PENGARUH BEA KELUAR MINYAK KELAPA SAWIT MENTAH TERHADAP HARGA MINYAK GORENG DANDY DHARMAWAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

31 Universitas Indonesia

IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak

III. METODE PENELITIAN. model struktural adalah nilai PDRB, investasi Kota Tangerang, jumlah tenaga kerja,

BAB 3 METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

ESTIMASI PARAMETER PADA SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN DENGAN METODE LIMITED INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (LIML) SKRIPSI

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Obyek dari penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah besarnya

PERMINTAAN DAN PENAWARAN MINYAK GORENG SAWIT INDONESIA KHOIRU RIZQY RAMBE

BAB III METODE PENELITIAN. di peroleh dari Website Bank Muamlat dalam bentuk Time series tahun 2009

IV. METODE PENELITIAN

Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada

BAB III METODE PENELITIAN. tercatat secara sistematis dalam bentuk data runtut waktu (time series data). Data

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

Analisis Ekonometrika Model Pendapatan Nasional Indonesia dengan Pendekatan Persamaan Sistem Simultan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siti Nurhayati Basuki, 2013

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini membahas tentang pengaruh inflasi, kurs, dan suku bunga kredit

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam banyak situasi ekonomi, hubungan yang terjadi antarvariabel

BAB III METODE PENELITIAN Data diperoleh dari BPS RI, BPS Provinsi Papua dan Bank Indonesia

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. sekunder dalam bentuk deret waktu (time series) pada periode

METODE PENELITIAN. wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan

Analisis Ekonometrika Model Pendapatan Nasional Indonesia dengan Pendekatan Persamaan Sistem Simultan

Msi = x 100% METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik (BPS) Kota Bandar Lampung yang berupa cetakan atau publikasi

METODE PENELITIAN. Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

METODE PENELITIAN. Berdasarkan sifat penelitiannya, penelitian ini merupakan sebuah penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. (time series data). Dalam penelitiaan ini digunakan data perkembangan pertumbuhan ekonomi,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. berbentuk time series selama periode waktu di Sumatera Barat

III. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Agriculture, Manufacture Dan Service di Indonesia Tahun Tipe

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Metode Pengumpulan Data

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari

BAB III METODE FULL INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (FIML)

semua data, baik variabel dependen maupun variable independen tersebut dihitung

METODE PENELITIAN. Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian ini

DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK SUMATERA UTARA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai

IV METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam bab ini adalah dengan menggunakan

BAB IV METODE PENELITIAN. resmi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Yang menjadi objek dari penelitian ini adalah ekspor industri tekstil dan

III. METODE PENELITIAN. Thailand, India, Vietnam, Malaysia, China, Philipines, Netherlands, USA, dan Australia 9 2 Kentang (HS )

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. tabungan masyarakat, deposito berjangka dan rekening valuta asing atau

METODE PENELITIAN. deposito berjangka terhadap suku bunga LIBOR, suku bunga SBI, dan inflasi

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dari penelitian ini adalah daya saing produk industri pengolahan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan Data sekunder

III. METODE PENELITIAN. pariwisata menggunakan data time series dari tahun 2001 sampai dengan perpustakaan IPB, media massa, dan internet.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengenai hasil dari uji statistik yang terdiri dari uji F, uji t, dan uji R-squared.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR KOPI SUMATERA BARAT KE MALAYSIA. Indria Ukrita 1) ABSTRACTS

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian yang dianalisis adalah faktor-faktor yang mempengaruhi

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau,

BAB 5 ANALISA MODEL PERSAMAAN REKURSIF FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN EKSPOR CPO INDONESIA

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menganalisis data, penulis menggunakan alat bantu komputer seperti paket

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. sekunder dalam bentuk deret waktu (time series) selama 15 tahun pada periode

BAB III METODE PENELITIAN. Di dalam penelitian ilmiah diperlukan adanya objek dan metode penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. merupakan data time series dengan periode waktu selama 21 tahun yaitu 1995-

BAB III METODE PENELITIAN. data PDRB, investasi (PMDN dan PMA) dan ekspor provinsi Jawa Timur.

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dari penelitian ini adalah perilaku prosiklikalitas perbankan di

BAB III METODE PENELITIAN. Objek dalam penelitian ini adalah ekspor kayu lapis Indonesia di pasar

BAB III METODE PENELITIAN. Objek penelitian merupakan sumber diperolehnya data dari penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai kemampuan daya dukungnya dengan

BAB 2 LANDASAN TEORI

VI. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEINDUSTRIALISASI

METODE PENELITIAN. tingkat migrasi risen tinggi, sementara tingkat migrasi keluarnya rendah (Tabel

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan perekonomian baik yang

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA DOMESTIK MINYAK SAWIT (CPO) DI INDONESIA TAHUN Oleh HARIYANTO H

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

BAB III METODE PENELITIAN. transaksi berjalan di Indonesia periode adalah anggaran pemerintah,

III. METODE PENELITIAN

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR (BEA KELUAR) TERHADAP VOLUME EKSPOR, KETERSEDIAAN DOMESTIK DAN HARGA DOMESTIK BIJI KAKAO INDONESIA

BAB 2 LANDASAN TEORI. bebas X yang dihubungkan dengan satu peubah tak bebas Y.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian yang digunakan adalah Penelitian ini mengambil lokasi di

Transkripsi:

PENGARUH BEA KELUAR MINYAK KELAPA SAWIT MENTAH TERHADAP HARGA MINYAK GORENG DANDY DHARMAWAN DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Mentah terhadap Harga Minyak Goreng Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Dandy Dharmawan NIM H34110107

ABSTRAK DANDY DHARMAWAN. Pengaruh Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Mentah terhadap Harga Minyak Goreng Sawit. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI. Stabilisasi harga minyak goreng sawit merupakan hal penting yang harus dijaga oleh pemerintah. Bea keluar CPO merupakan salah satu instrumen untuk mengendalikan persediaan CPO dalam negeri dan mengendalikan harga minyak goreng sawit. Namun sejak kebijakan ini pertama kali diimplementasikan pada tahun 1994, penawaran ekspor CPO Indonesia tetap meningkat. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan memformulasikan model simultan minyak sawit. Metode Two Stage Least Square (2SLS) digunakan untuk mengestimasi parameter-parameter dari model persamaan simultan. Simulasi dalam model mengindikasikan bahwa peningkatan bea keluar CPO menghambat peningkatan penawaran ekspor CPO Indonesia, harga CPO dalam negeri dan harga minyak goreng sawit. Kata kunci: Bea keluar, Crude Palm Oil (CPO), harga minyak goreng sawit ABSTRACT DANDY DHARMAWAN. Impact of CPO Export Tax on Palm Cooking Oil Price. Supervised by NUNUNG KUSNADI. Palm cooking oil price needs to be stabilized by government due to it s important role as Indonesia s main food. CPO export tax is one of the instruments to control Indonesia CPO stock and to control palm cooking oil price. But since this policy was firstly implemented in 1994, Indonesia CPO export supply kept increase. The general aim of this research is to analyze the effect of CPO export tax on Indonesia palm cooking oil price. This research was conducted by formulating simultaneous model of palm oil. The Two Stage Least Square (2SLS) method was used to estimate the parameters of the simultaneous equation in the model. The simulation of the model indicates that CPO export tax hampered Indonesia CPO export supply, CPO domestic price and palm cooking oil price respectively. Keyword(s): Export tax, Crude Palm Oil (CPO), palm cooking oil price

PENGARUH BEA KELUAR MINYAK KELAPA SAWIT MENTAH TERHADAP HARGA MINYAK GORENG DANDY DHARMAWAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah Analisis Simulasi Kebijakan, dengan judul Pengaruh Bea keluar Minyak Kelapa Sawit Mentah terhadap Harga Minyak Goreng Sawit. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Amzul Rifin yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2016 Dandy Dharmawan

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA 5 KERANGKA TEORITIS 7 Pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit 7 Kerangka pemikiran operasional 9 METODE 11 Jenis dan Sumber Data 11 Metode Pengumpulan Data 11 Metode Pengolahan dan Analisis Data 11 Spesifikasi Model Simultan 12 Identifikasi Model 14 Pengujian Hipotesis 16 Pengujian Asumsi 18 Simulasi Kebijakan 20 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT INDONESIA 22 Penawaran Ekpor CPO Indonesia 22 Harga CPO dalam negeri 23 Harga Minyak Goreng Sawit 24 Kebijakan Bea keluar CPO 25 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga minyak goreng sawit 27 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga CPO dalam negeri 28

Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor CPO 29 Hasil Simulasi Kebijakan 30 SIMPULAN DAN SARAN 33 Simpulan 33 Saran 33 DAFTAR PUSTAKA 34 LAMPIRAN 36 RIWAYAT HIDUP 48

DAFTAR TABEL Order Condition Identification dari Model 15 Perubahan kebijakan bea keluar CPO 1978-2011 25 Hasil pendugaan parameter model penawaran ekspor CPO 27 Hasil pendugaan parameter model harga CPO dalam negeri 28 Hasil pendugaan parameter model harga CPO Indonesia 29 Hasil simulasi skenario 30 DAFTAR GAMBAR Perkembangan penawaran ekspor CPO Indonesia 2000-2013 3 Kerangka teori bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit 8 Kerangka pemikiran operasional 10 Perkembangan penawaran ekspor CPO Indonesia 2000-2013 22 Pergerakan harga CPO Indonesia dan Dunia 2000-2013 23 Pergerakan harga minyak goreng sawit Indonesia 2000-2013 24 DAFTAR LAMPIRAN Data 36 Definisi Peubah dan Sumber 37 SAS Statement Pendugaan Model dengan SAS Versi 9.4 Metode 2SLS 38 Hasil Pendugaan Model dengan SAS 9.4 Metode 2SLS 39 SAS Statement dan Hasil Simulasi Skenario dengan SAS 9.4 Metode 2SLS 40 Tanpa Skenario 40 Peningkatan Bea keluar CPO 20% 41 Peningkatan Harga CPO Ekspor 10% 42 Pelemahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika 5% 43 Peningkatan Harga CPO Dunia 10% 44 Peningkatan Ekspor Minyak Goreng 10% ` 45 Skenario Kombinasi Tanpa Bea keluar CPO 46 Skenario Kombinasi dengan Bea keluar CPO 47

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak goreng sawit merupakan salah satu jenis minyak nabati dengan konsumsi tertinggi dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia. Persentase konsumsi minyak goreng sawit Indonesia adalah sebesar 84.48%, minyak goreng kelapa di urutan kedua hanya sejumlah 6% dan minyak goreng lainnya sejumlah 9.52% (Tungkot Sipayung, 2012). Tingginya perbedaan jumlah konsumsi minyak goreng sawit dengan minyak goreng kelapa yang berada di urutan kedua menunjukkan bahwa minyak goreng sawit memiliki dominasi yang sangat besar dalam serapan pasar minyak goreng Indonesia. Besarnya dominasi minyak goreng sawit dalam konsumsi total minyak goreng Indonesia membuktikan bahwa minyak goreng sawit memiliki peran yang sangat penting di dalam masyarakat. Konsumsi minyak goreng sawit per kapita masyarakat Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Konsumsi minyak goreng sawit per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2008 adalah 6.6 kg/kapita dan meningkat menjadi 8.5 kg/kapita pada tahun 2012 (Statistik Ketahanan Pangan, 2013). Dalam kurun waktu 2008 hingga 2012 terjadi peningkatan konsumsi rata-rata minyak goreng sawit Indonesia sebesar 8.87% per tahun. Peningkatan konsumsi rata-rata minyak goreng sawit ini menunjukkan bahwa peran minyak goreng sawit dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia menjadi semakin bertambah penting. Permintaan minyak goreng sawit masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia pada tahun 2008 adalah 1 553 ribu ton meningkat menjadi 2 080 ribu ton pada tahun 2012 (BPS, 2015). Terjadi peningkatan permintaan rata-rata minyak goreng sawit Indonesia sebesar 10.3% per tahun selama kurun waktu 2008 hingga 2012. Peningkatan permintaan minyak goreng sawit ini menunjukkan bahwa peran minyak goreng sawit menjadi semakin penting. Bertambahnya jumlah penduduk dan konsumsi merupakan dua alasan utama yang mempengaruhi peningkatan permintaan minyak goreng sawit sehingga seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan konsumsi, meningkat juga jumlah permintaan minyak goreng sawit. Harga minyak goreng sawit cenderung mengalami peningkatan. Pergerakan harga minyak goreng sawit Indonesia mengalami peningkatan namun jumlahnya tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2009 harga minyak goreng sawit adalah Rp 8 493/kg sedangkan pada tahun 2012 adalah Rp 9 568/kg (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2013). Dalam kurun waktu ini hanya terjadi peningkatan harga minyak goreng sawit sejumlah 4.17% per tahun. Di tengah peningkatan konsumsi minyak goreng sawit dalam negeri, pemerintah ternyata cenderung berhasil mengendalikan lonjakan harga minyak goreng sawit sehingga menjaga daya beli masyarakat sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Diduga impor minyak goreng yang tinggi merupakan salah satu alasan pemerintah dapat menjaga harga minyak goreng sawit Indonesia.

2 Jumlah impor minyak goreng sawit Indonesia masih cenderung tinggi. Berdasarkan rilis data UN Comtrade pada tahun 2016, jumlah impor minyak goreng sawit Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 65 560 635 kg. Tingginya volume impor minyak goreng sawit ini juga memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi yaitu US$ 46 979 480. Tingginya jumlah impor minyak goreng sawit Indonesia diduga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas harga minyak goreng dalam negeri. Namun, jumlah impor minyak goreng ini terlalu besar untuk suatu negara produsen CPO tertinggi di dunia. Impor minyak goreng sawit Indonesia terlalu tinggi untuk negara penghasil CPO terbesar di dunia. Pertumbuhan rata-rata produksi CPO per tahun Indonesia pada periode tahun 2000-2010 adalah sebesar 11.64%, meningkat hampir tiga kali lipat dalam waktu 10 tahun dari 7 000 508 ton pada tahun 2000 menjadi 19 844 900 ton pada tahun 2010. Tingginya pertumbuhan produksi CPO ini menyebabkan Indonesia mampu menggeser posisi Malaysia sebagai penghasil CPO tertinggi di dunia pada tahun 2006. Hingga pada tahun 2010 kontribusi produksi CPO Indonesia sebesar 48 persen dari total produksi CPO dunia. Di antara negara-negara produsen CPO, Indonesia terdaftar sebagai negara dengan peningkatan produksi tertinggi (Kementerian Pertanian, 2013). Impor minyak goreng sawit untuk mengendalikan harga minyak goreng sawit dalam negeri merupakan keputusan kebijakan yang kurang tepat. Berdasarkan statistik harga yang dirilis Kementerian Pertanian, pemerintah memang telah berhasil mengendalikan harga minyak goreng sawit dalam negeri. Namun tingginya ekspor CPO dalam bentuk raw material dan mengimpornya lagi dalam bentuk minyak goreng sawit siap konsumsi tidak akan mendukung perkembangan industri minyak goreng sawit dalam negeri. Hal ini berarti pemerintah tidak memfasilitasi peningkatan nilai tambah minyak goreng sawit jika strategi pengendalian harga minyak goreng sawit adalah impor. Peningkatan jumlah penawaran minyak goreng sawit sebagai salah satu indikator perkembangan industri minyak goreng masih belum optimal. Dalam kurun waktu 2000-2013 peningkatan rata-rata tahunan penawaran minyak goreng sawit hanyalah 11.94%. Jumlah ini merupakan peningkatan yang cenderung kecil karena pasar minyak goreng yang diproduksi Indonesia tidak hanya ditawarkan dalam negeri tapi juga ke pasar dunia. Industri minyak goreng sawit dalam negeri masih belum didukung secara serius. Tingginya CPO Indonesia yang diserap di pasar dunia merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah masih belum memfasilitasi industri minyak goreng sawit dalam negeri. Dalam kurun waktu 2002 hingga 2008 persentase rata-rata ekspor CPO adalah 73.10% dari total seluruh produksi CPO Indonesia. Hal ini berarti rata-rata CPO yang diserap oleh pasar dalam negeri hanya 26.9% (Tungkot Sipayung, 2012). Tingginya selisih CPO yang diserap oleh pasar ekspor dibandingkan dengan pasar dalam negeri mengindikasikan bahwa Indonesia masih minim akan nilai tambah komoditi kelapa sawit. Sehingga pemerintah masih belum mengoptimalkan potensi yang dimiliki komoditi kelapa sawit. Bea keluar CPO adalah salah satu instrumen yang dipercaya mampu menjaga stabilitas harga minyak goreng dalam negeri. Pemerintah telah menerapkan bea keluar CPO sejak tahun 1994. Secara teori bea keluar CPO sebagai tariff barrier akan menghambat laju ekspor CPO. Wayan R Susila dalam jurnalnya pada tahun 2004 juga mendukung pernyataan tersebut dengan

menyatakan, The most important policies has been export tax policy, launched since August 1994, aiming at stabilizing and securing domestic supply and price. Namun meskipun begitu efektivitas bea keluar CPO dalam mengendalikan penawaran ekspor CPO masih diragukan karena secara deskriptif terjadi peningkatan penawaran ekspor CPO sebanyak 14.30% rata-rata per tahun dalam kurun waktu 2002 hingga 2008. Selain itu bukti bahwa bea keluar CPO diduga belum efektif dalam menjaga stabilitas adalah persentase CPO yang diserap pasar ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diserap oleh pasar dalam negeri. Berdasarkan latar belakang ini penting mempelajari aspek mengenai pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban mengenai bagaimana pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia. 3 Perumusan Masalah Penawaran ekspor CPO Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data UN Comtrade penawaran ekspor CPO Indonesia di pasar dunia cenderung mengalami peningkatan yang dapat dilihat pada gambar 1. Penurunan penawaran ekspor CPO yang signifikan hanya terjadi pada tahun 1998 yaitu saat Indonesia mengalami krisis ekonomi. Sedangkan pada tahun-tahun yang lain penawaran ekspor CPO Indonesia cenderung mengalami peningkatan. 25000 20000 15000 10000 5000 0 Sumber: UN Comtrade (2016) Gambar 1. Perkembangan penawaran ekspor CPO Indonesia 1995-2013

4 Penerapan bea keluar CPO diduga tidak efektif dalam mengendalikan penawaran ekspor CPO. Sejak pertama kali diterapkan pada tahun 1994 bea keluar CPO masih belum efektif mengendalikan laju penawaran ekspor CPO Indonesia. Hal ini ditandai dengan masih tetap meningkatnya jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia ke pasar luar negeri secara signifikan. Pada periode tahun 1995 hingga 2013 peningkatan tahunan rata-rata ekspor CPO Indonesia adalah sebesar 21.43%. Berdasarkan data ini maka secara deskriptif dapat diambil kesimpulan bahwa bea keluar CPO Indonesia masih belum efektif mengendalikan laju penawaran ekspor CPO. Peningkatan penawaran ekspor CPO yang terus terjadi diduga akan menyebabkan peningkatan harga minyak goreng sawit dalam negeri. Terjadinya peningkatan penawaran ekspor CPO terus menerus mengakibatkan jumlah penawaran CPO dalam negeri berkurang, hal ini berakibat pada peningkatan harga CPO di dalam negeri. Sebagai bahan baku utama produksi minyak goreng sawit, peningkatan harga CPO di dalam negeri akan menyebabkan peningkatan harga minyak goreng sawit. Bea keluar CPO yang diduga tidak efektif dalam mengurangi arus penawaran ekspor akan menyebabkan peningkatan harga minyak goreng sawit dalam negeri. Pembentukan harga minyak goreng sawit dipengaruhi secara signifikan oleh harga domestik CPO, harga CPO dunia, bea keluar, dan harga minyak goreng pada tahun sebelumnya (Bona, 2008). Tidak efektifnya bea keluar CPO dalam mengurangi peningkatan arus penawaran ekspor CPO merupakan masalah utama penelitian ini. Berdasarkan ulasan maka kajian mengenai pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit merupakan hal yang perlu dilakukan. Hasil dari kajian ini dapat memberikan jawaban mengenai bagaimana pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit dan faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi harga minyak goreng sawit Indonesia. Selain itu hasil dari penelitian ini juga dapat digunakan sebagai evaluasi terhadap penerapan kebijakan bea keluar CPO yang telah diterapkan oleh pemerintah selama ini. Berdasarkan uraian yang disampaikan sebelumnya maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengaruh kebijakan bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang hendak dijawab, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia 2. Mempelajari pengaruh faktor-faktor ekonomi selain bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia

5 Manfaat Penelitian Kegunaan dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Menambah pengetahuan penulis tentang pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia dan sistem dari variabel-variabel yang berhubungan di dalamnya. 2. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen, dan peneliti dapat menjadi referensi maupun informasi untuk melakukan penelitian lanjutan. 3. Bagi pemerintah dapat menjadi masukan dalam menetapkan kebijakan bea keluar CPO dalam rangka menjaga stabilitas harga minyak goreng sawit Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Keterbatasan penelitian ini antara lain hanya membahas mengenai pengaruh kebijakan bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia. Hal yang tercakup dalam penelitian adalah bea keluar CPO, penawaran ekspor CPO Indonesia, harga CPO dalam negeri dan harga minyak goreng sawit dalam negeri. Penelitian ini tidak membahas mengenai aspek on farm, aspek produksi CPO dan aspek produksi minyak goreng sawit seperti luas areal perkebunan kelapa sawit, produktivitas perkebunan kelapa sawit, produksi Tandan Buah Segar, harga Tandan Buah Segar, produksi CPO dan produksi minyak goreng sawit. Bea keluar CPO yang dianalisis dalam penelitian ini hanya merupakan variabel eksogen dalam unit persentase. Model yang lebih realistis dengan kejadian sebenarnya adalah dengan menjadikannya variabel endogen. Pertimbangan ini adalah karena bea keluar CPO dalam kondisi nyata berubahubah berdasarkan harga CPO global dan nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika. Penelitian ini terbatas hanya menjadikan bea keluar CPO sebagai variabel eksogen adalah karena keterbatasan data yang dimiliki peneliti. Peneliti hanya memiliki data harga referensi CPO dari periode tahun 2007 hingga 2014. Sedangkan sampel data yang dibutuhkan dalam model adalah 25 sampel, yaitu dari tahun 1989-2013. Oleh sebab itu, bea keluar CPO dalam model hanya berupa variabel eksogen alihalih variabel endogen. TINJAUAN PUSTAKA Bea keluar CPO berpengaruh negatif terhadap penawaran ekspor CPO yang berarti jika pemerintah meningkatkan bea keluar CPO maka jumlah CPO yang diekspor juga akan menurun (Maria, 2008). Hal yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian Liston pada tahun 2008 yaitu penurunan bea keluar CPO akan

6 menyebabkan harga ekspor CPO secara relatif meningkat. Kondisi ini memacu peningkatan jumlah ekspor CPO. Selain itu penelitian Durrant pada tahun 2013 menunjukkan bahwa penghapusan tarif minyak sawit dalam rangka kesepakatan CAFTA menyebabkan jumlah ekspor minyak sawit Indonesia ke Cina mengalami peningkatan. Penghapusan tarif ekspor CPO ini dapat juga diartikan sebagai pengurangan hambatan tarif. Bona dalam penelitiannya pada tahun 2008 menemukan bahwa pembentukan harga minyak goreng sawit dipengaruhi secara signifikan salah satinya oleh bea keluar CPO. Indah dalam penelitiannya tahun 2000 menemukan bahwa ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO domestik, produksi CPO dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Wida dalam penelitiannya tahun 2008 juga menemukan bahwa produksi CPO Indonesia mempengaruhi penawaran ekspor CPO. Maria dalam penelitiannya pada tahun 2008 menemukan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO karena melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia meningkat. Durrant dalam penelitiannya pada tahun 2013 menemukan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia ke Cina dipengaruhi scara nyata oleh harga riil ekspor minyak sawit Indonesia ke Cina dan produksi minyak sawit Indonesia. Perkembangan harga CPO Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran dalam negeri saja tetapi juga oleh harga CPO global dan kebijakan yang sedang diterapkan oleh pemerintah baik itu tarif maupun non tariff (Susila, 1994). Harga minyak sawit dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha domestik untuk mengekspor minyak sawit dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan domestik (Novindra, 2011). Hasil penelitian Ramiadji pada tahun 2008 menunjukkan bahwa penawaran CPO domestik memiliki hubungan yang negatif dengan harga CPO domestik. Dengan peningkatan penawaran domestik maka harga domestik akan menurun. Harga pasar domestik akan turun akibat terdapat banyak pasokan CPO di pasar. Indah pada penelitiannya pada tahun 2000 menemukan bahwa pembentukan harga CPO domestik dipengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika. Maria dalam penelitiannya pada tahun 2008 menemukan bahwa bea keluar CPO dan lag harga CPO berpengaruh nyata terhadap harga CPO domestik. Penelitian Wida pada tahun 2008 menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng sawit domestik adalah harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa dan dummy krisis ekonomi Indonesia. Penelitian Indah pada tahun 2000 juga menunjukkan bahwa harga minyak goreng sawit dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO domestik. Bona dalam penelitiannya pada tahun 2008 menemukan bahwa pembentukan harga minyak goreng sawit dipengaruhi secara signifikan oleh harga domestik CPO, harga CPO dunia, bea keluar, dan harga minyak goreng pada tahun sebelumnya. Wayan R Susila juga mengungkapkan dalam jurnal manajemen agribisnis volume 1 no.2, As a consequence of CPO domestic price depresseed by the tax, the price of cooking oil has also deceased. This shows that this policy has been effective to control the price of cooking oil. Studi terdahulu yang menggunakan data time series tahunan untuk menganalisis pengaruh bea keluar terhadap kinerja industri kelapa sawit adalah Maria pada tahun 2008. Maria menggunakan model kuantitatif ekonometrika dengan metode Two Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisis pengaruh bea

keluar terhadap perkebunan kelapa sawit. Selain itu pada tahun 1994 Susila menggunakan metode yang sama. Metode estimasi yang menggunakan Two Stage Least Square (2SLS) dilakukan oleh Susila untuk mengetahui dampak bea keluar CPO terhadap beberapa aspek industri minyak kelapa sawit. Bona pada tahun 2008 dalam penelitiannya untuk mengetahui pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng juga menggunakan pendekatan model ekonometrika persamaan simultan (simultaneous-equation) dengan metode Two Stage Least Square (2SLS). Ketiga penelitian ini memiliki pertimbangan yang sama tentang alasan menggunakan metode 2SLS karena kesalahan spesifikasi satu persamaan tidak tertransfer ke persamaan-persamaan lain, walaupun penduga yang diperoleh kurang efisien jika dibandingkan dengan hasil estimasi 3SLS. 7 KERANGKA TEORITIS Pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Penerapan bea keluar CPO oleh pemerintah berpengaruh terhadap menurunnya harga ekspor CPO Indonesia. Bea keluar CPO yang diterapkan oleh pemerintah menyebabkan terjadinya penurunan harga CPO yang diterima oleh eksportir sejumlah besaran bea keluar CPO yang diterapkan. Pada gambar 2 dapat diamati harga ekspor CPO sebelum dikenakan pajak adalah Pbt dengan jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia adalah (Sbt-Dbt). Penerapan bea keluar CPO menyebabkan terjadinya penurunan harga ekspor CPO sebesar t sehingga menjadi Pat. Penurunan harga ekspor CPO Indonesia menyebabkan penurunan penawaran ekspor CPO Indonesia. Penurunan harga ekspor CPO yang diterima oleh eksportir direspon dengan mengurangi jumlah penawaran ekspor CPO sehingga menjadi (Sat-Dat). Penurunan penawaran ekspor CPO Indonesia sebagai negara produsen CPO tertinggi di dunia mempengaruhi penawaran CPO di pasar dunia. Jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia sebelum diterapkan bea keluar CPO adalah (Sbt-Dbt) dan menjadi (Sat-Dat) setelah dikenakan pajak. Selisih antara penawaran ekspor CPO Indonesia sebelum dan sesudah dikenakan pajak adalah besarnya penurunan jumlah penawaran CPO di pasar dunia yaitu sebesar (Sbt- Dbt)-(Sat-Dat). Hal ini menyebabkan pergeseran kurva penawaran CPO dunia sebesar pengurangan penawaran ekspor CPO Indonesia. Jumlah penurunan penawaran CPO di pasar dunia merupakan jumlah penawaran CPO yang dialihkan ke pasar domestik. Penambahan jumlah CPO yang ditawarkan di dalam negeri menggeser kurva penawaran CPO domestik sebesar jumlah penurunan penawaran CPO di pasar dunia yaitu (Sbt-Dbt)-(Sat- Dat). Kurva penawaran CPO dalam negeri bergeser dari SCPODbt menjadi SCPODat. Pergeseran kurva penawaran CPO Indonesia ini menyebabkan penurunan harga CPO domestik dari PCDbt menjadi PCDat.

8 Penurunan harga CPO domestik menyebabkan penurunan harga minyak goreng sawit. Sebagai bahan baku utama pembuatan minyak goreng sawit, penurunan biaya produksi sebagai dampak dari penurunan harga CPO menyebabkan terjadinya penurunan harga minyak goreng dari PMGbt menjadi PMGat pada kurva permintaan penawaran minyak goreng sawit Indonesia. Mekanisme pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia secara keseluruhan dapat diamati pada gambar 2. Sumber: Salvatore (1997) Gambar 2. Kerangka teori pengaruh bea keluar CPO terhadap penawaran minyak goreng sawit

9 Kerangka pemikiran operasional Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh penerapan kebijakan bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia. Mekanisme dalam melakukan analisis pengaruh bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit dirunut dari variabel mana yang dipengaruhi langsung oleh bea keluar CPO, serta variabel-variabel lain apa saja yang diduga juga turut mempengaruhi variabel tersebut. Analisis yang sama terus dilanjutkan hingga didapati variabel harga minyak goreng sawit sebagai variabel endogen terakhir yang dianalisis. Penentuan variabel-variabel yang terlibat di dalam model adalah berdasarkan ketersediaan data dan relevansinya dengan teori. Sehingga perumusan model dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah penelitian yang berlaku dengan tetap berlandaskan pada sumber daya yang tersedia. Alur kerangka pemikiran dimulai dengan mengidentifikasi penawaran ekspor CPO Indonesia. Alasan utama identifikasi ini dilakukan pada penawaran ekspor CPO Indonesia adalah karena variabel penawaran ekspor CPO Indonesia merupakan variabel awal yang terkena pengaruh langsung penerapan bea keluar CPO oleh pemerintah. Bea keluar CPO yang diterapkan oleh pemerintah menyebabkan harga ekspor yang diterima oleh eksportir berkurang sejumlah besaran bea keluar CPO yang diterapkan sehingga hal ini direspon oleh eksportir dengan mengurangi penawaran ekspor CPO. Selain bea keluar CPO, variabel-variabel lain yang diduga turut mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia adalah nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika dan harga ekspor CPO. Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika menyebabkan harga CPO Indonesia relatif terhadap harga di pasar dunia semakin meningkat. Hal ini direspon eksportir dengan meningkatkan penawaran ekspor CPO untuk meningkatkan keuntungan. Begitu juga harga CPO ekspor yang meningkat secara jelas juga direspon eksportir dengan meningkatkan penawaran ekspor CPO untuk menambah keuntungan. Harga CPO domestik merupakan variabel yang dianalisa selanjutnya. Harga CPO Indonesia merupakan variabel yang terkena dampak lanjutan dari penerapan kebijakan bea keluar CPO oleh pemerintah. Jumlah penawaran ekspor CPO Indonesia diduga mempengaruhi harga CPO dalam negeri. Pemikiran ini didasarkan pada terjadi peningkatan jumlah CPO di pasar dalam negeri jika terjadi penurunan penawaran ekspor CPO Indonesia akibat penerapan bea keluar CPO. Peningkatan jumlah penawaran CPO dalam negeri akan menyebabkan harga CPO di dalam negeri menurun. Selain penawaran ekspor CPO Indonesia variabel lain yang diduga turut mempengaruhi harga CPO dalam negeri adalah harga CPO dunia. Peningkatan harga CPO dunia akan menyebabkan peningkatan harga CPO di dalam negeri. Pertimbangan ini didasarkan pada teori yang disampaikan dalam buku Salvatore pada tahun 1997. Harga minyak goreng sawit dalam negeri merupakan variabel akhir yang dianalisis. Menurunnya harga CPO dalam negeri sebagai akibat dari meningkatnya jumlah CPO yang ditawarkan di pasar dalam negeri menyebabkan biaya produksi minyak goreng menjadi lebih murah. Hal ini akan direspon oleh produsen minyak goreng sawit dengan meningkatkan penawaran minyak goreng

10 sawit di dalam negeri karena produsen ingin memperoleh keuntungan sebanyakbanyaknya. Terjadinya peningkatan penawaran minyak goreng sawit ini akan menyebabkan penurunan harga minyak goreng sawit. Selain harga CPO domestik variabel yang diduga ikut mempengaruhi harga minyak goreng adalah ekspor minyak goreng Indonesia. Ekspor minyak goreng sawit akan menyebabkan penawaran minyak goreng sawit di dalam negeri akan menurun. Hal ini akan berakibat pada peningkatan harga minyak goreng sawit yang diterima oleh konsumen di dalam negeri. Berdasarkan penjelasan di atas maka disusunlah sebuah alur kerangka pemikiran. Penyusunan alur kerangka pemikiran ini digunakan sebagai pemberi arahan dan acuan untuk memudahkan sistematika penelitian secara garis besar sehingga dapat digunakan sebagai rujukan tentang variabel manakah yang harus dianalisis terlebih dahulu dan variabel mana yang akan dianalisis selanjutnya. Selain itu, alur kerangka pemikiran dapat digunakan untuk mengamati secara lebih sederhana variabel eksogen apa saja yang mempengaruhi sebuah variabel endogen. Gambar 3 menunjukkan alur kerangka pemikiran operasional untuk mengetahui pengaruh kebijakan bea keluar CPO terhadap harga minyak goreng sawit dalam negeri. Gambar 3. Kerangka pemikiran operasional

11 METODE Metode penelitian adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan bagaimana teknik dan prosedur dalam melakukan suatu penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun penelitian ini adalah: Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekuder yang digunakan bersumber dari beberapa instansi yang terkait dengan penelitian seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Bank Indonesia, World Bank, UN COMtrade, Oil World, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Perpustakaan IPB, Internet serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dalam penelitian ini. Data yang digunakan menggunakan data deret waktu (time series) tahun 1989 hingga 2013. Jenis data yang diperlukan adalah harga ekspor CPO pada tahun ke t, nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika pada tahun t, kebijakan bea keluar CPO dan harga CPO global pada tahun ke t, penawaran ekspor CPO pada tahun ke t, harga CPO domestik pada tahun ke t, harga minyak goreng sawit pada tahun ke t dan ekspor minyak goreng sawit pada tahun ke t. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang bersumber dari bukubuku literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti guna mendalami dan memperoleh pengetahuan lengkap tentang masalah yang diteliti dan mencari data langsung dari instansi-instansi terkait dengan industri CPO yang berupa laporan-laporan tertulis. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan dilakukan dengan metode ekonomi yang merupakan suatu penyederhanaan dari realita ekonomi yang kompleks. Penyederhanaan itu untuk mengendalikan dan memprediksi kenyataan sesungguhnya. Sebuah model ekonomi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti realistis, bisa dikelola, dan sesuai dengan teori. Untuk melihat pengaruh kebijakan bea keluar maka dibentuk model yang melihat dari sisi penawaran ekspor CPO, harga CPO domestik dan

12 harga minyak goreng sawit domestik. Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis dengan metode secara kuantitatif. Spesifikasi Model Simultan Spesifikasi model merupakan langkah awal yang dilakukan dalam penelitian yang mengunakan model ekonometrika (Gujarati, 1978). Dimana hubungan antara peubah yang digunakan dirumuskan dalam bentuk model. Spesifikasi model ekonomi pada teori dan adanya informasi yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti. Suatu model dikatakan baik jika model tersebut memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Kriteria Ekonomi Kriteria ini ditentukan oleh dasar-dasar teori ekonomi dan berhubungan dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi. Model yang diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada. 2. Kriteria Statistik Kriteria ini menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel endogen pada masing-masing persamaan, kemampuan variabel eksogen dalam menjelaskan variasi atau keragaman variabel endogen. Uji statistik dibantu dengan software statistik SAS 9.4. Kemudian hasil dari pengujian diinterpretasikan. 3. Kriteria Ekonometrik Kriteria ekonometrik didasari oleh asumsi-asumsi dari model regresi berganda sebagai berikut: E(ei) = 0 untuk setiap i, artinya nilai yang diharapkan Cov (ei,ej) bersyarat dari ei tergantung pada Xi tertentu adalah nol. = 0 untuk setiap i j (asumsi non autokorelasi), artinya gangguan ei dan ej tidak berkorelasi. Var (ei) = untu setiap i (asumsi homokedastisitas), artinya varians ei untuk setiap i (yaitu varians bersyarat untuk ei) adalah suatu angka konstan positif ang sama dengan. Cov (ei,x2i) = Cov (ei,x3i) = 0, artinya gangguan ei dan varians yang menjelaskan X tidak berkorelasi. Pendekatan ekonometrika dibedakan atas persamaan tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal merupakan persamaan dimana variabel terikat (dependent variable) dinyatakan sebagai sebuah fungsi linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan hubungan satu arah, sedangkan persamaan simultan adalah suatu persamaan membentuk sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan di antara berbagai variabel dalam persamaan

tersebut sehingga model ini tidak mungkin menaksir hanya pada satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan-persamaan lainnya. Persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah persamaan simultan. Dimana terdapat tiga persamaan model yaitu persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia, harga CPO dalam negeri dan harga minyak goreng sawit dalam negeri. Penawaran ekspor CPO akan mempengaruhi harga CPO dalam negeri yang kemudian akan mempengaruhi harga minyak goreng sawit dalam negeri. Penggunaan model ini dimaksudkan untuk menghitung besarnya pengaruh dari hubungan antara variabel tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas (independent variable) yang diamati, yang secara teoritis dianggap mempunyai pengaruh terhadap naik turunnya bea keluar CPO Indonesia. Maka model persamaan simultan ditulis sebagai berikut: 13 Model 1. Penawaran ekspor CPO Indonesia Penawaran ekspor CPO Indonesia diduga oleh harga CPO ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan bea keluar CPO. Jika harga CPO ekspor naik maka dihipotesiskan penawaran ekspor CPO Indonesia naik. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar berdampak positif terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia sehingga dihipotesiskan penawaran ekspor CPO Indonesia meningkat seiring dengan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Sedangkan peningkatan bea keluar CPO dihipotesiskan menurunkan penawaran ekspor CPO Indonesia. Persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia dapat ditulis sebagai berikut: SXCPO = a + a PCX + a NTR + a PE + μ Koefisien yang diharapkan: a, a > 0; a < 0 Keterangan, SXCPO = Penawaran ekspor CPO Indonesia tahun ke t (ribu ton) PCX = Harga CPO ekspor tahun ke t (US$/Ton) NTR = Nilai tukar rupiah terhadap dollar tahun ke t (Rp/US$) PE = Bea keluar CPO tahun ke t (%) 2. Harga CPO Domestik Harga CPO domestik diduga oleh penawaran ekspor CPO dan harga CPO dunia. Peningkatan penawaran ekspor CPO dihipotesiskan meningkatkan harga CPO domestik. Begitu juga peningkatan harga CPO dunia dihipotesiskan meningkatkan harga CPO domestik. Persamaan harga CPO domestik adalah sebagai berikut: PDC = b + b SXCPO + b WPCPO + μ

14 Koefisien yang diharapkan adalah: b, b > 0 Keterangan, PDC SXCPO WPCPO = Harga CPO domestik tahun ke t (Rp/kg) = Penawaran ekspor CPO tahun ke t (000 ton) = Harga CPO dunia tahun e t (US$/MT) 3. Harga Minyak Goreng Sawit Harga minyak goreng domestik diduga oleh harga CPO dalam negeri dan ekspor minyak goreng sawit. Peningkatan harga CPO dalam negeri dihipotesiskan meningkatkan harga minyak goreng. Peningkatan ekspor minyak goreng sawit juga dihipotesiskan meningkatkan harga minyak goreng sawit. Persamaan harga minyak goreng adalah sebagai berikut: PMG = c + c PDC + c XMG + μ Koefisien yang diharapkan adalah: c, c > 0 PMG PDC XMG = Harga minyak goreng tahun ke t (Rp/kg) = Harga CPO domestik tahun ke t (Rp/kg) = Ekspor minyak goreng sawit tahun ke t (000 ton) Identifikasi Model Identifikasi adalah apakah taksiran angka dari parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari koefisien bentuk tereduksi yang ditaksir (Gujarati, 1978). Jika ini dapat dilakukan maka persamaan teretentu diidentifikasikan (identified). Jika hal ini tidak dapat dilakukan maka kita mengatakan bahwa persamaan yang sedang dibahas adalah tidak bisa diidentifikasi (unidentified) atau kurang diidentifikasikan (underidentified). Suatu persamaan yang diidentifikasikan bisa berupa tepat sepenuhnya diidentifikasikan (exactly atau full atau just identified) atau terlalu diidentifikasikan (overidentified). Dikatakan tepat diidentifikasikan jika nilai angka yang unik dari persamaan struktural dapat diperoleh. Dikatakan terlalu diidentifikasikan jika lebih dari satu nilai angka dapat diperoleh untuk beberapa persamaan struktural. Pembentukan model simultan dikatakan memenuhi syarat sudah baik atau belum maka dilakukan dengan identifikasi persamaan. Suatu persamaan simultan dikatakan sudah baik jika memenuhi syarat perlu (order condition) dan syarat cukup (rank condition). Jika hal ini sudah dilakukan, maka persamaan tersebut dikatakan dapat diidentifikasi (identified), baik secara tepat (exactly identified) ataupun secara lebih (over identified). Jika hal ini tidak dapat dilakukan, maka persamaan tersebut dikatakan tidak dapat diidentifikasi atau kurang dapat diidentifikasi kriteria rank condition tidak dilakukan, karena berdasarkan

pengalaman-pengalaman studi terdahulu, hasil identifikasi tersebut pada umumnya menghasilkan kesimpulan over identified. Order condition adalah merupakan syarat perlu untuk menjain identifikasi suatu persamaan (Bambang Juanda, 2009). Kondisi order digunakan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan yang ada termasuk exactly identified, overidentified atau underidentified. Identifikasi dengan menggunakan order condition adalah bahwa setiap persamaan yang terdapat dalam model simultan harus memenuhi syarat: K-k > m-1 Dimana: K = jumlah seluruh jenis variabel yang ada dalam model k = jumlah seluruh variabel pada masing-masing persamaan yang diuji order conditionnya (termasuk independen) m = total persamaan dalam model yang diuji termasuk persamaan identitas Tabel 1. Order Condition Identification dari Model Persamaan K k m K-k m-1 Identifikasi SXCPO 8 4 3 4 2 Over identified PDC 8 3 3 5 2 Over identified PMG 8 3 3 5 2 Over identified Hasil dari pengujian order condition menunjukkan bahwa ketiga persamaan struktural dalam model adalah over identified sehinga parameter-parameter pada persamaan simultan di atas dapat diformulasikan dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS) karena telah memenuhi syarat untuk 2SLS. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga model persamaan dengan kondisi over identified, yaitu Two-Stage Least Square (2SLS), Three Stage Least Square (3SLS), Limited Information Maximum Likelihood (LIML), dan Full Information Maximum Likelihood (FIML). Dengan menggunakan 2SLS, kesalahan spesifikasi satu persamaan tidak terdistribusi ke persamaan-persamaan lain, walaupun penduga yang diperoleh kurang efisien jika dibandingkan dengan hasil estimasi 3SLS. Alasan lain memilih metode 2SLS adalah: 1. Metode ini sesuai untuk mengestimasi model persamaan simultan dalam kondisi over identified. 2. Metode ini sesuai digunakan pada jumlah sampel pengamatan yang tidak terlalu banyak. 3. Metode ini dapat menghindari estimasi yang bias dan menghasilkan penduga yang konsisten, serta tidak terlalu sensitif terhadap kesalahan spesifikasi. Pilihan terhadap metode 2SLS dibandingkan dengan metode lainnya mempertimbangkan bias koefisien yang akan dihasilkan jika menggunakan sistem persamaan simultan dengan metode Ordinary Least Square (OLS) karena terjadi korelasi antara error term dengan peubah endogen yang ada di sisi kanan persamaan. Dengan metode Instrumental Variables (IV) masalah tersebut dapat diatasi dan menghasilkan koefisien yang tidak bias, tetapi koefisien yang diperoleh tidak efisien karena terdapat lebih dari satu informasi. Jika 15

16 menggunakan metode Three Stage Least Square (3SLS) kesalahan spesifikasi dari satu persamaan akan terdistribusi ke persamaan lain sehingga koefisien yang diperoleh dari semua persamaan akan bias. Kelemahan metode 2SLS adalah kurang efisien dibandingkan estimator 3SLS. Metode ini bekerja dengan kurang baik jika koefisien determinasi ( ) pada tahap pertama estimasi terlalu kecil (mendekati nol). Dengan menggunakan 2SLS kesalahan spesifikasi satu persamaan tidak terdistribusi ke persamaanpersamaan lain. Metode 2SLS sesuai untuk mengestimasi model persamaan simultan yang berada dalam kondisi over identified dan kondisi dalam penelitian ini adalah over identified. Metode ini sesuai digunakan pada jumlah sampel pengamatan yang tidak terlalu banyak, dalam penelitian pengaruh kebijakan bea keluar CPO terhadap penawaran minyak goreng sawit ini memiliki jumlah sampel pengamatan sebanyak 25 tahun sehingga pendugaan 2SLS sangat sesuai digunakan dalam penelitian ini. Metode ini dapat menghindari estimasi yang bias dan menghasilkan penduga yang konsisten serta tidak terlalu sensitif terhadap kesalahan spesifikasi. Pengujian Hipotesis Untuk menguji apakah secara statistik peubah-peubah eksogen yang terpilih berpengaruh nyata secara individu atau tidak terhadap peubah endogen dapat dilihat dari P-value pada uji statistik t. Sedangkan P-value pada uji statistik F digunakan untuk menguji apakah secara statistik peubah-peubah eksogen berpengaruh nyata secara bersama-sama atau tidak terhadap peubah endogen (Gujarati, 1995). Uji F Untuk menguji parameter dugaan secara serentak apakah peubah-peubah bebas secara bersama-sama dapat menjelaskan variasi dari peubah tak bebasnya digunakan uji-f (Walpole, 1995). Hipotesis: H : b = 0; dimana i = 1,2,..., k H : paling tidak ada yang tidak sama dengan nol Statistik yang digunakan dalam uji-f: Fhitung = ( ) ( ( ) Ftabel = F(a), (k, n-k-1) Dimana: e = jumlah kuadrat regresi

17 (1- e ) = jumlah kuadrat sisa n = jumlah sampel (tahun pengamatan) k = jumlah parameter Kriteria uji: Fhitung > Ftabel, maka tolak H Fhitung < Ftabel, maka terimo H Jika tolak H artinya secara bersamaan keragaman dari peubah bebas dalam model dapat menjelaskan dengan baik keragaman dari peubah tak bebas pada taraf α persen. Jika terima H artinya secara bersamaan keragaman dari peubah bebas dalam model tidak dapat menjelaskan dengan baik keragaman dari peubah tak bebas pada taraf α persen. Uji-t Uji-t digunakan untuk menghitung koefisien regresi secara individu (Walpole, 1995). Adapun hipotesis dalam uji-t adalah: H : b = 0, menyatakan koefisien regresi populasi (parameter) tidak berbeda nyata dengan nol. H : b 0, menyatakan koefisien regresi populasi (parameter) berbeda nyata dengan nol. Statistik uji yang digunakan dalam uji-t: Thitung =, derajat bebas (n-k) Ttabel = (n-k) ( ) Dimana: S (b ) = standar deviasi untuk parameter ke-n b = koefisien regresi atau parameter n = jumlah pengamatan k = jumlah parameter Jika Thitung > Ttabel (n-k) maka tolak H artinya peubah yang diuji berpengaruh nyata (signifikan) terhadap variabel tak bebas pada taraf α persen. Jika Thitung < Ttabel (n-k) maka terima H artinya peubah yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabe tak bebas pada taraf α persen. Koefisien determinasi Uji kesesuaian model digunaan untuk mengukur kemampuan dari peubah penjelas untuk menerankan keragaman atau variasi dari peubah endogen pada masing-masing persamaan. Ukuran yang digunakan untuk uji ini adalah koefisien determinasi ( R ). Suatu angka yang mengukur keragaman pada variabel dependent yang dapat diterangkan oleh variasi pada model regresi disebut koefisien determinasi. Nilai R berkisar antara 0< R <1, dengan kriteria pengujiannya adalah R yang semakin tinggi (mendekati satu) menunjukkan

18 model yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman dari variabel dependen, demikian juga sebaliknya. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut: R = (Ŷ Ȳ) R = ( Ȳ) R -adjusted dalam regresi berganda adalah nilai R yang telah disesuaikan terhadap banyaknya variabel bebas dan banyaknya observasi. Koefisien determinasi yang disesuaikan dirumuskan sebagai berikut: R -adjusted = ( ) ( ) ( ) ( ) Dimana: R -adjusted R k n = Koefisien determinasi yang disesuaikan = Koefisien determinasi = Jumlah variabel bebas = Jumlah observasi Pengujian Asumsi Uji Multikolinieritas Menurut Gujarati (1995), uji multikolinieritas digunakan untuk melihat apakah dalam persamaan yang diduga terdapat hubungan linier antar peubah bebasnya. Adanya multikolinieritas menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walalpun nilai R -nya tinggi. Hal tersebut dapat dideteksi dari nilai R yang tinggi (0,7-1) tetapi tidak terdapat atau hanya sedikit sekali koefisien yang berpengaruh nyata. Uji Normalitas Salah satu pengujian yang dilakukan dalam persamaan regresi untuk menguji apakah nilai-nilai dari Y berdistribusi normal pada tiap nilai dari X adalah uji normalitas. Pengujian normalitas dapat dilakukan dengan metode Kolmogorov Smirnov: Hipotesis: H : Sebaran normal H : Sebaran tidak normal

19 Uji statistik: D = max(f -F ) Dimana: D : Nilai Kolmogorov Smirnov hitung F : Frekuensi harapan F : Frekuensi observasi Kriteria uji: KShit > KStabel atau Pvalue < 5%, maka tolak H KShit < KStabel atau Pvalue > 5%, maka tolak H Uji autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah error pada suatu persamaan bersifat independent atau dependent. Pengujian terhadap kemungkinan autokorelasi dilakukan dengan Uji Durbin Watson pada taraf nyata lima persen, dengan kriteria sebagai berikut (Gujarati, 1995): d = ( ) Kriteria pengambilan keputusan dengan uji d Durbin-Watson, jika: d < d : Tolak H (ada autokorelasi positif) d > 4- d : Tolak H (ada autokorelasi negatif) d < d< 4 d : Tidak menolak H (tidak ada autokorelasi) 4-d d 4 d : Tidak dapat disimpulkan Jika hasilnya terima H, maka ada persamaan yang diuji tidak terjadi autokorelasi pada taraf nyata lima persen. Sebaliknya jika hasilnya tolak H maka persamaan yang diuji masih mengalami masalah autokorelasi pada taraf nyata lima persen. Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah kondisi tidak terpenuhinya asumsi dasar metode pendugaan 2SLS, yaitu homoskedastisitas yang mensyaratkan bahwa penyebaran dari varian adalah sama. Uji homoskedastisitas menyatakan nilai-nilai variabel dependent bervariasi dalam satuan yang sama. Kasus dimana seluruh faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama atau variannya tidak konstan (heteroskedastisitas). Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas maka dilakukan uji White Heteroscedasticity Test, sebagai berikut: H : Tidak ada heteroskedastisitas H : Ada heteroskedastistas Tolak H jika obs*r-square > atau probability obs*r-square < α

20 Simulasi Kebijakan Penentuan besar peningkatan dan penurunan pada masing-masing variabel ditetapkan oleh peneliti berdasarkan kondisi perekonomian yang sedang terjadi. Nilai persentase peningkatan dan penurunan masing-masing variabel eksogen tidak secara tepat berdasarkan data kondisi ekonomi yang terjadi, namun tetap dalam batas-batas yang masuk akal. Hal ini dilakukan karena pertimbangan utama dalam analisis simulasi ini adalah untuk mengamati jika satu variabel eksogen meningkat apakah akan terjadi peningkatan atau penurunan pada variabel endogennya. Skenario 1. Kebijakan peningkatan bea keluar CPO 20% Skenario meningkatkan bea keluar CPO akan menyebabkan penurunan penawaran ekspor CPO, harga CPO dalam negeri dan harga minyak goreng dalam negeri. Besaran bea keluar CPO yang meningkat ini memberikan tambahan biaya untuk ekspor CPO sehingga secara relatif mengurangi harga ekspor CPO. Hal ini direspon eksportir dengan mengurangi jumlah penawaran ekspor CPO ke pasar dunia karena keuntungan yang didapatkan semakin berkurang. Skenario 2. Terjadi peningkatan harga ekspor CPO 10% Skenario peningkatan harga ekspor CPO akan menyebabkan peningkatan penawaran ekspor CPO. Terjadinya peningkatan harga ekspor CPO direspon oleh eksportir dengan meningkatkan penawaran ekspor CPO untuk meningkatkan keuntungan. Meningkatnya penawaran ekspor CPO pada waktu yang sama juga berarti penurunan penawaran CPO dalam negeri. Penurunan CPO dalam negeri ini menyebabkan harga CPO dalam negeri meningkat. Sebagai bahan baku utama pembuatan minyak goreng, peningkatan harga CPO juga menyebabkan peningkatan harga minyak goreng. Skenario 3. Terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika 5% Skenario pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika akan menyebabkan peningkatan harga CPO di Indonesia. Hal ini disebabkan perdagangan internasional CPO cenderung menggunakan mata uang dollar Amerika sebagai salah satu nilai utamanya. Peningkatan harga CPO karena melemahnya nilai tukar rupiah juga menjadi stimulan bagi eksportir untuk meningkatkan penawaran ekspor CPO.