IV METODE PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Jalan Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi )

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi.

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

3.3. PENGEMBANGAN MODEL

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara adalah perdagangan internasional. Perdagangan internasional

Losses_kedelai LOSSES_kedelai_1. RAMP_LOSSES surplus. kebutuhan_kedelai. inisial_luas_tanam produski_kedelai Rekomendasi_pupuk

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KAKAO (SUATU PENDEKATAN SISTEM DINAMIS)

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Abdul Muis Hasibuan 1, Rita Nurmalina 2 dan Agus Wahyudi 3 ABSTRAK ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

OUTLOOK KOMODITI KAKAO

Tahun Harga Kakao Harga Simulasi

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

4.3. PENGEMBANGAN MODEL

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 PEMBANGUNAN MODEL. Gambar 13. Diagram sebab-akibat (causal loop) antar faktor sediaan beras. Bulog Jumlah penduduk. Pedagang pengumpul

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

Analisis Kebijakan Persediaan Beras Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao I. PENDAHULUAN

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta. Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

I. PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia yang mengalami penurunan pada masa. krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, masih berlangsung hingga

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

ISSN OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. lain yang sesuai dengan kebutuhan ternak terutama unggas. industri peternakan (Rachman, 2003). Selama periode kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

ISS N OUTLOOK TEH Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2015

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN. Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

BAB 1 PENDAHULUAN. negara dan juga penyerap banyak tenaga kerja. Indonesia yang sempat menempati posisi ke-5

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. berlebih, yang bisa mendatangkan suatu devisa maka barang dan jasa akan di ekspor

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA OLEH : RIZA RAHMANU H

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu.

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

Transkripsi:

IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekunder. Data diperoleh dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan Pusat Statistik, Asosiasi Kakao Indonesia, Dewan Kakao Indonesia, Asosiasi Industri Kakao Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, dan hasil - hasil publikasi yang terkait dengan penelitian. 4.2 Metode Analisis Data Untuk menjawab tujuan dari penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan dinamika sistem. Model dinamika sistem agroindustri kakao menggunakan data Tahun 2008 sebagai tahun dasar. Selain itu, dilakukan analisis model sampai dengan tahun 2025 untuk melihat perilaku model dalam jangka panjang. Tahun tersebut dipilih sesuai dengan sasaran jangka panjang yang tertuang dalam road map pengembangan industri kakao yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian. Tahapan dalam penelitian ini dirancang sebagai berikut: 4.2.1 Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Eriyatno, 2003). Untuk itu, Sebagai langkah awal dalam pendekatan dinamika sistem, dilakukan analisis kebutuhan dari masing masing pelaku yang terkait dalam sistem agribisnis kakao. Melalui hasil studi pustaka dari berbagai penelitian dan publikasi, pihak pihak yang terkait dalam sistem agroindustri kakao adalah pemerintah, pedagang, pelaku industri, dan petani. analisis kebutuhan masing masing pelaku disajikan pada Tabel 3. 4.2.2 Formulasi Masalah Setiap pelaku yang terlibat memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda beda sehingga menimbulkan konflik kepentingan dalam sistem. Hal ini menyebabkan sistem tidak dapat berjalan optimal sebagaimana mestinya. Berbagai permasalahan yang dihadapi setiap pelaku dalam sistem disajikan pada Tabel 4.

40 Tabel 3 Analisis kebutuhan pihak pihak yang terlibat dalam sistem agroindustri kakao No Pelaku Kebutuhan 1 Petani a. Harga pupuk, pestisida, benih dan saprodi lainnya terjangkau b. Harga jual biji kakao tinggi c. Produktivitas kakao tinggi 2 Pedagang a. Mutu biji baik b. Keuntungan layak 3 Industri pengolahan a. Mutu biji kakao tinggi b. Pasokan bahan baku kontinu c. Produksi kakao olahan meningkat d. Keuntungan layak e. Permintaan produk olahan tinggi f. Harga biji kakao murah g. Kapasitas terpakai dan terpasang meningkat 4 Pemerintah a. Kesejahteraan petani meningkat b. Nilai tambah produk kakao meningkat c. Nilai ekspor meningkat d. Devisa meningkat Tabel 4 Formulasi permasalahan pelaku yang terlibat dalam sistem agroindustri kakao No Pelaku Formulasi Permasalahan 1 Petani a. Harga biji kakao rendah b. Produksi dan mutu rendah c. Pendapatan petani rendah 2 Pedagang a. Mutu produk rendah b. Bea ekspor tinggi 3 Industri Pengolahan a. Produksi kakao olahan rendah b. Mutu bahan baku rendah c. Tarif barier ekspor kakao olahan oleh negara importir 4 Pemerintah a. Ekspor sebagian besar dalam bentuk biji b. Harmonisasi kebijakan kurang 4.2.3 Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan rantai hubungan antara kebutuhan kebutuhan dari masing masing pelaku sistem dengan permasalahan permasalahan yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Eriyatno, 2003). Selain itu, keterkaitan antar elemen dalam sistem yang digambarkan dalam diagram sebab akibat (causal loop diagram) merupakan salah satu inti dari konsep dinamika sistem (Sterman, 2000). Diagram sebab akibat sistem agroindustri kakao disajikan pada Gambar 12.

41 Gambar 12 Diagram sebab akibat rancangan model sistem agroindustri kakao. Setelah menyusun rantai hubungan sebab akibat antara kebutuhan dan permasalahan dalam bentuk diagram alir sebab akibat seperti yang disajikan pada Gambar 12, langkah selanjutnya dalam mengidentifikasi sistem adalah menginterpretasikan diagram alir ke dalam konsep kotak gelap (black box) atau diagram input output. rancangan diagram input output disajikan pada Gambar 13. Input Tak Terkendali o Suku bunga o Nilai tukar o Permintaan kakao olahan Input Terkendali o Kebijakan pemerintah o Kapasitas industri o Produksi biji kakao o Kualitas biji kakao Input Lingkungan o Kondisi sosial ekonomi o Kondisi pasar kakao dunia Sistem Agroindustri Kakao Manajemen Pengendalian Sistem Agroindustri Kakao Outputt Dikehendaki o Dayaa serap industri pengolahan kakao tinggi o Pangsa ekspor kakao olahan tinggi o Penerimaan petani tinggi Output Tak Dikehendaki o Proses produksi kakao olahan tidak efisien o Harga biji kakao rendah Gambar 13 Diagram input - output rancangan model sistem agroindustri kakao.

42 4.2.4 Pengembangan Model Pengembangan model sistem agroindustri kakao disusun dari 4 submodel yang memiliki keterkaitan satu sama lain, yaitu: (1) submodel penyediaan bahan baku; (2) submodel pengolahan kakao; (3) submodel konsumsi kakao olahan; dan (4) submodel perdagangan (Gambar 14). Pengembangan model merupakan penjabaran dari diagram sebab akibat yang dilakukan melalui identifikasi elemen (variabel) yang terkait serta membangun hubungan antar variabel tersebut, baik dalam submodel maupun dalam model secara keseluruhan. Pengembangan model dinamika sistem ini ditujukan untuk mengetahui perilaku industri hilir kakao yang diindikasikan oleh dinamika daya serap biji kakao oleh industri pengolahan negeri, pangsa ekspor kakao olahan dibandingkan dengan ekspor kakao Indonesia secara keseluruhan serta tingkat penerimaan petani untuk setiap hektar areal perkebunan kakao yang diusahakan. Gambar 14 Keterkaitan antar submodel dalam model sistem agroindustri kakao. 1. Submodel Penyediaan Bahan Baku Submodel penyediaan bahan baku dibangun dari subsistem usahatani dalam sistem agribisnis kakao. Dengan demikian, pelaku utama dalam submodel ini adalah petani maupun perusahaan yang terlibat dalam perkebunan kakao. Submodel penyediaan bahan baku disusun untuk mengetahui perilaku penyediaan bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan kakao yang berada dalam submodel pengolahan kakao. Penyediaan bahan baku terdiri dari 2, yaitu biji kakao dan non. Produksi biji kakao dan non dalam submodel ini berasal dari 3 jenis pengusahaan perkebunan kakao, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan

43 besar swasta. Penggunaan 3 jenis pengusahaan dalam model ini dilakukan karena ketiga jenis pengusahaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, seperti mutu biji kakao yang dihasilkan ( dan non), produktivitas, dan tren pertumbuhan luas areal. Fraksi lj prdktvts PR Lj pngktn prdktvts PR Prdktvts PR Init prdktvs PR Penerimaan petani Fraksi PR Frks LJ LA PR Init LA PR Prdks Frmnts PR LA PR LJ LA PR Fraksi nnfrmnts PR Prdks PR Frks lj pngktn prdktvts PN Frks LJ LA PN Lj pngktn prdktvts PN Prdktvts PN Init prdktvts PN Prdks nnfrmnts PR Total Prod Frmnts Init LA PN Total produksi biji LA PN Prdks PN Prdks Frmnts PN Total Prod NnFrmnts LJ LA PN Prdks NnFrmnts PN Frks Frmnts PN Frks lj prdktvts PS Frks LJ LA PS Init LA PS Lj pngktn prdktvts PS Prdktvts PS Init prdktvts PS Fraksi Nnfrmnts PN Frks Frmnts PS Prod Frmnts PS Prdks NnFrmnts PS Fraksi Nnfrmnts PS LJ LA PS LA PS Prdks PS LA Total Gambar 15 Diagram alir submodel penyediaan bahan baku. Tujuan dari penyusunan submodel ini adalah untuk menganalisis perilaku ketersediaan bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan, terutama biji kakao yang sering menjadi faktor pembatas bagi industri. Tujuan ini dapat dicapai apabila perkebunan kakao di Indonesia mampu menyediakan biji kakao baik maupun non untuk bahan baku industri pengolahan. Submodel penyediaan bahan baku biji kakao yang dibangun disajikan pada Gambar 15. Deskripsi, data dan sumber data serta keterkaitan antar variabel disajikan pada Tabel 5, sedangkan persamaan matematis yang

44 menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dalam submodel ini adalah sebagai berikut: - LA PR (t) = Init LA PR (t-dt)+( LJ LA PR)*dt... (1) - Prdktvts PR (t) = Init prdktvs PR (t-dt)+( Lj pngktn prdktvts PR)*dt... (2) - Prdks PR = LA PR*Prdktvts PR... (3) - Prdks Frmnts PR= Fraksi PR*Prdks PR... (4) - Prdks nnfrmnts PR = Fraksi nnfrmnts PR*Prdks PR... (5) - LA PN (t) = Init LA PN (t-dt)+( LJ LA PN)*dt... (6) - Prdktvts PN (t) = Init prdktvts PN (t-dt)+( Lj pngktn prdktvts PN)*dt.. (7) - Prdks PN= LA PN*Prdktvts PN... (8) - Prdks Frmnts PN= Frks Frmnts PN*Prdks PN... (9) - Prdks NnFrmnts PN= Fraksi Nnfrmnts PN*Prdks PN... (10) - LA PS (t) = Init LA PS (t-dt)+( LJ LA PS)*dt... (11) - Prdktvts PS (t) = Init prdktvts PS (t-dt)+( Lj pngktn prdktvts PS)*dt... (12) - Prdks PS= LA PS*Prdktvts PS... (13) - Prdks Frmnts PS= Frks Frmnts PS*Prdks PS... (14) - Prdks NnFrmnts PS= Fraksi Nnfrmnts PS*Prdks PS... (15) - Total Prod Frmnts=Prdks Frmnts PR + Prdks Frmnts PN + Prod Frmnts PS... (16) - Total Prod NnFrmnts = Prdks nnfrmnts PR + Prdks NnFrmnts PN + Prdks NnFrmnts PS... (17) - Total produksi biji = Total Prod Frmnts+Total Prod NnFrmnts... (18) - Penerimaan petani = (Fraksi PR*Prdktvts PR*Hrg Frmnts)+(Fraksi nnfrmnts PR*Prdktvts PR*Hrg nnfrmnts)... (19) Tabel 5 Asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber Data 1 LA PR Jumlah luas areal kakao yang diusahakan oleh perkebunan rakyat pada tahun 2008 Ha 1326784 Ditjenbun 2 Frks LJ LA PR Tingkat laju penambahan luas areal kakao yang diusahakan oleh perkebunan rakyat periode 2005-2008 %/ 7,2936 Ditjenbun 3 LJ LA PR Jumlah penambahan luas areal kakao yang diusahakan oleh perkebunan rakyat per tahun Ha/ Frks LJ LA PR * LA PR Ditjenbun 4 Prdktvts PR Produktivitas kakao perkebunan rakyat, merupakan rasio antara produksi dan luas areal pada tahun 2008 5 Frks Lj prdktvts PR Tingkat laju peningkatan produktivitas kakao perkebunan rakyat periode 2005-2008 / ha %/ 558,2529 Ditjenbun -2,932 Ditjenbun,

45 Tabel 5 (lanjutan) No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 6 Lj pngktn prdktvts PR Jumlah peningkatan produktivitas kakao perkebunan rakyat 7 Prdks PR Jumlah produksi biji kakao yang dihasilkan dari perkebunan rakyat 8 Fraksi PR 9 Prdks Frmnts PR 10 Fraksi nnfrmnts PR 11 Prdks nnfrmnts PR Persentase biji kakao yang dihasilkan dari perkebunan rakyat, dihitung dari produksi kakao total sebanyak 15 persen dikurangi produksi biji kakao perkebunan negara dan swasta yang diasumsikan 100% di Jumlah biji kakao yang dihasilkan dari perkebunan rakyat Persentase biji kakao non yang dihasilkan dari perkebunan rakyat Jumlah biji kakao non yang dihasilkan dari perkebunan rakyat 12 LA PN Jumlah luas areal kakao yang diusahakan oleh perkebunan besar negara pada tahun 2008 13 Frks LJ LA PN Tingkat laju penambahan luas areal kakao yang diusahakan oleh perkebunan besar negara periode 2005-2008 14 LJ LA PN Jumlah penambahan luas areal kakao yang diusahakan oleh perkebunan besar negara per tahun 15 Prdktvts PN Produktivitas kakao perkebunan besar negara, merupakan rasio antara produksi dan luas areal pada tahun 2008 16 Frks prdktvts PN Tingkat laju peningkatan produktivitas kakao perkebunan besar negara periode 2005-2008 17 Lj prdktvts PN Jumlah peningkatan produktivitas kakao perkebunan besar negara/tahun 18 Prdks PN Produksi biji kakao yang dihasilkan oleh perkebunan besar negara 19 Frks Frmnts PN Persentase produksi biji kakao oleh perkebunan besar negara (PN) / ha/ Fraksi lj prdktvts PR * Prdktvts PR LA PR * Prdktvts PR % 7,7802 AIKI Fraksi PR * Prdks PR % 100- Fraksi PR Fraksi nnfrmnts PR * Prdks PR Sumber Data Ditjenbun, Ha 50584 Ditjenbun %/ Ha / / ha % / / ha/ 8,0534 Ditjenbun Frks LJ LA PN * LA PN 615,412 Ditjenbun, -1,814 Ditjenbun, Frks prdktvts PN * Prdktvts PN LA PN * Prdktvts PN % 100 Asumsi

46 Tabel 5 (lanjutan) No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 20 Fraksi Nnfrmnts PN 21 Prdks Frmnts PN 22 Prdks NnFrmnts PN Persentase produksi biji kakao oleh PN Produksi biji kakao yang dihasilkan oleh PN Produksi biji kakao non yang dihasilkan oleh PN 23 LA PS Jumlah luas areal kakao yang diusahakan oleh perkebunan swasta (PS) pada tahun 2008 24 Frks LJ LA PS Tingkat laju penambahan luas areal kakao yang diusahakan oleh PS periode 2005-2008 25 LJ LA PS Jumlah penambahan luas areal kakao yang diusahakan oleh PS per tahun 26 Prdktvts PS Produktivitas kakao PS, merupakan rasio antara produksi dan luas areal pada tahun 2008 27 Frks prdktvts PS Tingkat laju peningkatan produktivitas kakao PS periode 2005-2008 28 Lj prdktvts PS Jumlah peningkatan produktivitas kakao PS/tahun 29 Prdks PS Produksi biji kakao yang dihasilkan oleh PS 30 Frks Frmnts PS 31 Fraksi Nnfrmnts PS 32 Prod Frmnts PS 33 Prdks NnFrmnts PS 34 Total Prod Frmnts 35 Total Prod NnFrmnts 36 Total produksi biji Persentase produksi biji kakao oleh PS Persentase produksi biji kakao oleh PS Produksi biji kakao yang dihasilkan oleh PS Produksi biji kakao non yang dihasilkan oleh PS Jumlah biji kakao yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta Jumlah biji kakao non yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta Jumlah produksi biji kakao Indonesia % 100- Frks Frmnts PN Frks Frmnts PN * Prdks PN Fraksi Nnfrmnts PN * Prdks PN Sumber Data Ha 47848 Ditjenbun %/ Ha/ / ha %/ Kg/ ha/ Kg -0,44 Ditjenbun Frks LJ LA PS * LA PS 664,249 Ditjenbun, 2,9659 Ditjenbun, Frks prdktvts PS * Prdktvts PS LA PS * Prdktvts PS % 100 Asumsi % 100- Frks Frmnts PS Frks Frmnts PS * Prdks PS Fraksi Nnfrmnts PS * Prdks PS Prdks Frmnts PR + Prdks Frmnts PN + Prod Frmnts PS Prdks nnfrmnts PR + Prdks NnFrmnts PN + Prdks NnFrmnts PS ( Total Prod Frmnts + Total Prod NnFrmnts )

47 Tabel 5 (lanjutan) No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 37 Penerimaan petani Penerimaan petani untuk setiap hektar lahan yang diusahakan, dihitung sebagai multiplikasi volume biji yang dihasilkan dengan harga kakao ( dan non ). Dalam ini, biaya Usahatani tidak diperhitungkan Rp./ ha (Fraksi PR*Prdktvts PR*Hrg Frmnts)+( Fraksi nnfrmnts PR*PrdktvtsPR* Hrg nnfrmnts) Sumber Data 2. Submodel Pengolahan Kakao Dalam submodel pengolahan kakao, perilaku pengolahan kakao oleh pihak-pihak yang terlibat dalam industri pengolahan kakao sangat tergantung kepada tingkat kapasitas terpasang industri dan utilisasi kapasitas terpasang (kapasitas terpakai). Variabel-variabel yang digunakan dalam menyusun submodel ini adalah kapasitas terpasang industri, kapasitas terpakai industri, kebutuhan/permintaan biji kakao ( dan non ), daya serap biji kakao oleh industri pengolahan dan produksi kakao olahan. Diagram alir dan keterkaitan dari berbagai elemen tersebut digambarkan dalam submodel pengolahan kakao seperti yang disajikan pada Gambar 16. Fraksi lj kpsts trpsg Frks kb nnfrmnts Frks kb frmnts Prmntn biji Laju pngktn kpsts trpsg Init kpsts trpsg kpsts trpsg industri Permintaan biji non Kb non Init Utilisasi Init kpsts terpakai kapatitas terpakai Lj pnmbhn kpsts terpakai Kpsts terpakai industri Lj pngktn utilisasi kpsts terpakai Frks lj pngktn utilisasi kpsts terpakai Kb kakao Total permintaan biji kakao Produksi kakao olahan Daya serap biji oleh industri Gambar 16 Diagram alir submodel pengolahan kakao.

48 Persamaan matematis yang membangun model tersebut adalah sebagai berikut: - kpsts trpsg industri(t) = Init kpsts trpsg(t-dt)+ (Laju pngktn kpsts trpsg)*dt... (20) - Kpsts terpakai industri(t) = Init kpsts terpakai (t-dt)+ (Lj pngktn utilisasi kpsts terpakai)*dt + (Lj pnmbhn kpsts terpakai)*dt... (21) - Init kpsts terpakai = Init Utilisasi kapatitas terpakai * kpsts trpsg industri... (22) - Produksi kakao olahan = Kpsts terpakai industri... (23) - Kb = Frks kb frmnts*prdks kakao olahan... (24) - Kb nn = Frks kb nnfrmnts*prdks kakao olahan... (25) - Daya serap biji oleh industri=total permintaan biji kakao/ Total produksi biji... (26) Pengembangan submodel pengolahan kakao ditujukan untuk mengetahui tingkat produksi kakao olahan serta jumlah bahan baku yang dibutuhkan. Dari Gambar 16, dapat dilihat bahwa produksi kakao olahan dan kebutuhan bahan baku, baik maupun non dipengaruhi oleh beberapa elemen (variabel) yang saling terkait satu sama lain. Definisi operasional, data dan sumber data serta keterkaitan dari setiap elemen (variabel) yang terlibat dalam submodel pengolahan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan kakao No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 1 kpsts trpsg industri 2 Laju pngktn kpsts trpsg 3 Fraksi lj kpsts trpsg 4 Kpsts terpakai industri Jumlah kapasitas terpasang industri pengolahan kakao pada tahun 2008 Rata-rata peningkatan kapasitas terpasang industri pengolahan kakao Persentase peningkatan kapasitas terpasang industri pengolahan kakao tahun 2005-2008 Jumlah kapasitas terpakai industri kakao Sumber Data ton 297000 DJIA, Kemenperin / % / Fraksi lj kpsts trpsg * kpsts trpsg industri Kemenperin -0,789 DJIA, Kemenperin kpsts trpsg industri * Init Utilisasi kapatitas terpakai Kemenperin

49 Tabel 6 (lanjutan) No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 5 Init Utilisasi kapatitas terpakai 6 Lj pngktn utilisasi kpsts terpakai 7 Frks lj pngktn utilisasi kpsts terpakai 8 Lj pnmbhn kpsts terpakai 9 Produksi kakao olahan 10 Frks kb frmnts 11 Frks kb nnfrmnts 12 Kb 13 Kb nn 14 Prmntn biji 15 Permintaan biji non 16 Total permintaan biji domestik 17 Daya serap biji oleh industri Tingkat utilisasi kapasitas terpasang pada tahun 2008 Peningkatan kapasitas terpakai industri akibat peningkatan utilisasi kapasitas terpasang industri pengolahan kakao Persentase peningkatan utilisasi kapasitas terpakai industri pengolahan kakao tahun 2005-2008 Peningkatan kapasitas terpakai kakao akibat perubahan kapasitas terpasang Jumlah kakao olahan yang diproduksi Persentase biji kakao yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 unit kakao olahan pada tahun 2008 Persentase biji kakao non yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 unit kakao olahan pada tahun 2008 Jumlah biji kakao yang dibutuhkan Jumlah biji kakao non yang dibutuhkan Jumlah permintaan biji kakao oleh industri pengolahan kakao domestik Jumlah permintaan biji kakao non oleh industri pengolahan kakao domestik Jumlah permintaan biji kakao baik maupun non oleh industri pengolahan kakao domestik Persentase produksi biji kakao yang diolah menjadi produk olahan oleh industri pengolahan kakao domestik Sumber Data % 59,9327 Kemenperin / % / / Frks lj pngktn kpsts terpakai * Kpsts terpakai industri Kemenperin 1,2686 DJIA, Kemenperin Init Utilisasi kapatitas terpakai * Laju pngktn kpsts trpsg Kpsts terpakai industri Kemenperin Kemenperin % 80,62 Kemenperin, BPS % 169,97 Kemenperin, BPS ton ton Frks kb frmnts * Prdks kakao olahan Frks kb nnfrmnts * Prdks kakao olahan ton Kb ton ton Kb nn Permintaan biji non + Prmntn biji ton Total permintaan biji kakao / Total produksi biji

50 3. Submodel Konsumsi Submodel konsumsi kakao olahan dibangun untuk mengetahui dinamika permintaan produk kakao kakao olahan domestik. Submodel ini dibangun dari jumlah penduduk dan tingkat konsumsi perkapita penduduk Indonesia. Tujuan dari submodel ini adalah untuk menganalisis tingkat konsumsi kakao olahan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor. Keterkaitan antar variabel yang terlibat dalam submodel ini disajikan pada Gambar 17. Sementara itu, deskripsi, nilai dan sumber data yang digunakan disajikan pada Tabel 7. Jika, disusun dalam persamaan matematis, maka hubungan antar variabel yang terlibat dalam submodel ini adalah sebagai berikut: - Populasi (t) = Init populasi (t-dt)+( laju prtmbhn pnddk)*dt... (27) - Konsumsi perkapita (t) = Init Konsumsi (t-dt)+ ( Laju peningkatan konsumsi)*dt... (28) - Konsumsi kakao olahan = Konsumsi perkapita*populasi... (29) Init populasi Frks brt frks lj prtmbhn pnddk Konsumsi kakao olahan Populasi laju prtmbhn pnddk Konsumsi perkapita Laju peningkatan konsumsi Init Konsumsi Fraksi laju pngktn knsms Gambar 17 Diagram alir submodel konsumsi.

51 Tabel 7 Asumsi yang digunakan pada submodel konsumsi No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 1 Populasi Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008 2 frks lj prtmbhn pnddk 3 laju prtmbhn pnddk 4 Konsumsi perkapita 5 Fraksi laju pngktn knsms 6 Laju peningkatan konsumsi 7 Konsumsi kakao olahan Tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia periode tahun 2000-2010 Jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun Konsumsi kakao per kapita penduduk Indonesia pada tahun 2008 Tingkat pertumbuhan konsumsi kakao olahan penduduk Indonesia periode tahun 2002-2008 Jumlah peningkatan konsumsi kakao olahan penduduk Indonesia Volume konsumsi kakao olahan penduduk Indonesia orang 228.523.000 BPS %/ 1,61 BPS orang / / orang frks lj prtmbhn pnddk *Populasi 0,066 ICCO %/ 4,85 ICCO / ton Fraksi laju pngktn knsms * Konsumsi perkapita ( Konsumsi perkapita *Populasi) / Frks brt Sumber Data 4. Submodel Perdagangan Submodel perdagangan dibangun untuk melihat kinerja ekspor biji kakao dan produk kakao olahan Indonesia. Ekspor biji kakao merupakan selisih antara produksi biji kakao dengan kebutuhan bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan dan impor biji kakao. Sedangkan ekspor kakao olahan merupakan selisih antara produksi kakao olahan dengan konsumsi domestik dan impor kakao olahan. Variabel-variabel yang digunakan dalam submodel ini antara lain volume dan nilai ekspor biji kakao, impor biji kakao, volume dan nilai ekspor kakao olahan, impor kakao olahan, harga, nilai tukar, dan lain-lain. Keterkaitan antar variabel tersebut disajikan dalam Gambar 18. Deskripsi dan data yang digunakan dalam menyusun submodel ini disajikan pada Tabel 8, sedangkan persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel adalah sebagai berikut: - Stok biji kakao (t) = Init stok (t-dt)+ (Lag biji )*dt + (lag biji nnfrmnts)*dt +(Impor biji)*dt-(ekspor biji)*dt... (30) - Vol ekspor biji = ekspor biji... (31) - Nilai ekspor biji = Vol ekspor biji*harga dunia USD... (32) - Volume ekspor kakao olahan = Produksi kakao olahan +

52 Impor kakao olahan-konsumsi kakao olahan... (33) - Nilai ekspor kakao olahan = Ekspor kakao olahan*hrg kakao olahan (34) - Impor kakao olahan (t) = Init Impor (t-dt)+ (Laju Impor Kakao Olahan)*dt... (35) - Pangsa volume ekspor kakao olahan = (Ekspor kakao olahan/ (Ekspor kakao olahan+vol ekspor biji))... (36) - Pangsa nilai ekspor kakao olahan = Nilai ekspor kakao olahan/ (Nilai ekspor kakao olahan+nilai ekspor biji)... (37) - Hrg Rp = harga dunia USD*Nilai tukar... (38) - harga ekspor = Hrg Rp... (39) - Hrg domestik = Fraksi Harga*harga ekspor... (40) - Hrg Frmnts = Frks hrg frmnts ptn*hrg domestik... (41) - Hrg nnfrmnts = Frks hrg nnfrmnts ptn*hrg domestik... (42) Frks hrg nnfrmnts Hrg ptn nnfrmnts Fraksi Harga Hrg domestik frks cent-usd Frks brt Harga dunia $cent harga dunia USD harga ekspor Nilai tukar Hrg Rp Frks hrg frmnts ptn Hrg Frmnts Hrg kakao olahan Init Impor Volume ekspor kakao olahan Nilai ekspor kakao olahan Nilai ekspor biji Impor kakao olahan Permintaan biji non Pangsa volume ekspor kakao olahan Pangsa nilai ekspor kakao olahan Frks lj impr kakao Laju Impor Kakao olahan Olahan Frks brt lag biji nnfrmnts Fraksi Volume ekspor biji Lag biji Stok biji kakao ekspor biji Prmntn biji Impor biji frks tahun Init stok Gambar 18 Diagram alir submodel perdagangan.

53 Tabel 8 Asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 1 lag biji nnfrmnts 2 Lag biji Selisih antara produksi biji kakao non dengan permintaan domestik untuk industri pengolahan Selisih antara produksi biji kakao dengan permintaan domestik untuk industri pengolahan 3 Impor biji Jumlah impor biji kakao sebagai akibat adanya kekurangan produksi biji kakao untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan 4 Stok biji kakao Jumlah biji kakao yang tersedia dan tidak dimanfaatkan oleh industri pengolahan sehingga diasumsikan tersedia untuk diekspor pada tahun 2008 5 ekspor biji Jumlah biji kakao yang diekspor. Diasumsikan bahwa semua stok biji kakao akan diekspor 6 Harga dunia $cent 7 harga dunia USD Harga kakao dunia pada tahun 2008 dan peramalan harga sampai tahun 2025 oleh bank Dunia / / / (((Total Prod NnFrmnts/Frks brt)- Permintaan biji non ) ((Total Prod Frmnts/Frks brt)- Prmntn biji ) IF(Lag biji >0<<ton/yr> >;0<<ton/yr>>;-Lag biji ) ton 380512 BPS / US cent / Harga kakao dunia $/ ton 9 Nilai tukar Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada tahun 2008 10 Hrg Rp konversi harga dunia ke dalam rupiah 11 harga ekspor Harga ekspor kakao yang diterima eksportir 12 Fraksi Harga Persentase harga ekspor yang diterima di spot perdagangan kakao (Makassar) rata-rata pada tahun 2008 13 Hrg domestik Harga biji kakao di spot Makssar 14 Frks hrg frmnts ptn Persentase harga biji kakao spot Makassar yang diterima petani untuk biji kakao rata-rata pada tahun 2008 Rp/ $ Rp/ Rp/ Stok biji kakao GRAPHCURVE(TIME; DATE(2008;1;1);1<<yr >>;{257,71;288,88;313, 30;298,01;270;240;230; 220;219;218;218;217;2 16;215;214;213;212;21 2//Min:200;Max:320//}< <Cent/>>) frks cent-usd*harga dunia $cent*frks brt Sumber Data Bank Dunia 9692,11 Bank Indonesia harga dunia USD*Nilai tukar/frks brt Hrg Rp % 87,56 Kemendag Rp/ Fraksi Harga*harga ekspor % 73,67 Kemendag Pusdatin Kementan

54 Tabel 8 (lanjutan) No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 15 Hrg Frmnts Tingkat harga biji kakao yang diterima petani Rp/ Frks hrg frmnts ptn*hrg domestik Sumber Data 16 Frks hrg nnfrmnts ptn Persentase harga biji kakao spot Makassar yang diterima petani untuk biji kakao non rata-rata pada tahun 2008 % 68,72 Kemendag Pusdatin Kementan 17 Hrg nnfrmnts Tingkat harga biji kakao non yang diterima petani Rp/ Frks hrg nnfrmnts ptn*hrg domestik 18 Volume ekspor biji Volume ekspor biji kakao Indonesia ekspor biji 19 Nilai ekspor biji Nilai ekspor biji kakao $ Vol ekspor biji*harga dunia USD 20 Ekspor kakao olahan Jumlah kakao olahan yang diekspor Prdks kakao olahan+impor kakao olahan-konsumsi kakao olahan 21 Nilai ekspor kakao olahan Nilai ekspor kakao olahan $ Ekspor kakao olahan*hrg kakao olahan 22 Hrg kakao olahan Harga ekspor kakao olahan, diproksi dari nilai ekspor dan volume ekspor kakao olahan $/ ton 3107,88 Kemenperin 23 Impor kakao olahan Volume kakao olahan yang diimpor pada tahun 2008 30.238,046 Kemenperin 24 Frks lj impr kakao olahan Trend pertumbuhan impor kakao olahan periode 2005-2008 %/ 10,17 Kemenperin 25 Laju Impor Kakao Olahan Volume impor kakao olahan per tahun / Frks lj impr kakao olahan*impor kakao olahan 26 Pangsa volume ekspor kakao olahan Persentase volume ekspor kakao olahan dibandingkan dengan total volume ekspor produk kakao Indonesia % (Ekspor kakao olahan/(ekspor kakao olahan+vol ekspor biji)) 27 Pangsa nilai ekspor kakao olahan Persentase nilai ekspor kakao olahan dibandingkan dengan total nilai ekspor produk kakao Indonesia % Nilai ekspor kakao olahan/(nilai ekspor kakao olahan+nilai ekspor biji)

AMSP55 4.2.5 Validasi Model Muhammadi, et al., (2001) membagi validasi model menjadi 2, yaitu uji validitas struktur dan uji validitas kinerja/output model. Validitas struktur terdiri dari validitas konstruksi dan kestabilan struktur. Pengujian terhadap validitas struktur bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Validasi struktur dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui penyesuaian dengan teori yang ada dan penelitian penelitian terdahulu. Sedangkan uji validitas kinerja/output model dilakukan untuk menilai apakah kinerja model tersebut dapat mewakili sistem yang ada di dunia nyata di mana dapat diperoleh kesimpulan yang meyakinkan. Tahun untuk validasi kinerja model digunakan tahun 2008-2010. Sedangkan uji validasi untuk mengukur keakuratan output simulasi yang digunakan adalah Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), Absolute Mean Error (AME) dan Absolute Variance Error (AVE). Rumus matematikanya adalah sebagai berikut:2rmavee... (43)2iY... (44)Sn i1n Y i2i1y Yi11i1iS a... (45) EDimana: Y 1i Y 2i n = nilai data aktual periode ke- i = nilai simulasi model periode ke- i = jumlah periode Y 1i = Y 1i /n Y 2i = Y 2i /n Sa = ((Y 1i - Y 1i ) 2 /n) Ss = ((Y 2i - Y 2i ) 2 /n) Batas penyimpangan dari kriteria-kriteria di atas yang dapat diterima adalah 5 persen.

56 4.2.6 Simulasi Kebijakan Dalam penelitian ini dilakukan 2 jenis simulasi kebijakan terhadap model dinamika sistem agroindustri kakao. Simulasi kebijakan yang pertama adalah simulasi untuk menganalisis dampak pelaksanaan kebijakan Gernas kakao dan bea ekspor biji kakao terhadap kinerja sistem agroindustri kakao dan penerimaan petani. Asumsi dampak kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Gernas kakao diasumsikan mampu meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat di lokasi gerakan dari 660 /ha/tahun pada tahun 2008 menjadi 1.500 /ha/tahun pada tahun 2013 sesuai dengan target yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Target produktivitas pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012 diasumsikan meningkat dalam besaran yang sama sebesar 168/ha/tahun atau sebesar 30 persen/ha/tahun. 2. Peningkatan produksi biji kakao melalui Gernas Kakao juga menggunakan target dari Direktorat Jenderal Perkebunan yaitu produksi biji kakao di lokasi gerakan sebesar 100 persen dari total produksi pada tahun 2013. Dengan demikian, persentase produksi biji kakao pada periode 2009-2012, diasumsikan meningkat ratarata sebesar 18,84 persen per tahun (18,84 persen per tahun) untuk areal perkebunan rakyat yang terlibat dalam Gernas kakao. 3. Penerapan bea ekspor kakao diasumsikan mampu meningkatkan kapasitas terpasang dan utilitas kapasitas terpasang industri pengolahan kakao. Dampak penerapan kebijakan tersebut diasumsikan mampu meningkatkan kapasitas terpasang sebesar 10 persen per tahun dan meningkatkan utilisasi kapasitas terpasang sebesar 20 persen. 4. Penerapan bea ekspor juga diasumsikan akan menurunkan luas areal perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas Kakao. Besaran penurunan luas areal akibat penerapan bea ekspor adalah 2.5325 persen per tahun. Nilai tersebut diperoleh dengan menghitung rata-rata penurunan luas areal di 4 propinsi sentra utama produsen kakao akibat penerapan bea ekspor hasil penelitian Arsyad (2007). 5. Penerapan bea ekspor berdampak pada penurunan harga domestik sehingga menurunkan harga yang seharusnya diterima petani sebesar bea ekspor.

57 Simulasi kebijakan yang pertama ini menggunakan 3 skenario sebagai berikut: 1. Skenario 1 (skenario pesimis): jika pencapaian dari dampak kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor sebesar 40 persen dari target. 2. Skenario 2 (skenario moderat): jika pencapaian dari dampak kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor sebesar 60 persen dari target. 3. Skenario 3 (skenario optimis): jika pencapaian dari dampak kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor sebesar 80 persen dari target. Simulasi kebijakan yang kedua merupakan upaya untuk memperoleh alternatif kebijakan. Langkah ini dilakukan dengan menentukan variabel kebijakan yang penting untuk dikaji lebih lanjut sehingga dapat diperoleh alternatif kebijakan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi aktual dan kebijakan yang ada pada saat ini. Skenario alternatif kebijakan yang digunakan adalah: 1. Skenario 4: Skenario 2 plus peningkatan produktivitas dan mutu kakao rakyat non Gernas sebesar 50 persen. Dengan demikian, dalam skenario ini diasumsikan terjadi peningkatan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao sebesar 50 persen dari kondisi awal, namun program Gernas kakao dan bea ekspor kakao tetap diterapkan dengan tingkat pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target. 2. Skenario 5: Skenario 2 minus bea ekspor kakao. Asumsi yang digunakan adalah kebijakan penghapusan bea ekspor kakao dengan tetap melaksanakan program Gernas kakao dengan tingkat pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target. 3. Skenario 6: Skenario 5 plus peningkatan kapasitas industri sama dengan dampak bea ekspor. Asumsi yang digunakan dalam skenario ini adalah kebijakan penghapusan bea ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan insentif fiskal dan moneter terhadap industri pengolahan serta memperbaiki iklim usaha dan infrastruktur sehingga diasumsikan mampu mendorong industri pengolahan sama seperti penerapan bea ekspor kakao dengan tingkat pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target. Di sisi lain, pelaksanaan program Gernas kakao tetap dilaksanakan dengan tingkat pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target.

58 4. Skenario 7: Penggabungan skenario 4, 5 dan 6, yaitu alternatif kebijakan dengan meningkatkan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao, serta kebijakan penghapusan bea ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan insentif fiskal dan moneter terhadap industri pengolahan serta memperbaiki iklim usaha sehingga diasumsikan mampu mendorong industri pengolahan sama seperti penerapan bea ekspor kakao dengan pencapaian dampak kebijakan sebesar 60 persen dari target. 5. Skenario 8: Skenario 7 plus peningkatan kapasitas industri 10 persen per tahun. Pada skenario ini, asumsi yang digunakan sama seperti skenario 7, namun kebijakan pemerintah terhadap pengembangan industri pengolahan kakao meningkat sebesar 10 persen per tahun.