Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

dokumen-dokumen yang mirip
PENDUGAAN NILAI PEMULIAAN SIFAT PRODUKSI SUSU PADA PEJANTAN SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BBPTU SAPI PERAH BATURRADEN PURWOKERTO

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

PEMULIABIAKAN PADA SAPI PERAH

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

PEWARISAN SIFAT PRODUKSI SUSU PEJANTAN FH IMPOR PADA ANAK BETINANYA DI BBPTU BATURRADEN

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

PENDAHULUAN. dari sapi betina yang telah melahirkan. Produksi susu merupakan salah satu aspek

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

LOUNCHING PROVEN BULL SAPI PERAH INDONESIA

EVALUASI GENETIK PRODUKSI SUSU SAPI FRIES HOLLAND DI PT CIJANGGEL-LEMBANG

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

PEMERIKSAAN INTERAKSI GENETIK DAN LINGKUNGAN DARI DAYA PEWARISAN PRODUKSI SUSU PEJANTAN FRIESIAN-HOLSTEIN

NILAI PEMULIAAN. Bapak. Induk. Anak

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

MAKALAH PRODUKSI TERNAK DAN KAMBING. Seleksi dan Manfaat Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak. Disusun Oleh : Kelompok 3.

BAB I PENDAHULUAN I.1.

POTENSI GENETIK PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BETINA DI BBPTU SAPI PERAH BATURRADEN, PURWOKERTO SKRIPSI ERNI SITI WAHYUNI

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

Ripitabilitas dan MPPA Sapi Perah FH di BBPTU HPT Baturraden...Deriany Novienara

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

EVALUASI PEJANTAN FRIES HOLLAND DENGAN METODE CONTEMPORARY COMPARISON DAN BEST LINEAR UNBIASED PREDICTION

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

ESTIMASI POTENSI GENETIK SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DI TAURUS DAIRY FARM, CICURUG, SUKABUMI

PENDUGAAN NILAI RIPITABILITAS DAN DAYA PRODUKSI SUSU 305 HARI SAPI PERAH FRIES HOLLAND DI PT. ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (UPBS)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

TINJAUAN PUSTAKA. dan dikenal sebagai Holstein di Amerika dan di Eropa terkenal dengan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer

Simulasi Uji Zuriat pada Sifat Pertumbuhan Sapi Aceh (Progeny Test Simulation for Growth Traits in Aceh Cattle)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

Laboratorium Produksi Ternak Perah Fakultas Peternakan UNPAD 71

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

UJI PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIEN HOLSTEIN KETURUNAN PEJANTAN IMPOR DI BBPTU-HPT BATURRADEN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan hal-hal tertentu,

Pengembangan Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sumber utama protein, kalsium, fospor, dan vitamin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Sapi Perah Menurut Sudono et al. (2003), sapi Fries Holland (FH) berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

ESTIMASI NILAI HERITABILITAS BERAT LAHIR, SAPIH, DAN UMUR SATU TAHUN PADA SAPI BALI DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALI

EVALUASI POTENSI PRODUKSI SUSU PADA KAMBING SAANEN DI PT TAURUS DAIRY FARM SKRIPSI RISSA FAYUMA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

PENGGUNAAN TAKSIRAN PRODUKSI SUSU DENGAN TEST INTERVAL METHOD (TIM) PADA EVALUASI MUTU GENETIK SAPI PERAH DI BBPTU SAPI PERAH BATURRADEN

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

NILAI PEMULIAAN PEJANTAN SAPI BRAHMAN BERDASARKAN BOBOT BADAN DI BPTU-HPT SEMBAWA

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

RENCANA KINERJA TAHUNAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produksi Susu Sapi Perah Nasional Industri persusuan sapi perah nasional mulai berkembang pesat sejak awal tahun 1980. Saat itu, pemerintah mulai melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi susu segar di dalam negeri, disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Untuk meningkatkan populasi, sapi perah FH betina (dara bunting) di impor secara teratur dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan populasi sapi perah di Indonesia meningkat tiap tahunya. Peningkatan Jumlah populasi ini juga berhubungan dengan tingginya permintaan susu dan produk olahan susu oleh konsumen. Berdasarkan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011), populasi sapi perah terbesar terdapat di Jawa Timur (46,8%), Jawa Barat (25,2%), dan Jawa Tengah (24,9%). Populasi sapi perah nasional dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) Kegiatan importasi mampu menambah populasi sapi secara cepat, diikuti peningkatan produksi susu segar secara signifikan. Meskipun demikian, dalam perkembangan usaha sapi perah nasional, kenaikan produksi susu lebih dikarenakan penambahan populasi, belum dimbangi oleh perbaikan produktivitas ternak. Hal ini dapat diilustrasikan dari hasil kajian data tentang perkembangan populasi dan produksi susu sapi perah (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Atas dasar asumsi proporsi sapi betina laktasi 54%, diperoleh rataan produksi susu segar per laktasi per 3

induk saat ini sekitar 3.471 kg. Produksi susu nasional pada dari tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Grafik Produksi Susu Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) Produksi susu sapi di Indonesia sangat berfluktuatif tiap tahunnya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karaktaristik bangsa, karakteristik individu, umur, masa bunting, pakan, kesehatan, kondisi lingkungan, frekuensi dan metode pemerahan (Sasimowski, 1982). Heriyanto (2009) menambahkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah adalah jumlah pakan konsentrat, jumlah pakan hijauan, penggunaan tenaga kerja dan masa laktasi sapi. Kemampuan produksi setiap individu sapi perah tergantung kepada kemampuan dari pejantan dan induk serta faktor lingkungan yang menunjang tertampilnya kemampuan genetik yang dibawa ternak tersebut (Thalib et al., 2001). Produktivitas Sapi Friesian Holstein Sapi Frisian Holstein atau FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat Holstein, sedangkan di Eropa disebut Friesian. Sapi FH berasal propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat. Bobot badan sapi betina dewasa yang ideal adalah 628 kg, sedangkan yang jantan dewasa bobotnya 1000 kg. Sapi FH adalah sapi perah dengan produksi susu tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya dengan kadar lemak susu yang rendah (Sudono et al., 2003). Komposisi susu Menurut Buckle (1988) adalah lemak 3,9%, protein 3,4%, laktosa 4,8%, abu 4

0,72% dan air 87%. Komponen lain yang juga terdapat dalam susu adalah sitrat, enzim-enzim, fosfolipid, vitamin A, vitamin B dan vitamin C. Sudono et al. ( 2003) menjelaskan bahwa sapi FH murni memiliki warna bulu hitam dan putih atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Sapi FH baik untuk menghasikan daging (beef) karena tumbuhnya cepat dan menghasilkan karkas sangat baik. Bobot lahir anak sapi tinggi yaitu 43 kg, tambahan lain warna lemak daging putih, sehingga baik sekali untuk produksi veal (daging anak sapi). Bangsa sapi perah yang baik diternakkan di daerah dengan ketinggian antara 750-1250 meter diatas permukaan laut dan akan menunjukkan penampilan produksi susu terbaik apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18,3 o C dengan kelembaban 55%. Apabila ternak ditempatkan pada lingkungan dengan suhu lebih tinggi maka ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour) (Yani & Purwanto, 20010). Produktivitas sapi perah di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sapi perah iklim sedang. Rataan produksi susu nasional berkisar 3.471 kg per laktasi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Produksi susu ini berbeda jauh dengan produktivitas sapi FH di Inggris yang mempunyai produksi susu satu laktasi sebanyak 7.609-8.548 kg (Albarrant et al. 2008), namun setara dengan produktivitas sapi FH di iklim tropis seperti di Afrika Selatan, yakni sebesar 3.840-4.590 kg per laktasinya (Theron & Mostert, 2009). Sudono et al. (2003) menambahkan produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7.245 kg/laktasi dan kadar lemak 3,65%, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10 liter/ekor. Perbaikan Genetik Sapi Perah Perbaikan genetik sapi perah dapat dilakukan pada ternak jantan dan ternak betina. Ternak jantan berpeluang mempunyai keturunan lebih banyak dibandingkan ternak betina sehingga mendapatkan perhatian yang lebih besar. Pada prinsipnya, potensi genetik ternak dapat dinilai melalui nilai genetik atau nilai pemuliaan yang dimiliki oleh semua kerabatnya yang lain, utamanya adalah dengan keluarga terdekat (Santosa et al., 2009). Program perkawinan sapi FH di dalam negeri selama ini pada dasarnya lebih diarahkan pemerintah kepada sistem perkawinan out breeding agar sapi perah rumpun FH terjaga kemurniannya, sehingga diharapkan dapat mengeskpresikan 5

kinerja produksi susu cukup tinggi dari generasi ke generasi (Anggraeni dan Iskandar, 2008). Sapi FH pejantan unggul sebagai sumber semen beku yang diproduksi oleh BIB Nasional, didatangkan dari banyak negara, sehingga merupakan sumber materi genetik sapi FH dari banyak galur, seperti dari Australia, New Zealand, Jepang, AS dan Kanada (Anggraeni dan Iskandar, 2008). Anggreani (2012) menjelaskan bahwa sapi pejantan unggul yang dipakai oleh BIB Nasional untuk menghasilkan semen beku sebagian sudah melewati proses pemilihan pejantan sangat ketat. Dalam proses pembelian pejantan FH dari negara importir, BIB Nasional memilih sapi pejantan hasil uji progeni di negara asal dengan kemampuan pewarisan produksi susu atau Predicted Transmitting Ability (PTA) pada peringkat atas (top) untuk dijadikan pejantan sumber semen beku di dalam negeri. Pengaturan perkawinan untuk meminimalkan terjadinya perkawinan kerabat dekat terutama antara sapi betina dengan bapaknya, sudah mulai dilakukan oleh BIB Nasional dan sebagian oleh koperasi susu. Meskipun demikian, upaya secara langsung untuk menghasilkan sapi perah bibit, baik pejantan maupun sapi betina dengan kemampuan produksi susu yang tinggi, belum berjalan secara baik dan teratur. Seleksi Sifat Produksi Susu Seleksi merupakan suatu tindakan untuk memilih ternak yang dapat dianggap mempunyai mutu genetik baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut serta mimilih ternak yang dianggap kurang baik untuk disingkirkan dan tidak dikembangbiakkan lebih lanjut (Hardjosubroto, 1994). Santosa et al. (2009) mendefinisikan seleksi sebagai suatu tindakan memilih ternak atau sekelompok ternak yang unggul secara genetik untuk menjadi tetua bagi generasi berikutnya dan mengeluarkan ternak yang kurang baik. Menurut Noor (2010), terdapat dua kekuatan yang menentukan apakan ternak-ternak pada generasi tertentu bisa menjadi tetua pada generasi selanjutnya. Kedua kekuatan itu adalah seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi buatan inilah yang digunakan manusia dalam meningkatkan produktifitas ternak tersebut. Hal ini disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan manusia. Kondisi usaha peternakan sapi perah di Indonesia menunjukkan bahwa produksi susu saat ini merupakan sifat yang pertama kali mendapatkan prioritas dalam perbaikan genetik sapi perah. Dengan demikian, target penting seleksi bibit 6

pada sapi perah utamanya menghasilkan pejantan berkemampuan mewariskan sifat produksi susu tinggi pada anaknya dan menghasilkan induk dengan produksi susu tinggi dan penggunaan input produksi secara efisien. Seleksi pada dasarnya adalah mengidentifikasi keunggulan genetik ternak, untuk sifat yang diinginkan dengan cara mengestimasi nilai pemuliaannya (Anggreani, 2012). Menurut Chacko dan Schneider (2005) secara garis besar ada empat metode untuk mengestimasi nilai pemuliaan ternak, yaitu: a) seleksi individu atas dasar nilai fenotipe ternak itu sendiri; b) seleksi sib atas dasar hubungan kekerabatannya (saudara); c) uji progeni atas dasar penampilan anak betina (dari pejantan); dan d) animal model atas dasar catatan produksi dari ternak itu sendiri dilengkapi informasi familinya. Seleksi pada sapi perah ditujukan terutama untuk menghasilkan pejantan yang memiliki kemampuan mewariskan sifat produksi susu tinggi pada anaknya dan menghasilkan sapi betina berkemampuan produksi susu tinggi dan penggunaan input produksi secara efisien. Respon kemajuan genetik dari seleksi yang dilakukan tentunya akan ditentukan oleh keragaman genetik, akurasi seleksi, intensitas seleksi dan interval generasi (Anggreani, 2012).. Faktor Koreksi Faktor koreksi perlu dibuat untuk menghindari bias dalam perhitungan, sehingga produksi susu yang diperoleh seluruhnya mencerminkan kemampuan gentik dari ternak tersebut, bukan karena pengaruh lingkungan. Produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Produksi susu merupakan suatu sifat fenotip, yang ekspresinya ditentukan oleh genetik dan lingkungan dimana sifat tersebut berada. Schmidt dan Van Vleck (1974) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu: (1) lingkungan yang penyebabnya diketahui : umur, musim saat beranak, masa kering dan masa produksi, sehingga produksi perlu dikoreksi: (2) lingkungan yang tidak diketahui penyebabnya, namun berpengaruh terhadap produksi susu, hal ini sulit dibuat faktor koreksinya. Pendugaan nilai pemuliaan produksi susu dilakukan dengan penyesuaian produksi susu sapi betina yang dinilai terhadap produksi susu setara dewasa. Faktorfaktor yang perlu penyesuaian adalah jumlah pemerahan, intensitas pemerahan, dan periode laktasi (Warwick et al., 1995). Ternak yang secara genetik unggul tidak akan 7

menampilkan keunggulan yang optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah meski didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi (Noor, 2010). Faktor koreksi yang paling banyak digunakan di berbagai negara adalah faktor koreksi produksi susu yang disesuaikan ke arah lama pemerahan 305 hari, umur induk dewasa dan pemerahan 2 kali sehari. Standarisasi laktasi 305 hari didasarkan perhitungan bahwa seekor sapi perah optimal apabila beranak satu kali per tahun, dengan lama pengeringan 6-8 minggu. Standarisasi laktasi umur dewasa (Mature Equivalent) didasarkan atas produksi susu yang optimum akan dihasilkan pada umur dewasa, dicapai pada umur 66-72 bulan atau pada laktasi keenam (Hardjosubroto, 1994). Heritabilitas Heritabilitas secara sederhana yaitu berhubungan dengan proporsi keragaman fenotifik yang dikontrol oleh gen. Proporsi ini dapat diwariskan pada generasi selanjutnya (Noor, 2010). Falconer (1992) menyatakan bahwa heritabilitas adalah rasio ragam yang aditif dengan ragam fenotif. Warwick et al. (1995) menyatakan menyatakan bahwa heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari keragaman total yang diukur dengan ragam suatu sifat yang diakibatkan pengaruh genetik. Semua komponen genetik ini dipengaruhi oleh frekuensi gen yang dapat berbeda dari suatu populasi lainnya. Falconer (1992) menambahkan bahwa heritabilitas adalah spesifik untuk suatu populasi dan merupakan suatu sifat yang menjadi perhatian. Prinsip perhitungan heritabilitas yaitu bahwa ternak yang masih memiliki hubungan keluarga akan memiliki performa yang lebih mirip jika dibandingkan dengan ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga. Dinyatakan lenih lanjut oleh Warwick et al. (1995) cara yang paling akurat untuk menentukan heritabilitas suatu sifat spesies adalah melalui pencatatan selama beberapa generasi dan menentukan kemajuan yang diperoleh untuk kemudian dibandingkan dengan sejumlah keunggulan dari tetua terpilih dari semua generasi. Hasil penelitian pendugaan nilai heritabilitas produksi susu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. 8

Tabel 1. Hasil Penelitian Pendugaan Nilai Heritabilitas Produksi Susu di Indonesia Jumlah Tahun No Lokasi penelitian h² Sumber catatan pengamatan 1 BPTU Baturraden 431 1992-1999 0,16 Kamayanti (2001) 2 Peternakan Ciganggel dan Rawaseneng 161 1990-2000 0,95 Hariyaman (2002) 3 PT Taurus Dairy Farm 456 1989 2000 0,31±0,05 Indrijani (2001) 4 PT Taurus Dairy Farm 581 1989-2005 0,23± 0,07 Indrijani (2008) 5 BPPT Cikole 114 1998-2004 0,32± 0,19 Indrijani (2008) Metode korelasi saudara tiri sebapak (parental halfsib correlation) dapat digunakan sebagai salah satu cara pendugaan nilai heritabilitas (Becker, 1975). Hal ini didukung Warwick et al. (1995) yang menyatakan derajat kemiripan ternak dalam paternal halfsib lebih besar dari kelompok acak dalam suatu populasi, sehingga metode ini banyak digunakan dalam pendugaan nilai heritabilitas. Menurut Warwick et al. (1995), nilai heritabilitas (h 2 ) dapat berkisar 0 sampai 1. Suatu sifat dengan heritabilitas nol adalah sifat dimana semua keragaman disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Sebaliknya heritabilitas 1,0 akan menunjukkan suatu sifat kuantitatif dimana semua keragaman disebabkan oleh keturunan. Noor (2010) menjelaskan bahwa nilai heritabilitas dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Nilai heritabilitas suatu sifat dikatakan rendah apabila nilainya berada antara 0-0,20 sedang antara 0,20-0,30 dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,30. Dalam kasus tertentu didapatkan perhitungan heritabilitas minus atau lebih dari 1,0. Secara biologis hal ini tidak mungkin terjadi. Warwick et al. (1995) mengemukakan bahwa dalam penaksiran heritabilitas dapat dipengaruhi oleh kesalahan pengambilan contoh dan banyaknya data. Nilai heritabilitas bervariasi tergantung pada kondisi populasi tempat heritabilitas dihitung. Menurut Hardjosubroto (1994), nilai heritabilitas produksi susu umumnya sebesar 0,20-0,40. Nilai Pemuliaan Nilai pemuliaan adalah nilai individu yang dipengaruhi oleh gen dan berpengaruh pada generasi berikutnya. Nilai pemuliaan merupakan pencerminan potensi genetik yang dimiliki seekor ternak untuk sifat tertentu yang diberikan secara 9

relatif atas kedudukannya di dalam suatu populasi (Hardjosubroto, 1994). Nilai pemuliaan merupakan faktor utama dalam mengevaluasi keunggulan individu dalam populasi ternak. Nilai pemuliaan tidak dapat diukur secara langsung, namun dapat diduga atau diestimasi. Nilai pemuliaan ini sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk seleksi (Warwick et al., 1995). Arti dari nilai pemuliaan sangat penting, terutama dalam menilai keunggulan seekor pejantan yang akan digunakan sebagai sumber mani beku. Apabila seekor ternak telah diketahui besar nilai pemuliaannya, hal ini berarti bahwa bila pejantan tersebut dikawinkan dengan induk-induk secara acak pada populasi normal maka rerata performans keturunannya kelak akan menunjukkan keunggulan sebesar setengah dari nilai pemuliaan dari pejantan tersebut terhadap performans populasinya. Seekor pejantan hanya mewariskan setengah dari nilai pemuliaannya, dan setengahnya berasal dari induknya (Hardjosubroto, 1994). Pendugaan nilai pemuliaan harus dilakukan sedini mungkin karena akan sangat berguna dalam proses seleksi yang lebih efisien dan secara tidak langsung bisa memperpendek interval generasi dalam pemilihan bibit. Ternak yang memiliki nilai pemuliaan tinggi menggambarkan tingginya kemampuan genetik ternak tersebut untuk berproduksi. Tinggi rendahnya nilai pemuliaan tersebut adalah milik individu itu sendiri. Sesuai dengan pendapat Dalton (1985) yang menyatakan bahwa nilai pemuliaan adalah milik individu itu sendiri dan ditentukan oleh gen gen yang diwariskan pada keturunannya. Pendugaan nilai pemuliaan dapat menggunakan Nilai Pemuliaan Relatif (Relative Breeding Value) sebagai tindak lanjut evaluasi pejantan menggunakan metode Contemporary Comparison (CC) (Hardjosubroto, 1994). Perbaikan Mutu Genetik Pejantan Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah. Sejak dikenalkannya Inseminasi Buatan (IB) dalam mengembangkan populasi ternak, maka seleksi pejantan dalam meningkatkan mutu genetik ternak sering diasumsikan lebih penting daripada seleksi induk, tetapi dengan berkembangnya teknologi Transfer Embrio (TE), maka seleksi pejantan dapat 10

dikatakan sama pentingnya dengan seleksi induk, tetapi dalam segi intensitasnya seleksi pejantan lebih ketat dari seleksi induk. Diwyanto et al. (2001) menyatakan bahwa pada teknologi transfer embrio ini memungkinkan evaluasi mutu genetik produksi susu sapi perah pejantan berdasarkan penampilan saudara-saudara betinanya. Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa seleksi pejantan sangat penting, karena seekor pejantan yang dipergunakan dalam inseminasi buatan selama hidupnya menghasilkan keturunan lebih banyak daripada seekor betina. Pemilihan pejantan sedini mungkin dianjurkan agar nilai genetik pejantan tersebut akan cepat diketahui, untuk dapat diambil keputusan dalam penentuan pejantan yang akan dipilih. Evaluasi keunggulan sifat produksi susu pejantan dapat dilakukan melalui uji zuriat, yakni penilaian atas dasar kemampuan produksi keturunannya. Pejantan tidak menghasilkan susu, sehingga kemampuan pejantan dapat diduga dari produksi susu, mengingat pejantan mewariskan sifat yang dipunyai sekitar 50% kepada keturunannya. Ada beberapa macam analisa dalam mengevaluasi pejantan berdasarkan performa anak betinanya, antara lain Daughter Comparison, Daughter dam Comparison, Daughter herdmate Comparison (DHC), Contemporary Comparison (CC), Commulative Difference (CD), Improved Contemporary Comparison (ICC) dan Breeding Index (Hardjosubroto, 1994). Salah satu metode yang sering digunakan dalam pengevaluasian pejantan adalah metode Contemporary Comparison (CC). Evaluasi CC didasarkan atas perbandingan antara rataan produksi susu laktasi pertama anak betina calon pejantan yang diuji dengan produksi susu laktasi pertama anak betina pejantan lain yang berproduksi pada tempat, musim, dan tahun yang sama (contemporary) (Hardjosubroto,1994). Metode ini telah digunakan di Selandia Baru sejak tahun 1950, di Inggris tahun 1954 dan kemudian di Amerika Serikat. Evaluasi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perbedaan lingkungan diantara peternakan dan mengurangi kesalahan karena standar umur ke setara dewasa. Metode CC merupakan uji zuriat yang didasarkan pada laktasi pertama dari anak-anak betina pejantan yang diuji sehingga mengurangi kemungkinan kesalahan akibat faktor lingkungan yang disebabkan oleh perbedaan umur. Kelebihan lain dari evaluasi ini adalah dapat mengurangi kemungkinan penyimpangan sebagai akibat 11

dari perlakuan yang berbeda dari induk-induk terseleksi yang memperoleh perlakuan istimewa pada laktasi berikutnya. Seleksi pejantan dikatakan akurat bila tidak kurang dari 5-10 ekor calon pejantan yang diuji dengan 10 anak betina efektif yang digunakan (Dalton, 1985). 12