1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur panjang, sehat dan kehidupan yang produktif, di mana manusia bukan hanya dijadikan sebagai alat pembangunan tetapi sebagai tujuan utama pembangunan. Pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pembangunan ekonomi yang mantap merupakan prasyarat dalam pelaksanaan pembangunan manusia. Karena sulit dibayangkan jika suatu daerah melaksanakan pembangunan manusia dengan kondisi perekonomian yang porak poranda. Pembangunan manusia merupakan input yang menghasilkan output sumber daya manusia yang mempunyai daya saing tinggi dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sejak proses desentralisasi mulai dilaksanakan di Indonesia yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999, bahwa setiap daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Selanjutnya pemerintah daerah dituntut untuk bertanggungjawab dalam peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengaturan serta penyediaan berbagai pelayanan di daerah. Desentralisasi yang kemudian diperbaiki oleh kehadiran Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004 memiliki dua dimensi dasar yang menggambarkan
2 tujuan yang ingin dicapai oleh para pengambil kebijakan. Pertama, dimensi yang terkait dengan administratif desentralisasi, artinya terjadi pelimpahan dan pendistribusian wewenang, tanggung jawab serta sumber daya keuangan yang bertujuan memaksimalkan pelayanan publik. Konsep ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa semakin dekat policy maker dengan masyarakat, maka semakin baik pemenuhan kebutuhan masyarakat akan public goods and services. Tentu saja pemerintah daerah baik tingkat provinsi atau kabupaten memiliki kedekatan yang lebih baik dengan masyarakat ketimbang pemerintah pusat. Dimensi kedua, yang merupakan konsekuensi dari pemenuhan dimensi yang pertama, yaitu adanya pelimpahan sumber daya keuangan dari pusat ke daerah guna memenuhi fungsi yang diamanatkan oleh desentralisasi. Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah, yaitu kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah pusat. Salah satu cara untuk menjamin proses desentralisasi dapat berjalan untuk kepentingan rakyat adalah dengan membuat suatu kesepakatan sosial baru yaitu suatu kesepakatan bahwa semua rakyat berhak atas suatu standar pembangunan manusia yakni berhak untuk dapat membaca dan menulis, untuk hidup sehat, untuk mendapatkan penghasilan yang layak, untuk mendapat rumah yang memadai dan untuk hidup sebagai satu bangsa yang aman dan damai. Agar konsep pembangunan manusia dapat diterjemahkan ke dalam perumusan kebijakan, pembangunan manusia harus dapat diukur dan dipantau dengan mudah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), atau yang dikenal dengan sebutan Human Development Index (HDI) adalah indikator yang digunakan oleh
3 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengukur salah satu aspek penting yang berkaitan dengan kualitas dari hasil-hasil pembangunan ekonomi, yakni derajat perkembangan manusia. IPM adalah suatu indeks komposisi yang didasarkan pada tiga indikator, yakni kesehatan, pendidikan yang dicapai, dan standar kehidupan. Indikator pendidikan diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa dan rata-rata tahun atau lama sekolah. Indikator kesehatan diukur dengan angka harapan hidup. Indikator pendapatan diukur dari pendapatan per kapita riil yang disesuaikan dengan paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (Todaro dan Smith, 2006: 72-73). Jadi jelas bahwa tiga unsur ini sangat penting dalam menentukan tingkat kemampuan suatu negara atau daerah untuk meningkatkan indeks pembangunan manusianya. Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, selain juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti misalnya ketersediaan kesempatan kerja, yang pada gilirannya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan kebijakan pemerintah. Jadi, IPM akan meningkat apabila ketiga unsur tersebut dapat ditingkatkan, dan nilai IPM yang tinggi menandakan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dengan kata lain terdapat korelasi positif antara nilai IPM dengan derajat keberhasilan pembangunan ekonomi. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan di suatu daerah dapat diketahui dari indikator kesejahteraan. Suatu daerah dikatakan mengalami kemajuan pembangunan apabila terjadi peningkatan angka indikator ekonomi juga diiringi oleh peningkatan nilai indikator kesejahteraan. Tetapi hal ini belum menjamin, karena kenyataannya suatu daerah dengan pendapatan per kapita riil yang tinggi masih belum diikuti dengan tinggi atau baiknya IPM. Masalah ini sesuai dengan
4 yang dialami oleh Provinsi Papua yang terletak pada kawasan timur Indonesia. Provinsi Papua adalah salah satu bagian dari Indonesia yang mempunyai ironi paling besar, yaitu memiliki kekayaan alam begitu melimpah di satu sisi, kemiskinan dan keterbelakangan yang nampak dengan jelas di sisi lain. Kehadiran birokrasi modern, penggunaan teknologi informasi, kegiatan-kegiatan ekonomi uang yang merupakan bagian dari ekonomi global, memiliki perguruan tinggi negeri dan beberapa perguruan tinggi swasta, namun masih banyak masyarakatnya yang hidup dalam kebudayaan yang tradisional dan terisolasi serta sebagian penduduknya ada yang masih buta huruf. Dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, kawasan ini tetap menjadi kawasan paling terbelakang dan paling miskin, tidak berbeda dengan posisinya pada saat bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1963. Kondisi keterbelakangan ini karena tidak terdapat infrastruktur fisik yang memadai seperti misalnya transportasi, kemudian rendahnya tingkat kesejahteraan dan kesehatan karena rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas capaian dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diperoleh Provinsi Papua. Jika dibandingkan dengan IPM provinsi-provinsi lain di Indonesia selama periode 2007-2010, Provinsi Papua selalu berada pada rangking paling bawah yaitu ke-33, walaupun dalam kurun waktu tersebut selalu mengalami peningkatan. Peringkat IPM Provinsi Papua yang selalu terendah dibandingkan dengan provinsi lain meskipun PDRB yang dicapai cukup baik. Data IPM provinsi di Indonesia dan IPM Provinsi Papua dapat dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut:
5 Tabel 1.1 IPM Menurut Provinsi di Indonesia IPM Provinsi 2007 2008 2009 2010 Papua 63,41 64,00 64,53 64,94 Nusa Tenggara Barat 63,71 64,12 64,66 65,20 Nusa Tenggara Timur 65,36 66,15 66,60 67,26 Papua Barat 67,28 67,95 68,58 69,15 Sulawesi Barat 67,72 68,55 69,18 69,64 Kalimantan Barat 67,53 68,17 68,79 69,15 Maluku Utara 67,82 68,18 68,63 69,03 Kalimanan Selatan 68,01 68,72 69,30 69,92 Sulawesi Tenggara 68,32 69,00 69,52 70,00 Gorontalo 68,83 69,29 69,79 70,28 Sulawesi Selatan 69,62 70,22 70,94 71,62 Sulawesi Tengah 69,34 70,09 70,70 71,14 Banten 69,29 69,70 70,06 70,48 Jawa Timur 69,78 70,38 71,06 71,62 Lampung 69,78 70,30 70,93 71,42 NAD 70,35 70,76 71,31 71,70 Maluku 69,96 70,38 70,96 71,42 Bali 70,53 70,98 71,52 72,28 Jawa Tengah 70,92 71,60 72,10 72,49 Jawa Barat 70,71 71,12 71,64 72,29 Sumatera Selatan 71,40 72,05 72,61 72,95 Bangka Belitung 71,62 72,19 72,55 72,86 Bengkulu 71,57 72,14 72,55 72,92 Jambi 71,46 71,99 72,45 72,74 Sumatera Barat 72,23 72,96 73,44 73,78 Sumatera Utara 72,78 73,29 73,80 74,19 Kepulauan Riau 73,68 74,18 74,54 75,07 Kalimantan Timur 73,77 74,52 75,11 75,56 Kalimantan Tengah 73,49 73,88 74,36 74,64 Yogyakarta 74,15 74,88 75,23 75,77 Riau 74,63 75,09 75,60 76,07 Sulawesi Utara 74,68 75,16 75,68 76,09 DKI Jakarta 76,59 77,03 77,36 77,60 Sumber: BPS Provinsi Papua
6 Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa IPM Provinsi Papua dari tahun 2007 sampai dengan 2010 selalu meningkat. Namun secara umum jika dibandingkan dengan provinsi lain, angka IPM Papua masih berada di bawah provinsi-provinsi kawasan timur lainnya yaitu Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Kebijakan pembangunan yang tidak mendorong peningkatan kualitas manusia hanya akan membuat daerah bersangkutan tertinggal dari daerah lain. Banyak pakar yang telah menguraikan bahwa kesehatan dan pendidikan adalah investasi yang terjadi pada individu yang sama dalam rangka pembangunan manusia dan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Pendidikan memainkan peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Kondisi kesehatan yang lebih baik dapat meningkatkan kinerja seseorang sehingga dapat memperoleh penghasilan yang lebih baik, sementara keberhasilan pendidikan juga bertumpu pada kesehatan yang baik. Pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan uraian di atas dan melihat pada data IPM Povinsi di Indonesia, bahwa IPM Provinsi Papua selalu berada pada rangking terendah, maka merupakan alasan untuk melakukan penelitian ini. Rumusan masalahnya adalah Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua terendah di Indonesia..
7 1.2 Keaslian Penelitian Berbagai penelitian tentang topik ini telah banyak dilakukan, antara lain. 1. Subagiyo (2006) melakukan penelitian studi kasus di Provinsi Lampung dengan melihat seberapa besar pengaruh alokasi belanja pembangunan sektor pendidikan, sektor kesehatan dan PDRB per kapita terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Dengan menggunakan regresi linear data panel ternyata hanya variabel belanja pembangunan sektor pendidikan saja yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. 2. Gabriel (2007) melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Papua Barat pada tahun 2004 dan 2005. Dengan menggunakan regresi linear berganda hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel belanja pelayanan publik tidak signifikan atau tidak berpengaruh terhadap IPM. 3. Kintamani (2008) melakukan penelitian bahwa yang lebih mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia adalah Angka Harapan Hidup (AHH) dan bukan Angka Partisipasi Kasar (APK) gabungan. Pada tahun 2007 posisi HDI Vietnam lebih tinggi dari Indonesia, sehingga untuk melewati Vietnam indikator APK gabungan harus di tingkatkan sebesar 5,8 persen atau indikator AHH harus ditingkatkan satu tahun dari 69,7 tahun menjadi 70,7 tahun. 4. Penyang (2008) melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil penelitian dengan menggunakan panel data terdapat pengaruh yang positif dan signifikan pada semua variabel independen (PDRB per kapita, belanja
8 pemerintah, belanja rumah tangga untuk pendidikan dan kesehatan serta investasi) terhadap variabel dependen IPM. 5. Paulino (2009) melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang dampak yang ditimbulkan oleh investasi dalam negeri, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan manusia terhadap investasi asing langsung ke negara China. Penelitian dilakukan menggunakan teknik ordinary least square dan analisis runtut waktu (time series) yang memakai data selama periode 1977-2007. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika investasi dalam negeri di China meningkat, maka memiliki pengaruh positif yang cukup besar pada investasi asing untuk menanamkan modalnya. Pada pertumbuhan ekonomi hanya sedikit memberikan pengaruh untuk investasi asing mengalir ke China. Pada variabel pembangunan manusia, tingkat melek huruf memberikan pengaruh yang besar sedangkan komponen harapan hidup atau kematian bayi terbukti tidak signifikan terhadap investasi asing ke China. Dari sudut pandang kebijakan, jika pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan arus masuk investasi asing, maka pemerintah seharusnya mempromosikan pembangunan manusia, perkembangan finansial, dan mengembangkan infrastruktur. Hal ini membuat peningkatan dalam arus masuk investasi asing ke negera tersebut. 6. Baho (2009) melakukan penelitian di Kabupaten Sorong periode 1996-2007 dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana dampak Otonomi Khusus terhadap Indeks Pembangunan Manusia dan mengevaluasi kebijakan publik terhadap realisasi dan penggunaan dana Otonomi Khusus. Dengan menggunakan analisis deskriptif dan uji beda 2 sampel, diperoleh hasil:
9 a. tidak terdapat perbedaan Indeks Pembangunan Manusia antara sebelum dan sesudah adanya Otonomi Khusus; b. diketahui bahwa dana Otonomi Khusus belum menghasilkan dampak terhadap meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibandingkan dengan sebelum adanya Otonomi Khusus. 7. Suliswanto (2010) menganalisis pengaruh Produk Domestik Bruto dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Dengan menggunakan data periode 2004-2010, analisis dilakukan dengan regresi data panel. Metoda yang dipilih adalah dengan pendekatan random effect setelah melalui uji Hausman test. Dari hasil regresi data panel, dapat disimpulkan bahwa PDRB dan IPM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel kemiskinan, hanya saja berbeda tingkat signifikansinya, yaitu untuk PDRB signifikan pada α = 20 persen dan untuk IPM signifikan pada α =5 persen. Dari hasil analisis diperoleh nilai PDRB di masing-masing provinsi belum terlalu besar dalam mengurangi angka kemiskinan. Namun yang lebih dominan pengurangan angka kemiskinan dari variabel IPM. 8. Sulaiman, dkk. (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui apakah investasi asing langsung (FDI) dan perdagangan internasional adalah alat yang efektif untuk menjaga stabilitas ekonomi dan pembangunan atau tidak di negara Pakistan. Dengan menempatkan HDI sebagai variabel dependen, sedangkan FDI dan tingkat pertumbuhan GDP riil serta ekspor-impor sebagai variabel independen. Data yang telah dipilih dalam penelitian ini adalah antara tahun 1975-2008, di mana pada periode ini telah terjadi arus globalisasi atau perekonomian terbuka. Dengan menggunakan teknik ordinary least square maka hasil penelitian yang di peroleh adalah variabel FDI dan ekspor-impor
10 signifikan seperti yang diharapkan, sedangkan GDP riil tidak signifikan dan memiliki tanda negatif terhadap HDI. Dari hasil ini maka pembuat kebijakan harus fokus untuk meningkatkan arus FDI dan akan sangat berguna untuk mengalihkan kepada industri berorientasi ekspor. Transfer teknologi, penelitian dan inovasi, tenaga kerja yang terlatih dan lain-lain adalah manfaat dari FDI ke negara-negara tuan rumah. Hasil GDP riil tidak berpengaruh terhadap HDI, karena adanya ketimpangan pendapatan yang terjadi di Pakistan 9. Tomas (2011) meneliti tentang daya saing nasional antara negara-negara Jepang, Amerika dan Uni Eropa dengan periode penelitian tahun 2002-2007. Daya saing nasional ini diukur dengan menerapkan indikator yang digunakan oleh PBB yaitu Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pengeluaran yang lebih tinggi untuk pendidikan, riset dan pengembangan (R dan D) menyebabkan daya saing yang lebih tinggi. Dengan menggunakan model analisis panel data, ditemukan bahwa pengeluaran untuk pendidikan, R dan D positif mengarah kepada daya saing nasional. 10. Fazleen, dkk. (2012) menganalisis hasil kinerja pertumbuhan ekonomi diantara negara-negara yang sedang berkembang di Asia Timur khususnya China, Indonesia dan Malaysia. Ada tiga variabel dependen yang dikatagorikan sebagai penentu pertumbuhan ekonomi: (1) variabel demografik, yaitu angka harapan hidup sejak lahir; (2) variabel kebijakan, yaitu menyangkut perdagangan bebas, kebebasan sipil dan hak-hak politik, serta investasi asing langsung (FDI); (3) indikator pembangunan manusia
11 yang dijelaskan dengan tingkat fertilitas. Variabel GDP riil per kapita digunakan sebagai vaiabel proksi untuk mengukur pertumbuhan ekonomi (variabel dependen). Data dikumpulkan dari China, Indonesia dan Malaysia dari tahun 1980 2005. Dengan memakai metoda ordinary least square, angka harapan hidup, FDI, perdagangan bebas dan kebebasan politik memiliki pengaruh positif dan menjadi pertumbuhan signifikan di China, Indonesia dan Malaysia. Untuk variabel tingkat fertilitas dan kebebasan sipil berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, namun tidak memiliki efek signifikan. Secara khusus yang membedakan penelitian ini dengan penelitianpenelitian sebelumnya adalah: 1. Lokasi dan waktu penelitian adalah Provinsi Papua dengan waktu penelitian pada tahun 2007-2010. 2. Variabel penjelas yang digunakan pada penelitian ini adalah PDRB per kapita, Dana Otonomi Khusus (DOK), dan investasi. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Hasil capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua yang selalu terendah dibandingkan provinsi lain dalam kurun waktu 2007-2010, menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua selama periode 2007-2010.
12 1.3.2 Manfaat penelitian Manfaat yang akan diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademis dalam memahami berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan manusia; 2. sebagai bahan masukan bagi pemerintah Provinsi Papua dalam rangka menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan dalam rangka meningkatkan pembangunan manusia; 3. sebagai tambahan bahan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai Indeks Pembangunan Manusia. 1.4 Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari empat bab dan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bab I Pengantar, yang memuat dan menguraikan mengenai latar belakang, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, berisi tentang tinjauan pustaka, landasan teori, dan alat analisis. Bab III Analisis Data dan Pembahasan, berisi tentang cara penelitian, hasil analisis data dan pembahasan. Bab IV Kesimpulan dan Saran, memuat kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran dalam perumusan kebijakan pembangunan manusia.