V. GAMBARAN UMUM EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

ANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

ANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output *

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93/MPP/Kep/3/2001

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

Ketersediaan Pupuk dan Subsidi Pupuk

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. produktivitas dan kualitas hasil pertanian antara lain adalah pupuk.

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

1 Universitas Indonesia

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

PROSPEK TANAMAN PANGAN

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. dalam pemenuhan gizi masyarakat Indonesia. Kebutuhan terhadap gizi ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 106/Kpts/SR.130/2/2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2004

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PETUNJUK LAPANGAN ( PETLAP ) PEMUPUKAN TEPAT JENIS dan DOSIS UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS PADI. Oleh :

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Transkripsi:

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 5.1. Gambaran Umum Ekonomi Pupuk Indonesia Ketersediaan dan kecukupan pangan dianggap penting pada masa awal pemerintahan Orde Baru. Pemerintah memberikan subsidi harga pupuk untuk mendorong petani menggunakan pupuk lebih banyak agar produksi padi meningkat dan program swasembada pangan beras dapat tercapai. Sosialisasi pupuk buatan (unorganic) dilakukan pemerintah melalui program Bimbingan Massa (Bimas) sejak awal tahun 1970-an, karena pemerintah mampu memproduksi pupuk buatan dalam volume besar dibandingkan pupuk alam (organic). Pengeluaran Pembangunan dan Subsidi Pemerintah Trilyun, 00 Milyar 70 60 50 40 30 20 10 0 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 Tahun G(Trilyun) Subsidi (00 M) Sumber : www.bps.go.id, 2005 Gambar 7. Pengeluaran Pembangunan dan Subsidi Pupuk Tahun 1985-1999 Pupuk buatan utama adalah urea, TSP, dan KCl. Pupuk buatan tersebut banyak mendapat campur tangan pemerintah. Produksi dan distribusi pupuk

90 dikendalikan pemerintah. Sejak bulan Oktober tahun 1993, subsidi harga pupuk KCl yang merupakan pupuk impor dihapuskan. Subsidi harga pupuk TSP atau SP- 36 dan Urea dihapuskan pada tanggal 1 Desember 1998. Kenaikan subsidi harga pupuk yang cukup besar (Rp 2.13 triliun) terjadi pada tahun anggaran 1998/1999 pasca krisis ekonomi melanda Indonesia dan negara-negara Asia lainnya sejak pertengahan tahun 1997. Industri pupuk nasional memang jumlahnya sangat terbatas dan dikelola untuk mendukung sektor pertanian nasional. Dengan demikian walaupun mampu bertindak sebagai price setter namun industri pupuk baik dalam harga maupun pendistribusiannya berada di bawah intervensi pemerintah secara ketat. Hal ini terjadi selama periode 1979 sampai dengan periode 1998. Regulasi ini berupa penunjukkan langsung pemerintah kepada PT PUSRI untuk bertanggung jawab dalam pengadaan, pendisitribusian, dan penyaluran pupuk kepada petani. Pemerintah juga memberlakukan beberapa ketentuan untuk menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran pupuk sampai ke tangan petani sebagai berikut: (1) keharusan produsen pupuk untuk mengutamakan kebutuhan dalam negeri, (2) prinsip enam tepat serta ketentuan stok, (3) harga (harga penyerahan dan eceran) serta biaya (biaya distribusi) ditetapkan pemerintah, (4) pengawasan dan pelaporan, dan lainnya. Gambaran pengadaan dan penyaluran pupuk setelah 1 Desember 1998 dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Pupuk menjadi komoditas bebas sama seperti barang dagangan lainnya.

91 2. Pengadaan dan penyaluran pupuk berlaku mekanisme supply and demand, sebagaimana kondisi pasar bebas kecuali untuk daerah yang sulit dijangkau, PT PUSRI tetap ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan pengadaan dan penyaluran pupuk. 3. Pada awal kebijakan baru pemerintah ada kesepakatan antar BUMN pupuk bahwa pengadaan dan penyaluran pupuk untuk sub-sektor pertanian tanaman pangan dilaksanakan oleh PT PUSRI dan sub-sektor perkebunan oleh masing-masing produsen sesuai lokasinya. Komitmen ini tidak berjalan lama dimana pada kenyataanya pembagian per segmen pasar tersebut tidak berlaku dan siapapun bebas menjual pupuk yang konsekuensinya adalah persaingan yang ketat antar pelaku bisnis pupuk. 4. Ketersediaan pupuk di Lini III dan IV sangat dipengaruhi oleh tingkat harga pupuk baik dalam negeri maupun internasional. Apabila tingkat harga ekspor tinggi atau menarik, pasokan untuk dalam negeri terganggu, dan sebaliknya. 5. Tingginya harga pupuk memberi peluang usaha pupuk alternatif yang tidak terjamin kualitasnya dimana pada akhirnya akan merugikan petani pemakai 6. Sinkronisasi program peningkatan produksi pangan pemerintah dengan peranan pupuk sebagai salah satu input yang penting menjadi tidak jelas. Memperhatikan terjadinya kelangkaan pupuk di Lini IV yang mengakibatkan tidak terkendalinya harga ditingkat petani, pemerintah melalui Deperindag mengeluarkan keputusan No. 93/MPP/Kep/3/2004 tanggal 14 Maret

92 2001 tentang pengadaan dan penyaluran pupuk urea untuk sektor pertanian, dimana penyaluran pupuk urea untuk petani tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan rakyat dilaksanakan oleh unit niaga PT PUSRI, produsen, distributor dan pengecer. Demikian juga terdapat pembagian wilayah kerja dan alokasi masing-masing produsen. 5.1.1. Pupuk Urea Indonesia Pupuk Nitrogen (N) untuk menambah unsur hara N yang mengandung banyak butir hijau daun yang penting untuk proses fotosintesis. Unsur N juga berguna untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dan menambah kandungan protein tanaman. Kekurangan unsur hara N akan menyebabkan tanaman menjadi pucat, pertumbuhan tanaman menjadi lambat dan kerdil, daun tua berwarna kekuning-kuningan dan pada tanaman padi warna ini dimulai dari ujung daun kemudian menjalar ke tulang daun. Kekekurangan unsur hara N juga berdampak terhadap perkembangan buah tidak sempurna dan buah cepat matang. Kekurangan unsur hara N yang kronis berdampak terhadap daun menjadi kering dan menjalar terus ke bagian atas tanaman. Indonesia mempunyai 6 perusahaan pupuk urea dengan kapasitas produksi terpasang mencapai 6.285 juta ton per tahun (Tabel 1). Keenam produsen itu adalah: 1. PT Asean Aceh Fertilizer (PT AAF) di Lhok Seumawe propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang tidak berproduksi lagi tahun 2004. 2. PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) di Lhok Seumawe propinsi NAD. 3. PT Petrokimia Gresik (PT Petrogres) di Gresik propinsi Jawa Timur.

93 4. PT Pupuk Kaltim di Bontang propinsi Kalimantan Timur. 5. PT Pupuk Kujang di Cikampek propinsi Jawa Barat. 6. PT Pupuk Sriwijaya (PT PUSRI) di Palembang propinsi Sumatera Selatan. PT AAF merupakan perusahaan kerjasama antara PT Pupuk Sriwijaya Indonesia yang mempunyai saham 60 persen, Petrolian Indonesia Berhad Malaysia mempunyai saham 13 persen, National Fertilizer Corp Singapura mempunyai saham 13 persen dan Departemen Keuangan Thailand mempunyai saham 13 persen. PT AAF didirikan pada tahun 1979 dan pembangunan pabrik diselesaikan pada tahun 1983 yang beroperasi pada kapasitas penuh 0.695 juta ton urea per tahun. Sebanyak 80 persen hasil produksi PT AAF diekspor. PT AAF melakukan optimasi dari kapasitas awal sebesar 0.570 ton per tahun setelah 1997. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT PIM didirikan pada tanggal 24 Pebruari 1982 di bawah kendali Departemen Perindustrian. Pabrik PT PIM dibangun sejak tanggal 13 Maret 1982 dan mulai berproduksi secara komersial sejak tanggal 1 April 1985. PT PIM memproduksi urea butiran sebanyak 0.57 juta ton per tahun menggunakan proses produksi yang dirancang Mitsui-Toatsu Jepang. Tabel 6. Produsen Urea dan Kapasitas Terpasang Nama Produsen Jenis Perusahaan Lokasi Pabrik Kapasitas Ribu Ton/ Tahun Operasional AAF, PT PMA L.Seumawe 602 1983 Petrokimia Gresik, PT BUMN Gresik 151 1972 PIM, PT BUMN L. Seumawe 586 1985 Pupuk Kaltim, PT BUMN Bontang 2082 1984 Pupuk Kujang, PT BUMN Cikampek 553 1978 Pupuk Sriwidjaja, PT BUMN Palembang 2033 1959 Total BUMN 6006 Sumber : PT Capricorn Indonesia Consult Inc., Tahun 2005

94 BUMN Perusahaan Umum (Perum) Petrogres dibangun pada tahun 1971 di bawah kendali Ditjen Industri Kimia Dasar Departemen Perindustrian dan Departemen Keuangan. Badan Hukum BUMN Perum Petrogres menjadi Perseroan Terbatas (PT) pada tahun 1975. PT Petrogres memproduksi urea dengan kapasitas terpasang sebesar 0.45 juta ton per tahun dan dibangun pabrik baru dengan kapasitas 0.46 juta ton per tahun pada tahun 1994, tetapi pabrik lama ditutup. PT Petrogres semula memproduksi pupuk fosfat lebih banyak dibandingkan pupuk urea. Kapasitas produksi pupuk fosfat mencapai 1 juta ton per tahun yang dihasilkan dari 2 unit pabrik. PT Petrogres juga memproduksi pupuk Amonium Sulphate (ZA) dengan kapasitas terpasang sebesar 0.6 juta ton per tahun yang diasilkan dari 3 unit pabrik. BUMN PT Pupuk Kaltim menyelesaikan pembangunan pabrik pada awal tahun 1984 dan pada bulan April tahun 1984 beroperasi secara komersial untuk memproduksi amonia sebanyak 1.32 juta ton per tahun dan urea sebanyak 1.71 juta ton per tahun. PT Pupuk Kaltim merupakan BUMN yang paling sering melakukan diversifikasi usaha, bekerjasama dengan banyak perusahaan swasta mendirikan pabrik-babrik yang memproduksi bahan-bahan kimia, seperti hexamin, soda ash, melamin dan adhesive resin. BUMN PT Pupuk Kujang yang dirancang Pertamina menggunakan nama Proyek Pupuk Urea Jawa Barat pada tahun 1974 di bawah otoritas Ditjen Minyak dan Gas Bumi didirikan pada tahun 1975. Proyek Pupuk Urea Jawa Barat diambil alih Departemen Perindustrian dan diberi nama PT Pupuk Kujang pada tanggal 9 Juni 1975.

95 BUMN Perusahaan Negara (PN) Pupuk Sriwidjaja didirikan pada tahun 1959. PN Pupuk Sriwidjaja berubah menjadi PT PUSRI pada tahun 1990. PT PUSRI beroperasi dengan kapasitas 0.1 juta ton urea per tahun pada tahun 1970. Pabrik PUSRI Unit II dibangun dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 0.38 juta ton per tahun dan berhasil dioptimasi menjadi 0.57 juta ton per tahun pada tahun 1994. PUSRI Unit III dengan kapasitas terpasang 0.57 juta ton per tahun dibangun pada tahun 1976. PUSRI Unit IV dengan kapasitas terpasang 0.57 juta ton per tahun dibangun pada tahun 1977. PUSRI Unit I berhenti operasi pada tahun 1991 bersamaan dengan optimasi PUSRI Unit II, maka pabrik Unit IB dioperasikan sebagai pengganti pabrik Unit I pada tahun 1994 menggunakan konsep low energy plant yang berteknologi advance process for cost and energy saving (ACES). Kapasitas total produksi urea PT PUSRI yang dioperasikan mencapai 2.28 juta ton per tahun sejak tahun 1994. PT PUSRI memiliki sertifikasi berstandar internasional, yaitu ISO GUIDE 25 bidang laboratorium dari NATA Australia tahun 1994, ISO 9002 bidang produksi dari SGS Italia tahun 1995, ISO 14001 bidang lingkungan dari SGS-Sucofindo tahun 1997 dan ISO 9001 bidang perekayasaan dari Sucofindo tahun 1999. Produksi pupuk urea Indonesia melebihi permintaan dalam negeri dan negara tujuan ekspor utama pupuk urea ke Vietnam yang mempunyai pangsa ekspor sebesar 36.71 persen, Thailand yang mempunyai pangsa ekspor sebesar 15.01 persen, Taiwan yang mempunyai pangsa ekspor sebesar 14.01 persen, Filipina yang mempunyai pangsa ekspor sebesar 13.67 persen, dan Malaysia yang mempunyai pangsa ekspor sebesar 5.62 persen (Tabel 7). Produsen pupuk yang memberikan kontribusi ekspor utama adalah PT Pupuk Kaltim yang mempunyai

96 pangsa ekspor sebesar 38.35 persen, PT AAF yang mempunyai pangsa ekspor sebesar 27.35 persen dan PT PIM yang mempunyai pangsa ekspor sebesar 23.95 persen. Ekspor pupuk urea rata-rata sebesar 1.14 juta ton per tahun dan menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 30.43 persen per tahun (Tabel 8). Ekspor pupuk urea sebesar 0.4 juta ton pada tahun 1977 meningkat 278.22 persen menjadi 1.5 juta ton pada tahun 1986 karena produsen pupuk yang semula 1 menjadi 5. Kontribusi ekspor pupuk urea terbesar (48.68 persen) adalah PT PUSRI atau 0.74 juta ton pada tahun 1986. Ekspor pupuk urea kembali meningkat sebesar 55.96 persen menjadi 2.36 juta ton pada tahun 1997. Ekspor pupuk urea dilakukan 6 perusahaan sejak tahun 1994 dan sejak saat itu peran ekspor pupuk urea didominasi PT AAF dengan pangsa ekspor rata-rata sebesar 43.91 persen per tahun atau sebesar 0.50 juta ton per tahun. Posisi kedua ekspor pupuk urea dimiliki PT Pupuk Kaltim dengan rata-rata ekspor 0.43 juta ton per tahun. Krisis ekonomi tahun 1998 berdampak ekspor pupuk urea menurun sebesar 33.44 persen. Produksi pupuk urea Indonesia melebihi permintaan pupuk dalam negeri untuk sektor pertanian dan non-pertanian. Permintaan urea pertanian rata-rata sebesar 3.34 juta ton dan tumbuh dengan laju rata-rata sebesar 1.70 persen per tahun (Gambar 8). Permintaan pupuk urea pertanian menurun sebesar 26.79 persen pada tahun 1999 setelah subsidi harga pupuk dihapuskan pada tahun 1998, tetapi permintaan pupuk urea pertanian meningkat kembali menjadi 3.96 juta ton pada tahun 2000 setelah subsidi harga pupuk diberikan kepada produsen pabrik gas yang menjadi bahan baku untuk memproduksi pupuk, dan permintaan relatif stabil sampai tahun 2002.

96 Tabel 7. Ekspor Urea ke Berbagai Negara Tujuan Tahun 2000 Negara Tujuan PUSRI KUJANG KALTIM AAF PIM PETRO Total Pangsa (persen) Vietnam 64 303 28 518 296 515 225 698 127 701 18 325 761 060 36.71 Taiwan 12 505 32 033 69 484 176 517 290 539 14.01 Filiphina 9 524 135 174 58 587 72 401 7 670 283 356 13.67 Thailand 10 517 10 000 181 242 77 975 31 530 311 264 15.01 Malaysia 11 010 3 976 29 387 10 440 55 286 6 500 116 599 5.62 Myanmar 14 227 14 227 0.69 Japan 6 263 2 418 13 658 55 343 10 420 88 102 4.25 Hongkong 330 80 410 0.02 Singapura 1 860 4 156 8 928 14 944 0.72 Australia 320 6 348 6 668 0.32 Nepal 12 049 12 049 0.58 Amerika Serikat 5 000 5 000 0.24 Korea Selatan 23 533 16 000 4 980 44 513 2.15 Korea Utara 18 346 18 346 0.88 Srilangka 10 000 10 000 0.48 Chili 20 999 20 999 1.01 Bangladesh 66 237 66 237 3.19 Selandia Baru 8 109 8 109 0.39 Timor Timur 1 000 1 000 0.05 Total 114 122 57 611 795 096 567 028 496 570 42 995 2 073 422 100.00 Pangsa ( persen) 5.50 2.78 38.35 27.35 23.95 2.07 100.00 Sumber : Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, 2000 97

97 Tabel 8. Ekspor Urea Menurut Produsen Tahun 1977 2000 Tahun PUSRI KUJANG KALTIM AAF PIM PETRO Total Perubahan ( persen) 1977 400 195 400 195 1978 230 462 230 462-42.41 1979 299 299 299 299 29.87 1980 162 440 162 440-45.73 1981 38 902 38 902-76.05 1982 55 000 20 300 75 300 93.56 1983 262 505 53 720 316 225 319.95 1984 5 500 197 100 202 600-35.93 1985 490 287 244 593 734 880 262.72 1986 736 816 216 990 59 282 295 672 204 868 1 513 628 105.97 1987 302 155 69 562 73 744 462 295 115 517 1 023 273-32.40 1988 158 322 94 250 216 863 447 042 131 857 1 048 334 2.45 1989 180 695 178 943 676 180 492 252 155 496 1 683 566 60.59 1990 175 480 153 537 517 876 570 824 180 541 1 598 258-5.07 1991 273 870 142 442 735 366 470 475 150 653 1 772 806 10.92 1992 101 341 82 800 357 600 532 257 259 669 1 333 667-24.77 1993 210 229 98 190 315 595 614 394 282 542 1 520 950 14.04 1994 174 866 129 425 409 328 501 991 379 098 10 500 1 605 208 5.54 1995 392 384 205 423 380 476 506 378 300 515 185 064 1 970 240 22.74 1996 189 225 101 468 301 167 630 498 208 955 102 800 1 534 113-22.14 1997 519 726 250 552 397 386 668 656 310 330 214 046 2 360 696 53.88 1998 34 579 40 197 410 306 648 469 395 973 41 830 1 571 354-33.44 1999 272 653 21 880 846 237 650 403 460 764 5 626 2 257 563 43.67 2000 114 122 57 611 795 096 567 028 496 570 42 995 2 073 422-8.16 Rata- Rata 240 877 112 782 432 833 500 019 268 890 86 123 1 138 641 30.43 Sumber : Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, 2000 98

99 Permintaan Urea Pertanian T o n 5000 4000 3000 2000 1000 0 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 Tahun Permintaan Urea (000) Sumber : Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, 2002 Gambar 8. Permintaan Urea Pertanian Tahun 1988-2002 Harga pupuk urea eceran rata-rata sebesar Rp 341.25 per kg dan meningkat rata-rata 13.89 persen per tahun selama tahun 1988 2002 (Gambar 9). Harga pupuk urea eceran meningkat secara tajam sebesar 59.64 persen pada tahun 1999, setelah subsidi harga pupuk dihapuskan pada tahun 1998. Kebijakan liberalisasi harga pupuk dengan cara menghapus subsidi harga pupuk dilakukan pemerintah karena pemerintah mengikuti kesepakatan IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi. Menurut pemikiran liberal, berbagai subsidi tidak sehat telah mendistorsi pasar, sehingga mendorong mekanisme pasar menjadi tidak efisien. Oleh karena itu, pemikiran liberal menghendaki berbagai subsidi yang tidak sehat tersebut dihapuskan. Penghapusan subsidi harga pupuk dimaksudkan juga untuk mengurangi tekanan fiskal, agar keberlanjutan fiskal terjamin.

100 Harga Urea Eceran Harga (Rp/Kg) 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 Tahun Sumber : Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, 2002 Gambar 9. Perkembangan Harga Pupuk Urea Eceran Tahun 1988-2002 5.1.2. Pupuk TSP Indonesia Senyawa fosfat dalam bentuk phospor digunakan sebagai pupuk agar pertumbuhan akar tanaman terpacu untuk menyerap lebih banyak unsur hara dari dalam tanah. Phospor juga untuk menambah daya tahan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit menular, serta menggiatkan titik tumbuh jaringan tanaman. Tanah yang mempunyai ph asam akan efektif menyerap phospor. Jika tanaman kekurangan phospor akan berdampak akar tanaman tidak berkembang, pembentukan buah menjadi jelek, hasil biji-bijian kurang, dan hasil bunga merosot. Pemerintah menugaskan PT Petrokimia Gresik membangun pabrik pupuk fosfat yang pertama di Indonesia pada tahun 1975. Pabrik pupuk fosfat PT

101 Petrokimia Gresik dibangun pada bulan Juni tahun 1976 menggunakan kontraktor utama Spie Batignolles Perancis dan selesai pada bulan April tahun 1979. Pabrik pupuk fospat PT Petrokimia Gresik mempunyai kapasitas produksi sebesar 0.33 juta ton TSP per tahun, 0.08 juta ton DAP per tahun dan 0.05 juta ton NPK per tahun. Pabrik pupuk fosfat PT Petrokimia Gresik menggunakan teknologi proses Tennesse Valley Authoriry (TVA) dari Amerika Serikat. Perluasan pabrik pupuk fospat tahap kedua dilakukan setelah penandatanganan kontrak antara PT Petrokimia Gresik dan Spie Batignolles Perancis pada tanggal 10 April tahun 1981 di Jakarta. Pabrik pupuk TSP tahap kedua berproduksi secara komersial sejak tanggal 1 Agustus tahun 1983. Perluasan pabrik pupuk fosfat tahap kedua meliputi : 1. Kapasitas pabrik 0.50 juta ton per tahun. 2. Dermaga khusus diperluas dari bentuk huruf L menjadi bentuk huruf T. 3. Penambahan fasilitas bongkar muat Kangoroo Crane dan alat muat terpadu (loading crane). 4. Pembangunan unit penjernihan air di Babat. Produksi TSP mengalami peningkatan pada tahun 1980-1990, namun produksi TSP mengalami penurunan pada tahun 1990 2000. Rata-rata produksi TSP yang sebesar 0.40 juta ton per tahun secara umum mengalami peningkatan sebesar 3.01 persen per tahun selama tahun 1980 2002 (Gambar 10).

102 Produksi TSP Pertanian (000 ton) 600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 0.000 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 Produksi TSP (000 ton) Tahun Sumber : International Fertilizer Industri Association, Tahun 2002 Gambar 10. Perkembangan Produksi TSP Tahun 1980-2000 Permintaan TSP dalam negeri rata-rata sebesar 1.05 juta ton per tahun dan menunjukkan perkembangan menurun sebesar 7.80 persen per tahun selama tahun 1988-1999 (Gambar 11). Produksi TSP rata-rata sebesar 0.42 juta ton per tahun menunjukkan perkembangan yang menurun sebesar 10.73 persen per tahun pada tahun yang sama. Kelebihan permintaan TSP yang rata-rata sebesar 0.63 juta ton per tahun juga menunjukkan perkembangan yang menurun 3.52 persen per tahun. Produksi dan Permintaan TSP Pertanian (000 ton) 1600.000 1400.000 1200.000 1000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0.000 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 Produksi TSP (000 ton) Permintaan TSP (000 ton) Tahun Sumber : IFA dan APPI, 2002 Gambar 11. Produksi dan Permintaan TSP Tahun 1980-2002

103 Harga eceran pupuk TSP menunjukkan peningkatan (Gambar 12). Harga eceran pupuk TSP tertinggi dicapai pada tahun 1999 setelah subsidi harga pupuk dihapuskan. Harga eceran Pupuk TSP yang menunjukkan peningkatan berhubungan dengan penurunan permintaan pupuk TSP dalam negeri dan penurunan kelebihan permintaan TSP dalam negeri, tetapi tidak berhubungan dengan penurunan produksi TSP. Perkembangan Harga Eceran Pupuk TSP Rp/ Kg 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun Sumber : APPI, 2002 Gambar 12. Perkembangan Harga Eceran Pupuk TSP di Indonesia 5.1.3. Pupuk KCl Indonesia Pupuk kalium berguna untuk memperlancar proses fotosintesis, memacu pertumbuhan awal tanaman, memperkuat ketegaran batang, mengurangi resiko rebah, mengurangi pembusukan hasil tanaman selama pengangkutan dan penyimpanan, serta menambah daya tahan tanaman terhadap serangan hama, penyakit dan kekeringan maupun memperbaiki kualitas bunga dan buah. Kekurangan kalium berdampak daun mati berbercak-bercak merah kecoklatan, buah mudah gugur, batang lemah dan pendek, tanaman mudah patah dan rebah, tanaman menjadi kerdil atau tumbuh lambat dan daun mudah rontok.

104 Pasokan pupuk KCl 100 persen diperoleh dari impor. Impor pupuk KCl berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat pada tahun 1980 1997 (Gambar 13). Impor KCl mencapai 0.51 juta ton dengan nilai US $ 61.879 ribu pada tahun 1993. Impor KCl menurun menjadi 0.35 juta ton pada tahun 1994 dengan nilai US $ 42.286 ribu. Impor KCl meningkat kembali menjadi 0.52 juta ton dengan nilai US $ 78.876 ribu pada tahun 1995. Impor KCl menurun menjadi 0.48 juta ton dengan nilai US $ 71.344 ribu pada tahun 1996. Impor KCl meningkat menjadi 0.61 juta ton dengan nilai US $ 86.920 pada tahun 1997. Impor pupuk KCl menurun setelah depresiasi nilai tukar rupiah yang menimbulkan penurunan daya beli konsumen ketika krisis ekonomi pada tahun 1998. Perkembangan Impor KCl Indonesia Ribu ton 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0-1980 1984 1988 1992 1996 2000 Tahun Sumber : IFA, APPI dan CIC, Tahun 2002 Gambar 13. Perkembangan Impor KCl Indonesia Permintaan pupuk KCl dalam negeri rata-rata sebesar 0.21 juta ton dan menunjukkan peningkatan sebesar 8.76 persen per tahun selama tahun 1980-2000 (Gambar 14). Permintaan pupuk KCl dalam negeri di bawah 0.20 juta ton per tahun pada tahun 1980 1986 dan tahun 1997 2000. Permintaan pupuk KCl dalam negeri di bawah 0.30 juta ton per tahun pada tahun 1987-1996. Permintaan pupuk KCL tinggi pada tahun 2001 dan 2002 yaitu di atas 0.3 juta ton per tahun.

105 Permintaan KCl Pertanian 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0.000 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 DK Tahun Sumber : International Fertilizer Association, Tahun 2002 Gambar 14. Konsumsi KCl Tahun 1980-2002 5.2. Gambaran Umum Ekonomi Pupuk Dunia 5.2.1. Pupuk Urea Dunia Ekspor pupuk urea di pasar internasional rata-rata sebesar 9.03 juta ton dan menunjukkan perkembangan yang meningkat sebesar 3.53 persen per tahun selama tahun 1980 2000 (Gambar 15). Ekspor pupuk urea utama di pasar internasional dipasok Uni Sovyet (25.46 persen), Kanada (6.95 persen), Rumania (5.66 persen), Saudi Arabia (5.63 persen) dan Amerika Serikat (5.30 persen). Kelima negara pengekspor pupuk urea tersebut menyumbang 48.2 persen ekspor pupuk urea di pasar internasional. Ekspor pupuk urea Uni Sovyet sebesar 2.3 juta ton per tahun dan meningkat sebesar 10.32 persen. Ekspor pupuk urea Kanada sebesar 0.63 juta ton per tahun dan meningkat sebesar 6.27 persen per tahun. Ekspor pupuk urea Rumania sebesar 0.51 juta ton per tahun dan meningkat 3.33 persen. Ekspor pupuk urea Saudi Arabia sebesar 0.51 juta ton per tahun dan meningkat 15.75 persen. Ekspor pupuk urea Amerika Serikat sebesar 0.48 juta ton per tahun dan menurun 2.15 persen per tahun.

106 Ekspor Urea beberapa Negara Ribu Ton 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1980 1985 1990 1995 2000 Tahun Indonesia Canada United States Uni Soviet Romania Saudi Arabia Sumber : International Fertilizer Association dan APPI, Tahun 2002 Gambar 15. Ekspor Pupuk Urea di Pasar Internasional Tahun 1980-2000 Impor pupuk urea di pasar internasional rata-rata sebesar 8.94 juta ton per tahun dan menunjukkan peningkatan sebesar 4.2 persen per tahun selama tahun 1980-2000. Negara pengimpor pupuk urea utama di pasar internasional adalah Amerika Serikat (12.91 persen), Vietnam (5.08 persen), Australia (2.6 persen) dan Thailand (2.52 persen). Impor pupuk urea keempat negara besar tersebut sebesar 20.93 persen impor pupuk urea di pasar internasional. Impor pupuk urea Amerika Serikat 1.15 juta ton per tahun dan meningkat sebesar 19.7 persen per tahun. Impor pupuk urea Vietnam sebesar 0.45 juta ton per tahun dan meningkat sebesar 18.13 persen. Impor pupuk Australia sebesar 0.23 juta ton per tahun dan meningkat sebesar 30.47 persen per tahun. Impor pupuk Thailand sebesar 0.22 juta ton per tahun dan meningkat sebesar 29.99 persen per tahun.

107 Impor Urea beberapa Negara 2500 2000 Ribu Ton 1500 1000 500 0 1980 1985 1990 1995 2000 Tahun United States Viet Nam Australia Thailand Sumber : International Fertilizer Association, Tahun 2002 Gambar 16. Impor Pupuk Urea di Pasar Internasional Tahun 1980-2000 Harga pupuk urea di pasar dalam negeri dan pasar internasional menunjukkan perkembangan yang menarik (Gambar 17). Kebijakan subsidi harga pupuk membuat harga pupuk urea di pasar dalam negeri tidak selalu lebih rendah dibandingkan harga pupuk urea di pasar internasional. Harga pupuk urea di pasar dalam negeri dapat lebih tinggi dibandingkan di pasar internasional seperti pada tahun 1993, tahun 1999 paska pencabutan subsidi harga pupuk tahun 1998, dan tahun 2000 dengan pemberlakuan subsidi harga gas yang digunakan sebagai bahan baku pabrik pupuk. Perkembangan Harga Urea Dalam Negeri dan Internasional 250 US $ per ton 200 150 100 50 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 tahun Dalam Negeri Internasional Sumber : Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, Tahun 2002 Gambar 17. Perkembangan Harga Urea Dalam Negeri dan Internasional

108 Harga pupuk urea di pasar dalam negeri yang lebih tinggi dibandingkan di pasar internasional merupakan sinyal terjadi dumping pasar pupuk urea di pasar internasional. Distorsi pasar dalam bentuk subsidi harga pupuk dan dumping menunjukkan pasar pupuk urea yang kelebihan penawaran tidak dapat dipandang sebagai persoalan ekonomi ekspor impor pupuk urea semata, melainkan melibatkan kepentingan masing-masing negara untuk memanfaatkan pupuk sebagai instrumen penting dalam menjamin produksi pertanian. 5.2.2. Pupuk TSP Dunia Produksi TSP dunia sebesar 4.2 juta ton per tahun dan menunjukkan penurunan sebesar 3.15 persen per tahun pada tahun 1980 2000 (Gambar 18). Impor TSP dunia sebesar 1.53 juta ton per tahun dan menunjukkan peningkatan sebesar 0.96 persen per tahun. Ekspor TSP dunia sebesar 1.59 juta ton per tahun dan menunjukkan peningkatan 1.35 persen per tahun. Konsumsi TSP dunia sebesar 3.2 juta ton per tahun dan menunjukkan penurunan sebesar 2.44 persen per tahun. Penawaran TSP dunia adalah produksi TSP ditambah impor TSP dan dikurangi eskpor TSP sebesar 4.15 juta ton per tahun, sehingga kondisi pasar pupuk TSP dunia kelebihan penawaran sebesar 0.91 juta ton per tahun. Amerika Serikat, Tunisia dan Maroko merupakan negara pengekspor pupuk TSP utama (Tabel 9). Amerika Serikat memproduksi pupuk TSP sebesar 1.55 juta ton dan sebanyak 0.74 juta ton (50 persen) produksi TSP Amerika Serikat diekspor pada tahun 1980. Ekspor TSP Amerika Serikat menurun menjadi 0.27 juta ton pada tahun 2000.

109 Pasar Internasional TSP 6000.0 5000.0 4000.0 Ribu Ton 3000.0 2000.0 1000.0 0.0 1980 1985 1990 1995 2000 Produksi Impor Ekspor Konsumsi Tahun Sumber : International Fertilizer Association, Tahun 2002 Gambar 18. Pasar Internasional TSP Tahun 1980-2000 Tunisia memproduksi pupuk TSP sebesar 0.25 juta ton dan mengekspor sebesar 0.21 juta ton pada tahun 1980. Ekspor pupuk TSP Tunisia meningkat menjadi 0.39 juta ton pada tahun 2000. Maroko memproduksi pupuk TSP sebesar 0.085 juta ton dan mengekspor 0.07 juta ton pada tahun 1980. Ekspor pupuk TSP Maroko meningkat menjadi 0.28 juta ton pada tahun 2000. Irlandia dan Brazil merupakan negara pengimpor pupuk TSP (Triple Superphosphate) utama. Impor TSP Brazil sebesar 0.12 juta ton tahun 1980 menurun menjadi 0.212 juta ton pada tahun 2000. Dalam interval waktu antara tahun 1980 sampai 2000 nampak bahwa Brazil mengalami fluktuasi impor TSP yang relatif tajam dari tahun ke tahun. Sedangkan Irlandia menunjukkan volume perdagangan yang relatif stabil namun jauh di bawah volume perdagangan TSP Brazil.

110 Tabel 9. Perdagangan TSP di Pasar Internasional Tahun 1980-2000 (Ribu Ton) Uraian Amerika Serikat Tunisia Moroko Irlandia Brazil Produksi 1554.0 249.0 85.2 1.9 487.8 1980 Impor 8.5 - - 34.3 122.0 Ekspor 740.0 207.0 74.7 - - Konsumsi 428.7 23.4 10.5 0.9 609.8 Produksi 991.5 352.0 280.5-266.8 1985 Impor - - - 23.0 13.4 Ekspor 601.6 311.0 278.6 - - Konsumsi 296.5 44.3 7.5-277.8 Produksi 850.0 364.3 267.8-248.6 1990 Impor - - - 16.0 58.4 Ekspor 315.0 339.0 253.9 - - Konsumsi 205.9 24.8 18.8 0.7 307.0 Produksi 783.0 360.2 245.0-227.2 1995 Impor 14.0 - - 14.0 78.4 Ekspor 329.0 341.4 218.6 - - Konsumsi 186.1 9.4 5.6-305.6 Produksi 504.0 361.7 290.3-214.1 2000 Impor 16.2 - - 14.0 212.0 Ekspor 274.7 387.5 283.4-1.7 Konsumsi 138.6 15.0 5.6-424.4 Sumber : International Fertilizer Association, Tahun 2002 5.2.3. Pupuk KCl Dunia Impor KCl dunia mengalami peningkatan. Impor pupuk KCl dunia sebesar 14.8 juta ton per tahun pada tahun 1980 dan meningkat menjadi 21.25 juta ton per tahun pada tahun 2000 (Tabel 10). Kanada, Jerman, dan Uni Soviet berperan besar dalam memasok pupuk KCl di pasar internasional (Tabel 10). Ketiga negara tersebut menyumbang 69.80 persen produksi pupuk KCl dunia pada tahun 1980 dan meningkat menjadi 80.69 persen pada tahun 1985.

27 Tabel 10. Perdagangan Pupuk KCl di Pasar Internasional Tahun 1980 2000 (Ribu Ton) Tahun dan Uraian Kanada Jerman Uni Soviet China Brazil Dunia Produksi 7337.0 5212.8-19.8-17979.9 1980 Impor - 55.6-309.7 1263.0 14891.1 Ekspor 6735.9 3855.6 - - - 12741.6 Konsumsi 343.7 638.9 3962.0 375.0 1026.7 13087.5 Produksi 6637.0 4923.5 9582.0 23.0 6.0 26203.0 1985 Impor 0.7 83.7-158.2 1039.6 15174.3 Ekspor 6126.1 3763.3 3247.1 - - 15522.6 Konsumsi 379.5 601.3 5239.1 179.4 851.1 14285.8 Produksi 7002.4 3931.3 8725.8 46.0 68.1 25000.9 1990 Impor 4.8 13.0-1244.0 1114.0 16351.3 Ekspor 6793.5 3241.5 3462.9 - - 16617.9 Konsumsi 322.9 360.7 4481.0 1290.0 972.0 14800.0 Produksi 9001.4 3278.0 5663.0 172.0 224.1 23435.5 1995 Impor 7.2 17.0-2315.0 1509.4 17948.1 Ekspor 8289.6 2367.0 4036.0 118.0 0.3 18511.9 Konsumsi 314.0 297.0 954.0 2369.0 1593.9 12529.5 Produksi 9174.0 3409.0 7107.3-353.2 25822.9 2000 Impor - 10.0 81.0 2373.6 2534.1 21248.1 Ekspor 8467.7 2720.0 5530.0 2.3 0.3 20706.7 Konsumsi 296.0 248.5 675.0 1058.3 2666.5 14163.1 Sumber : International Fertilizer Association, Tahun 2002 111

112 Produksi ketiga negara produsen utama pupuk KCl sebesar 12.55 juta ton per tahun dan produksi dunia sebesar 17.98 juta ton per tahun. Ekspor pupuk KCl ketiga negara mencapai 83.13 persen ekspor dunia. Ekspor pupuk KCl dari ketiga negara tersebut mencapai 10.59 juta ton per tahun pada tahun 1980. Ekspor KCl meningkat menjadi 13.13 juta ton per tahun pada tahun 1985. China dan Brasil merupakan negara pengimpor KCl utama. Impor pupuk KCl China sebesar 0.3 juta ton per tahun pada tahun 1990. Impor pupuk KCl China menurun menjadi 0.16 juta ton per tahun pada tahun 1985. Impor pupuk KCl China meningkat sekitar 100 persen menjadi 2.3 juta ton per tahun pada tahun 1995 dan tahun 2000. Impor KCl Brasil sebesar 1.26 juta ton per tahun pada tahun 1980, sebesar 1.11 juta ton per tahun pada tahun 1990 dan meningkat sekitar 100 persen menjadi sebesar 2.5 juta ton per tahun pada tahun 2000. 5.3. Peran Pupuk dalam Produksi Pertanian Unsur yang diperlukan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal adalah C, H, O, N, P, K, S, Ca, Mg, Fe, Mn, Zn, Cu, B dan Mo. Tiga unsur yang pertama yaitu C, H dan O diperoleh tanaman dari udara dan air. Unsur N, P dan K dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak dan dinamakan unsur makro primer dalam teknik budidaya pertanian. Unsur S, Ca dan Mg diperlukan dalam jumlah sedikit dibandingkan unsur makro primer dan dinamakan unsur hara makro sekunder. Unsur Fe, Mn, Zn, Cu, B dan Mo dinamakan unsur mikro, karena diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit. Unsur N diberikan dalam bentuk pupuk urea, unsur P dalam bentuk pupuk TSP atau SP36 dan unsur K dalam bentuk pupuk KCl.

113 Tanaman membutuhkan unsur hara dalam proporsi dan keseimbangan tertentu. Kekurangan unsur tertentu akan berdampak terhadap produksi yang menurun. Produksi tanaman mengikuti hukum mata rantai yang terlemah. Produksi tanaman dipengaruhi jumlah unsur yang tidak memenuhi standar kebutuhan yang diperlukan tanaman. Produksi tanaman akan optimal, jika seluruh unsur yaitu N, P dan K tersedia dalam proporsi yang berimbang seperti (Gambar 19 ). Gambar 19. Ilustrasi Hukum Mata Rantai Terlemah Pemupukan berimbang merupakan suatu keharusan dalam memproduksi tanaman secara optimal. Pupuk urea, TSP/SP-36 dan KCl merupakan barang komplemen, karena ketiganya akan menghasilkan produksi pertanian secara optimal jika digunakan secara bersama-sama dalam proporsi yang seimbang. Pola usahatani sebagian besar petani di Indonesia bersifat subsisten sejak tahun 1960-an, yaitu sistem usahatani yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan petani sendiri. Jika produksi berlebihan, maka kelebihan produksi dijual untuk menambah tingkat kesejahteraan petani. Sistem pertanian modern mendorong produktivitas dan pola usahatani petani beralih dari pola usahatani subsisten menjadi pola usahatani yang intensif.

114 5.4. Pertanian Tanaman Perkebunan Indonesia Sepanjang tahun 1994 2000 luas areal perkebunan meningkat rata-rata 2 persen per tahun hingga total areal perkebunan pada tahun 2000 mencapai 15.10 juta ha. Selama lima tahun terakhir, perkembangan produksi perkebunan juga meningkat rata-rata 4.10 persen per tahun untuk jenis tanaman tahunan dan 1.60 persen untuk tanaman semusim. Komoditas perkebunan yang mengalami peningkatan produksi paling tinggi adalah kakao sebesar 10.30 persen per tahun dan kelapa sawit 7.90 persen per tahun. Peningkatan produksi terjadi selain karena meningkatnya luas areal juga adanya kenaikan produktivitas per ha dan penggunaan bibit unggul, terutama oleh perusahaan perkebunan swasta. Sayangnya, peningkatan produktivitas tersebut belum diikuti oleh perkebunan rakyat. Meskipun dalam periode dua tahun terjadi peningkatan namun masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar, baik swasta maupun milik negara, terutama jenis usaha perkebunan yang juga digarap perkebunan besar seperti karet, kelapa sawit, kopi, dan teh. Produktivitas rata-rata karet rakyat, misalnya, hanya 0.60 ton karet kering per ha dibanding perkebunan besar yang mencapai 1.10 ton per ha. Ini pun masih sangat rendah dibandingkan negara pesaing utama, seperti Thailand yang mencapai 1.5 2 ton per ha. Walaupun juga dipengaruhi oleh keadaan pasar dan berbagai mekanisme kebijakan, rendahnya produktivitas perkebunan juga disebabkan oleh: 1. Mahalnya harga pupuk dan saprotan lain, terutama pada perkebunan sawit. 2. Perkebunan rakyat yang lemah dalam akses permodalan, teknologi dan manajemen diperankan semata-mata penyedia bahan baku bagi perusahaan

115 besar yang menguasai kegiatan pengolahan dan pemasaran, sehingga petani tidak mempunyai banyak pilihan dalam memasarkan produknya dan posisi tawar menawar yang lemah dalam menentukan harga. 3. Pendapatan petani yang rendah menyebabkan arus modal juga terganggu, sehingga pemeliharaan dan peremajaan tanaman juga tidak terjamin. Petani juga mengalami kesulitan berinvestasi mengembangkan usahanya. Berikut ini adalah neraca perdagangan pertanian tanaman perkebunan yang bersumber dari data BPS, sebagai berikut. Tabel 11. Keragaan Ekspor Impor dan Neraca Perdagangan Produk Pertanian Indonesia pada Tahun 1997 2001 (US $ 000) Hsl Tnm 1997 1998 1999 2000 2001 Perkebunan Ekspor 5180116 4079889 4092807 3887184 3444386 Impor 1522338 1247042 1427774 1257265 1550976 Surplus 3657778 2832847 2665033 2629919 1893410 Sumber : Data BPS, diolah (2001) Keterangan :* Data s/d Sept 2001 Berdasarkan keragaan data pada Tabel 11 diatas dapat dilihat bahwa sub sektor tanaman perkebunan mengalami surplus perdagangan. Jika dicermati keragaan neraca ekspor impor produk perkebunan selama 5 (lima) tahun terakhir selalu mengalami penurunan. 5.5. Pertanian Tanaman Pangan Indonesia Berbagai persoalan pangan muncul dalam beberapa tahun terakhir, terutama ditandai dengan terancamnya ketahanan pangan akibat pasokan pangan dalam negeri yang tidak selalu mampu mencukupi jumlah kebutuhan yang ada. Selain persoalan klasik berupa musibah banjir ataupun kekeringan, salah satu

116 contoh permasalahan pangan yang serius adalah masalah masuknya beras impor melalui berbagai jalur karena tidak lagi dimonopoli Bulog, serta tarif bea masuk yang sangat rendah. Hal tersebut mengakibatkan harga beras impor lebih murah daripada harga beras lokal, sehingga beras lokal tidak mampu bersaing dengan beras impor. Selain itu, rendahnya bea masuk serta kurangnya tingkat pengawasan pemerintah dalam menangani impor ilegal juga berdampak terhadap peningkatan penyelundupan dan aktivitas manipulasi dokumen (under-invoice), baik dalam bentuk jumlah maupun harganya. Masalah tersebut menjadi sangat penting karena munculnya faktor pasokan beras dunia yang tidak menentu. Akan tetapi, faktor lain yang muncul di dalam negeri menjadi lebih penting, ditandai dengan bunga kredit usaha tani (KUT) yang cukup tinggi (10.5 persen per tahun), harga jual padi yang lebih rendah dari harga produksinya, tingkat kepemilikian lahan (land holding capacity) yang sangat rendah (kurang dari 0.25 ha), kesulitan peningkatan produktivitas, serta mekanisasi dan pola tanam yang tidak mungkin dilakukan secara serentak (Suwandi, 2002). Kondisi tersebut semakin parah, sejak diberlakukannya harga BBM yang baru pada awal tahun 2003, walaupun sejak tanggal 1 Januari 2003 pemerintah pada dasarnya telah meningkatkan harga dasar gabah dari Rp 1519 per kg menjadi Rp 1725 per kg (Inpres RI, 2002). Akan tetapi, hal tersebut tidak banyak membantu para petani, karena kenaikan harga dasar gabah tersebut tidak memberikan keuntungan yang cukup banyak bagi para petani. Selain penetapan aturan harga dasar yang terkesan terlalu lambat, harga BBM mengakibatkan peningkatan biaya produksi melalui peningkatan upah tenaga kerja dan biaya

117 penanganan lahan. Peningkatan harga dasar gabah juga tidak berfungsi secara optimal, karena tidak ada dukungan yang cukup dari kebijakan pasar melalui pembatasan kuantitas impor. Kecenderungan penurunan peranan sektor pertanian terhadap GDP ada kaitannya dengan menurunnya produktivitas, terutama produktivitas padi yang memang masih merupakan komoditas strategis bagi bangsa Indonesia. Khususnya padi sawah, produktivitasnya menurun tajam setelah terjadinya krisis yakni dari 4.72 ton per ha tahun 1997 menjadi 4.44 dan 4.47 ton per ha tahun 1998 dan 1999, sebelum akhirnya mengalami sedikit peningkatan ke 4.63 ton per ha tahun 2000. Dalam periode 1996 2000, produktivitas padi sawah menurun dengan laju 0.31 persen per tahun. Walaupun telah mengalami peningkatan (rata-rata 0.91 persen per tahun), produktivitas padi ladang masih kurang dari setengah produktivitas padi sawah. Untuk tujuan ketahanan pangan, hal ini mencerminkan perlunya meningkatkan produktivitas dan juga areal padi ladang. Kembali ke komoditas tanaman pangan, penurunan produktivitas yang terjadi, terutama untuk padi sawah, ternyata diikuti pula dengan penurunan intensitas tanam, yang tercermin pada intensitas panennya. Ternyata berbagai tanaman pangan termasuk padi mengalami penurunan intensitas panen dengan rataan penurunan berkisar 9.51 persen per tahun (untuk padi) sampai 19.66 persen per tahun (untuk kacang kedele). Berdasarkan indikator ini, jelaslah bahwa ancaman ketahanan pangan tidak hanya memungkinkan terjadi pada komoditas padi semata namun juga pada berbagai tanaman pangan utama.

118 Di lain pihak peningkatan produksi jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, dan tanaman pangan pokok lainnya juga tidak cukup signifikan dalam mengurangi kebutuhan konsumsi akan beras, sehingga kebergantungan impor masih akan tetap terjadi. Dinamika kebijaksanaan harga pangan menunjukkan bahwa pada awal Pelita I diberlakukan kebijaksanaan harga dasar yang disertai subsidi pupuk tahun 1971. Kebijaksanaan harga dasar beras pada mulanya diberlakukan bagi komoditas padi sejak 1969 dan komoditas palawija yaitu jagung pada tahun 1978, sedangkan kedelai, kacang hijau dan kacang tanah diberlakukan pada tahun 1979. Dalam perjalanannya ternyata harga dasar palawija tidak efektif dalam arti jarang sekali terjadi harga di tingkat petani sesuai dengan harga dasar, sehingga harga dasar kacang tanah, kacang hijau, jagung, dan kedelai ditiadakan, berturut-turut tahun 1982 1983, 1990, 1991, dan 1992, dan saat ini hanya diberlakukan harga dasar untuk komoditas padi. Penetapan kebijaksanaan harga dasar gabah yang dilaksanakan sejak awal Pelita I, yaitu pada periode 1969 1970, sampai saat ini telah mengalami perubahan metode dan dasar perhitungan sejalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi. Penetapan harga dasar gabah (HDG) tahun 2000 merupakan kelanjutan dari pelaksanaan harga gabah dalam Inpres 32 tahun 1998. Pada saat itu HDG ditetapkan empat kali pertahun (biasanya 1 kali per tahun), dimana penetapan HDG dibagi dalam 3 wilayah melalui Inpres 32 tahun 1998. Pembagian wilayah HDG sebagai berikut: Wilayah I adalah Rp 1400 per kg. Wilayah II adalah Rp 1450 per kg, dan Wilayah III adalah Rp 1500 per kg. Selanjutnya, pada

119 awal tahun 2001 ditetapkan harga dasar gabah yang baru tanpa membedakan wilayah, yaitu Rp 1095 per kg untuk gabah kering panen (GKP) dan untuk gabah kering giling (GKG) adalah Rp 1500 per kg. Peta perdagangan beras di pasar dunia selama kurun waktu satu dekade terakhir menunjukkan peningkatan laju ekspor sebesar 9.10 persen per tahun, sedangkan laju impor 8.60 persen per tahun. Data tahun 2000 menunjukkan bahwa ekspor beras di pasar dunia sekitar 4.00 persen dari total produksi dunia dan stock beras dunia hanya sekitar 8.50 persen. Dengan demikian, sebagian besar produksi beras dunia digunakan untuk konsumsi domestik masing-masing negara produsen sehingga marketable surplus menjadi sangat terbatas. Perkembangan konsumsi dan produksi beras domestik menunjukkan bahwa laju pertumbuhan dalam satu dekade terakhir tercatat 1.10 persen, konsumsi sebesar 4.00 persen, sedangkan laju impor mencapai 25.70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tergantung pada impor, sementara upaya peningkatan produksi beras masih belum optimal. Perkembangan ekspor kedelai dalam satu dekade terakhir meningkat 5.20 persen dan laju impor 4.70 persen. Impor kedelai didominasi oleh negara Eropa dan Asia. Selama periode tersebut rata-rata ekspor kedelai dunia hanya sebesar 31.70 juta ton per tahun, dan produksi dunia mencapai 126 juta ton. Sementara produksi kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi konsumsi sekitar 70 persen, sisanya dipenuhi melalui impor. Permintaan impor kedelai selama satu dekade terakhir mengalami peningkatan 6.70 persen per tahun. Impor kedelai diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang mengingat

120 adanya kemudahan tataniaga impor, yaitu dihapuskannya monopoli Bulog sebagai importir tunggal dan dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai kedelai. Peningkatan impor kedelai yang tajam pada tahun 1999 merupakan salah satu konsekuensi dari perubahan tataniaga tersebut. Produksi jagung dunia mengalami peningkatan relatif lambat yaitu 2.90 persen per tahun. Volume ekspor jagung dunia pada kurun waktu yang sama meningkat sangat lambat yakni 0.98 persen per tahun. Laju pertumbuhan impor sekitar 0.32 persen per tahun. Jagung yang diperdagangkan di pasar dunia hampir 60 persen dipasok dari negara Amerika, sedangkan ekspor jagung dari Asia hampir sebagian besar dari Thailand. Rata-rata produksi jagung selama periode tersebut tercatat 537 juta ton per tahun, dan jagung yang diperdagangkan di pasar dunia sebesar 71.2 juta ton, yaitu 13.3 persen dari produksi dunia. Kondisi demikian mencerminkan bahwa marketable surplus jagung dunia relatif sangat kecil. Pada bulan agustus tahun 2000 harga beras dunia tercatat US $ 169 per ton atau Rp 1850 per kg, sedangkan harga beras domestik mencapai Rp 2450 per kg. Pada kuartal I tahun 2001 harga beras dunia mencapai US $ 150 per ton, dan untuk harga beras domestik Rp 2100 per kg. Volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia hingga akhir tahun 2000 telah menurun sekitar 12 persen dibanding tahun sebelumnya. Disisi lain, pemulihan produksi beras di beberapa negara importir utama terus berlanjut, sehingga menurunkan kembali volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia sekitar 8 persen. Tendensi menurunnya harga komoditas pertanian di pasar internasional terkait dengan siklus pasar dunia yang tengah mengalami penurunan.

121 Penghapusan bea masuk impor dan hambatan perdagangan telah menyebabkan penurunan harga komoditas pertanian di pasar internasional yang secara langsung ditransmisikan ke pasar domestik. Rendahnya border price, secara psikologis pasar akan membentuk ekspektasi harga yang cenderung rendah sehingga menurunkan harga ditingkat petani, dan bahkan di lapangan terjadi praktek beras oplosan yang merugikan petani. Dinamika harga jagung di tingkat produsen dan konsumen hingga Juli tahun 1996 relatif seirama, namun fenomena berbeda menjelang bulan September Desember tahun 1996 dimana penurunan harga jagung di tingkat produsen, diikuti dengan arah pergerakan harga yang berbeda di tingkat konsumen. Kecenderungan serupa juga terjadi pada bulan Maret April tahun 1998. Pada periode berikutnya, harga jagung di tingkat konsumen relatif stabil, sementara harga jagung di tingkat produsen menunjukkan fluktuasi harga yang tajam. Memasuki semester I tahun 2001 perkiraan harga jagung memperlihatkan kecenderungan yang relatif stabil baik di tingkat konsumen maupun produsen. Sampai akhir tahun 1997, perkembangan harga jagung di pasar dunia senantiasa berada di atas harga produsen maupun harga konsumen domestik. Memasuki tahun 1998 hingga bulan Juli tahun 1998 harga jagung di pasar internasional meningkat tajam diatas harga domestik, dimana pada saat itu mencapai tingkat harga tertinggi yaitu Rp 2020 per kg. Peningkatan harga tersebut erat kaitannya dengan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dinamika harga ini terus berlangsung dan pada bulan Agustus 2000 harga jagung internasional mengalami pelandaian yaitu Rp 770 per kg dan perkiraan ke depan menunjukkan pergerakan harga relatif stabil hingga pertengahan tahun 2001. Kecenderungan yang sama terlihat dari pergerakan harga kedelai

122 internasional yang mengalami peningkatan cukup tajam pada tahun 1998 sebesar Rp 1720 per kg dan sedikit menurun menjadi Rp 1375 per kg pada tahun 1999. Memasuki pertengahan tahun 2000 hingga perkiraan harga pada semester I tahun 2001 harga bergerak stabil, masing-masing tercatat Rp 1490 per kg dan Rp 1570 per kg. Fluktuasi harga komoditas pertanian di pasar domestik sangat erat terkait dengan dinamika harga produk pertanian di pasar internasional, nilai kurs rupiah, dan kebijaksanaan perdagangan. Kebijaksanaan tarif impor yang realistik, khususnya untuk komoditas beras, jagung dan kedelai dipandang sangat relevan untuk merangsang petani untuk tetap berproduksi. Namun kebijakan proteksi harga hanya akan efektif bilamana ada potensi peningkatan produktivitas, dan respon harga yang memadai serta sistem pemasaran yang efisien. Perkiraan jangka menengah-panjang produk pertanian dunia mengalami pelandaian karena sumberdaya lahan dan air yang semakin terbatas, semakin mahalnya tenaga kerja dan keterbatasan penemuan teknologi baru, yang berakibat pada makin tingginya impor di negara-negara berkembang dengan harga yang semakin tinggi. Oleh karena itu, Indonesia sepantasnya tetap memelihara dan mengembangkan produksi pertanian disertai dukungan kebijaksanaan insentif yang memadai bagi petani.