BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

12 Media Bina Ilmiah ISSN No

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

MAKALAH. Kedudukan dan Fungsi DPD dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia. Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB III PENUTUP. dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan. kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Salah Satu Lembaga Legislatif Dalam Membuat Suatu Peraturan Perundang-Undangan

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum, yang kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat.

Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD, Hak dan Kewajiban Anggotanya Serta Kelemahan dari DPD Dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok pikiran yang meliputi suasana dari

Makalah Mengenai Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dalam Ketatanegaraan Indonesia BAB I PENDAHULUAN

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

BAB III. A. Urgensi Amandemen Undang Undang Dasar tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

BAB I. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh. lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang

I.PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah negara yang menganut paham demokrasi paling tidak terdapat

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Masa transisi Indonesia menuju demokrasi merupakan salah satu tahapan

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

BAB V. Kesimpulan. lahir dalam amandemen ketiga. Secara de facto DPD RI baru ada pada tanggal 1

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

d. Mendeskripsikan perkembangan politik sejak proklamasi kemerdekaan.

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut. Pengertian terhadap konstitusi dapat kita bagi dalam dua pengertian, yaitu pengertian yang lama ancien regime (masa pemerintahan - pemerintahan kuno) dan pengertian yang baru yaitu konstitusi menurut tafsiran modern. 2 Menurut pengertian lama, konstitusi diartikan sebagai nama bagi ketentuan-ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari orang-orang tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, ataupun badanbadan tertentu seperti masa-masa pemerintahan kerajaan absolut (monarki). Sedangkan pengertian yang baru dimulai pada tahun 1776 dengan lahirnya Virginia Bill of Rights, dan tahun 1776 tersebut merupakan tahun penting dalam sejarah negara-negara dan ketatanegaraan dunia, karena tahun itulah merupakan pangkal lahirnya pengertian konstitusi menurut bentuk dan jiwanya yang baru Virginia Bill of Rights dan kemudian disusul oleh konstitusi Amerika Serikat pada tanggal 17 September 1787. 3 Dalam perkembangan ilmu tentang konstitusi, lahir teori-teori tentang konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman tentang pengertian paham konstitualisme yang memiliki arti pembatas terhadap 2 Solly Lubis, Hukum Tata Negara : Mandar Maju, Bandung, 2008. hal 29. 3 Ibid, Hal 30. 1

kekuasaan penguasa oleh aturan hukum agar pemerintah tidak sewenangwenang. Lalu lahirlah istilah pembatasan kekuasaan yang dimaknai bahwa kekuasaan negara sebagai masyarakat politik berada di bawah supremasi hukum dan konstitusi memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. 4 Teori Klasik mengenal pemisahan kekuasaan (separation of power) dikenal dengan nama Trias Politika dari Montesquieu yang merupakan seorang filsuf Perancis. Nama atau Istilah Trias Politika itu diberikan oleh Imanuel Kant yang merupakan filsuf Jerman. Inti dari teori Trias Politika adalah menjelaskan bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga komponen kekuasaan, yaitu: Kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif, dan kekuasaan Yudisial. 5 Pemisahan kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya negara absolut dan untuk melindungi hak-hak warga negara, karena menurut Montesquieu apabila ketiga kekuasaan tersebut berada di satu tangan maka kebebasan akan berakhir. 6 Dalam konstitusi Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 7 dapat dikatakan bahwa teori pembagian kekuasaan di dalam UUD 1945 tidak menganut teori Trias Politika. Hal ini terlihat dari pembagian kekuasaan yang ada pada UUD 1945, yakni adanya check and balances antara lembaga negara yang mendapat mandat langsung 4 I dewa Gede Atmadja. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum. Setara Press. Malang. 2015. Hal 1. 5 Jimlly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. 2006. Hlm 7. 6 Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 95. 7 Penulisan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seterusnya dalam skripsi ini menjadi UUD 1945. 2

melalui pemilihan umum, yaitu Badan Legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan ditambah juga dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang masing-masing menjalankan kekuasaan kehakiman sesuai dengan kewenangannya, dimana kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A dan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8 Lembaga Negara menurut UUD 1945 hasil amandemen juga dilengkapi dengan lembaga negara yang mendukung terwujudnya negara hukum yang demokratis, seperti Komsi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Keuangan dan Bank Indonesia (Bank Sentral) dan Komisi mandiri lainnya. Dengan terwujudnya negara hukum maka kekuasaan negara akan terikat pada hukum 9 dan dengan asas negara hukum maka setiap aktivitas negara harus berdasarkan norma hukum yang berlaku termasuk dalam pembentukan suatu Lembaga Negara. 10 Pada Badan Legislatif, penataan kelembagaan negara melalui amandemen konstitusi ketiga yang kemudian akhirnya melahirkan Dewan Perwakilan Daerah 11, hal ini tidak serta merta muncul jatuh dari langit atau lahir sendirinya. Hal ini merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UUD 1945 merupakan produk sosiologi politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari 8 Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 96. 9 Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi, Jakarta. Permata Aksara. 2013. Hlm 128. 10 I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Malang. Setara Press. 2012. Hlm 168. 11 Penulisan Dewan Perwakilan Daerah untuk seterusnya dalam skripsi ini menjadi DPD. 3

tuntutan reformasi 1998. DPD memiliki fungsi yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat, DPD diatur dalam Bab VII A UUD 1945. Tentang pemilihan DPD diatur pada Pasal 22C UUD 1945 dan kewenangan DPD diatur pada pasal 22D UUD 1945. 12 Wewenang dalam hukum tata negara dapat dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum 13 dan wewenang untuk mengatur dan membuat aturan pada dasarnya domain kewenangan lembaga legislatif. 14 Dalam UUD 1945, kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan terkait urusan daerah dimiliki oleh DPD dan diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, yaitu: Pasal 22D Ayat (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 22D Ayat (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 12 Ginandjar Kartasasmita. DPD Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia. 2009. Hal 71. 13 Victor Imanuel W. Nalle, Konsep Uji Materil, Malang, Setara Press. 2013. Hlm 21. 14 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Rajawali Pers, 2010. Hlm 11. 4

Pasal 22D Ayat (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Tugas-tugas dan wewenang konstitusional DPD sebagai perwakilan rakyat berorientasi kepada kepentingan-kepentingan di wilayah atau daerah. Hal ini merupakan dasar atau rujukan lebih lanjut tentang DPD. Pengaturan DPD masih memerlukan rincian lebih lanjut dalam bentuk Undarng-Undang sebagaimana diamanatkan dari UUD 1945 itu sendiri. 15 Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi. Beberapa ketentuan dari Undang- Ketentuan yang terdapat pada Pasal 22D UUD 1945 telah diatur lebih lanjut dalam beberapa Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 16 yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 17 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, DPD mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 27 15 Op. Cit. Solly Lubis. Hukum Tata Negara. hal 94. 16 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Nomor 92 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4310). Untuk seterusnya penulisan Majelis Permusyawaratan Rakyat akan disingkat menjadi MPR, Dewan Perwakilan Rakyat disingkat menjadi DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi DPRD. 17 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (Lembaran Negara Tahun Nomor 123 Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043). 5

Undang tersebut dianggap tidak sesuai oleh DPD dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 tentang ketentuan kewenangan DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang, baik kewenangan dalam proses pengajuan Rancangan Undang- Undang dan kewenangan dalam proses pembahasan Undang-Undang. DPD ingin memiliki kedudukan yang sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam hal kedudukan mengajukan dan membahas proses Rancangan Undang-Undang. Permohonan pengujian Undang-Undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi ini melahirkan sebuah babak baru bagi DPD untuk memperjelas dan mempertegas hak konstitusionalnya sebagai lembaga Legislatif di Indonesia. Dan akhirnya lewat Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 92/PUU-X/2012 ini, Mahkamah Konstitusi memperluas kewenangan DPD khususnya kedudukan DPD dalam pembentukan Undang- Undang. Putusan ini ditetapkan pada tanggal 27 Maret 2013 dan putusan ini merubah arah politik ketatanegaraan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memperkuat posisi lembaga DPD dan mengubah fungsi dari DPD sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak dan kewenangan untuk menjadi lembaga yang setara dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khusunya di konteks kepentingan daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan pengujian tersebut DPD berhak atau berwenang untuk mengusulkan 6

rancangan Undang-Undang tertentu terkhusus dalam lingkup urusan daerah yaitu menyusun program legislasi nasional (prolegnas) di lingkungan DPD bahkan ikut membahasnya dari tahap awal hingga di tahap akhir tetapi DPD tetap tidak memberi persetujuan atau pengesahan sebuah rancangan Undang-Undang. Lalu di dalam kehidupan legislatif Indonesia, muncul Undang-Undang baru mengatur tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimana Undang- Undang ini merupakan Undang-Undang yang lahir pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 maka perlu dilakukan penelitian untuk menilai seberapa jauh kesesuaian isi atau kesesuaian substansi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam rumusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD 18 dan seberapa jauh Undang-Undang ini mengacu pada UUD. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat latar belakang, maka sesuai dengan halhal yang berkaitan dengan latar belakang yang diuraikan dalam penulisan perumusan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Bagaimana Pengaturan Fungsi Legislasi DPD Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU- X/2012? 18 Undang-Undang MD3 yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 2014 dan Tambahan Lembaran Negara 5568). 7

2. Bagaimana Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009? 3. Bagaimana Implentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU- X/2012 terhadap fungsi legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui fungsi Legislasi Dalam Ketatanegaraan Indonesia sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 2. Untuk mengetahui Pendapat Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 3. Untuk mengetahui seberapa jauh kesesuaian isi atau substansi putusan Mahkamah Konstitusi dalam rusmusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis Secara teoritis, pembahasan terhadap pemasalahan-permasalahan 8

sebagaimana diuraikan di atas diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan pengertian bagi pembaca mengenai tugas dan kewenangan DPD di Indonesia. Jadi secara teoritis manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas tentang DPD sebagai salah satu lembaga negara yang melaksanakan Fungsi Legislasi selain daripada Dewan Perwakilan Rakyat. b. Secara Praktis Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terkhusus untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbang pemikiran ilmiah hukum positif di Indonesia. Hal ini juga tidak terlepas dari penempatan hukum tata negara sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum di Indonesia, dimana salah satu ciri dari negara yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum (supremacy of law). Dan penulisan ini diharapkan mampu membantu pembaca untuk mengetahui tentang perkembangan fungsi legislasi di Indonesia terkhusus tentang DPD. D. Keaslian Penulisan Sepanjang pengetahuan Penulis, Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Topik permasalahan ini sengaja dipilih dan diulas oleh penulis oleh karena 9

sepengetahuan penulis bahwa topik permasalahan ini merupakan isu yang menghangat pembahasannya dalam masyarakat. Penulisan skripsi ini oleh penulis adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba mengarahkan pembahasannya ke arah Fungsi Legislasi DPD pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD tersebut. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipetanggungjawabkan secara ilmiah. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Sejarah DPD Sebagai Lembaga Negara DPD Republik Indonesia lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukan DPD, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini pada masa itu. 19 Keberadaan Lembaga DPD sesungguhnya sudah lama terpikirkan sejak sebelum masa kemerdekaan. Gagasan ini sudah pernah dikemukakan oleh Moh. 19 Kaka Alvian Nasution. Buku Lengkap Lembaga-Lembaga Negara. jogjakarta. 2014. Hlm 107-108. 10

Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggota DPD berasal dari setiap provinsi sebanyak 4 orang. Dengan demikian, jumlah anggota DPD saat ini seharusnya 136 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji. 20 Pemikiran dari Moh. Yamin yang menggambarkan roh konstitusi kita sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah kehidupan masyarakat negara modern. Lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan, perwujudan pemikiran itu telah berkembang maju atau dinamis dari periode ke periode, dan pada tahun 1998, dengan gerakan reformasi secara prinsip menemukan bentuknya yang mendasar dalam perubahan makna dan paradigma. Amandemen konstitusi yang sudah dilakukan sebanyak empat kali di mana tampaknya akan terus berproses dalam rangka penyempurnaan telah melahirkan sistem perwakilan dalam dua lembaga, yakni lembaga yang mewakili rakyat dan lembaga yang mewakili wilayah. Dalam konstitusi kita hasil amandemen bangunan kelembagaan yang berdaulat itu sangat jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui partai-partai politik adalah lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mewakili rakyat melalui entitas daerah atau wilayah adalah lembaga DPD, yang anggotaanggotanya dipilih melalui jalur perseorangan. Dilihat dari sejarah politik Indonesia modern, sebenarnya keberadaan 20 Ibid., hal.109. 11

lembaga negara yang khusus mewakili kepentingan daerah bukanlah gagasan atau ide baru, karena sebelumnya Indonesia pernah memiliki senat semasa Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Keberadaan senat ini dibentuk karena bentuk negara Indonesia saat itu adalah negara federasi, dan pada saat itu struktur parlemen Indonesia bersifat bikameral. Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), selain keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Bab III Pasal 98 sampai dengan Pasal 121, juga ditentukan keberadaan Senat yang diatur dalam Bab II Pasal 80 sampai dengan Pasal 97. 21 Setiap senat mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat (Pasal 80 ayat 1 dan 2). Anggota senat ditunjuk oleh pemerintah daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi. Pasca dibentuknya Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan sendirinya senat kemudian di hapus. Pada masa Orde Baru struktur kelembagaan MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Golongan dan Utusan Daerah.Menurut Jimly adanya ketiga metode perwakilan tersebut didasarkan pada bahwa Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Oleh karena itu sejak awal UUD 1945 menganut prinsip semua harus terwakili yakni dengan melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik (politocal representation), perwakilan teritorial atau perwakilan daerah dan perwakilan fungsional yang sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR-RI. Dalam 21 Konstitusi Republik Serikat Bab II Pasal 80-97 dan Bab II Pasal 98-121. 12

perkembangannya keberadaan Utusan Golongan dan Utusan Daerah dalam sejarah lembaga perwakilan di Indonesia banyak mengalami berbagai penyimpangan sehingga tidak dapat berjalan secara efektif, tidak demokratis, bahkan justru tidak mencerminkan representasi utusan golongan dan utusan daerah. Atas dasar itu maka diusulkan Utusan Golongan untuk dihapuskan karena konsep golongan yang dinilai masih sangat kabur dan selalu menimbulkan manipulasi serta kericuhan politik. Persoalan-persoalan tersebut pada akhirnya menjadi bagian dari agenda reformasi, dimana struktur kelembagaan MPR dirubah melalui proses amandemen terhadap UUD 1945. 22 2. Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi selain diatur di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, turut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 23 junto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi 24. Salah satu diantara beberapa syarat diatur dalam peraturan-peraturan tersebut diatas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. UUD 1945 sebagai bentuk peraturan perundangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara. Sehingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak 22 Fathudin Kalimas. DPD (DPD) dalam Kontruksi Ketatanegaraan Indonesia. 2012. Diakses dari : https://fathuddien.wordpress.com/2012/10/07/dewan-perwakilan-daerah-dpd-dalamkontruksi-ketatanegaraan-indonesia/ tanggal 16 Maret 2015 pukul 09.00. 23 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). 24 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 (Lembaran Negara Nomor 70 Tahun 2011 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226). 13

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 25 F. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak-benaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesis. 26 Metode dapat diartikan sebagai jalan atau suatu cara untuk mencapai sesuatu. Namun demikian, menurut kebiasaan, metode dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut : 1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian ; 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan ; 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur. 27 Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut : 1. Spesifikasi Penelitian Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan yaitu Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan melakukan penelitian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan bahan hukum 25 Kompas. 2013. Amandemen UUD 1945 dan UU MK Terkait Kewenangan MK?. Diakses dari : http://hukum.kompasiana.com/2013/10/07/amandemen-uud-1945-dan-uu-mk-terkait-kewenanganmk-596515.html pada tanggal 15 maret 2015 pada pukul 16.00. 26 Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali pers, 2006, hal 7. 27 Soerjono Soekanto. pengantar penelitian hukum, UI Press: Jakarta.1986 Hlm 5. 14

yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu Impelentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang Nomor17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada studi terhadap bahan-bahan kepustakaan atau studi terhadap dokumen berupa peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lain. 28 Metode Pendekatan Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah Implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi dan akibat wewenang Mahkamah Konstitusi dalam uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. 3. Alat Pengumpul Data Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substasi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, 28 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Jakarta: Gralia Indonesia, 1980, hal 9. 15

surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 4. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana implementasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam proses legislatif yang ada. Analisa deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berupaya untuk memaparkan data-data yang sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan dari data-data yang diperoleh dari penelitian. Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik suatu kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan skripsi ini. G. Sistematika Penulisan Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I : PENDAHULUAN, yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai 16

mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan. BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA, terdiri dari pembahasan mengenai : Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan DPD di Indonesia dan kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi BAB III PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD NOMOR 27 TAHUN 2009 DI LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI, yang terdiri dari : Subjectum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, petitum dalam pengujian Undang- Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dan amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 (92/PUU-X/2012) BAB IV IMPLEMEENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 TERHADAP UNDANG-UNDANG MPR, DPR, DPD dan DPRD NOMOR 17 TAHUN 2014, yang secara khusus membahas tentang : Terciptanya Proses Legislasi Model Tripartit Dalam Kehidupan Legislatif di Indonesia, Kedudukan Dan Peran DPD Pasca Lahirnya Undang-Undang MPR, DPR, DPD Dan DPRD Nomor 17 Tahun 2014. BAB V : PENUTUP, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran 17