BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan tanaman kayu putih sebagai salah satu komoditi kehutanan merupakan salah satu solusi yang realistis dalam menghadapi tantangan pengelolaan hutan saat ini. Luasan hutan tidak produktif yang terus bertambah, mengharuskan adanya upaya rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) untuk memulihkan kondisi hutan sehingga tetap terjamin fungsinya. Pemanfaatan tanaman kayu putih dalam kegiatan RHL dapat memberikan dua keuntungan bagi pengelola hutan. Secara ekologis, pertumbuhan kayu putih yang cepat pada kondisi lahan marginal dapat mendukung upaya konservasi lahan. Ditinjau dari segi ekonomi, tanaman kayu putih memiliki potensi untuk menghasilkan minyak atsiri yang memiliki serapan pasar tinggi terutama dalam bidang farmasi (Lukito, 2011). Berdasarkan kendali petak, pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh telah dimulai sejak tahun 1966 dengan tujuan untuk kegiatan RHL. Namun, sejak tahun 1983 seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), arah pengelolaan hutan tanaman kayu putih dikembangkan menjadi kawasan produksi, dengan mempertimbangkan potensi minyak atsiri yang dihasilkan dari daunnya. Hal ini dilandasi dengan adanya upaya untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan asli daerah. 1
Pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh telah memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penerapan pola tanam dengan sistem tumpangsari kayu putih, memberikan peluang masyarakat untuk melakukan praktik budidaya tanaman semusim guna memenuhi kebutuhan pangan. Disamping itu, adanya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemanenan daun kayu putih dapat menambah pendapatan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Anonim, 2008). Pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh saat ini menghadapi permasalahan serius terkait penurunan produktivitas. Berdasarkan total luas pertanaman kayu putih yang mencapai 498 ha, terdapat area tanah kosong seluas 34 ha. Selain itu, pada kawasan pertanaman kayu putih yang berkembang telah terjadi penurunan jumlah pohon sehingga banyak kawasan memiliki jumlah tegakan yang tidak optimal (Anonim, 2008). Hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya penurunan jumlah daun kayu putih hasil pangkasan. Pada tahun 2011, dengan luasan area panen mencapai 253,2 ha, jumlah daun hasil pangkasan mencapai 247 ton. Akan tetapi, pada tahun 2012 dengan total luasan area panen mencapai 340,5 ha jumlah daun hasil pangkasan hanya mencapai 232 ton (Anonim, 2012). Kegiatan pengelolaan hutan tanaman kayu putih, pada dasarnya merupakan suatu aktivitas teknis kehutanan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini harus mampu mengintegrasikan antara aspek biofisik dan aspek sosial. Kedua aspek tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang harus dipertimbangkan, agar kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan mampu mengakomodir kepentingan 2
ekologi, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial budaya. Oleh karena itu, peranan silvikultur sangat dibutuhkan untuk dapat merumuskan tindakan pengelolaan yang tepat dalam mendukung pemulihan fungsi kawasan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi silvikultur dalam mendukung kegiatan pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh. Metode yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah pendekatan sistem berbasis CASM (Capability Availability Suitability Manageability). Penggunaan pendekatan CASM dipilih karena mampu menyediakan serangkaian informasi yang dapat mengintegrasikan antara aspek biofisik dan aspek sosial sehingga dapat menjadi bahan acuan dalam pengambilan keputusan. Hasil dari analisis CASM kemudian digunakan untuk merumuskan strategi silvikultur yang akan diterapkan dalam pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh melalui skema LFA (Logical Framework Analysis). 1.2. Perumusan Masalah Pengelolaan hutan merupakan suatu aktivitas teknis kehutanan dalam menjalankan rangkaian kegiatan pada suatu kawasan hutan. Aktivitas pengelolaan hutan merupakan suatu sistem kompleks yang meliputi serangkaian tindakan untuk membangun dan memelihara hutan sesuai dengan tujuan pengelolaan (Mulyadi, 2005). Seiring berkembangnya waktu, kegiatan pengelolaan hutan akan senantiasa menghadapi hambatan dan tantangan sehingga dibutuhkan beragam strategi untuk dapat mencari solusinya. Dalam hal ini, silvikultur sebagai pilar 3
pembangunan hutan memiliki peranan penting untuk dapat memberikan alternatif strategi bagi pengelola, sehingga dapat menyelesaikan problema yang dihadapi. Pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh saat ini menghadapi permasalahan serius terkait penurunan produktivitas. Keberadaan area tanah kosong, jumlah tegakan yang tidak optimal, serta berkembangnya pola penggarapan lahan secara tidak terstruktur menjadi problema yang harus dapat dicari solusinya, agar keberlanjutan fungsi kawasan hutan dapat terjamin. Oleh karena itu, peranan silvikultur sangat mutlak dibutuhkan untuk merumuskan strategi sebagai upaya menjamin keberlanjutan fungsi kawasan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh. Permasalahan pengelolaan hutan yang terjadi di RPH Gubugrubuh merupakan suatu problema sistemik yang hanya dapat diselesaikan dengan menggabungkan berbagai disiplin keilmuan. Untuk dapat merumuskan solusi atas permasalahan yang terjadi, maka ketersediaan data dan informasi yang memadai menjadi syarat mutlak dalam pengambilan keputusan. Data dan informasi yang ada harus mampu menjelaskan kondisi biofisik lahan, kondisi sosial masyarakat, dan kondisi manajemen pengelola sehingga perumusan strategi yang dilakukan mampu mengintegrasikan antara aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Berdasarkan semua uraian tersebut, maka penerapan silvikultur berbasis pendekatan CASM menjadi suatu solusi yang realistis untuk diterapkan dalam merumuskan strategi pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh. 4
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi penurunan produktivitas hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh. 2. Merumuskan strategi silvikultur untuk pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh yang didasarkan pada karakteristik lahan dan tingkat kesesuaian lahan dengan mempertimbangkan aspek sosial dan aspek manajemen. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Menyediakan data dan informasi yang dibutuhkan dalam merumuskan strategi pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh. 2. Memberikan berbagai alternatif strategi silvikultur yang dapat diterapkan dalam mendukung kegiatan pengelolaan hutan tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh. 5