BAB I PENDAHULUAN. otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Pejabat Umum merupakan terjemaah dari istilah Openbare

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat timbul dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya melakukan kegiatan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia peraturan mengenai notaris dicantumkan dalam Reglement op het

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB 1 PENDAHULUAN. Upaya notaris..., Tammy Angelina Wenas-Kumontoy, FH UI, Baru van Hoeve,2007),hal.449. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan dalam membuat suatu alat bukti tertulis yang bersifat autentik dari

BAB I PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:Rajawali, 1982), hlm. 23.

BAB I PENDAHULUAN. Paramita, Jakarta, 1978, Hlm Rudhi Prasetya, Maatschap Firna dan Persekutuan Komanditer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA. Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya Rechts geleerd

Documentation and Studies of Business Law (CDSBL), 2003), hal. 31. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bernegara yang didasarkan kepada aturan hukum untuk menjamin. pemerintah Belanda pada masa penjajahan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip dari negara hukum tersebut antara

BAB II KECAKAPAN HUKUM SESEORANG YANG BERADA DI DALAM RUMAH TAHANAN MENANDATANGANI AKTA NOTARIS

BAB 2 PEMBAHASAN. untuk membuat alat bukti tertulis yang mempunyai. kekuatan otentik.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGKAJIAN HUKUM PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN NOTARIS DI PROPINSI DKI JAKARTA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1.

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. otentik, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak terelakkan lagi, dimana Indonesia berada di tengah dan dalam kancah

BAB II PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG DIBUAT OLEH NOTARIS (STUDI KASUS : PUTUSAN NO.1119/PDT.G/2006/PN.JKT.PST)

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nama yang pada zaman Romawi diberikan kepada orang-orang yang

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS NOMOR 30 TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya dunia bisnis di Indonesia, juga turut berpengaruh pada

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Notaris sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat terlebih

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lainnya, yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kegiatannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tidak

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) menentukan secara tegas bahwa negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Singkat Notaris, Pengertian Notaris dan Dasar Hukumnya

BAB I PENDAHULUAN. berupa oral (words spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana diatur oleh undang - undang termasuk dalam hal pengikatan antara

PERTANGGUNGJAWABAN KOPERASI TIDAK TERDAFTAR SEBAGAI BADAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. sosial, tidak akan lepas dari apa yang dinamakan dengan tanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB NOTARIS SETELAH PUTUSAN MK NO. 49/PUU-X/2012. Dinny Fauzan, Yunanto, Triyono. Perdata Agraria ABSTRAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PENYIMPANAN MINUTA AKTA SEBAGAI BAGIAN DARI PROTOKOL NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. membantu masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

dunia. 17 Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif

TINJAUAN YURIDIS LEGALISASI AKTA DI BAWAH TANGAN OLEH NOTARIS AYU RISKIANA DINARYANTI / D

TATA CARA PEMANGGILAN NOTARIS UNTUK KEPENTINGAN PROSES PERADILAN PIDANA BERKAITAN DENGAN AKTA YANG DIBUATNYA 1 Oleh: Muriel Cattleya Maramis 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia usaha yang memiliki persaingan usaha yang sangat ketat

56 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Semua akta adalah otentik karena ditetapkan oleh undang-undang dan juga

PENERAPAN CYBER NOTARY DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TESIS

Keywords: authentic Letter of Deed Is Its Strength of Evidence Perfect or Complete.

Dalam praktek hukum istilah ini acap kali digunakan, tetapi dalam berbagai konteks pengertian, sbb. : mengalami suasana kejiwaan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. 1 Istilah Pejabat Umum merupakan terjemaah dari istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris 2 dan Pasal 1868 KUHPerdata. 3 Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan: 4 Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan: Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. 1 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 2 Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art. 1 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing. Lihat G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga, 1996), hal 31. 3 Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983). 4 G.H.S. Lumban Tobing, op.cit.

Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi itu diberikan kepada Notaris. 5 Baik PJN maupun UUJN tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum. Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai pejabat negara. Misalnya akta-akta yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. 6 Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan 5 Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. 2, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 27. 6 Ibid., hal. 29.

alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. 7 Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya. Selain dari akta otentik yang dibuat oleh notaris, terdapat akta lain yang disebut sebagai akta di bawah tangan, yaitu akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta. Dengan kata lain, akta di di bawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum. 8 Akta di bawah tangan, jika tanda tangan di dalam akta itu tidak dimungkiri keasliannya, serupa dengan dengan akta otentik, mempunyai kekuatan pembuktian materil bagi yang menandatanganinya, ahli warisnya serta para pihak penerima hak dari mereka, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1875 KUH Perdata (Pasal 288 Rbg). 9 Jadi, isi keterangan di dalam akta di bawah tangan yang telah diakui keaslian tanda tangan atau diangap telah diakui menurut undangundang itu berlaku bagi para pihak sebagai akta otentik, dan merupakan alat bukti 7 Mengenai honorarium ini diatur dalam Pasal 36 UUJN. 8 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 36. 9 Pasal 1875 KUH Perdata: suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta autentik.

sempurna bagi mereka serta para ahli warisnya dan para penerima hak dari mereka, sepanjang mengenai apa yang dicantumkan dalam akta itu. 10 Akta di bawah tangan juga dapat disebut sebagai akta otentik melalui pengesahan (legalisasi) dan pendaftaran (waarmerking) pada pejabat notaris. Hal ini dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mengatur tentang kewenangan notaris, yang salah satunya adalah membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. 11 Dengan demikian, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang telah didaftarkan tersebut akan sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik. Tulisan ini mencoba untuk melihat sejauh mana kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan notaris dalam legalisasi dan waamerking berdasarkan Undang-undang tentang Jabatan Notaris. B. Permasalahan Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan tentang akta otentik dan akta di bawah tangan di Indonesia? 2. Bagaimana pengaturan tentang kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris dalam Undang-undang Jabatan Notaris? 3. Bagaimana kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris? 10 hal. 114. 11 Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan a. Untuk mengetahui pengaturan tentang akta otentik dan akta di bawah tangan di Indonesia b. Untuk mengetahui pengaturan tentang kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris dalam Undang-undang Jabatan Notaris c. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris 2. Manfaat a. Teoritis 1) Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum perdata. 2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya. b. Praktis Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga kenotariatan, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris.

D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris dalam Legalisasi dan Waarmerking Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Notaris dan Kelembagaannya di Indonesia Notaris berasal dari kata notarius, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan menulis pada zaman Romawi. Pada abad kelima dan keenam sebutan notarius, majemuknya notarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi raja. 12 Fungsi notarius pada saat itu sangat berbeda dengan fungsi Notaris pada saat ini. Pada akhir abad kelima sebutan notarii diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Mereka memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat, yang sekarang dikenal sebagai stenografen. 12 Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, (Yogyakarta: CDSBL, 2003), hal. 31.

Pejabat-pejabat yang dinamakan notarii tersebut merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani publik. Yang melayani publik dinamakan tabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan pekerjaan sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan keahliannya. 13 Pada dasarnya fungsi tabelliones mirip dengan fungsi Notaris pada masa sekarang, hanya saja akta-akta yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan. 14 Selain tabelliones terdapat juga pejabat lain yang dinamakan tabularii yang bertugas memegang dan mengerjakan buku-buku keuangan kota serta mengadakan pengawasan terhadap administrasi kota. Tabularii juga ditugaskan menyimpan surat-surat dan berwenang membuat akta. Tabularii berhak menyatakan secara tertulis terhadap tindakan-tindakan hukum yang ada dari para pihak yang membutuhkan jasanya. 15 Tabularii merupakan saingan berat bagi para tabelliones. Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) 16 di Indonesia. Jan Pieterszoon Coen pada waktu itu sebagai Gubernur Jendral di Jacatra (sekarang Jakarta) antara tahun 1617 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu mengangkat seorang Notaris. Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, sekretaris dari College van Schepenen (Urusan Perkapalan Kota) di Jakarta, diangkat sebagai 13 Ibid 14 Ibid, hal. 32. 15 Ibid 16 5 G.H.S. Lumban Tobing, Op. cit, hal. 15.

Notaris pertama di Indonesia. 17 Dalam akta pengangkatannya sebagai Notaris, secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yaitu menjalankan tugas jabatannya di Jakarta demi kepenti-ngan publik dan berkewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen-dokumen dan aktaakta yang dibuatnya. Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan Sekretaris College van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juni 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari aktaakta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan. 18 Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas dan wewenang dari seorang Notaris dan juga menegaskan Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan k e m u d i a n mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar. 19 Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang 17 Ibid 18 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia: Suatu Penjelasan, ( Jakarta, Rajawali, 1982), hal. 23. 19 Ibid, hal. 24-25.

berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). 20 Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang- Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu: Segala peraturan perundangundangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang- undang dasar ini. Dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948, Tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman. 21 Tahun 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus 22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh Wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat- Papua sekarang), adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status Notaris yang berkewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya. 22 Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri 20 Habib Adjie, Op. cit, 2009, hal. 2. 21 Ibid 22 Ibid

Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda. 23 Tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan bahwa, dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954), sedangkan yang disebut Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3)- (Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het 23 Ibid

Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) sebagai Reglemen tentang Jabatan Notaris di Indonesia (Pasal 1 huruf a) untuk Notaris Indonesia. 24 Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954 merupakan Notaris (berkewarganegaraan Belanda) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) berdasarkan Pasal 3 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Ketentuan pengangkatan Notaris oleh Gubernur Jenderal, oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 telah dicabut, yaitu tersebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan juga mencabut Pasal 62, 62a dan 63 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Tahun 2004 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004. Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi: 1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860: 3) 25 sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101; 2. Ordonantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); 24 Ibid 25 Habib Adjie penyebutan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860: 3) ada kesalahan, karena pada tahun 1860 wilayah Indonesia masih disebut Nederlands Indie, seharusnya masih disebut Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Reglemen tersebut menjadi Reglemen Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun1954, selanjutnya biasa disebut Peraturan Jabatan Notaris atau PJN merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3). Ibid. hal. 4

4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris. Dijelaskan dalam Penjelasan UUJN bagian Umum, UUJN merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undangundang yang mengatur tentang Jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian UUJN merupakan satu-satunya undang- undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia dan berdasarkan Pasal 92 UUJN, dinyatakan UUJN tersebut langsung berlaku, yaitu mulai tanggal 6 Oktober 2004. Salah satu contoh unifikasi substansi UUJN yang harus dilakukan oleh para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN mengenai kewajiban mengirimkan daftar akta wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Pengiriman daftar akta wasiat ini, sebelumnya hanya dilakukan oleh para Notaris untuk Warga Negara Indonesia yang selama ini dikualifikasikan tunduk atau baginya berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Dengan berlakunya UUJN ini, maka pengkualifikasian seperti itu tidak berlaku lagi. Siapapun yang membuat wasiat di hadapan Notaris, maka Notaris wajib melaporkannya ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan wajib pula untuk meminta surat keterangan dari Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengenai ada wasiat atau tidak ada wasiat atas nama seseorang. Kewajiban seperti ini berlaku atau dilakukan oleh Notaris, jika pembuatan bukti sebagai ahli waris dibuat di hadapan Notaris. 2. Implementasi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 terhadap Notaris Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya. Dalam hal ini kami menyoroti pasal 18 tentang kedudukan dan wilayah jabatan notaris serta kantornya. Pasal 15 ayat (2) huruf f juga perlu dibahas dalam paper ini karena terkait dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketersinggungan kewenangan institusi lain di bidang kenotariatan. Selain ketentuan di atas, Pasal 20 dan beberapa ketentuan pendelegasian kepada Menteri Hukum dan HAM perlu dimunculkan

dalam kesempatan ini, dalam rangka memperoleh masukan bagaimana nantinya substansi peraturan pelaksanaan yang akan dipersiapkan oleh Departemen Hukum dan HAM untuk mengatur persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris dalam satu perkumpulan perdata, termasuk format kerahasiaan akta dan protokol notaris. 26 a. Kedudukan dan wilayah notaris Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 UUJN, notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota dan notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Dalam penjelasan pasal tidak dijelaskan oleh pembentuk undang-undang karena ketentuan tersebut memang sudah jelas. Pasal 19 lebih lanjut menentukan bahwa notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya, dan notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya. Dengan demikian, notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya. Ketentuan ini selain membatasi kewenangan notaris, juga akan menambah pekerjaan Majelis Pengawas (yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan Pasal 67 UUJN) untuk selalu mengawasi notaris dalam menjalankan jabatannya. Pasal 17 menentukan secara tegas bahwa notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan 26 www.legalitas.org. diakses tanggal 27 Maret 2010.

sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar-notaris dalam menjalankan jabatannya. Jadi, jika notaris berkedudukan di Kabupaten Bogor, maka wilayah jabatannya adalah seluruh wilayah provinsi Jawa Barat. Ketentuan mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris di atas terkait dengan hubungan teposeliro antarnotaris dalam mencari (melayani) klien sehingga di sini diperlukan suatu kerja sama dan saling menghargai satu sama lain. Kebersamaan lebih ditekankan dalam membina korps profesi jabatan notaris. b. Kewenangan Notaris Pasal 15 UUJN menentukan kewenangan notaris secara rinci, termasuk pengecualiannya. Pengecualian tersebut dapat dilakukan, namun ditentukan terlebih dahulu oleh suatu undang-undang. Pengecualian atas kewenangan semacam ini secara relatif memang sulit dilakukan, namun perlu diwaspadai bahwa pembentuk undang-undang kemungkinan nantinya akan melakukan manuver untuk mengurangi kewenangan notaris. Model yang terakhir ini sering dilakukan demi kepentingan sektor tertentu untuk memperoleh kewenangan baru atau malah mengambil kewenangan sektor lain melalui pembentukan suatu undang-undang. Dalam bagian ini, hanya dibahas mengenai kewenangan notaris yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f yang berbunyi notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.

Ketentuan semacam ini sudah barang tentu membawa konsekuensi yuridis dan politis yang besar di lingkungan pemerintahan, khususnya yang terkait dengan tugas pendaftaran tanah yang telah dilaksanakan oleh pejabat pembuat akta tanah. Permasalahan di atas harus segera dibenahi bersama oleh pemerintah sebagai pelaksana undang-undang. Kelemahan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN ini terlihat tidak adanya ketentuan peralihan yang menjembatani pelaksanaan pendaftaran tanah yang selama ini dilakukan oleh pejabat pembuat akta tanah yang didasarkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kedua Peraturan Pemerintah di atas sering dipermasalahkan oleh orang, terutama oleh akademisi, karena materi muatan yang diaturnya adalah materi muatan undang-undang. Di samping itu, kedua Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk bukan atas dasar pendelegasian yang jelas dari suatu undang-undang. Makna melaksanakan pendaftaran hanyalah tindakan adminstratif mendata, bukan memberikan hak tertentu dan membebani kewajiban kepada masyarakat. Tampaknya Pasal 15 ayat (2) huruf f ini akan mengembalikan posisi kewenangan semula melalui satu pintu. Jika hal ini yang diinginkan, maka seyogyanya pemerintah mengambil inisiatif untuk membenahi dengan menetapkan suatu peraturan pemerintah yang mengatur mengenai

masa transisi beralihnya lembaga pendaftaran tanah ke lembaga kenotariatan. Dengan demikian, pemerintah, dalam hal ini BPN, hanya mendata dan mengatur mengenai rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, penyajian, dan pemeliharaan data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah dalam bentuk peta dan daftar. Suatu keinginan yang patut dipuji bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai kemauan untuk berkumpul bersama dalam satu kantor. Hal ini menunjukkan bahwa solidaritas antar notaris semakin dapat diwujudkan di masa mendatang karena kesulitan notaris (baik materiel maupun nonmateriel) yang satu dengan lainnya tidaklah sama. Di samping itu, kebersamaan ini dapat dijadikan ajang untuk belajar dan menimba bidang-bidang ilmu dari notaris yang mempunyai pengalaman lebih. Pembidangan ilmu bagi notaris yang berkeinginan untuk bergabung bersama perlu dilakukan, namun tetap memperhatikan proporsional pendapatan pemberian pelayanan kepada klien dengan melakukan perjanjian tertentu. Berdasarkan Pasal 20 ayat (3), persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris dalam satu kantor bersama akan diatur dalam Peraturan Menteri. Dalam Peraturan Menteri harus diatur pula makna kemandirian and ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.

3. Akta Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan akta, harus dimulai dengan menunjuk kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur alat-alat bukti. Pasal 1866 KUH Perdata menentukan: Alat-alat bukti terdiri atas: a. Bukti tulisan b. bukti dengan saksi c. persangkaan d. pengakuan e. sumpah Dari kelima alat bukti tersebut, hanya satu alat bukti yang harus diberi perhatian khusus, yaitu tulisan. Pitlo dalam bukunya Bewijs en Verjaring membicarakan tulisan secara panjang lebar. Menurutnya tulisan adalah sesuatu yang memuat tanda bacaan yang menggambarkan suatu isi pikiran yang dapat dimengerti. 27 Tulisan dapat pula dibedakan dalam dua jenis, yakni tulisan akta dan tulisan bukan akta. Tulisan akta atu disingkat akta adalah tulisan yang ditandatangani dan dipersiapkan/ dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti bagi kepentingan orang untuk siapa akta itu diperbuat. 27 M. U. Sembiring, Teknik Pembuatan Akta, (Medan: Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum USU, 1997), hal. 3.

Ada dua unsur yang harus dipenuhi agar tulisan memperoleh kualifikasi sebagai akta, yakni: a. tulisan itu harus ditandatangani b. dan tulisan itu diperbuat dengantujuan untuk dipergunakan menjadi alat bukti. Dalam kehidupan sehari-hari, sering ditemukan tulisan yang dibubuhi tanda tangan namun tidak dapat dinamakan akta karena tulisan itu meskipun ditandatangani namun diperbuat bukan untuk menjadi alat bukti. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tulisan bukan akta adalah tulisan yang tidak dimaksud sebagai alat bukti. Ada tidaknya tandatangan tidak relevan. Menurut Pitlo, menandatangani adalah mencantumkan di atas bahan yang memuat akta itu tanda-tanda huruf yang diperbuat dengan tulisan tangan dari si penandatangan yang mengindividualisir si penandatangan. 28 Hal yang terpenting di sini adalah bahwa tandatangan tersebut mampu mengindividualisir si penanda tangan dalam batas tertentu. Undang-undang tidak mengharuskan bahwa tanda tangan itu harus dapat dibaca. Dalam praktek notariat, justru tanda tangan itu sering tidak dapat dibaca. Sebagai jalan keluar untuk mengatsai keraguan dalam menyelidiki siapakah yang mencantumkan tanda tangan tertentu itu, maka adakalanya di bawah tanda tangan itu oleh si penandatangan dicantumkan pula namanya sekaligus. 28 Ibid, hal. 4.

Dalam pada itu tentunya adalah merupakan suatu keharusan bahwa tanda tangan yang dicantumkan itu adalah tanda tangan yang berasal dari yang bersangkutan, bukan berasal dari orang lain, meskipun pencantuman oleh orang lain itu adalah atas persetujuan dari yang bersangkutan sendiri. Dengan demikian, pencantuman cap ibu jari dalam suatu akta notaris yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dapat menandatangani karna ia buta huruf atau berhalangan untuk menandatangani, tidak ada manfaatnya karena cap ibu jari bukan merupakan tanda tangan huruf. F. Metode Penelitian Didalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini penulis telah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas 29. 2. Jenis Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang didukung oleh data primer. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitain yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari : a. Bahan Hukum Primer Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. 30 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris, seperti: seminar-seminar, jurnal- 29 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2006), hal. 118. 30 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 19.

jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan Hukum Tersier Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 3. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut: 31 a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian. b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan. 31 Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 63.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan. d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian. 4. Analisa data Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. G. Sistematika Pembahasan Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum tentang akta, yang mengulas Pengertian akta, Persyaratan Suatu Akta, Macammacam Akta, dan Kekuatan Pembuktian Akta BAB III : Bab ini akan membahas tentang tinjauan terhadap notaris dan kewenangannya dalam undang-undang jabatan notaris, yang

memuat Karakteristik Notaris, Syarat, Kewajiban dan Larangan Bagi Notaris, Pengawasan Notaris Melalui Lembaga Majelis Pengawas, Sumber Kewenangan Notaris, dan Kewenangan Legalisasi dan Waarmerking Notaris. BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan legalisasi dan waarmerking notaris, yang mengulas tentang Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dikaitkan dengan Legalisasi dan Waarmerking Notaris, dan Kewenangan Hakim Membatalkan Akta di Bawah Tanganyang telah Memperoleh Legalisasi dari Notaris. BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.