter perlu ditanamkan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO
PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG
PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. penelitian yang dirumuskan dari deskripsi temuan penelitian dan pembahasan
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bagian ini akan dikemukakan kesimpulan dan rekomendasi penelitian yang dirumuskan dari deskripsi temuan penelitian dan pembahasan hasil-hasil penelitian dalam Bab
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan
Lebih terperinciSALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR PENDIDIKAN GURU
SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR PENDIDIKAN GURU A. Rumusan Capaian Pembelajaran Lulusan Program Sarjana
Lebih terperinciMemahami Budaya dan Karakter Bangsa
Memahami Budaya dan Karakter Bangsa Afid Burhanuddin Kompetensi Dasar: Memahami budaya dan karakter bangsa Indikator: Menjelaskan konsep budaya Menjelaskan konsep karakter bangsa Memahami pendekatan karakter
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan akan berlangsung
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN MUATAN LOKAL KABUPATEN BANJARNEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan karakter mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah, tetapi juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan karakter mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan di lingkungan sosial. Pendidikan karakter didapatkan di dalam sekolah
Lebih terperinciBAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN
BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas. siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan karakter siswa yang diharapkan bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Buton dalam kehidupannya terikat kuat oleh tradisi lisan.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Buton dalam kehidupannya terikat kuat oleh tradisi lisan. Tradisi lisan tersebut berupa tuturan yang memberi ciri khas terhadap individu atau kelompok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003
Lebih terperinciPENDIDIKAN PANCASILA
PENDIDIKAN PANCASILA Modul ke: Materi Ini Memuat : Fakultas Fikom Wahyudi Pramono, S.Ag. M.Si Program Studi Humas 2 Latar belakang Teori dan Konsep Globalisasi telah mengancam bahkan menguasai eksistensi
Lebih terperincia. Hakekat peradaban manusia Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata peradaban diistilahkan dengan civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut
a. Hakekat peradaban manusia Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata peradaban diistilahkan dengan civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang dianggap halus, maju, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Akhlak sebagai potensi yang bersemayam dalam jiwa menunjukkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Akhlak sebagai potensi yang bersemayam dalam jiwa menunjukkan bahwa akhlak bersifat abstrak, tidak dapat diukur, dan diberi nilai oleh indrawi manusia (Ritonga,
Lebih terperinciGenerasi Santun. Buku 1A. Timothy Athanasios
Generasi Santun Buku 1A Timothy Athanasios Teori Nilai PENDAHULUAN Seorang pendidik terpanggil untuk turut mengambil bagian dalam menumbuhkembangkan manusia Indonesia yang utuh, berakhlak suci, dan berbudi
Lebih terperinciKurikulum SD Negeri Lecari TP 2015/ BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA / KELURAHAN DALAM KABUPATEN TANJUNG JABUNG
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI
PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI Pertemuan ke 6 suranto@uny.ac.id 1 Pengertian Nilai Istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Nilai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sikap, perilaku, intelektual serta karakter manusia. Menurut Undang-Undang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Tujuan utama pendidikan yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan tujuan tersebut
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang juga mempunyai sifat konstruktif dalam hidup manusia. Karena itulah kita dituntut untuk mampu mengadakan
Lebih terperinciAji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK
Modul ke: 13 Fakultas DESAIN SENI KREATIF Pancasila Dan Implementasinya Bagian III Pada Modul ini kita membahas tentang keterkaitan antara sila keempat pancasila dengan proses pengambilan keputusan dan
Lebih terperinciBUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu
Lebih terperinciLandasan Pengembangan Kurikulum. Farida Nurhasanah, M.Pd Sebelas Maret University Surakarta-2012
Landasan Pengembangan Kurikulum Farida Nurhasanah, M.Pd Sebelas Maret University Surakarta-2012 KURIKULUM: PENGERTIAN DASAR Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak mungkin bisa memisahkan hidupnya dengan manusia lain. Sudah bukan rahasia lagi bahwa segala bentuk kebudayaan, tatanan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam BAB IV, dapat
229 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam BAB IV, dapat peneliti rumuskan suatu kesimpulan sementara dan rekomendasi. A. Kesimpulan 1. Kesimpulan Umum Nilai-nilai
Lebih terperinci5 Contoh Sikap dan Perbuatan yang Mencerminkan Usaha Pelestarian Lingkungan Hidup sebagai Pengamalan Pancasila
5 Contoh Sikap dan Perbuatan yang Mencerminkan Usaha Pelestarian Lingkungan Hidup sebagai Pengamalan Pancasila Disusun Oleh : Kelompok 2 Kelas : XII IPA 3 Devi Elfiani (07) Dhea Gita Fitri (08) Mahendra
Lebih terperinciMODUL 7 PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
MODUL 7 PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (Penyusun: ) Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Sistem Filsafat Indikator: Mampu melakukan kajian dengan suatu proses kajian yang dapat memanfaatkan literatur
Lebih terperinci2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20
No.1910, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENSOS. Restorasi Sosial. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG RESTORASI SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciGRAND DESIGN PENDIDIKAN KARAKTE& Oleh: NUR ROHMAH MUKTIANI, MPd. NIP
GRAND DESIGN PENDIDIKAN KARAKTE& Oleh: NUR ROHMAH MUKTIANI, MPd. NIP. 19731006 20011 2 001 Disampaikan dalamsrawung Ilmiah jurusan POR FIK UNY 16 Februari2012 ! GRAND DESIGN PENDIDIKAN KARAKTER A. Latar
Lebih terperinci