BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir akhir ini persoalan limbah menjadi masalah yang cukup serius bagi pencemaran lingkungan, dimana aktiftitas dan jumlah penduduk yang semakin bertambah menambah kompleksitas persoalan limbah. Fasilitas kesehatan merupakan penghasil limbah yang dikategorikan sebagai limbah yang bersifat infeksius dimana jenis limbah yang dihasilkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan termasuk dalam kategori biohazard dan B3 (bahan beracun dan berbahaya) yaitu jenis limbah yang sangat membahayakan lingkungan, dimana pada aktifitasnya banyak terdapat buangan virus, bakteri, bahan bahan kimia yang bersifat radiasi, toksik maupun zat zat yang membahayakan lainnya sehingga harus dimusnahkan agar tidak membahayakan dan tidak terjadi pencemaran di lingkungan sekitarnya. Sarana pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan merupakan tempat bertemunya kelompok masyarakat penderita penyakit (sakit), kelompok masyarakat pemberi pelayanan, kelompok pengunjung dan kelompok lingkungan sekitar. Adanya interaksi di dalam memungkinkan menyebarkan penyakit bila tidak didukung dengan kondisi lingkungan yang baik dan saniter (Paramita, 2007). Setelah pemerintah menerapkan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), rumah sakit dan Puskesmas terus meningkatkan kualitas perawatan medis dan menerima lebih banyak kunjungan pasien rawat jalan dan rawat inap daripada sebelumnya sehingga mengakibatkan peningkatan volume limbah medis yang dihasilkan dari kegiatan medis. Di antara jenis limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), jumlah limbah medis yang sifatnya dapat menginfeksi dan menularkan penyakit meningkat cukup pesat. (Liao & Ho, 2014) menemukan bahwa jumlah limbah medis dari produk medis sekali pakai telah meningkat sejak penerapan sistem National Health Insurance (NHI). Sebagai bahan perbandingan di negara negara maju jumlah limbah yang berasal dari fasilitas pelayanan
kesehatan ini diperkirakan 0,5 0,6 kg pertempat tidur rumah sakit. Cheng et al. (2009) melakukan penelitian untuk mengevaluasi jumlah limbah medis yang dihasilkan institusi medis di Taiwan, dimana kenaikan limbah rata-rata berkisar antara 2,41 sampai 3,26 kg / tempat tidur / hari untuk limbah medis umum, dan 0,19-0,88 kg / tempat tidur / hari untuk limbah infeksius. Jumlah rata-rata jumlah limbah infeksius yang dihasilkan adalah yang tertinggi di pusat kesehatan, atau 3,8 kali lebih tinggi daripada di rumah sakit regional (267,8 banding 70,3 ton / tahun). Birpinar et al. (2009) menemukan bahwa perkiraan jumlah limbah medis dari rumah sakit sekitar 22 ton / hari dan rata-rata tingkat pembangkitan adalah 0,63 kg / tempat tidur / hari. Bahan daur ulang dikumpulkan secara terpisah pada tingkat 83%. Survey yang dilakukan terhadap limbah padat medis Puskesmas, rata rata timbulan medis adalah sebanyak 7,5 gram/pasien/hari. Komposisi timbulan limbah medis Puskesmas meliputi 65 % dari imunisasi, 25 % dari kontrasepsi dan sisanya dari perawatan medis. Banyaknya pemakaian jarum suntik setiap tahu terus bertambah, pada tahun 2003 untuk kegiatan kuratif mencapai 300 juta alat suntik, sedangkan untuk imunisasi sebanyak 50 juta alat suntik (Ditjen P2PL, 2008). Pajanan pada limbah layanan kesehatan sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan penyakit atau cidera bagi petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan masyarakat disekitar lingkungan fasilitas kesehatan karena limbah medis Puskesmas dapat menginfeksi dan menyebarkan vektor penyakit seperti virus, bakteri, parasit (sebagai carrier). Sifat bahaya dari limbah layanan kesehatan tersebut mungkin dapat muncul akibat satu atau beberapa karateristik berikut seperti limbah mengandung agen infeksius, limbah yang bersifat genotosik, limbah mengandung zat kimia atau obat obatan berbahaya atau beracun, limbah bersifat radiokatif, limbah mengandung benda tajam. Semua orang yang terpajan limbah berbahaya dari fasilitas kesehatan kemungkinan besar menjadi orang yang beresiko, termasuk yang berada dalam fasilitas penghasil limbah berbahaya dan mereka yang berada di luar fasilitas penghasil limbah berbahaya serta memiliki pekerjaan mengelola limbah semacam 2
itu, atau yang beresiko akibat kecerobohan dalam sistem manajemen limbahnya. (Maulana et al., 2015). Meskipun proporsi limbah medis yang masuk ke dalam kategori limbah berbahaya hanya sebesar 15-25%, tetapi risiko ditimbulkan cukup besar, karena dapat menyebarkan penyakit menular dan penyebab cedera. Menurut WHO, diprediksi risiko limbah benda tajam hanya sebesar 1% dari total limbah kesehatan pada tahun 2000, akan tetapi hal ini menjadi resiko besar karena mampu menyebarkan infeksi hepatitis B (HBV) sebanyak 21 juta kasus (32% dari kasus baru), 2 juta hepatitis C (HCV) kasus (40% dari baru kasus), dan 260 ribu infeksi HIV (5% dari kasus baru). Petugas kesehatan seperti dokter, bidan, perawat dan petugas kebersihan seperti cleaning service, pemulung dan juga termasuk pasien merupakan kelompok yang paling rentan terinfeksi bakteri atau kuman penyakit. Menurut Sukantoro (2008), angka kejadian infeksi nosokomial di unit pelayanan kesehatan cukup tinggi. Sebagai contoh, dokter yang bekerja di Rumah Sakit mempunyai resiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari dokter yang praktik pribadi atau swasta dan bagi petugas kebersihan menangani limbah yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan tercemar kuman pathogen. Pengelolaan limbah medis merupakan kegiatan yang harusnya sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi penanganan dan pengurangan. Puskesmas harus bertanggung jawab dalam pengelolaan dan memastikan bahwa limbah medis tersebut tidak membahayakan petugas kesehatan, masyarakat dan lingkungan sekitar. Kewajiban dan tanggung jawab yang dimaksud adalah denga memastikan dalam penanganan, pengolahan serta pembuangan limbah harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Patwary et al.(2009) mengemukakan bahwa ketidakmampuan pengelolaan limbah medis di negara berkembang mungkin merupakan faktor risiko penularan penyakit yang signifikan. Telah banyak upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, swasta maupun secara swadaya oleh masyarakat sebagai bentuk kesadaran menanggulangi masalah limbah dengan cara mengurangi, mendaur ulang dan memusnahkan atau dalam bentuk 3R (reduce, reuse, recycle), namun upaya yang dilakukan ini masih sangat terbatas karena disebabkan beberapa hal seperti kurangnya sosialisasi, 3
kurangnya kesadaran dan masih minimnya penggunakan teknologi dalam pemanfaatan limbah medis. Pengelolaan limbah medis puskesmas memiliki permasalahan yang cukup kompleks mengingat sumber daya yang terbatas yang di miliki oleh Puskesmas. Limbah medis maupun limbah non medis harus dikelola sesuai dengan aturan yang ada sehingga memenuhi baku mutu lingkungan yang disyaratkan oleh undang undang agar memenuhi baku mutu sebelum dibuang ke lingkungan. Limbah puskesmas perlu dikelola sesuai dengan aturan yang ada sehingga pengelolaan nya harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Perencanaan, pelaksanaan, perbaikan secara berkelanjutan atas pengelolaan puskesmas harus dilaksanakan secara konsisten selain itu, sumber daya manusia yang memahami permasalahan dan pengelolaan lingkungan menjadi sangat penting untuk mencapai kinerja lingkungan yang baik (Adisasmito, 2008). Pengolahan limbah medis di Puskesmas awalnya banyak menggunakan metode insenerasi yaitu dengan cara limbah medis dibakar melalui incenerator, tetapi hal ini kemudian menimbulkan masalah baru dengan adanya pencemaran udara dan kebisingan. Menurut Isfandiari (2013) kegiatan pelayanan kesehatan menghasilkan limbah medis padat membutuhkan pengelolaan yang baik dan benar, dari pemilahan sampai pemusnahan. Namun dengan pemusnahan dengan incenerator yang beroperasi dibawah suhu 1.000 0 C sangat berpotensi menghasilkan emisi dioksin/furan, zat kimia yang bersifat persisten, akumulasi dan beracun serta berdampak besar terhadap lingkungan dan kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sri Sudewi (2013) disebutkan bahwa pemanfaatan incenerator untuk limbah medis Puskesmas di Kabupaten Bantul, khususnya incenerator di Puskesmas Srandakan masih berfungsi dan dimanfaatkan, tetapi sudah tidak stabil lagi sehingga bisa menghasilkan polusi di wilayah sekitar sehingga disarankan pengelolaan limbah medis diserahkan kepada pihak ketiga. Menurut Taiwan Waste Disposal Act dalam (Liao&Ho.2014), institusi yang memproduksi limbah medis harus secara sukarela membuangnya atau melakukan outsource ke perusahaan pembuangan sampah swasta. 4
Pada kabupaten Bantul terdapat 27 Puskesmas yang terdiri dari 16 puskesmas rawat inap dan 11 puskesmas rawat jalan dan terdapat Puskesmas Pembantu sebanyak 26 buah. Berdasarkan data tahun 2009 jumlah produksi sampah yang dihasilkan Puskesmas adalah sebesar 71 % dari total produksi sampah medis di Kabupaten Bantul dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Jumlah produksi sampah medis yang dihasilkan Puskesmas tahun 2011 sebesar 775 kg dan meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 1.276 kg atau meningkat 114 % (Sri Sudewi, 2013). Pada penanganan limbah medis padat sebagai kategori limbah B3 (berbahaya, beracun dan beresiko) untuk Puskesmas dan jaringannya kebawah di wilayah Kabupaten Bantul telah mengadakan kerjasama dengan pihak swasta dalam hal pengangkutan dan pemusnahan nya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang sistem pengelolaan limbah medis Puskesmas di Kabupaten Bantul. B. Rumusan Masalah Berdasarkan datanya di atas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah apakah manajemen pengelolaan limbah medis Puskesmas di wilayah Kabupaten Bantul telah terlaksana sesuai dengan peraturan yang berlaku? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah melakukan evaluasi sistem pengelolaan limbah medis di Puskesmas Kabupaten Bantul DIY. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi sistem kelembagaan, SDM, sarana prasarana, regulasi dan pembiayaan dalam pelaksanaan pengelolaan limbah medis oleh pihak ketiga? b. Mengidentifikasi sistem pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan limbah medis yang dilakukan di Puskesmas sebelum diangkut oleh pihak ketiga? 5
c. Mengidentifikasi cakupan limbah medis Puskesmas yang terkelola oleh pihak ketiga. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi instansi terkait : a. Dapat memberikan masukan dalam hal kajian perencanaan dalam rangka pengembangan dan perbaikan sistem pengelolaan dan pengolahan limbah medis menggunakan pihak ketiga pada Puskesmas di wilayah Kabupaten Bantul dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan. b. Dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan anggaran bagi Dinas Kesehatan dan Puskesmas khususnya mengenai pengelolaan limbah Puskesmas. c. Dapat memberikan masukan sebagai bahan evaluasi untuk Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) untuk meningkatkan pengawasan dalam sistem pengelolaan limbah medis. 2. Bagi masyarakat Dapat mengurangi atau meminimalisasi gangguan/dampak yang akan timbul dari faktor risiko pengelolaan limbah medis Puskesmas terutama bagi masyarakat yang berada di sekitar fasilitas pelayanan kesehatan. 3. Bagi dunia pendidikan Penelitian diharapkan menjadi bahan kajian, rujukan dan tambahan referensi dalam penelitian penelitian sejenis di masa yang akan datang. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berkaitan dengan evaluasi manajemen pengelolaan limbah medis di Puskesmas antara lain : 1. Sukantoro (2008) meneliti tentang Evaluasi Pengelolaan Limbah Klinis Tajan Puskesmas di Kota Yogyakarta. Tujuan penelitian yaitu mengetahui sistem pengelolaan limbah klinis tajam, perilaku petugas dalam pengelolaan limbah klinis tajam, angka kecelakaan akibat limbah klinis tajam dan 6
pelaksanaannya pengelolaannnya sudah sesuai kaidah pengelolaan limbah layanan kesehatan yang aman. Persamaan dengan peneltian ini adalah mengevaluasi sistem pengelolaan limbah medis yang ada di Puskesmas, sedang perbedaan dari penelitian ini adalah pada metode menggunakan deskriptif evaluatif, subyek penelitian adalah Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Puskesmas dan petugas yang tekait dengan limbah klinis tajam dan obyek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan limbah kilnis tajam Puskesmas menggunakan sistem terpadu dikordinir oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Pelaksanaan pengelolaan limbah klinis belum menggunakan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dibakukan, limbah ditampung dalam safety box sebelum dimusnahkan menggunakan incenerator di RSUD Kota Yogyakarta. Belum terbentuk SMK3 pelayanan kesehatan Puskesmas, belum ada pencatatan dan pelaporan tentang pengelolaan limbah klinis tajam dan kecelakaan oleh limbah klinis tajam. Dari 221 responden petugas medis dan paramedis yang melayani pasien sebesar 37,1 % melakukan recapping jarum suntik, 53,8 % selalu meggunakan APD dan 73, 6 % memanfaatkan safety box sesuai peruntukannya. Angka kecelakaan limbah klinis tajam dalam satu tahun dialami oleh 17,20 % petugas yang melayani pasien, 11,11 % oleh petugas pengumpul limbah serta kesimpulannya pengelolaan limbah klinis tajam Puskesmas di Kota Yogyakarta belum memenuhi kaidah pengelolaan limbah layanan kesehatan yang aman. 2. Wilis (2012) meneliti tentang Evaluasi Pengelolaan Limbah Medis Layanan Kesehatan Puskesamas di Kabupaten Kulonprogo. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan evaluasi manajemen sistem pengelolaan limbah berdasarkan regulasi, pembiayaan, sumber daya manusia, sarana prasarana dan organisasi. Persamaan penelitian adalah pengelolaan limbah Puskesmas sedangkan perbedaan pada lokasi penelitian, desain penelitian menggunakan pendekatan analisis deskriptif evaluasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, ditinjau dari segi ketenagaan tenaga pengelola yang berada di Puskesmas sudah memenuhi minimal klasifikasi pendidikan yang disyaratkan kesehatan ditinjau dari organisasi, koordinasi dan kerjasama telah dilakukan dengan 7
pemerintah baik swasta. Pada kegiatan pemilahan, pewadahan, pengangkutan, pengolahan limbah medis di Kabupaten Kulon Progo secara umum telah dilakukan dan sesuai dengan standar. Ditinjau dari cakupan pelayanan, pelayanan pengolahan limbah medis di Kabupaten Kulon Progo sudah menjangkau seluruh Puskesmas namun output pengelolaan limbah medis tidak dapat diukur dari jumlah limbah yang ditangani, kapasitas pelayanan, jumlah limbah yang dimusnahkan tetapi minimalisasi limbah dari sumber dan ditinjau dari kepuasan stake holder pengelolaan sampah sudah baik namun perlu terus ditingkatkan. 3. Ulfah, Maria (2015) meneliti tentang Evaluasi Pengelolaan Limbah Cair di Rumah Sakit UGM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengelolaan limbah cair berdasarkan kelembagaan, SDM serta mengukur kualitas limbah cair berdasarkan ph, suhu, BOD, COD, amonia bebas, TSS, TDS, fosfat, MPN Coliform. Persamaan penelitian ini adalah pengelolaan limbah medis sedangkan perbedaan nya pada subyek, lokasi penelitian dan kegiatan penelitian. 4. Palupi, Esti (2016), meneliti tentang Evaluasi Penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pengelolaan Limbah Medis Padat di RSUD Kota Yogyakarta. Tujuan penelitian adalah untuk Untuk mengevaluasi penerapan manajemen K3 yang diterapkan pada petugas pengelola limbah medis padat di RSUD Kota Yogyakarta meliputi komponen input, proses, output. Persamaan dari penelitian ini adalah pada jenis penelitian kualitatif dengan studi kasus, serta variabel penelitian yang memuat input, proses dan pada out put yang ingin dicapai berbeda antara penerapan dan cakupan limbah medis. Perbedaan penelitian adalah terletak pada subjek penelitian yaitu petugas K3 dan objek penelitian nya berbeda antara rumah sakit dan Puskesmas. 5. Sudewi, Sri (2013) meneliti tentang Pemanfaatan Incenerator Untuk Limbah Medis Puskesmas di Kabupaten Bantul (Studi Kasus Puskesmas Srandakan). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pemanfaatan incenerator Puskesmas di Kabupaten Bantul. Persamaan dari penelitian adalah lokasi penelitian di Puskesmas Wilayah Kabupaten Bantul sedangkan perbedaannya 8
adalah pada tujuan penelitian ini mengetahui teknis operasional incenerator Puskesmas Srandakan dan mengetahui sistem pengelolaan limbah hasil pembakaran incenerator Puskesmas serta adanya regulasi dan kebijakan. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus, subjek penelitian sebanyak 36 orang, pemilihan menggunakan teknik purpossive sampling. Hasil penelitian menunjukkan proses pengelolaan limbah medis telah sesuai dengan SOP namun pengiriman limbah medis masih sering terkendala dengan waktu dan transportasi serta hasil buangan incenerator juga telah mengakibatkan pencemaran. 9