BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda. Faktor personal yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

S T O P T U B E R K U L O S I S

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

Dasar Determinasi Pasien TB

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit TB disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mikobakterium tuberculosis dan kadang-kadang oleh Mikobakterium bovis

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

Dasar Determinasi Kasus TB

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. di daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru. 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan sinar matahari, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan

HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit TB paru di Indonesia masih menjadi salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesehatan penduduk Indonesia. Mycrobacterium Tuberculosis (Mansyur, 1999). Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan kehidupan bangsa. Dalam mewujudkan hal ini secara optimal

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tuberkulosis Paru (TB Paru) suatu penyakit kronis yang dapat

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sampel penelitian, dengan tetap memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner ini diuji validitas dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru

I. PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang bersifat aerobik, tahan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

KERANGKA ACUAN PROGRAM TB PARU UPTD PUSKESMAS BANDA RAYA KECAMATAN BANDA RAYA

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kuno seperti sisa-sisa tulang belakang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Personal Faktor personal adalah perbedaan individu dengan individu yang lainnya, setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda. Faktor personal yang memengaruhi perilaku kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru meliputi : 2.1.1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengalaman manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Penglihatan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang dalam melakukan penginderaan dalam suatu rangsang tertentu. Pengetahuan kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seseorang terhadap suatu rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan 6 tingkatan, yakni: a. Tahu (Know) Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkat pengalaman yang paling rendah.

b. Memahami (Comprehension) Merupakan suatu kemampuan nutuk menjelaskan secara benar obyek yang diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (Application) Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. d. Analisis (Analysis) Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponenkomponen, dan masuk ke dalam struktur organisasi tersebut. e. Sintesis (Synthesis) Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (Evaluation) Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2010). Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu : a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis akan memotivasi individu untuk

belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada ini inovasi diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat tidak merasa memerlukan inovasi tadi. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui keberadaan suatu inovasi. b. How-to-knowlegde (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan cukup tentang penggunaan inovasi ini. c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. 2.1.2. Sikap Sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran, dan predisposisi tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2007). Menurut Notoatmodjo (2010) sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: a. Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan sti ulus yang diberikan (objek). b. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, adalah bahwa orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. d. Bertanggung Jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2010). 2.1.3. Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan

yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannnya dengan pendidikan dimana semakin tinggi maka semakin luas pengetahuan seseorang (Danim, 2004). 2.1.4. Tingkat Pendapatan Keluarga Pemenuhan kebutuhan keluarga berkaitan dengan tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan adalah besarnya penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan. Kepatuhan seseorang terhadap pengobatan TB Paru sering kali dihadapkan dengan masalah rendahnya pendapatan yang selanjutnya mengarah kepada kurang terpenuhinya gizi dan kurangnya kepedulian terhadap hal-hal yang perlu dilakukan untuk pengobatan TB Paru. Tidak terpenuhinya pengobatan TB Paru secara teratur disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah (Setiadi, 2008). 2.1.5. Jarak Tempuh ke Unit Pelayanan Kesehatan Sarana dan prasarana yang tersedia mendukung tercapainya program pemerintah dalam hal pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat. Pemerintah membangun rumah sakit dengan fasilitas yang memadai bertujuan untuk peningkatan kesehatan masyarakat. Demikian halnya dengan puskesmas yang dibangun dengan tenaga medis dan sarana serta prasarana yang terus diupayakan mengalami perkembangan. Dalam hal perawatan kesehatan terutama bagi kaum ekonomi kelas bawah, jarak tempuh dari tempat tinggal mereka ke unit pelayanan kesehatan merupakan salah satu kendala dalam hal kepatuhan mereka menjalankan pengobatan. Pada akhirnya mereka tidak mematuhi aturan pengobatan yang dianjurkan (Setiadi, 2008).

2.1.6. Transportasi yang Digunakan Menuju Unit Pelayanan Kesehatan Kemudahan sampai ke unit pelayanan kesehatan untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan. Tersedianya transportasi yang memadai memiliki peranan penting terhadap penderita. Dengan banyaknya transportasi yang tersedia tentunya membuat penderita berkeinginan melakukan pengobatan terhadap penderita yang dialaminya. Sebaliknya, transportasi yang sulit ke puskesmas membuat si penderita sering mengurungkan niatnya dalam melakukan pengobatan ditambah lagi faktor waktu dan biaya yang dikeluarkan. Apabila penderita harus mengeluarkan uang yang lumayan besar untuk mencapai ke puskesmas, maka kemungkinan besar penderita tidak mematuhi aturan yang diberikan kepadanya dengan pertimbangan keuangan yang mereka miliki (Setiadi, 2008). 2.2. Dukungan Keluarga Menurut Friedman dalam Setiadi (2008), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Jenis dukungan keluarga ada empat yaitu : dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan penilaian, dan dukungan emosional. Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengnyimpulkan bahwa dukungan sosial, baik dukungan- dukungan yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat.

2.2.1. Fungsi Dukungan Keluarga Caplan dalam Setiadi (2008), menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu: a. Dukungan Informasional Dukungan informasional didefinisikan sebagai suatu bentuk bantuan dalam wujud pemberian informasi tertentu. Informasi yang disampaikan tergantung dari kebutuhan seseorang. Dukungan informasional dapat bermanfaat untuk menanggulangi persoalan yang dihadapi keluarga, meliputi pemberian nasehat, ide-ide dan informasi yang dibutuhkan. Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. b. Dukungan Emosional Dukungan emosional berupa dukungan simpatik dan empati, cinta, kepercayaan dan penghargaan. Dengan dukungan ini mendorong keluarganya untuk mengkomunikasikan segala kesulitan pribadi Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang

diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. c. Dukungan Penilaian Dukungan penilaian merupakan bentuk penghargaan yang diberikan seseornag kepada orang lain sesuai dengan kondisinya. Peran keluarga ketika memberikan dukungan penilaian adalah keluarga membimbing dan menengahi pemecahan masalah sebagai sumber indentitas anggota keluarga di antaranya dengan memberikan support, penghargaan dan perhatian. d. Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. Tujuan bantuan instrumental adalah mempermudah seseorang menjalankan aktifitasnya. Aktifitas yang dimaksud adalah aktifitas yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi atau menolong secara langsung masalah yang dihadapi sehingga bentuk dukungan istrumental ini dapat langsung dirasakan oleh pihak yang ditolong. 2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga Menurut Ahmadi (2004), faktor-faktor yang memengaruhi dukungan keluarga dibagi menjadi 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor internal, merupakan faktor yang muncul dari diri individu. a. Faktor emosi Emosi merupakan manifestasi perasaan yang disertai komponen fisiologik, berlangsung tidak lama dan dapat mengarahkan perilaku seseorang. Emosi berkaitan denga keadaan psikologis seseorang, dalam hal ini terkait dengan dua jenis dukungan sosial yaitu dukungan emosional dan penilaian. a. Pendidikan dan tingkat pengetahuan Berkaitan dengan seberapa besar pengetahuan tentang suatu penyakit. Hal ini berkaitan dengan jenis dukungan sosial keluarga yaitu dukungan informasional. 2. Faktor eksternal, merupakan faktor luar selain dari diri individu. Memiliki pengaruh lebih kecil dibanding faktor internal. a. Latar belakang budaya, meliputi ras, suku, adat istiadat, persepsi atau cara pandang terhadap sesuatu. b. Struktur keluarga Struktur keluarga menunjuk kepada bagaimana keluarga diorganisasikan, cara keluarga tersebut ditata, dan bagaimana komponen keluarga berhubungan satu sama lain. Dimensi struktural keluarga meliputi peran (peran formal dan informal), struktur kekuasaan, pola dan proses komunikasi keluarga, serta sistem nilai. Menurut Friedman (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi disini

meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang tua. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, efeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari pada orang tua dengan kelas sosial bawah. 2.3. Penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk basil dengan ukuran 0,3μ-0,6μ. Sebagian besar kuman terdiri dari asam (lipid) sehingga kuman ini tahan terhadap asam. Ada dua spesies Mycobakterium yang menyerang manusia yaitu mycobacterium tuberculosis (the human strain) dan mycobacterium bovis (Hard dan Mukty, 2008). Kuman mycobacterium masuk kedalam tubuh manusia melalui udara, masuk kedalam saluran pernapasan, terus keparu paru dan menetap di sana, atau dapat menyebar keseluruh tubuh melalui pembuluh darah atau saluran pembuluh limfe (Crofton, 2002). 2.3.1. Cara Penularan Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif yang belum diobati. Kuman TB menyebar dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei), pada waktu penderita batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Percikan dahak dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Kemungkinan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes, 2008). 2.3.2. Risiko Penularan Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1 %, berarti diantara 1000 penduduk terdapat sepuluh orang terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3 %. Kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi/gizi buruk (Depkes, 2008). 2.3.3. Gejala-gejala Tuberkulosis Keluhan yang dirasakan penderita TB Paru dapat bermacam macam atau malah tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah (Hard dan Mukty, 2008). 1. Demam Penderita TB Paru sering mengalami demam, yang kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41 0 C. Demam dapat hilang/timbul sehingga penderita tidak terbebas dari demam yang menyerupai influenza.

2. Batuk Batuk yang terus menerus dan berdahak 3 minggu atau lebih terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk dapat bersifat kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lebih lanjut adalah batuk bercampur darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah, hal ini terjadi pada kavitas atau pada ulkus dan dinding bronkus. 3. Sesak Nafas Pada penyakit ringan (baru kambuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasi sudah terjadi setengah bagian paru-paru. 4. Nyeri Dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura, sehingga menimbulkan pleuritis. Badan Lemah (Malaise), nafsu makan berkurang, tidak enak badan, berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, serta berat badan menurun, demam mering lebih dari sebulan. 2.3.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Menurut Depkes (2008), penemuan penderita merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB Paru yang terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan

tersangka penderita dilakukan di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. 2.3.5. Diagnosis Tuberkulosis Paru Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada specimen penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturutturut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 2002). 2.3.6. Klasifikasi Penyakit 1. Tuberkulosis (TB ) Paru Menurut Depkes (2008), Tuberkulosis (TB ) Paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam : a. TB Paru BTA (+) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB.

b. TB Paru BTA (-) Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto toraks menunjukkan gambaran TB. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika dan non OAT (Obat Anti Tuberkulosis). 2. Tuberkulosis (TB ) Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, pericardium (selaput jantung), kelenjar lymfe, tulang, ginjal dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu : a. TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar lymfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. b. TB ekstra paru berat, misalnya Meningitis millier, perikarditis, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes, 2008). 2.3.7. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru Menurut Depkes (2008), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu : 1. Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu) 2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian didiagnosis kembali dengan BTA positif.

3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah penderita yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4. Gagal (Failure) adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih selama pengobatan. 5. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6. Lain-lain adalah kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronis, yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 2.3.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru 2.3.8.1. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru Menurut Depkes (2008), OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan. 1. Tahap Awal (Intensif) Pada tahap awal (Intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi (kekebalan). Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (Depkes RI, 2002). 2.3.8.2. Hasil Pengobatan 1. Sembuh Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan Penderita pemeriksaan ulang dahak sebelum akhir pengobatan dan pada akhi pengobatan hasilnya negatif. 2. Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada pemeriksaan sputum, khususnya pada akhir pengobatan sehingga tidak diketahui apakah sembuh atau gagal. 3. Meninggal Adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 4. Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke kabupaten/kota lain.

5. Drop Out Penderita yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 6. Gagal Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan (Depkes, 2008). 2.3.9. Penanggulangan TB 2.3.9.1. Rencana Global Penanggulangan TB Menurut Depkes (2006), Rencana Global 2006-2015 mencakup enam elemen utama dalam strategi baru Stop TB-WHO yang terdiri dari : 1. Memperluas meningkatkan penemuan kasus dan kesembuhan melalui pendekatan ekspansi DOTS yang berkualitas, terfokus pada penderita agar pelayanan DOTS yang berkualitas dapat menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok masyarakat yang miskin dan rentan. 2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan cara meningkatkan kolaborasi TB/HIV, DOTS-Plus dan pendekatan lainnya. 3. Berkontribusi dalam memperkuat sistem kesehatan melalui kerjasama dengan berbagai program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya dalam memobilisasi sumber daya manusia dan finansial untuk implementasi dan mengevaluasi hasilnyaserta pertukaran informasi dalam keberhasilan pencapaian dalam program penanggulangan TB.

4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas pendekatan berbasis public-private mix (PPM). 5. Melibatkan penderita TB dan masyarakat untuk memberikan kontribusi dalam penyediaan pelayanan yang efektif. Hal ini meliputi perluasan pelayanan TB di masyarakat, menciptakan kebutuhan masyarakat akan pelayanan TB, advokasi yang spesifik; komunikasi dan mobilisasi sosial; serta mendukung pengembangan piagam pasien TB dalam masyarakat, dan memberdayakan dan meningkatkan penelitian operasional. 2.3.9.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO, yang dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada Tahun 1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002). Pengertian DOTS dimulai dengan keharusan pengelola program TB untuk memfokuskan perhatian dalam usaha menemukan penderita. Dalam arti deteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopik, yaitu dengan keharusan mendeteksi kasus secara baik dan akurat. Kemudian, setiap pasien harus diobservasi dalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Pasien juga harus menerima pengobatan yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dan

penyediaan obat secara baik. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan jangka pendek standard yang telah terbukti ampuh secara klinik. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002). Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan. Strategi DOTS mempunyai lima komponen : 1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 2. Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. 3. Membuat program. 4. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). 5. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. 6. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. 2.4. Kepatuhan 2.4.1. Definisi Kepatuhan Menurut Drennan (2000), kepatuhan (Compliance) dalam pengobatan dapat diartikan sebagai perilaku pasien yang mentaati semua nasehat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis. Mengenai segala sesuatu yang harus

dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan, salah satu diantaranya adalah kepatuhan dalam minum obat. Hal ini merupakan syarat utama tercapainya keberhasilan pengobatan yang dilakukan. Sarafino (2006) mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain. Kepatuhan terhadap pengobatan adalah kesetiaan mengikuti program yang direkomendasikan sepanjang pengobatan dengan pengambilan semua paket obat yang ditentukan untuk keseluruhan panjangnya waktu yang diperlukan Untuk mencapai kesembuhan diperlukan kepatuhan atau keteraturan berobat bagi setiap penderita. Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang ditetapkan. Penderita dikatakan lalai jika datang lebih dari 3 hari - 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan terturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas ksehatan (Depkes, 2002). Faktor karakteristik personal dan dukungan keluarga memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah. Dari berbagai faktor

penyebab ketidakpatuhan minum obat penderita TB Paru, dapat disimpulkan bahwa faktor manusia, dalam hal ini penderita TB paru sebagai penyebab utama dari ketidak patuhan minum obat. Pada umumnya alasan responden menghentikan pengobatan karena paket obat terlalu banyak dan besar-besar, merasa sudah sembuh yang ditandai dengan batuk berkurang,perasaan sudah enak badan, sesak napas berkurang, nafsu makan baik. Secara umum, hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan adalah bahwa: 1. Pasien memerlukan dukungan, bukan disalahkan. 2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tidak tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan. 3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat. 4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas suatu sistem kesehatan. 5. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan secara efektif suatu penyakit kronis. 6. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai tantangan baru. 7. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah ketidakpatuhan.

2.4.2. Faktor - faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Dalam hal kepatuhan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya: a. Pemahaman tentang Instruksi Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman dalam Crofton (2002) menemukan bahwa lebih dari 60% responden yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh penderita. Menurut Niven (2002), pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan penderita antara lain : a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan. b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain. c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis. d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal yang perlu ditekankan.

1. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan penderita merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan penderita adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada penderita setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Penderita membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. 2. Isolasi Sosial dan Keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit. 3. Keyakinan, Sikap, Kepribadian Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuranpengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.

Menurut Niven (2002), faktor yang berhubungan dengan ketidaktaatan, secara sejarah, riset tentang ketaatan penderita didasarkan atas pandangan tradisional mengenai penderita sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Penderita yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya mengidentifikasi kelompok-kelompok penderita yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Pendidikan penderita dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh penderita secara mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional dan penderita sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai suatu usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya. Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan : 1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan Perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), sarana mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas. Menurut Sarafino (2006), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar

78% untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat tersebut menurun sampai 54%. 2. Komunikasi antara penderita dan dokter. Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan dokter memengaruhi tingkat ketidakpuasan terhadap informasi aspek hubungan dengan pengawasan emosional yang kurang, dengan dokter, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan. 3. Variabel-variabel sosial Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada penderita yang kurang mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh normatif pada penderita, yang mugkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau menghambat perilaku ketaatan. 4. Ciri-ciri individual Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Sarafino, 2006).

2.5. Landasan Teori Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh mahluk hidup, baik yang diamati secara langsung atau tidak langsung perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek yaitu: aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya, yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, berpersepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010). Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner maka Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan kesehatan seseorang diselenggarakan dengan empat macam pendekatan yaitu pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit (preventive), penyembuhan penyakit (curative) dan pemulihan kesehatan (rehabilitative). Respon atau reaksi manusia dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang bersifat pasif dan bersifat aktif. Bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Perilaku terhadap pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan yang modern maupun pelayanan kesehatan yang tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan pengguna fasilitas, petugas, dan obat-obatan. Perilaku seseorang di pengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari

dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain ; susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan, kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu : a. Faktor perilaku (behavioral causes) b. Faktor diluar perilaku (non behavioral causes) Selanjutnya faktor perilaku di pengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktorfaktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor-faktor penguat (reinforcing factors). Faktor-faktor predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Hal di atas dapat berkaitan dengan kepatuhan minum obat pada pasien. Sebagai contoh kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru, akan dipermudah jika pasien mengetahui manfaat yang dilakukan. Demikian juga, penerimaan perilaku baru atau adopsi melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran,dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Faktor-faktor pemungkin mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakekatnya mendukung untuk mewujudkan perilaku kesehatan, maka faktor ini disebut dengan faktor pendukung

atau faktor pemungkin. Misalnya termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit. Faktor-faktor penguat meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas terutama petugas kesehatan. Demikian juga halnya kepatuhan pasien dalam menjalankan hemodialisa diperlukan dukungan dari keluarga dan petugas kesehatan. Dukungan keluarga meliputi dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan Instrumental dan dukungan emosional. Faktor Predisposisi - Pengetahuan - Sikap - Nilai - Pendidikan - Penghasilan Faktor Pemungkin - Ketersediaan Fasilitas - Ketrampilan Petugas Perilaku Faktor Penguat - Dukungan Keluarga - Dukungan Petugas Kesehatan - Dukungan Tokoh Masyarakat Gambar 2.1. Kerangka Teori

2.6. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka penulis dapat merumuskan kerangka konsep penelitian serta variabel-variabel yang akan diteliti, seperti pada gambar berikut : Faktor Predisposisi - Pengetahuan - Sikap - Pendidikan - Pendapatan Keluarga - Jarak Tempuh ke Unit Pelayanan Kesehatan - Transportasi yang Digunakan Menuju Unit Pelayanan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien TB paru Faktor Penguat Dukungan Keluarga yang meliputi : - Dukungan Informasional - Dukungan Penilaian - Dukungan Instrumental - Dukungan Emosional Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian