Perubahan bobot rata-rata individu ikan (g) Perubahan bobot rata-rata individu ikan (g) 16 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil penelitian terhadap empat jenis pakan uji dengan kadar protein berbeda 28% yang mengandung tepung hati cumi, 28%, 30% dan 32% menunjukkan adanya pertumbuhan pada ikan lele dumbo. Perubahan bobot biomassa ikan lele dumbo setelah 60 hari terlihat pada Gambar 2. Penambahan bobot biomassa akhir rata-rata pada perlakuan pakan dengan kadar protein 28% yang mengandung tepung hati cumi sebesar 5,7 kali lipat atau tumbuh sebesar 39,3 gram, perlakuan pakan dengan kadar protein 28% tanpa penambahan sebesar 4,9 kali lipat atau tumbuh sebesar 32,4 gram. Perlakuan pakan dengan kadar protein 30% tumbuh 5,8 kali lipat atau tumbuh sebesar 40,3 gram. Sedangkan perlakuan dengan kadar protein 32% tumbuh sebesar 7,7 kali lipat atau tumbuh sebesar 56,6 gram. 80 80 70 70 64.95 64.95 60 50 40 30 60 50 37.78 40 30 47.71 37.78 47.71 40.81 48.7 40.81 48.7 Aw al Akhir Aw al Akhir 20 10 0 20 8.4 10 8.4 8.4 8.4 8.4 8.4 0 A AB A BC B CD C DE D E Perlakuan Perlakuan Gambar 2. Perubahan bobot rata-rata individu ikan lele dumbo perlakuan pakan A (protein 28%, mengandung tepung hati cumi), B (protein 28%), C (protein 30%), dan D (protein 32%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan juga didapatkan hasil-hasil penelitian yang meliputi kelangsungan hidup, jumlah konsumsi pakan, retensi protein,
17 retensi lemak, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan dan kecernaan pakan yang akan disajikan secara berturut-turut pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 4 Parameter Rata-rata jumlah konsumsi pakan (JKP), kelangsungan hidup (SR), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), laju pertumbuhan harian (LPH), efisiensi pakan (EP) dan kecernaan pakan (KP) Perlakuan pakan A B C D JKP (g) 2176,6±59,6 a 2243,8±22,6 a 2262,9±158,8 a 2508,1±77,1 b SR (%) 100,0±0,0 a 99,1±1,7 a 99,1±1,7 a 99,1±1,7 a RP (%) 34,1±2,0 a 29,1±1,3 a 32,5±3,5 a 41,0±4,9 b RL (%) 74,72±5,1 a 59,81±7,4 a 69,42±11,9 a 56,9±10,9 a LPH (%) 2,9±0,1 b 2,7±0,1 a 2,9±0,1 b 3,5±0,2 c EP (%) 63,2±3,4 b 50,4±4,5 a 62,6±6,9 b 78,5±7,6 c KP (%) 55,9±5,4 a 49,8±6,5 a 70,9±2,9 b 71,4±1,4 b Ket: 1) 2) Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0.05). Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata ± standar deviasi. Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antar perlakuan pada beberapa parameter biologi pertumbuhan ikan lele dumbo, yaitu jumlah konsumsi pakan, retensi protein, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan dan kecernaan pakan. Sedangkan parameter kelangsungan hidup ikan lele dumbo dan retensi lemak tidak berbeda nyata. Adapun hasil uji dari pengamatan parameter yang diukur disajikan pada Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 7. Hasil pengamatan terhadap koefisien respirasi (KR) dan ekskresi amonia disajikan pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Koefisien respirasi (KR) dan ekskresi amonia ikan lele dumbo setiap perlakuan Parameter Pakan perlakuan A B C D Koefisien respirasi 1,073±0,047 1,026±0,082 0,998±0,045 0,713±0,015 Ekskresi amonia (mgnh 3 /g/jam) 0,014±0,002 0,011±0,004 0,013±0,001 0,009±0,003 Ket: 1) Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata ± standar deviasi.
18 Tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien respirasi perlakuan A, B, dan C relatif sama yaitu sebesar 1,0. Hal ini diduga karena sebagian besar karbohidrat dikatabolisme untuk menghasilkan energi. Sedangkan pada perlakuan D diduga bahwa sebagian besar lemak dikatabolisme untuk menghasilkan energi yang dibuktikan dengan nilai koefisien respirasi sebesar 0,7. Ekskresi amonia yang relatif lebih tinggi dihasilkan oleh perlakuan A, B, dan C, sedangkan yang terendah adalah perlakuan D. Hal ini berarti bahwa asam amino yang diserap dan dimanfaatkan untuk sintesis tubuh pada perlakuan pakan berkadar protein 32% lebih efektif dari pada perlakuan lainnya. 4.2 Pembahasan Tingkat kelangsungan hidup ikan adalah hal yang sangat penting dalam usaha akuakultur. Kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh faktor kesehatan ikan, sementara kesehatan ikan dipengaruhi oleh faktor agen penyakit, kondisi lingkungan budidaya dan genetik ikan itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan tingkat kelangsungan hidup yang secara umum baik pada semua perlakuan pakan, yaitu 99,1-100%. Hal ini menunjukkan bahwa ikan dapat bertahan hidup dengan baik pada media pemeliharaan dan perlakuan dalam percobaan, termasuk pakan yang diberikan. Menurut Halver (2002), bahwa nutrisi yang sesuai harus diperhatikan sebagai faktor kritis dalam mendukung pertumbuhan dan kesehatan ikan. Pakan yang disiapkan tidak hanya mengandung nutrien esensial yang disyaratkan untuk fungsi fisiologi, namun juga disiapkan sebagai media yang mengandung komponen lain yang dapat berpengaruh pada kesehatan ikan. Berdasarkan data kecernaan pakan pada Tabel 5, penurunan kadar protein menjadi 28% menyebabkan nilai kecernaan pakan menurun. Kecernaan pakan menurun sejalan dengan adanya penurunan kadar tepung bungkil kedelai serta peningkatan jagung (perlakuan B) dan dedak (perlakuan A) di dalam pakan. Hal ini berarti bahwa nutrien yang diserap dari saluran pencernaan oleh ikan yang mengkonsumsi pakan berkadar protein 28% lebih rendah dari pada pakan berkadar protein 30% dan 32%. Hertrampf (2000) mengungkapkan bahwa nilai kecernaan tepung bungkil kedelai untuk channel catfish (Ictalurus punctatus)
19 adalah sebesar 81,8%. Sementara Wilson dan Poe (1985) berpendapat bahwa nilai kecernaan jagung adalah sebesar 59% dan dedak sebesar 66% untuk channel catfish. Dengan demikian penurunan tepung kedelai yang kecernaannya tinggi dan peningkatan jagung dan dedak yang kecernaannya rendah menyebabkan kecernaan pakan menurun. Penurunan kadar protein pakan menjadi kurang dari 32% juga menurunkan retensi protein. Namun demikian, walaupun nilai kecernaan pada perlakuan A dan B serta konsumsi pakan pada perlakuan pakan A, B, dan C relatif sama, akan tetapi efisiensi dan laju pertumbuhan harian ikan lele dumbo pada perlakuan pakan A dan C sama baiknya dan lebih tinggi dibandingkan B. Padahal energi pada perlakuan A, B, dan C relatif sama. Hal ini dikarenakan kadar protein pakan C lebih tinggi (30%), sedangkan pada pakan A mengandung tepung hati cumi. Pakan A mengandung protein lebih rendah dari pada pakan C seperti yang terlihat pada Tabel 2. Akan tetapi ikan lele dumbo yang diberi pakan A dapat tumbuh sama dengan yang diberi pakan C. Menurut Shigueno (1975) bahwa profil asam amino essensial tubuh ikan (dengan membandingkan pola asam amino bahan baku dan pola asam amino tubuh ikan) dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan asam amino essensial. Sehingga untuk menentukan pola asam amino pakan ikan lele dapat ditentukan berdasarkan pola asam amino tubuh ikan lele. Pola asam amino pakan dihitung berdasarkan kandungan asam amino essensial pakan jagung, menir, tepung gaplek, tepung bungkil kedelai, MBM (meat and bone meal), PBPM (Poultry by product meal), tepung bulu, tepung ikan dan tepung hati cumi seperti pada Lampiran 19 sampai 30. Komposisi asam amino percobaan disajikan pada Tabel 6 dan pola asam amino disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa semua pakan perlakuan mempunyai pola asam amino yang menyerupai pola asam amino tubuh ikan lele. Dengan demikian secara umum profil asam amino semua pakan perlakuan relatif sama. Akan tetapi adanya kesamaan efisiensi pakan dan laju pertumbuhan perlakuan A dengan perlakuan C diduga bahwa ada kandungan nutrien tertentu dari tepung hati cumi yang dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan ikan sehingga lebih baik dari pada perlakuan B.
20 Tabel 6 Komposisi asam amino essensial pakan percobaan (% protein) Asam amino essensial Tubuh ikan lele* Perlakuan A B C D Arginin 6,67 4,39 4,30 4,55 4,62 Histidin 2,17 1,49 1,47 1,57 1,59 Leusin 7,4 4,47 4,44 4,55 4,50 Isoleusin 4,29 2,60 2,58 2,68 2,68 Lisin 8,51 4,39 4,33 4,53 4,56 Metionin 2,92 1,21 1,17 1,22 1,19 Fenilalanin 4,14 2,62 2,59 2,68 2,67 Treonin 4,41 2,48 2,49 2,66 2,72 Triptofan 3,28 1,39 1,39 1,41 1,37 Valin 5,15 3,03 3,02 3,19 3,22 * Data dari Wilson dan Poe (1985). 20.00 Tubuh Lele Pakan D Pakan C Pakan A Pakan B 18.004,30% 3,02% 16.00 4,39% 14.00 12.00 4,55% 10.00 3,03% 3,19% 4,62% 8.00 3,22% 6,67% 6.00 4.00 5,15% 2.00 0.00 Arg His Leu Ileu Lys Met Fen Thr Thy Val Gambar 3 Komposisi asam amino dalam empat jenis pakan perlakuan dan tubuh ikan lele. Tepung hati cumi mengandung 50,8% protein kasar dan 17,2% lemak kasar (hertrampf, 2000), kolesterol 3,0 mg/g, omega 3 (DHA dan EPA) sebanyak 30% dari lemak total (Ye Cherng, 2009), juga mengandung vitamin B1, B2, B6, B12, Niacin, asam pantotenat, biotin dan kolin (Jesse, 2009). Cumi pun mengandung mineral seperti kalsium dan fosfor (Kreuzer, 1986). Kandungan nutrien ini diduga dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan dan efisiensi pakan, terutama peran dari elemen-elemen mikro (vitamin dan mineral) sebagai
21 pemercepat pertumbuhan (growth accelerant). Guillame et al., (1990) berpendapat bahwa cumi mengandung beberapa faktor pertumbuhan yang tidak terindentifikasi, yang biasa disebut dengan squid factor. Menurut GEM (2001) tepung hati cumi berperan membantu menjaga keseimbangan nutrien-nutrien jika ditambahkan pada pakan dan berperan dalam penyimpanan protein sehingga menunjang pertumbuhan ikan. Ditambahkan pula oleh Mai et al. (2006) bahwa tepung jeroan cumi dapat berperan sebagai pemercepat pertumbuhan yang dibuktikan dengan penambahan 50 dan 100 g/kg pada pakan dapat menghasilkan pertumbuhan terbaik pada Japanese seabass (Lateolabrax japonicus). Demikian pula laju pertumbuhan spesifik lebih tinggi didapatkan pada perlakuan pakan yang mengandung 50 atau 100 g/kg pada large yellow croaker (Pseudosciaena crocea R) (Li et al., 2009). Sementara Penaeus japonicus mengalami peningkatan pertumbuhan dari 30 menjadi 50% ketika disuplementasikan tepung cumi pada pakan yang diberikan (Hertrampf, 2000). Tepung hati cumi juga mengandung glisin dan betain yang dapat meningkatkan palatabilitas pakan (Ye Cherng, 2009), seperti yang telah dibuktikan oleh Alberto et al. (2006) yang menambahkan 0,5% dan 1,0% tepung hati cumi pada pakan Litopenaues vannamei yang dapat berfungsi sebagai atraktan. Nobukazu et al., 2006 berpendapat bahwa pakan yang mengandung tepung hati cumi sampai 30% mampu meningkatkan jumlah konsumsi pakan. Namun pada penelitian ini fungsi ini tidak terlihat karena jumlah konsumsi pakan pada perlakuan B tidak lebih banyak dari pada yang lainnya. Jika dilihat dari sisi kandungan energi antara pakan A dan pakan C, energi yang ada pada kedua pakan tersebut hampir sama, namun dapat menghasilkan pertumbuhan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan tingkat protein dengan kandungan energi yang relatif sama dengan pakan berkadar protein tinggi, dapat menghasilkan pertumbuhan yang relatif sama baiknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kurnia (2002) bahwa pakan yang mengandung protein 37,4% dengan kandungan energi 3327,11 kkal/kg dan pakan berprotein 29,1% dengan kandungan energi 3341,11 kkal/kg menghasilkan efisien pakan dan laju pertumbuhan yang sama tingginya pada benih ikan baung (Mystus nemurus C.V). Selanjutnya Sutajaya (2006) mengemukakan bahwa fingerlings ikan mas
22 (Cyprinus carpio) dapat tumbuh dengan baik dengan pemberian pakan berkadar protein 31,15% dengan energi 2432,44 kkal/kg yang sama baiknya dengan pakan berprotein 28,08% dengan energi 2560,9 kkal/kg. Pemanfaatan protein untuk pembentukan jaringan yang cukup tinggi pada pakan D didukung oleh kecenderungan ikan lele dumbo menggunakan lemak sebagai protein sparring effect dalam metabolismenya untuk menghasilkan energi. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien respirasi 0,7. Lemak dan karbohidrat merupakan sumber energi non protein. Jika energi dari lemak dan karbohidrat sudah cukup, maka protein pakan sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan (NRC, 1983). Ini ditunjang pula dengan rendahnya nilai ekskresi amonia yang dihasilkan.