BAB V HASIL PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diseluruh dunia baik di negara berkembang maupun negara yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari,

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Penyakit degeneratif biasanya disebut dengan penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ada sekitar 1 milyar penduduk di seluruh dunia menderita hipertensi,

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Data

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Taufik Hidayat, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat (Rahayu, 2000). Berdasarkan data American. hipertensi mengalami peningkatan sebesar 46%.

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkannya. Bila kondisi tersebut berlangsung lama dan menetap, maka dapat menimbulkan penyakit hipertensi.

BAB 1 PENDAHULUAN. orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah. tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) memprediksi

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang terjadi pada tahun 2012 (WHO, 2014). Salah satu PTM

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat

BAB I PENDAHULUAN. secara Nation Wide mengingat prevalensinya cukup tinggi umumnya sebagian

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terjadi peningkatan secara cepat pada abad ke-21 ini, yang merupakan

HUBUNGAN OLAHRAGA TERHADAP TEKANAN DARAH PENDERITA HIPERTENSI RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan menuju hidup sehat 2010 yaitu meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. hiperglikemi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan metabolisme

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengalirkan darah ke otot jantung. Saat ini, PJK merupakan salah satu bentuk

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tubuh dan menyebabkan kebutaan, gagal ginjal, kerusakan saraf, jantung, kaki

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang meliputi penyakit degeneratif dan man made diseases.

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian ini melibatkan 61 orang subyek penelitian yang secara klinis diduga

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. (Armilawati, 2007). Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Dewasa ini perilaku pengendalian PJK belum dapat dilakukan secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kanan/left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung). Dengan target organ di otak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM)

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat serius saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer.

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. risiko PJK kelompok usia 45 tahun di RS Panti Wilasa Citarum

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

FAKTOR-FAKTOR RISIKO HIPERTENSI PADA LAKI-LAKI PENGUNJUNG PUSKESMAS MANAHAN DI KOTA SURAKARTA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada remaja laki- laki di kelurahan

BAB 1 PENDAHULUAN. absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat menjadi komplikasi metabolik

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan yang lebih penting lagi. kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi karena

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya sebagai akibat penyakit degeneratif didunia. Di negara maju, kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin.

BAB I PENDAHULUAN. Overweight dan obesitas adalah dua istilah yang berbeda. Overweight

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dimana tekanan darah meningkat di atas tekanan darah normal. The Seventh

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronis telah terjadi di Indonesia seiring dengan kemajuan teknologi dan

BAB I PENDAHULUAN. terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus yang selanjutnya disingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang banyak

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB I PENDAHULUAN. atau tekanan darah tinggi (Dalimartha, 2008). makanan siap saji dan mempunyai kebiasaan makan berlebihan kurang olahraga

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup dan penurunan angka fertilitas. mengakibatkan populasi penduduk lanjut usia meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. mmhg. Penyakit ini dikategorikan sebagai the silent disease karena penderita. penyebab utama gagal ginjal kronik (Purnomo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kurang serat (Suyono dalam Andriyani, 2010). Ketidakseimbangan antara

BAB I PENDAHULUAN. terus menerus mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari data WHO

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TEKANAN DARAH PEGAWAI DI KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2017

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN PENDAPATAN DENGAN TINGKAT KEKAMBUHAN HIPERTENSI DI WILAYAH PUSKESMAS GILINGAN SURAKARTA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN TEKANAN DARAH PADA NELAYAN DI KELURAHAN BITUNG KARANGRIA KECAMATAN TUMINTING KOTA MANADO

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB I PENDAHULUAN. dan kematian yang cukup tinggi terutama di negara-negara maju dan di daerah

BAB V PEMBAHASAN. infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari Penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Profil kesehatan masyarakat di negara-negara industri telah berubah secara

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk. Menurut Kemenkes RI (2012), pada tahun 2008 di Indonesia terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tekanan darah tinggi menduduki peringkat pertama diikuti oleh

Transkripsi:

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Proporsi Hipertensi di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 Tabel 5.1 Distribusi Hipertensi Responden Kriteria Hipertensi Jumlah Persentase (%) Hipertensi 257 57,9 Normal Tensi 187 42,1 Total 444 100,0 Berdasarkan distribusi diatas jumlah penderita hipertensi sebanyak 57,9% sedangkan yang normal tensi sebanyak 42,1%. Jadi dapat disimpulkan proporsi hipertensi di Kelurahan Jagakarsa adalah 57,9%. 5.2 Gambaran Umur di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 Tabel 5.2 Proporsi Berdasarkan Umur Umur Jumlah Persentase (%) 40 th 328 73,9 <40 th 116 26,1 Total 444 100,0 Pada tabel 5.2 diatas umur 40 tahun ke atas jumlahnya lebih banyak 328 orang (73,9%) jika dibandingkan dengan umur kurang dari 40 tahun yang hanya 116 orang (26,1%).

Tabel 5.3 Distribusi Berdasarkan Umur Umur (tahun) Jumlah Persentase (%) 20-24 5 1,1 25-29 27 6,1 30-34 37 8,3 35-39 47 10,6 40-44 55 12,4 45-49 55 12,4 50-54 61 13,7 55-59 40 9,0 60-64 51 11,5 65-69 34 7,7 70 32 7,2 Total 444 100,0 Tabel 5.4 Statistik Umur Mean 6,44 Median 6,00 Std. Error of Median 0,125 Mode 50-54 tahun Std. Deviasi 2,632 Minimum 20 tahun Maximum 80 tahun Berdasarkan tabel 5.3 jumlah tertinggi adalah kelompok umur 50-54 tahun yaitu 61 orang (13,7%) sedangkan yang terendah adalah kelompok umur 20-24 tahun 5 orang (1,1%). Dalam tabel statistik 5.4, hasil perhitungan mean (6,44), median (6,00), standar eror (0,125), mode (umur 50-54 tahun), standar deviasi (2,632), umur minimum (20 tahun), umur maksimum (80 tahun).

5.3 Gambaran Jenis Kelamin di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 Tabel 5.5 Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Perempuan 333 75,0 Laki-laki 111 25,0 Total 444 100,0 Pada tabel 5.5 terlihat distribusi responden berdasarkan jenis kelamin memiliki perbedaan yang cukup jauh, responden perempuan berjumlah 333 orang (75%) sedangkan responden laki-laki berjumlah 111 orang (25%). 5.4 Gambaran IMT di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 Tabel 5.6 Distribusi Berdasarkan IMT IMT Jumlah Persentase (%) Normal 345 77,7 Overweight 99 22,3 Total 444 100,0 Pada tabel 5.6 distribusi responden berdasarkan IMT dengan kategori normal jumlahnya lebih tinggi yaitu 345 orang (77,7%) sedangkan responden dengan kategori overweight jumlahnya lebih rendah hanya berjumlah 99 orang (22,3%).

5.5 Gambaran Perilaku Merokok di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 Tabel 5.7 Distribusi Berdasarkan Perilaku Merokok Perilaku Merokok Jumlah Persentase (%) Tidak 429 96,6 Merokok/mantan perokok 15 3,4 Total 444 100,0 Pada tabel 5.7 distribusi responden berdasarkan perilaku merokok di kategorikan berdasarkan pada tidak merokok dan merokok/mantan perokok. Sebagian besar responden dalam penelitian ini tidak merokok dengan jumlah 429 orang (96,6%). Responden yang merokok jumlahnya 15 orang (3,4%). 5.6 Gambaran Diabetes Melitus di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 Tabel 5.8 Distribusi Berdasarkan Status Diabetes Melitus Diabetes Melitus Jumlah Persentase (%) tidak 440 99,1 ya 4 0,9 Total 444 100,0 Pada tabel 5.8 distribusi responden yang memiliki status diabetes melitus sebagian besar responden bukanlah penderita diabetes melitus dengan jumlah 440 orang (99,1%) sedangkan responden yang menderita diabetes berjumlah 4 orang (0,9%).

5.7 Gambaran Aktivitas Fisik di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 Tabel 5.9 Distribusi Berdasarkan Aktivitas Fisik Aktivitas Fisik Jumlah Persentase (%) Tidak ada 394 88,7 Ada 50 11,3 Total 444 100,0 Pada tabel 5.9 distribusi responden berdasarkan kategori adalah responden yang tidak melakukan aktivitas fisik (tidak ada) dan responden yang melakukan aktivitas fisik (ada). Kategori responden yang melakukan aktivitas fisik terdiri dari aktivitas rendah, sedang, tinggi. Namun dalam data responden yang melakukan aktivitas fisik semuanya termasuk kategori rendah. Responden yang tidak melakukan aktivitas fisik jauh lebih banyak yaitu 394 orang (88,7%) dibandingkan dengan yang melakukan aktivitas fisik yang hanya 50 orang (11,3%).

5.8 Hubungan Antara Umur Dengan Hipertensi Tabel 5.10 Hubungan Antara Umur Dengan Hipertensi Umur Hipertensi Total ya tidak n % n % n % 40 tahun 224 68,3 104 31,7 328 100 < 40 tahun 33 28,4 83 71,6 116 100 Total 257 57,9 187 42,1 444 100 n= Jumlah PR (95% CI) 2,3 (1,9-2,7) Nilai P 0,000 Hasil analisis hubungan antara umur dengan hipertensi didapatkan bahwa pada penderita hipertensi responden yang berusia 40 tahun ke atas ada 224 (68,3%) sedangkan diantara responden yang berusia kurang dari 40 tahun ada 33 (28,4%) yang menderita hipertensi. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p lebih kecil dari maka ada perbedaan proporsi kejadian hipertensi antara responden yang berumur kurang dari 40 tahun dengan responden yang berumur 40 tahun ke atas (ada hubungan yang signifikan antara umur dan hipertensi). Dari hasil analisis diperoleh nilai PR=2,3, ini berarti responden yang berumur 40 tahun ke atas memiliki risiko 2,3 kali secara bermakna terkena hipertensi dibandingkan responden yang berumur kurang dari 40 tahun.

5.9 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Hipertensi Tabel 5.11 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Hipertensi Jenis Hipertensi Total kelamin ya tidak n % n % n % Laki-laki 65 58,6 46 41,4 111 100 Perempuan 192 57,7 141 42,3 333 100 Total 257 57,9 187 42,1 444 100 n=jumlah PR (95% CI) Nilai P 1,0 (0,8-1,3) 0,956 Tabel analisis hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi menunjukkan sebanyak 65 (58,6%) laki-laki yang menderita hipertensi sedangkan perempuan ada sebanyak 192 (57,7%) yang menderita hipertensi. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p= 0,956 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian hipertensi antara responden laki-laki dan perempuan (tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan hipertensi). Dari hasil analisis diperoleh nilai PR=1,0.

5.10 Hubungan Antara IMT Dengan Hipertensi Tabel 5.12 Hubungan Antara IMT Dengan Hipertensi IMT Hipertensi Total ya tidak n % n % n % Overwight 72 72,7 27 27,3 99 100 Normal 185 53,6 160 46,4 345 100 Total 257 57,9 187 42,1 444 100 PR (95% CI) Nilai P 1,4 (1,2-1,6) 0,001 Tabel analisis hubungan antara IMT dengan hepertensi menunjukkan bahwa pada penderita hipertensi sebanyak 72 responden (72,7%) memiliki IMT overweight sedangkan responden dengan IMT normal sebanyak 185 responden (53,6%). Hasil uji statistik menunjukkan nilai p sebesar 0,001 yang berarti ada perbedaan proporsi hipertensi antara responden overweight dan normal (ada hubungan yang signifikan antara IMT dengan hipertensi). Nilai PR = 1,4 yang berarti responden overweight memiliki risiko 1,4 kali secara bermakna terkena hipertensi dibandingkan IMT responden normal.

5.11 Hubungan Antara Perilaku Merokok Dengan Hipertensi Tabel 5.13 Hubungan Antara Perilaku Merokok Dengan Hipertensi Merokok Hipertensi Total ya tidak n % n % n % Merokok/ 9 60 6 40 15 100 Mantan perokok tidak 248 57,8 181 42,2 429 100 Total 257 57,9 187 42,1 444 100 n= Jumlah PR (95% CI) Nilai P 1,0 (0,7-1,6) 1,000 Tabel analisis hubungan antara perilaku merokok dengan hipertensi didapatkan pada penderita hipertensi sebanyak 9 responden (60%) yang merokok/mantan perokok sedangkan sebanyak 248 responden (57,8%) yang tidak merokok menderita hipertensi. Hasil uji statistik didapatkan nilai p adalah 1,000 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara perilaku merokok dengan hipertensi dengan nilai PR=1,0.

5.12 Hubungan Antara Status Diabetes Melitus Dengan Hipertensi Tabel 5.14 Hubungan Antara Status Diabetes Melitus Dengan Hipertensi DM Hipertensi Total ya tidak n % n % n % Ya 3 75 1 25 4 100 Tidak 254 57,7 186 42,3 440 100 Total 257 57,9 187 42,1 444 100 n= Jumlah PR (95% CI) Nilai P 1,7 (0,3-9,3) 0,642 Tabel analisis hubungan antara status diabetes melitus dengan hipertensi didapatkan sebanyak 3 responden (75%) yang berstatus diabetes melitus menderita hipertensi sedangkan sebanyak 254 responden (57,8%) yang tidak berstatus diabetes melitus menderita hipertensi. Hasil uji statistik didapatkan nilai p adalah 0,642 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara status diabetes melitus dengan hipertensi dengan nilai PR = 1,7.

5.13 Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Hipertensi Tabel 5.15 Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Hipertensi Aktifitas Hipertensi Total fisik ya tidak n % n % n % Tidak ada 232 58,9 162 41,1 394 100 Ada 25 50,0 25 50 50,0 100 Total 257 57,9 187 42,1 444 100 n= Jumlah PR (95% CI) Nilai P 1,2 (0,9-1,6) 0,295 Tabel analisis hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi didapatkan sebanyak 232 responden (58,9%) yang tidak melakukan aktivitas fisik menderita hipertensi sedangkan sebanyak 25 responden (50%) yang melakukan aktivitas fisik menderita hipertensi. Hasil uji statistik didapatkan nilai p adalah 0,295 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara aktivitas fisik dengan hipertensi dengan nilai OR = 1,2.

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dimana desain ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis pajanan mendahului penyakit atau sebaliknya. Validitas penilaian hubungan kausal menuntut waktu yang jelas antara pajanan dan penyakit (pajanan harus mendahului subjek). Desain ini memiliki kelemahan dimana responden yang diteliti hanya dilihat kondisinya pada observasi sekali saja yaitu ketika pemeriksaan saja. Padahal tensi seseorang dapat berubah karena beberapa faktor seperti stres, kondisi tubuh. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Penggunaan data sekunder ini membuat peneliti tidak dapat memilih variabel yang menurut peneliti harus diteliti. Selanjutnya peneliti hanya meneliti variabel yang tersedia dalam data sekunder tersebut. Diharapkan terdapat kesesuaian antara data screening dengan data registrasi sehingga dapat digali lagi variabel lainnya dari data registrasi tersebut. Puskesmas Kecamatan Jagakarsa membawahi beberapa kelurahan seperti Jagakarsa, Lenteng Agung, Ciganjur, Srengseng Sawah. Dalam penelitian peneliti hanya mengambil sampel dari Kelurahan Jagakarsa karena berdasarkan data puskesmas pengunjung terbanyak adalah pasien yang berdomisili di Kelurahan Jagakarsa. Selain itu berdasarkan data pasien yang tercatat tinggal di Kelurahan Jagakarsa disertai dengan alamat (RT/RW) sedangkan kelurahan lain tidak. Hal tersebut digunakan peneliti untuk

meminimalisir adanya responden yang sama dalam data penelitian. Filter dilakukan dengan melihat nama, alamat dan tinggi badan responden yang kemungkinan berubah secara drastis cukup kecil. Data sekunder dalam penelitian ini juga terdapat beberapa keterbatasan data seperti pada saat pengukuran tekanan darah, berat badan, tinggi badan dapat saja menimbulkan bias baik dari responden, pemeriksa maupun alat. Untuk variabel diabetes melitus tidak semua pasien melakukan screening test diperiksa gula darahnya, data penyakit DM didapatkan dari hasil wawancara, jika pasien memang menderita diabetes atau punya riwayat keluarga diabetes baru akan dilakukan pemeriksaan gula darah. Hal tersebut terjadi karena belum adanya kebijakan orang yang melakukan screening test risiko jantung diharuskan memeriksakan gula darahnya. 6.2 Hipertensi Distribusi frekuensi hipertensi pada tabel 5.1, proporsi hipertensi di Kelurahan Jagakarsa sebesar 57,9%. Hal ini berbeda jauh dengan prevalensi hipertensi di puskesmas sendiri yang hanya 6,08%. Hal ini dapat disebabkan perbedaan perhitungan dimana denumerator prevalensi puskesmas adalah seluruh pasien yang berobat tanpa dibatasi umur sedangkan pada perhitungan proporsi penelitian denumerator lebih sempit hanya yang diperiksa melalui screening test.

6.3 Hubungan Antara Umur Dengan Hipertensi Serangan darah tinggi baru muncul setelah berusia 40 tahun, walaupun dapat terjadi pada usia muda (Mardibah, 2002). Sebagai suatu proses degeneratif, hipertensi tentu hanya ditemukan pada golongan dewasa. Ditemukan kecenderungan peningkatan prevalensi menurut peningkatan usia dan biasanya pada usia > 40 tahun (Bustan, 2000). Hasil analisis hubungan antara umur <40 tahun dan umur 40 tahun dengan hipertensi didapatkan bahwa nilai (p=0,000) lebih kecil dari maka ada hubungan yang signifikan antara umur dan hipertensi. Umur adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi, umumnya tekanan darah akan meningkat atau bertambah dengan bertambahnya usia terutama setelah usia 40 tahun. Dari hasil analisis diperoleh nilai PR=2,3, ini berarti responden yang berumur 40 tahun ke atas memiliki risiko 2,3 kali secara bermakna terkena hipertensi dibandingkan responden yang berumur kurang dari 40 tahun. Walaupun umur termasuk faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, kita dapat melakukan pencegahan dengan mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada umur kurang dari 40 tahun. Pada umur 40 tahun keatas pengobatan dan pencegahan terhadap komplikasi adalah penanggulangan terhadap hipertensi. Hasil penelitian yang dilakukan ini sesuai dengan penelitian oleh Bustan dan Sofyan (1999), Dhianningtyas dan Hendarti (2006) melaporkan adanya hubungan umur ( 40 tahun dengan umur <40 tahun) dengan hipertensi. Pada penelitian NHANES III menghasilkan keadaan bahwa keadaan prevalen hipertensi meningkat bersamaan dengan meningkatnya umur dalam setiap jenis kelamin dan ras (He &Whelton, 1997).

Dalam beberapa survei yang dilakukan di Indonesia pada rentang masa yang berbeda didapatkan bahwa hipertensi di Indonesia lebih sering dijumpai diatas usia 40 tahun. Penelitian Sigarlaki (1996), Darmojo (2000), mendapatkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat nyata pada usia 40 tahun. Salah satu penyakit degeneratif, prevalensi penyakit hipertensi semakin meningkat dengan bertambahnya usia (Chintanadilok dan Lowenthal, 2001). 6.4 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Hipertensi Dalam penelitian ini sebanyak 58,6% responden laki-laki menderita hipertensi sedangkan responden perempuan 57,7%. Persentase laki-laki lebih tinggi namun tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan hipertensi (p=0,956). Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi mungkin saja disebabkan proporsi laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini kurang seimbang laki-laki dibandingkan dengan perempuan (1:3), jadi mungkinkan terjadi kerancuan banyaknya penderita hipertensi berdasarkan jenis kelamin yang sebenarnya. Hasil penelitian yang dilakukan ini sesuai dengan yang dilakukan Sirait (1990) di Kelurahan Padelangan, Semarang mendapatkan hasil prevalensi hipertensi pada laki-laki (16,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan wanita (14,6%) yang berbeda secara tidak bermakna. Dhianningtyas dan Hendarti (2006) yang melakukan penelitian di RSUD Nganjuk Jawa Timur menunjukkan hipertensi sebagian besar pada laki-laki 56,3% dengan risiko yang tidak bermakna.

Menurut Gunawan (2001), bahwa takanan darah pria umumnya lebih tinggi dibandingkan wanita. Pada usia dini tidak didapat bukti nyata tentang adanya perbedaan tekanan darah antara pria dan wanita. Akan tetapi mulai pada masa remaja pria cenderung menunjukkan jumlah yang lebih tinggi. Perbedaan ini lebih jelas pada orang dewasa muda dan orang setengah baya. Terdapat perbedaan dengan penelitian Darmojo (2001) yang menemukan secara signifikan prevalensi hipertensi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Menurut Patel (1995) dibawah umur 45 tahun lebih banyak laki-laki menderita hipertensi daripada perempuan. Setelah umur 45 tahun ada sebuah streep muncul pada jumlah perempuam dengan hipertensi. Setelah umur 55 tahun perempuan melampaui laki-laki sebabnya tidak terlalu jelas tetapi dapat disebabkan karena perempuan dilindungi hormon kewanitaan selama masa produktifnya. 6.5 Hubungan Antara IMT Dengan Hipertensi Hasil penelitian menunjukan bahwa pada kelompok hipertensi sebagian besar responden memiliki IMT overweight (72,7%), dalam uji statistik terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan hipertensi (p=0,001). Dengan nilai OR=1,4 yang berarti orang dengan IMT overweight memiliki risiko hipertensi 1,4 kali dibandingkan orang dengan IMT normal. Pada pasien overweight lebih banyak penderita hipertensinya hal ini sesuai dengan pernyataan (Soegondo, 2005) dimana keadaan obesitas ini terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sistem metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari

resistensi insulin/hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus, dislipidemia, hiperuresemia, gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi Penelitian ini sesuai dengan penelitian Framingham yang menunjukkan bahwa orang yang obesitas akan mengalami peluang hipertensi 10 kali lebih besar (Dhianningtyas dan Hendarti, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai tubuh kegemukan dengan BMI, 27,8 dan 27,8 mempunyai kemungkinan tekanan darah tinggi 2,9 kali dibandingkan mereka yang mempunyai berat normal. Untuk mereka yang berusia 20-44 tahun, dan BMI yang sama, mempuyai kemungkinan tersebut 5,6 kali lebih tinggi (Kuntaraf dan Kuntaraf, 1996). Levy et al (1994) melaporkan bahwa hipertensi 2,5 kali lebih banyak pada tentara U.S yang kelebihan berat badan. Menurut Adnil (1994), hemodinamik hipertensi esensial pada pasien nonobesitas berbeda dengan pasien obesitas. Menurut Hull (1996) penurunan berat badan merupakan cara pengobatan paling efektif untuk hipertensi. Obesitas dan kelebihan berat merupakan masalah yang sulit. Kebanyakan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa obesitas berkaitan dengan insiden penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit metabolisme, seperti diabetes melitus. Hal serupa juga dinyatakan oleh Kuntaraf dan Kuntaraf (1996), hanya dengan mengurangi 5 kg saja, dan tetap dipelihara berat badan tersebut sudah cukup untuk mengurangi tekanan darah menjadi normal. Mengurangi berat badan adalah cara mengurangi tekanan darah yang terbaik. Pendapat serupa juga dikemukakan Scherger yaitu penurunan lima kilo cenderung menurunkan tekanan darah empat poin (Udiani, 2000). Orang yang berat

badan lebih dapat meningkatkan risiko terkena penyakit jantung koroner, penyakit kandung empedu, peningkatan tekanan darah, dan diabetes (Soegondo, 2005). 6.6 Hubungan Antara Merokok Dengan Hipertensi Hasil penelitian ini sebagian besar perokok adalah penderita hipertensi (60%) namun tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan hipertensi. Walaupun tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan hipertensi namun tetap saja merokok hal yang tidak dianjurkan demi kesehatan. Dalam penelitian ini persentase perokok/mantan perokok yang menderita hipertensi lebih besar (60%) jika dibandingkan dengan yang bukan perokok (57,8%). Tidak ada hubungan yang bermakna dalam penelitian ini mungkin terjadi karena responden yang merokok hanya 2,9% dari keseluruhan responden, perbandingan yang terlalu jauh antara orang yang merokok dengan yang tidak merokok. Angka tersebut dapat saja terjadi karena responden mengalami Efek Howthorne (perubahan perilaku subjek penelitian) dimana responden mengetahui bahwa wawancara tersebut dilakukan untuk mengukur risiko terhadap penyakit sehingga responden cenderung enggan mengatakan bahwa mereka merokok karena akan memperbesar risiko sakit. Hal lain yang dilihat peneliti adalah adanya kemungkinan terjadinya bias pada saat pencatatan, pencatatan dilakukan setelah buku registrasi pasien terkumpul. Jadi ada kemungkinan pasien yang mungkin merokok tidak sempat ditanyakan ketika periksa kesehatan sehingga pada buku catatan tidak ada keterangan merokok atau tidak. Pasien yang seperti ini dapat saja terhitung sebagai pasien tidak merokok. Selain itu ketika

pencatatan dilakukan pasien sudah tidak berada diruang periksa (tidak bisa ditanyakan merokok/tidak). Selain itu adanya bias, sedikitnya jumlah perokok dapat juga disebabkan responden dalam penelitian ini didominasi perempuan (75%) daripada laki-laki (25%). Dewasa ini kebiasaan merokok pada kaum wanita di negara berkembang termasuk Indonesia relatif masih rendah, dibawah 10%, sementara sekitar 50-60% prianya adalah perokok (Adiatama, 1997). Dalam penelitian Dhiningthias dan Hendrati (2006), mendapatkan hipertensi banyak pada kelompok merokok dengan risiko 3,4 kali secara bermakna. Penelitian Sawicki et al (1996) diperoleh tekanan darah diastolik meningkat selama merokok dibandingkan ketika tidak merokok. Penelitian Verdecchia (1995) yang mendapatkan tekanan darah sistolik perokok berat (pagi dan siang hari) lebih tinggi daripada tekanan darh sistolik bukan perokok. 6.7 Hubungan Antara Diabetes Melitus Dengan Hipertensi Dalam penelitian ini dapat dilihat pada hipertensi lebih banyak pada penderita diabetes (75%) jika dibandingkan dengan yang bukan penderita diabetes (57,7%). Jadi walaupun tidak bermakna secara signifikan namun dapat dilihat penderita hipertensi lebih banyak pada penderita DM. Hal ini sesuai dengan pernyataan penelitian epidemiologis sampai saat ini umumnya menyokong pendapat bahwa hipertensi banyak dijumpai pada diabetes melitus daripada non diabetes melitus (Suyono, 1996).

Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna mungkin dapat disebabkan hasil penelitian kasus diabetes melitus yang tercatat hanya 0,9% atau 4 kasus saja, jumlah kasus yang terlalu sedikit ini cukup berpengaruh pada uji statistik sehingga tidak dapat melihat adanya hubungan yang bermakna. Rendahnya penderita diabetes ini dikarenakan adanya bias pengukuran dimana hanya sebagian responden saja yang diukur gula darahnya. Padahal jika ingin memeriksa faktor risiko, seluruh pasien diperiksa gula darahnya bukan hanya yang memiliki riwayat keluarga atau berdasarkan pengakuan pasien. Dewasa ini diabetes melitus tipe 2 sebagian besar terjadi karena gaya hidup, pola makan yang tinggi gula rendah serat. Pada penelitian Quasem (2001) subjek dengan diabetes melitus mempunyai risiko hipertensi 1,80 kali lebih tinggi daripada subjek non-diabetes. Fittchet (2003) mendapatkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan meningkatnya kejadian diabetes dan hal tersebut berhubungan sebagian dengan sindroma metabolik. Menurut Suyono dkk (2004) perubahan yang juga tampak pada masyarakat adalah bahwa hipertensi pada penyandang Diabetes Melitus meningkat dari 15% menjadi 25%. Handayani (2007), distribusi DM menurut kelompok hipertensi menunjukkan semakin berat hipertensi semakin tinggi persentase yang menderita DM dalam kelompoknya. 6.8 Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Hipertensi Pada fisik yang senantiasa aktif, pembuluh darah akan senantiasa elastis sehingga mengurangi tekanan di perifer (Warburton, et.al., 2006). Aktivitas fisik yang teratur

menyebabkan jantung bekerja dengan lebih efisien, denyut jantung berkurang, dan akan meyebabkan penurunan tekanan darah (Tremblay dan Therrien, 2006). Dalam penelitian ini banyak ditemukan penderita hipertensi yang tidak melakukan aktivitas fisik (58,9%) daripada yang melakukan aktivitas fisik (50%) namun tidak ditemukan hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi. Penderita hipertensi lebih banyak pada responden yang tidak melakukan aktivitas fisik memperkuat adanya pernyataan olahraga penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Hasil yang tidak berhubungan ini mungkin disebabkan pada data penelitian hanya ditemukan responden yang melakukan aktivitas fisik kategori ringan sedangkan kategori sedang dan berat tidak ada. Aktivitas ringan dalam panduan kuisioner yang digunakan adalah aktivitas melakukan olahraga ringan, nadi < 110, nafas sedikit meningkat, tidak ada keringat. Jadi dapat dikatakan walaupun responden dikategorikan ada aktivitas fisik namun kurang aktif dan cenderung tidak terlalu berbeda secara signifikan dengan responden yang tidak melakukan aktivitas fisik. Penelitian Kuntaraf&Kuntaraf (1996) menunjukkan bahwa olahraga dapat menurunkan tekanan diastolik untuk 3-15 mmhg dan menurunkan tekanan sistolik antara 5-25 mmhg. Penelitian kohort yang dilakukan Blair, hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang berolahraga sedikit mempunyai kemungkinan untuk tekanan darah 52% lebih tinggi daripada mereka yang berolahraga dengan cukup hingga mempunyai kesegaran jasmani (Kuntaraf&Kuntaraf, 1996)

Pernyataan yang tidak jauh berbeda juga dinyatakan dalam sebuah penelitian kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan frekuensi dan keteraturan senam jantung sehat terhadap penurunan tekanan darah mendapatkan bahwa frekuensi senam dua kali per minggu selama satu tahun pertama dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 6 mmhg dan sistolik 4 mmhg (Werdhani, 2006). Prinsip penting dalam olahraga untuk mereka yang menderita tekanan darah tinggi ialah mulai dengan olahraga ringan lebih dahulu seperti jalan kaki atau berenang. Olahraga seperti angkat besi justru akan lebih membahayakan penderita. Berjalan kaki dengan teratur sekitar 30-45 menit setiap hari dan makin lama jalan dapat dipercepat (brisk walk) akan mengurangi tekanan darah (Kuntaraf dan Kuntaraf, 1996). Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi (Susalit dkk, 2001). Penelitian Nakanishi et,al. (2005) yang dilakukan pada 3.067 laki-laki pekerja konstruksi di Jepang pada suatu survei tentang faktor risiko kardiovaskuler mendapatkan bahwa aktivitas fisik yang tinggi berhubungan dengan pencegahan terjadinya hipertensi.

Hipotesis 1. Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara umur dan hipertensi di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 2. Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara jenis kelamin dan hipertensi di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 3. Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara IMT dan hipertensi di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 4. Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara merokok dan hipertensi di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 5. Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara diabetes melitus dan hipertensi di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007 6. Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara aktivitas fisik dan hipertensi di Kelurahan Jagakarsa Tahun 2007