3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Telur Katak betina dewasa menentukan tempat peletakan telur setelah terjadi pembuahan dan untuk kebanyakan katak pohon telur tersebut terselubung dalam busa. Hal ini terjadi pada sedikitnya lima famili katak yaitu Hyperolilidae, Hylidae, Leptodactylidae, Myobatrachidae, dan Rhacophoridae (Hödl 2000). Dalam keadaan normal, katak betina mengeluarkan telurnya pada malam hari setelah terjadi amplexus (Bennett 1999). Goin et al. (1978) menyatakan bahwa penggunaan tempat untuk bertelur bagi amfibi sangat beragam misalnya pada tempat terbuka, di atas air (permanen atau temporal), pada air yang mengalir, di bawah batu atau kayu lapuk, di lubang atau pada daun yang di bawahnya terdapat air yang menggenang. Spesies katak pohon pada umumnya menyimpan telurnya dalam selubung busa dan meletakkannya pada dedaunan dengan kondisi tertutup dan letaknya tepat di atas air (Inger & Stuebing 1997, Iskandar 1998, Kusrini et al. 2008). Hal ini juga terjadi pada katak pohon jawa (R. margaritifer) (Liem 1971). Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa pada katak pohon jawa (R. margaritifer), selubung busa (clutch) berisi telur ini diletakkan pada daun hijau segar, diletakkan tersembunyi, dan dibiarkan menggantung di atas aliran air sungai yang jernih ataupun genangan air. Selubung busa ini diletakkan pada tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar air terjun atau sungai. 2.2. Morfologi Berudu R. margaritifer Menurut van Kampen (1923), berudu R. margaritifer memiliki panjang tubuh 1,5-2 kali lebar badannya dan ekornya memiliki panjang antara 1,5-2,25 kali panjang badannya. Lubang hidungnya berada diantara mata dan ujung mulutnya serta memiliki lebar antara lubang hidung lebih kecil dibandingkan lebar diantara kedua matanya. Bagian mata berada di atas, terletak di tengahtengah bagian spiraculum dan ujung mulut yang memiliki jarak 1,5-2 kali jarak antara lubang hidungnya. Spiraculum sinistral menunjuk ke arah atas dan arah
4 belakang serta terlihat dari sisi atas dan bawah. Jaraknya sama dengan jarak antara ujung mulut dan ventrikel (anus). Sirip bagian atas (dorsal fin) lebih lebar daripada sirip bagian bawahnya (ventral fin) dan panjangnya sampai pada ujung ekornya. Bagian sisi dan pinggir bawah bibir mulut berudu ini berderet bintil-bintil (papillae) yang di sepanjang sisinya (samping) terdapat dua sampai tiga bintil dan sepanjang pinggir bawahya terdapat tiga sampai empat baris bintil. Rahangnya bersisi dan berwarna hitam serta geliginya memiliki formasi 5 1 5/3. Deret kedua dan ketiga dari bibir atas jaraknya sangat dekat dengan perpotongan yang menyilang. Badan bagian atas berwarna abu-abu dan bagian bawahnya berwarna putih. Ekor berudu ini memiliki warna yang merupakan perpaduan antara warna abu-abu terang dan warna yang agak kuning. Bagian badan transparan dan bagian belakang (ekor) memiliki titik-titik besar berwarna agak abu kehitam-hitaman. Panjang berudu secara keseluruhan dapat mencapai 58 mm. 2.3. Habitat Berudu Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa sebagian berudu amfibi hidup pada kondisi lingkungan yang relatif stabil sehingga berudu-berudu dapat bertahan hidup sampai menjadi individu dewasa (metamorfosis sempurna). Komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan berudu. Komponen-komponen tersebut diantaranya adalah suhu dan kelembaban udara, tingkat keasaman air, ketersediaan pakan, dan predator. Menurut Wassersug et al. (1981) pada penelitiannya terhadap dua spesies berudu katak genus Rhacophoridae di Thailand, berudu katak pohon ini dapat hidup pada lubang-lubang pohon yang berisi air yang berada pada ketinggian 1-3 meter di atas tanah. Berudu-berudu ini memakan plankton-plankton kecil dan daun-daun busuk yang terdapat di dalam lubang berair tersebut. Pada kondisi yang ekstrim yaitu dalam kondisi pakan terbatas, berudu katak ini dapat menjadi satwa karnivora dan dapat memakan berudu-berudu lain di sekitarnya.
5 Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa faktor penting lainnya adalah keberadaan predator yang mengancam keberlangsungan hidup berudu. Beberapa predator yang menjadi ancaman tersebut antara lain ikan, kura-kura, burung dan mamalia kecil. Selain keberadaan predator, pengancam kehidupan berudu lainnya adalah adanya jamur Batrachochytrium dendrobatidis yang terdapat di dalam air sebagai habitat utama berudu (Lips et al. 2005). Hal ini menyebabkan penurunan populasi beberapa jenis amfibi di Amerika Latin. Kusrini et al. (2008) juga menyatakan bahwa spesies katak pohon jawa yang ada di sekitar Cibereum, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terinfeksi berat jamur mematikan ini. Katak Pohon Jawa (R. margaritifer) memiliki habitat utama berupa hutan hujan tropis dan subtropis pegunungan, lahan basah termasuk sungai permanen, sungai sedang sampai kecil dan air terjun. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa jenis ini biasanya hidup di hutan pada ketinggian antara 1.000 1.500 meter di atas permukaan laut. Sampai saat ini diketahui penyebarannya hanya terdapat di Pulau Jawa yaitu di dua daerah di Jawa Barat yaitu di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dan Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP), daerah lainnya adalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur (IUCN 2010). Berudu katak pohon jawa ini ditemukan pada pinggir-pinggir sungai beraliran kecil sampai deras dan pada kolam ataupun genangan yang berair jernih. Pada dasar aliran sungai ataupun genangan berupa lumpur, pasir, ataupun bebatuan kecil. Berdasarkan penelitian van Kampen (1923), berudu R. margaritifer dapat ditemukan di Cibodas dan pada ketinggian hingga 1.500 mdpl di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP). Berudu-berudu ini dapat ditemukan pada aliran-aliran sungai dan genangan pada ketinggian 1.000-1.500 mdpl seperti di jalur interpretasi Ciwalen, dan air terjun Cibeureum. Berdasarkan pengamatan pendahuluan, habitatnya didominasi oleh tumbuhan air seperti kecubung gunung, pacar air, selada air serta lumut.
6 2.4. Perkembangan Berudu Tahapan perkembangan berudu secara sederhana dikemukakan oleh Gosner (1960) di dalam 46 tahapan (stage) pertumbuhan. Setiap tahapan pertumbuhan didasarkan atas perubahan morfologi dan fungsi tubuh berudu. Tahapan pertumbuhan (stage) satu hingga 25 menunjukkan tahapan embrionik (embryonic stages) dimana terjadi proses fertilisasi, pembelahan sel, blastula dan gastrula sama seperti yang terjadi pada kebanyakan spesies. Tahapan awal pertumbuhan berudu yaitu pembelahan sel-sel telur (cleavage) menjadi dua, empat, delapan, hingga sel-sel telur membelah menjadi banyak sel (stage 1-9). Tahapan selanjutnya secara berurutan adalah proses blastulasi, gastrulasi, pemanjangan sel (elongasi), pembentukan sistem saraf hingga proses pembentukan ujung ekor, otot, jantung, insang, mata, sirip ekor, dan perkembangan geligi (operculum). Tahapan (stage) 21-25 menunjukkan embrio mengalami transisi menjadi berudu yang mencari makan dan berenang di air. Tahapan perkembangan berikutnya adalah stage 26-30 dimana terjadi proses pembentukan lengan kaki depan (limb bud). Tahapan ini kemudian diteruskan dengan proses pembentukan jari kaki (toe development) yaitu stage 31-40. Setelah tahapan ini selesai, terjadi proses pemisahan antara bagian badan dan ekor (stage 41) serta mulai terbentuk kaki depan. Selanjutnya berudu akan memasuki tahapan (stage) 41-45 dimana kaki depan telah terbentuk disertai perubahan geligi menjadi mulut (mouth development) dan proses menghilangnya ekor (tail resorption). Tahapan (stage) 46 adalah tahapan terakhir dimana ekor telah hilang sama sekali dan semua sistem saraf, pencernaan, pernafasan, dan pengeluaran telah sempurna sehingga berudu telah menjadi katak sempurna. Tahapan perkembangan berudu menurut Gosner (1960) disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tahapan perkembangan berudu Gosner (1960) 7
8 2.5. Pemeliharaan Berudu secara Ek-situ Retallick (2002) menggunakan metode translokasi berudu dan katak pada habitat buatan yang dilakukannya pada spesies Litoria rheocola. Pada percobaannya, berudu dan katak ini diambil dari beberapa habitat alaminya di hutan hujan tropis Queensland, Australia kemudian dipindahkan pada beberapa enclosure (sarang buatan) yang di dalamnya telah dikondisikan sesuai habitat asli katak tersebut. Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap perilaku, pertumbuhan, dan perkembangan berudu dan katak. Kusrini et al. (2008) dalam penelitiannya terhadap ekologi bertelur Philautus vittiger, membawa ke laboratorium sebuah clutch telur untuk diamati perubahannya dari fase telur sampai menjadi berudu. Telur ini diletakkan pada kotak plastik yang berisi air, ranting-ranting, dan dedaunan yang berasal dari tempat ditemukannya telur (habitat alami). Kondisi habitatnya disesuaikan dengan habitat aslinya misalnya dengan pemberian lumpur, sampah dedaunan dan tumbuhan air (Hydrila spp.). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan berudu pada habitat buatan adalah kondisi air. Bennett (1999) dalam eksperimennya menjaga selalu kondisi air. Air untuk berudu diganti setiap hari dengan kualitas yang sama dan berudu diletakkan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Walaupun dapat mempercepat pertumbuhan tubuhnya, berudu-berudu tidak boleh terkena sinar matahari langsung karena bila terlalu panas maka berudu-berudu tersebut akan mati dalam hitungan menit. Hal penting lainnya dalam pemeliharaan berudu adalah ketersediaan pakan alami. Schiesari et al. (2006) menggunakan metode pentranslokasian berudu pada kolam-kolam tertutup dengan perlakuan berbeda dimana terdapat kolam yang kaya akan pakan alami berudu seperti detritus, fitoplankton, dan periphyton sedangkan kolam yang lainnya sedikit pakan. Kondisi habitat disesuaikan dengan habitat alaminya dan pengamatan dilakukan terhadap kecepatan pertumbuhan berudu pada dua kondisi berbeda tersebut. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada habitat buatan yang kaya akan pakan, pertumbuhan berudu dapat lebih cepat dibandingkan pada habitat yang pakannya sedikit.