III. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1. Analisis pengaruh peningkatan kepadatan terhadap tingkat kelangsungan hidup (survival rate) benih ikan nilem

PEMANFAATAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN NILA Oreochromis niloticus UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILEM Osteochilus hasselti DENGAN PADAT TEBAR YANG BERBEDA

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Jenis nutrien Kandungan (%) 2.2 Metode Penelitian Rancangan Penelitian

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Hasil dan Pembahasan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DA PEMBAHASA

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

3. METODE Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

Tingkat Kelangsungan Hidup

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014,

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. yang termasuk dalam bentuk mikro terdiri dari Fe, Co, Zu, B, Si, Mn, dan Cu (Bold

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2013

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN KUALITAS AIR

I. PENDAHULUAN. Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Maret 2016 di Telaga Bromo dapat dilihat di Tabel 1.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

PERBANDINGAN KARBON DAN NITROGEN PADA SISTEM BIOFLOK TERHADAP PERTUMBUHAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus)

I. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang banyak digemari

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

PEMANFAATAN LIMBAH BUDIDAYA AKUAPONIK UNTUK PRODUKSI PAKAN ALAMI (Moina sp.)

III. BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

OPTIMASI BUDIDAYA SUPER INTENSIF IKAN NILA RAMAH LINGKUNGAN:

BAB III BAHAN DAN METODE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH SUBTITUSI PARSIAL TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG TULANG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus.

RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN TEKNIK PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI BAK TERPAL BAPPL STP SERANG, BANTEN

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga

Transkripsi:

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate) Selama 40 hari masa pemeliharaan nilem terjadi peningkatan bobot dari 2,24 ± 0,65 g menjadi 6,31 ± 3,23 g. Laju pertumbuhan spesifik pada masa pemeliharaan berkisar antara 1,56%-2,24% (Lampiran 2). Hasil analisis ragam menunjukkan peningkatan kepadatan memberikan pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik (p<0,05). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 tidak berbeda nyata (b), namun berbeda nyata (a) pada kepadatan 25 ekor/m 3 (Gambar 6). Bobot Rata-rata (g) 10 8 6 4 2 0 H0 H10 H20 H30 H40 Hari ke- Gambar 5. Bobot (g) rata-rata tiap sampling ikan nilem dengan kepadatan 25, 50, dan 75 ekor/m 3 selama 40 hari. Laju Pertumbuhan Spesifik (%/BB/Hari) 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 2,21 2,24 1,56 a b b 25 50 Kepadatan (ekor/m3) 75 Gambar 6. Laju pertumbuhan spesifik (%) ikan nilem dengan kepadatan 25, 50, dan 75 ekor/m 3 selama 40 hari. 11

3.1.2 Pertambahan Panjang Mutlak Selama 40 hari pemeliharaan ikan nilem mengalami pertambahan panjang dari 5,65 ± 0,62 cm menjadi 7,73 ± 1,30 cm. Pertambahan panjang mutlak berkisar antara 1,17 ± 0,21 cm hingga 1,97 ± 0,27 cm (Lampiran 3). Hasil analisis ragam menunjukkan peningkatan kepadatan memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan panjang mutlak (p<0,05). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa pertambahan panjang mutlak pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 tidak berbeda nyata (b), namun berbeda nyata (a) pada kepadatan 25 ekor/m 3 (Gambar 8). Panjang Rata -rata (cm) 10 8 6 4 2 0 H0 H10 H20 H30 H40 Hari ke- Gambar 7. Panjang (cm) rata-rata tiap sampling ikan nilem dengan kepadatan 25, 50, dan 75 ekor/m 3 selama 40 hari. Pertambahan Panjang (cm) 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1,93 1,97 1,17 a b b 25 50 75 Kepadatan (ekor/m3) Gambar 8. Pertambahan panjang mutlak (cm) ikan nilem dengan kepadatan 25, 50, dan 75 ekor/m 3 selama 40 hari. 3.1.3 Analisa Fitoplankton Selama 40 hari pemeliharan nilem, didapatkan kelimpahan fitoplankton yang berbeda setiap kepadatan ikan nilem. Masing-masing kepadatan nilem terjadi peningkatan kelimpahan fitoplankton mulai dari awal hingga akhir 12

pemeliharaan berkisar antara 0,76 x 10 6-11,46 x 10 6 sel/l (Lampiran 5). Nilem dengan padat tebar 75 ekor/m 3 menunjukkan peningkatan kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi dibandingkan dengan padat tebar 50 ekor/m 3 dan 25 ekor/m 3. Kelimpahan Total (10 6 sel/l) 15 10 5 0 25 50 75 Kepadatan (ekor/m3) Gambar 9. Kelimpahan fitoplankton (sel/l) media pemeliharaan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 dengan pemeliharaan selama 40 hari. H10 H20 H30 H40 2.00 1,74 1,65 1.50 1,26 Indeks 1.00 0.50 0.00 0,55 0,52 0,38 0,16 0,26 0,29 25 50 75 H' E C Kepadatan (ekor/m3) Gambar 10. Histogram Keanekaragaman (H ), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) fitoplankton pada media pemeliharaan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari. Indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E), dan dominansi (C) merupakan indeks yang digunakan untuk menilai kestabilan komunitas biota suatu perairan dengan kondisi di perairan itu sendiri. Berdasarkan dari Gambar 10 terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman paling tinggi terdapat pada kepadatan 50 ekor/m 3 sebesar 1,74 dan 0,55, sedangkan nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi paling rendah terdapat pada kepadatan 25 ekor/m 3 berturut-turut adalah 1,26; 0,38; dan 0,16. Indeks dominansi tertinggi nilainya pada kepadatan 75 ekor/m 3 sebesar 0,29. Nilai indeks 13

keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi secara berturut - turut berkisar antara 1,08-2,01; 0,14-0,61; 0,11-0,39 (Lampiran 5). 3.1.4 Penggunaan Pakan Pemeliharaan nilem selama 40 hari, dilakukan pemberian pakan dengan feeding rate (FR) sebanyak 1,5 % pada padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3, serta memanfaatkan pakan alami dari setiap bak pemeliharaan tersebut. Semakin tinggi padat penebaran maka jumlah pakan yang dibutuhkan semakin banyak. Jumlah pakan yang dihabiskan dan nilai FCR (Feed Convertion Ratio) selama 40 hari pemeliharaan nilem ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah pakan yang dihabiskan selama 40 hari pemeliharaan nilem Perlakuan Pakan (g) Pelet FCR 25 ekor/m 3 661,35 2,21 50 ekor/m 3 816,97 0,80 75 ekor/m 3 1240,97 0,72 3.1.5 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate) Tingkat kelangsungan hidup nilem selama 40 hari pemeliharaan mengalami penurunan pada masing-masing kepadatan dengan kisaran 86,86% - 88,57%. Nilai tertinggi diperoleh pada kepadatan 25 ekor/m 3 sedangkan nilai terendah diperoleh pada kepadatan 50 ekor/m 3. Setelah dilakukan analisis ragam, peningkatan kepadatan nilem tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (p>0,05) Lampiran 1. Tingkat Kelangsungan Hidup (%) 100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 88,57 86,86 88,51 a a a 25 50 75 Kepadatan (ekor/m3) Gambar 11. Tingkat kelangsungan hidup (%) ikan nilem dengan kepadatan 25, 50, dan 75 ekor/m 3 selama 40 hari. 14

3.1.6 Kualitas Air Pemeliharaan Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 10 hari sekali. Kualitas air selama pemeliharaan nilem yang dihasilkan pada setiap padat tebar berfluktuasi, namun masih berada pada batasan yang dapat ditoleransi nilem. Suhu air selama pemeliharaan ikan nilem berada pada kisaran 25,00-31,30 0 C (Lampiran 4). Pengukuran suhu dilakukan pada pagi hari. Gambar 12 menunjukkan grafik suhu pemeliharaan ikan nilem dari masing-masing kepadatan, dari grafik terlihat suhu cenderung meningkat. Peningkatan ini dipengaruhi oleh cuaca yaitu musim panas. 40 Suhu air (0C) 30 20 10 0 Hari ke - Gambar 12. Kadar suhu ( 0 C) media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. Selama pemeliharaan nilem ph media pemeliharaan berkisar antara 6,00-8,44 (Lampiran 4). Gambar 13 menunjukkan ph air pemeliharaan ikan nilem dari setiap kepadatan. Fluktuasi ph air terjadi selama pemeliharaan dan cenderung terjadi penurunan di awal pemeliharaan dan meningkat diakhir pemeliharaan. 10 8 ph 6 4 2 0 Hari ke - Gambar 13. Kadar ph media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. 15

Kadar oksigen (DO) pemeliharaan ikan nilem dari semua kepadatan berada pada kisaran 5,80-7,80 mg/l (Lampiran 4). Selama pemeliharaan kadar oksigen berfluktuasi. Gambar 14 menunjukkan kadar oksigen dari setiap pemeliharaan ikan nilem yang cenderung menurun pada awal pemeliharaan dan meningkat di akhir pemeliharaan. Kadar Oksigen (mg/l) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Hari ke - Gambar 14. Kadar oksigen (mg/l) media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. Kadar alkalinitas media selama pemeliharaan ikan nilem dari setiap kepadatan berada pada kisaran 36-52 mg/l CaCO 3 (Lampiran 4). Terjadi fluktuasi kadar alkalinitas air selama pemeliharaan seperti yang terlihat pada Gambar 15. Kadar alkalinitas media cenderung meningkat diakhir pemeliharaan. Alkalinitas (mg/l CaCo3) 60 50 40 30 20 10 0 Hari ke - Gambar 15. Kadar alkalinitas (mg/l CaCO 3 ) media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. Kadar kesadahan media pemeliharaan ikan nilem dari setiap kepadatan berada pada kisaran 118,198-177,297 mg/l CaCO 3 (Lampiran 4). Gambar 16 16

menunjukkan fluktuasi kadar kesadahan dari tiap media pemeliharaan. Pada awal pemeliharaan ikan nilem kecenderungan kadar kesadahan air menurun kemudian meningkat pada hari ke-20 hingga akhir pemeliharaan. Kesadahan (mg/l CaCo3) 200 150 100 50 0 Hari ke - Gambar 16. Kadar kesadahan media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. Kadar nitrit dalam media pemeliharaan nilem 40 hari berada pada kisaran 0,015-0,212 mg/liter (Lampiran 4). Gambar 17 menunjukkan grafik kadar nitrit pemeliharaan nilem dari masing-masing padat tebar, dari grafik terlihat kadar nitrit semakin meningkat. Kadar Nitrit (mg/l) 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 Hari ke- Gambar 17. Kadar nitrit (mg/l) media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. 17

Kadar nitrat pemeliharaan nilem dari setiap padat tebar berada pada kisaran 0,123-1,143 mg/l (Lampiran 4). Selama pemeliharaan kadar nitrat berfluktuasi. Gambar 18 menunjukkan kadar nitrat dari setiap pemeliharaan nilem yang cenderung meningkat pada awal pemeliharaan dan menurun diakhir pemeliharaan. 1.200 Kadar Nitrat (mg/l) 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000 Hari ke- Gambar 18. Kadar nitrat (mg/l) media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. Selama pemeliharaan ikan nilem kadar fosfat pemeliharaan berkisar antara 0,020-0,086 mg/liter (Lampiran 4). Gambar 19 menunjukkan kadar fosfat pemeliharaan nilem dari setiap padat tebar. Fluktuasi kadar nitrat terjadi selama pemeliharaan dan cenderung terjadi peningkatan hingga diakhir pemeliharaan. Kadar Fosfat (mg/l) 0.100 0.080 0.060 0.040 0.020 0.000 Hari ke- Gambar 19. Kadar fosfat (mg/l) media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. Kadar amonia media selama pemeliharaan nilem dari setiap padat tebar berada pada kisaran 0,006-0,019 mg/l (Lampiran 4). Terjadi fluktuasi kadar 18

amonia air selama pemeliharaan seperti yang terlihat pada Gambar 20. Pada awal pemeliharaan kadar amonia media pemeliharaan cenderung meningkat kemudian menurun pada akhir pemeliharaan. Kadar Amonia (mg/l) 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 Hari ke- Gambar 20. Kadar amonia (mg/l) media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar 25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. Kadar total organik meter (TOM) media pemeliharaan nilem dari setiap padat tebar berada pada kisaran 27,647-123,619 mg/l KMnO 4 (Lampiran 4). Gambar 21 menunjukkan fluktuasi kadar TOM dari tiap media pemeliharaan nilem. Pada awal pemeliharaan nilem kecenderungan kadar TOM mengalami peningkatan hingga diakhir pemeliharaan. Kadat TOM (mg/l KMnO4) 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0.000 Hari ke- Gambar 21. Kadar TOM (mg/l) media pemeliharaan ikan nilem dengan padat tebar g25, 50, dan 75 ekor/m 3 pemeliharaan selama 40 hari dalam bak beton. 19

3.2 Pembahasan Limbah budidaya ikan yang merupakan hasil aktivitas metabolisme banyak mengandung amonia (Effendi, 2003). Pada sistem budidaya tanpa pergantian air (zero water exchange) seperti pada kolam air tenang, konsentrasi limbah budidaya seperti amonia (NH 3 ), nitrit (NO - 2 ), dan CO 2 akan meningkat sangat cepat dan bersifat toksik bagi organisme budidaya (Surawidjaja, 2006). Ikan mengeluarkan 80-90% amonia (N-anorganik) melalui proses osmoregulasi, sedangkan dari feses dan urine sekitar 10-20% dari total nitrogen (Sumoharjo, 2010). Akumulasi amonia pada media budidaya merupakan salah satu penyebab penurunan kualitas perairan yang dapat berakibat pada kegagalan produksi budidaya ikan. Pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan limbah yang telah diurai oleh bakteri sehingga dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton dan ikan akan memanfaatkan fitoplankton tersebut untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan ikan nilem diukur berdasarkan bobot dan panjang tubuh total ikan. Hasil penelitian selama 40 hari masa pemeliharaan menunjukkan bahwa ikan nilem yang diberi pakan komersil dengan FR 1,5% pada kepadatan 75 ekor/m 3 memberikan bobot dan laju pertumbuhan spesifik yang lebih tinggi dibandingkan dengan 25 dan 50 ekor/m 3 dengan FR yang sama. Namun, hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Dalam penelitian ini, pertumbuhan yang tinggi dapat disebabkan oleh tersedianya makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ikan nilem tersebut. Menurut Effendie (1997), pertumbuhan dipengaruhi dua faktor, yaitu faktor internal (sifat genetik dan kondisi fisiologis) dan faktor eksternal yang berkaitan dengan lingkungan pemeliharaan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan ikan antara lain berupa jenis makanan yang dimakan, ukuran makanan yang dimakan, kondisi oseanografi perairan suhu, oksigen, konsentrasi unsur nitrogen dan ph (Sukimin et al, 2002). Ikan nilem dikelompokkan sebagai ikan omnivora (pemakan segala). Pakannya terdiri dari detritus, jasad-jasad penempel, peripiton, dan epipiton, sehingga ikan ini lebih sering hidup di bagian dasar perairan. Selain itu, nilem juga pemakan lumut-lumutan dan tumbuhan air. Nilem memakan udang renik dan akar-akar tanaman air seperti hydrilla. Pada 20

stadia benih atau larva, ikan ini memakan fitoplankton dan zooplankton (Khairuman dan Khairul, 2008). Oleh karena itu, laju pertumbuhan spesifik yang tidak berbeda nyata pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 salah satunya dapat dilihat dari parameter kelimpahan fitoplankton. Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 kelimpahan fitoplankton tidak berbeda jauh jumlahnya pada tiap sampling yaitu sekitar 3 x 10 6 sel/l (Lampiran 5). Berbeda dengan kepadatan 25 ekor/m 3 yang memiliki kelimpahan fitoplankton lebih rendah dibandingkan keduanya. Artinya, pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 terjadi pemanfaatan fitoplankton oleh ikan nilem tersebut akibat besarnya kelimpahan fitoplankton dari keduanya sehingga dapat mendukung pertumbuhan dari ikan nilem. Pemanfaatan fitoplankton dapat dilihat dari nilai FCR pada masing-masing kepadatan. Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai FCR kepadatan 25 ekor/m 3 lebih tinggi dibanding 50 dan 75 ekor/m 3 yaitu sebesar 2,21 sedangkan nilai FCR kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 relatif mendekati yaitu 0,80 dan 0,72. Hal ini berarti pada kepadatan 25 ekor/m 3 lebih banyak memanfaatkan pakan komersil dibandingkan dengan pakan alami sehingga pertumbuhannya lebih rendah, selain itu karena ketersediaan pakan alami yang lebih sedikit pada kepadatan 25 ekor/m 3 dibandingkan dengan 50 dan 75 ekor/m 3. Namun, dapat juga dikarenakan jumlah FR yang sedikit digunakan dalam penelitian ini yaitu 1,5% sehingga pakan komersil yang tersedia belum mencukupi kebutuhan ikan nilem tersebut dan mengakibatkan pertumbuhan yang rendah. Biasanya petani menggunakan FR antara 2-3% untuk pemeliharaan ikan air tawar (Nugroho, 2008). Nilai FCR yang relatif sama pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 dapat disebabkan karena keseimbangan antara pemanfaatan pakan komersial dengan pakan alami sehingga laju pertumbuhan keduanya relatif sama. Selama 40 hari masa pemeliharaan benih nilem terjadi peningkatan bobot dari 2,24 ± 0,65 g menjadi 6,31 ± 3,23 g. Laju pertumbuhan bobot harian selama masa pemeliharaan berkisar antara 1,56%-2,24% (Lampiran 2). Hasil analisis ragam menunjukkan peningkatan kepadatan memberikan pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik (p<0,05). Ikan nilem mengalami pertumbuhan panjang selama 40 hari pemeliharaan dari 5,65 ± 0,62 cm menjadi 7,73 ± 1,30 cm (Lampiran 3). Pertumbuhan panjang mutlak antara 1,17 ± 0,21 cm 21

hingga 1,97 ± 0,27 cm. Hasil analisis ragam menunjukkan peningkatan kepadatan memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak (p<0,05) (Lampiran 3). Berdasarkan hasil penelitian selama 60 hari, ikan nilem mengalami pertumbuhan panjang 4 cm dan kenaikan bobot 6 g (Setijaningsih et al, 2010). Ikan nilem sering dijadikan ikan untuk introduksi atau restocking pada perairan danau dan waduk, karena ikan ini dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru dan dapat berkembang biak cukup cepat (Makmur, 2010). Pemeliharaan ikan nilem dengan kepadatan 25, 50, dan 75 ekor/m 3 yang diberi pakan dengan FR 1,5% mendapat pakan tambahan yang berasal dari lingkungan yaitu berupa fitoplankton. Ditinjau dari karakteristik saluran pencernaannya, ikan nilem mempunyai usus yang panjang sehingga tergolong ikan yang cenderung herbivora. Potensi tumbuh cukup tinggi karena mudah beradaptasi terhadap berbagai jenis pakan dan bagian organ pencernaannya pada stadia benih sudah mulai lengkap. Ususnya panjang, bagian akhir dari usus terjadi diferensiasi usus yang lebih lebar yang disebut rektum. Pada bagian ini tidak lagi terjadi pencernaan, fungsinya selain sebagai alat ekskresi, juga membantu osmoregulasi. Fitoplankton tumbuh baik pada media pemeliharaan ikan nilem dengan kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 disebabkan oleh tersedianya nutrien-nutrien yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan, salah satunya dengan memanfaatan hasil pengolahan limbah oleh bakteri pada budidaya. Menurut Odum (1998), fitoplankton merupakan tumbuhan renik yang hidup di air yang menempati posisi sebagai produsen tingkat pertama atau dasar mata rantai makanan di perairan. Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat menggambarkan kondisi ekologis suatu perairan dan merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Hasil penelitian selama 40 hari masa pemeliharan nilem, didapatkan kelimpahan fitoplankton yang berbeda setiap kepadatan nilem. Terjadi peningkatan kelimpahan fitoplankton setiap kepadatan mulai dari awal hingga akhir pemeliharaan berkisar 0,76 x 10 6-11,46 x 10 6 sel/l (Lampiran 5). Nilem dalam pemeliharaan dengan kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 menunjukkan peningkatan kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi 22

dibandingkan kepadatan 25 ekor/m 3. Hal ini dapat disebabkan oleh tersedianya nutrien-nutrien yang dibutuhkan oleh fitoplankton dalam bak pemeliharaan tersebut. Pada umumnya fitoplankton memanfaatkan nitrogen dalam bentuk senyawa anorganik seperti nitrat dan amonia (Kennish, 1990). Dalam memanfaatkan nitrogen, umumnya fitoplankton mempunyai kecenderungan untuk secara berturut-turut mengambil nitrat dan amonium. Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman alga. Nitrat sangat mudah larut di dalam air dan bersifat stabil, dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi, 2003). Kadar nitrat akan semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Pada penelitian ini, Gambar 18 dan 20 menunjukkan bahwa kadar nitrat dan amonia dalam bak pemeliharaan dengan kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 memiliki kisaran yang relatif sama pada setiap sampling dibandingkan kepadatan 25 ekor/m 3. Kelimpahan fitoplankton memiliki hubungan yang positif dengan kesuburan suatu perairan, apabila kelimpahan fitoplankton tinggi maka suatu perairan itu cenderung memiliki produktivitas yang tinggi pula. TOM (total organic matter) merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui kandungan bahan organik dalam suatu perairan. Kandungan total bahan organik media pemeliharaan nilem dari masing-masing padat tebar antara 27,647-123,619 mg/l KMnO 4 (Lampiran 4). Pada awal pemeliharaan nilem kecenderungan kadar TOM mengalami peningkatan hingga diakhir pemeliharaan. Artinya, terjadi penggunaan bahanbahan organik oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Cara analisa TOM hampir sama dengan COD (Chemical Oxygen Demand) karena sama-sama menggunakan pengoksidator berupa bahan kimia, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai TOM hampir mendekati nilai COD. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l (Effendi, 2003). Pada penelitian ini nilai TOM masih dapat ditoleransi karena tidak melebihi batas yang ditentukan (Lampiran 4). Nilai TOM yang relatif sama dan lebih tinggi pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 dibandingkan kepadatan 25 ekor/m 3 merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tersedianya kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan fitoplankton. 23

Jumlah TOM yang tinggi pada kepadatan 50 dan 75 ekor/m 3 dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh jumlah limbah yang masuk ke dalam bak pemeliharaan dan kepadatan ikan nila serta lele yang dapat mempengaruhi buangan limbah tersebut. Pada penelitian ini digunakan kepadatan ikan nila dan lele yang berbeda-beda pada masing-masing padat tebar. Namun, dalam penelitian ini air buangan limbah yang dialirkan ke bak pemeliharaan ikan nilem dengan sistem resirkulasi dan akuaponik tetap dalam kepadatan yang sama antara ikan nila dan lele. Limbah dapat berasal dari feses, sisa pakan, dan hasil metabolisme ikan budidaya. Limbah-limbah tersebut mengandung nitrogen yang tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh organisme akuatik sehingga diperlukan proses penguraian. Nitrogen terdiri atas bahan organik dan anorganik. Nitrogen organik yaitu urea, protein, dan asam amino, sedangkan nitrogen anorganik terdiri dari amonia (NH 3 ), amonium (NH 4 ), nitrit (NO 2 ), nitrat (NO 3 ), dan molekul nitrogen dalam bentuk gas (N 2 ). Limbah yang tidak diurai akan menjadi toksik bagi lingkungan perairan tersebut. Limbah nitrogen diurai oleh bantuan bakteri Nitrosomonas untuk mengubah amonia menjadi nitrit dan Nitrobacter mengubah nitrit menjadi nitrat sehingga dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton (Effendi, 2003). Dalam penelitian ini, pakan yang paling banyak digunakan yaitu pada kepadatan 75 ekor/m 3 sehingga terdapat banyak buangan limbah pakan dan limbah dari ikan nilem di dalam bak pemeliharaan dengan padat tebar yang tinggi, serta perbedaan padat tebar pada ikan nila dan lele sehingga bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersedia besar jumlahnya dan kemudian diurai oleh bakteri menyebabkan tersedianya nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah besar. Kelas fitoplankton yang ditemukan pada penelitian ini adalah Cyanophyceae (Oscillatoria sp., Phormodium sp., Microcystis sp., Merismopedia sp., Coelosphaerium sp., Aphanocapsa sp., Anabaena sp.), Euglenophyceae (Euglena sp., Phacus sp., Trachelomonas sp., Lepocinclis sp.), Chlorophyceae (Scenedesmus sp., Gloeocystis sp., Dictyosphaerium sp., Pediastrum sp., Coelastrum sp., Botryococcus sp., Ankristrodesmus sp., Selenastrum sp., Actinastrum sp., Chlorella sp., Kirchneriella sp., Micractinium sp., Crucigenia sp., Tetraedron sp., Golenkinia sp., Pandorina sp., Closterium sp., Sphaerocystis 24

sp., Westella sp.), Bacillariophyceae (Cyclotellas sp., Navicula sp., Nitszchia sp., Fragilaria sp., Melosira sp., Gomphonema sp., Pinnularia sp.), Dinophyceae (Glenodinium sp.). Kelas yang memiliki kelimpahan fitoplankton terbanyak dalam penelitian ini yaitu kelas Bacillariophyceae (Lampiran 5). Fitoplankton dalam pertumbuhan dan perkembangannya sangat membutuhkan nutrien, menurut Basmi (1999) nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah banyak adalah makro nutrien yaitu C, H, O, N, S, P, K, Mg, Ca, Na, dan Cl, sedangkan yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit adalah mikro nutrien yang terdiri dari Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Si, V, dan Co. Unsur P dan N sering menjadi faktor pembatas bagi fitoplankton di dalam suatu perairan karena kedua unsur ini dibutuhkan dalam jumlah yang besar, namun bila kedua unsur tersebut ketersediaannya di habitat bersangkutan di bawah kebutuhan minimum akan mengakibatkan pertumbuhan fitoplankton terganggu atau populasinya akan menurun (Basmi, 1999). Unsur P digunakan untuk kebutuhan energi dan unsur N digunakan untuk kebutuhan protein. Indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E), dan dominansi (C) merupakan indeks yang digunakan untuk menilai kestabilan komunitas biota suatu perairan dengan kondisi di perairan itu sendiri. Nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman paling tinggi terdapat pada kepadatan 50 ekor/m 3 sebesar 1,74 dan 0,55; sedangkan nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi paling rendah terdapat pada kepadatan 25 ekor/m 3 berturut-turut adalah 1,26; 0,38; dan 0,16. Indeks dominansi tertinggi nilainya pada kepadatan 75 ekor/m 3 sebesar 0,29. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi secara berturut - turut berkisar antara 1,08-2,01; 0,14-0,61; 0,11-0,39 (Lampiran 5). Batasan nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman sekitar < 0,75 (Odum, 1998). Kisaran nilai indeks dominansi adalah antara 0-1 (Odum, 1998). Nilai yang mendekati nol menunjukkan bahwa tidak ada genus dominan dalam komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas dalam keadaan stabil. Sebaliknya, nilai yang mendekati 1 menunjukkan adanya genus yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan ekologis. Hasil dari nilai indeks dominansi dari masing-masing kepadatan nilem menunjukkan nilai mendekati 0, artinya tidak ada genus dominan dalam komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas dalam 25

keadaan stabil (Odum, 1998). Selain nutrien, suhu sangat mempengaruhi keberadaan fitoplankton. Umumnya fitoplankton dapat berkembang dengan baik pada suhu 25 0 C. Pada penelitian ini, suhu selama pemeliharaan 40 hari berkisar antara 25,00-31,30 o C. Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) nilem selama 40 hari pemeliharaan pada masing-masing perlakuan memiliki kisaran 86,86%-88,57%. Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan, peningkatan kepadatan nilem tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (p>0,05) Lampiran 1. Nilai tingkat kelangsungan hidup yang tidak berbeda jauh dalam penelitian ini pada masing-masing kepadatan menunjukkan bahwa dengan ruang yang sama namun berbeda padat tebar ternyata dengan padat tebar yang semakin tinggi, ikan nilem masih dapat bertahan hidup dan memiliki pertumbuhan yang lebih baik. Kecenderungan penurunan nilai tingkat kelangsungan hidup di awal pemeliharaan dapat disebabkan karena ikan nilem membutuhkan waktu untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Kondisi lingkungan masih dapat mendukung pemeliharaan ikan nilem hingga kepadatan 75 ekor/m 3 sehingga lebih baik dilakukan karena lebih efektif. Parameter kualitas air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan budidaya. Kualitas air yang berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan nilem antara lain nitrit, nitrat, amonia, oksigen terlarut, ph dan suhu (Benlu dan Ksal, 2005; Abbas, 2006). Beberapa parameter kualitas air yang berpengaruh langsung pada ikan antara lain suhu, amonia (NH 3 ), oksigen (O 2 ), dan derajat keasaman (ph). Kondisi kualitas air yang buruk dapat menyebabkan stress sampai kematian pada ikan yang dibudidayakan. Pengamatan kualitas air selama penelitian seperti nitrit, nitrat, amonia, ph, oksigen terlarut,kesadahan, alkalinitas, fosfat, dan suhu pada pemeliharaan benih ikan nilem di kolam air tawar tersaji pada Lampiran 4. Jika mengacu dari ketentuan peraturan tentang kualitas air untuk budidaya ikan, maka kisaran parameter yang diamati masih berada pada kondisi yang optimal atau masih memenuhi nilai ambang batas baku mutu. Namun yang harus diwaspadai adalah perubahan suhu yang drastis, karena hal ini dapat memicu stress pada ikan, sehingga laju metabolisme ikan juga akan meningkat (Effendi, 2003). 26

Suhu sangat berpengaruh pada pertumbuhan. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan nilem antara 27,50 o C-32,50 o C. Pada suhu 35 o C pertumbuhan akan berlangsung lambat, dan akan terjadi deformasi pada suhu yang lebih tinggi lagi. Hargreaves dan Tucker (2004) menyatakan, bahwa pemeliharaan ikan di atas suhu 27,50 o C dapat mencegah terjadinya infeksi penyakit bakteri dan virus. Nilai suhu selama pemeliharaan 40 hari berkisar antara 25,00-31,30 o C. Ikan tumbuh cukup lambat pada kisaran ph antara 5 sampai 6,5 (Boyd, 1990). Menurut Mays (1996), nilai ph air yang optimal untuk pertumbuhan ikan berdasarkan adalah antara 6 sampai 9 Selama penelitian ini kisaran nilai ph berkisar antara 6,00-8,44. Konsentrasi oksigen terlarut selama pemeliharaan berkisar antara 5,8-7,8 mg/l. Kondisi tersebut masih berada pada kondisi optimum untuk pemeliharaan ikan. Pillay (1993) menyatakan konsentrasi oksigen terlarut untuk pemeliharaan ikan sebaiknya tidak kurang dari 3 mg/l. Selama pemeliharaan nilai konsentrasi amonia berkisar antara 0,006-0,019 mg/l. Kondisi tersebut masih dapat di toleransi oleh ikan, karena menurut Wedemeyer (2001), kadar amonia sebaiknya berkisar < 0,1 mg/l, namun Pillay (1993) menyebutkan ambang batas maksimum konsentrasi amonia untuk kegiatan budidaya adalah 0,02 mg/l meskipun tingkat toleransi ikan terhadap amonia berkisar antara 0-2,0 mg/l. Kadar alkalinitas media selama pemeliharaan ikan nilem dari setiap perlakuan kepadatan berada pada kisaran 36-52 mg/l CaCO 3. Nilai alkalinitas perairan hampir tidak pernah melebihi 500 mg/l CaCO 3. Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi. Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg/l CaCO 3 (Effendi, 2003). Kadar kesadahan media pemeliharaan ikan nilem pada penelitian ini memiliki kisaran 118,198-177,297 mg/l CaCO 3. Nilai kisaran kesadahan ini masih dapat ditoleransi karena menurut Effendi (2003), kadar kesadahan yang baik untuk perairan alami adalah 120-500 mg/l CaCO 3. Kadar nitrit selama pemeliharaan nilem berada pada kisaran 0,015-0,212 mg/liter. Menurut Effendi (2003), perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001-0,060 mg/l, namun di perairan kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/l. Kadar nitrat pemeliharaan nilem dari setiap padat tebar berada pada kisaran 0,123-1,143 mg/l. Selama pemeliharaan 27

kadar nitrat berfluktuasi. Kadar nitrat yang baik untuk perairan tawar berkisar 0-1 mg/l (Effendi, 2003). Kadar fosfat berkisar antara 0,020-0,086 mg/liter. Kadar fosfat untuk perairan tawar berkisar antara 0,051-0,100 mg/l (Effendi, 2003). Secara umun kondisi lingkungan masih dapat mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan nilem dengan peningkatan kepadatan dan pemanfaatan limbah budidaya, sehingga melalui sistem ini produktivitas dapat lebih ditingkatkan. Hasil analisis usaha pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa ikan nila pada kepadatan 50 ekor/m 2 mengalami kerugian sebesar Rp 21.650,00. Hal ini diduga akibat banyaknya ikan nila yang mati pada awal pemeliharaan sehingga hasil ikan yang dipanen juga sedikit. Namun, pada ikan nila kepadatan 100 dan 150 ekor/m 2 mengalami keuntungan sebesar Rp 34.460,00 dan Rp 51.850,00. Berbeda dengan ikan nila, ikan nilem dan lele pada masing-masing padat tebar mengalami keuntungan. Pada ikan nilem kepadatan 25, 50, dan 75 ekor/m 3 keuntungan yang diperoleh dalam budidaya ini secara berturut-turut adalah sebesar Rp 4.354,00; Rp 12.454,00; dan Rp 17.150,00. Sedangkan pada ikan lele dengan kepadatan 50, 100, dan 150 ekor/m 2 secara berturut-turut memperoleh keuntungan Rp 108.919,00; Rp 153.557,00; Rp 241.578,00. Secara keseluruhan, nilai keuntungan yang besar terdapat pada kepadatan ikan yang lebih tinggi dalam budidaya sistem resirkulasi dan akuaponik ini, namun keuntungan yang diperoleh nilainya masih kecil sehingga dalam sistem ini perlu dilakukan peningkatan kepadatan agar keuntungan yang diperoleh dapat maksimal. 28