2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

INFESTASI TELUR CACING PARASITIK PADA TINJA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) ASEP SAEFULLAH

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Penelitian di Koto Kampar Hulu dan XIII Koto Kampar Kecamatan XIII Koto Kampar dengan luas lebih kurang

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

Taenia saginata dan Taenia solium

TINJAUAN PUSTAKA Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang strategis karena selain hasil daging dan bantuan tenaganya, ternyata ada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Kerbau berasal dari india, namun telah tersebar di banyak negara termasuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

TREMATODA PENDAHULUAN

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

CACING TANAH (Lumbricus terrestris)

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat:

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

POLA DEFEKASI DAN KAJIAN JENIS TELUR CACING PADA TINJA LANDAK JAWA (Hystrix javanica)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus)

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus)

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

Karakteristik Morfologi Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

N E M A T H E L M I N T H E S

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Chen et al., 2005). Bukti arkeologi menemukan bahwa kambing merupakan

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Jenis-Jenis Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hamster Syria Mesocricetus auratus (Waterhause, 1839) di Kota Padang

Pada kondisi padang penggembalaan yang baik, kenaikan berat badan domba bisa mencapai antara 0,9-1,3 kg seminggu per ekor. Padang penggembalaan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Transkripsi:

2 kejadian kecacingan pada kerbau. Namun, yang tidak kalah penting adalah informasi yang didapat dan pencegahan yang dilakukan, akan meningkatkan produktivitas ternak serta kesejahteraan peternak khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. 2.1.1 Klasifikasi Kerbau 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU Menurut Reksohadiprodjo (1984) ada dua tipe kerbau Asia yang tergolong dalam spesies yang sama dengan taksonomi sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminantia Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Genus : Bubalus Spesies : Bubalus bubalis Gambar 1 Kerbau lumpur (Sumber: Bustami & Susilawati 2007) 2.1.2 Jenis Kerbau Kerbau (Bubalus bubalis) domestik Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu kerbau lumpur (swamp buffalo) dan kerbau sungai (riverine buffalo). Populasi kerbau terbanyak di dunia terdapat di Asia. Di Indonesia populasi kerbau sebesar 1,3 juta ekor (Kementan-BPS 2011). Mayoritas (95%) populasi kerbau adalah kerbau lumpur, sisanya dalam jumlah kecil (sekitar 2%) adalah kerbau sungai yang terdapat di Sumatera Utara. Kedua jenis kerbau ini memiliki karakteristik dan kebiasaan yang berbeda. Kerbau lumpur memiliki kebiasaan berendam dalam lumpur, kubangan ataupun air yang

menggenang. Kerbau lumpur lebih banyak digunakan sebagai ternak kerja dan penghasil daging (Sitorus & Anggraeni 2008). Kerbau sungai memiliki ciri tanduk melingkar ke bawah dan kerbau lumpur mempunyai tanduk melengkung ke belakang. Kerbau lumpur mempunyai 24 pasang kromosom (48 kromosom), sedangkan kerbau sungai 25 pasang (50 kromosom) (Hasinah & Handirawan 2006). Kerbau sungai memiliki kebiasaan berendam dalam air jernih seperti sungai dan danau. Kerbau ini biasa digunakan sebagai ternak penghasil susu dan umumnya berwarna hitam pekat (Hasinah & Handirawan 2006). Sebagian besar kerbau lumpur memiliki warna abu-abu, dengan garis kalung (chevron) berwarna putih pada leher, serta warna kaki (stocking) abu-abu muda atau abu-abu (Sitorus & Anggraeni 2008) 2.1.3 Pertumbuhan Kerbau Lumpur Kerbau merupakan ternak yang pertumbuhannya lambat. Kerbau baru mencapai dewasa tubuh setelah umur 3 tahun (Fahimmudin 1975). Akan tetapi, pendapat yang lain menyatakan kerbau mencapai dewasa pada umur 5-6 tahun (Sastroamidjojo 1991). Dewasa kelamin sangat mempengaruhi laju pertumbuhan. Lendhanie (2005) menyatakan dewasa kelamin kerbau lumpur dicapai pada umur 2-3 tahun. Yurleni (2000) juga menyatakan hal serupa yaitu bahwa kerbau jantan dan betina mencapai dewasa kelamin sekitar umur 2.5-3 tahun. 2.1.4 Sistem Pemeliharaan Kerbau Lumpur Pemeliharaan kerbau di Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi intensif dan intensif. Pemeliharaan secara intensif yaitu pemeliharaan ternak hampir sepanjang hari berada dalam kandang. Kerbau diberikan pakan hijauan melebihi kebutuhannya dari segi kualitas maupun kuantitas agar bobot badan cepat bertambah (Murtidjo 1993). Pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan ternak yang dilepas di padang penggembalaan sepanjang hari mulai dari pagi sampai sore. Padang penggembalaan dapat berupa rawa seperti yang diterapkan di Kalimantan Selatan (Suryana 2007). Pemeliharaan semi intensif yaitu menyediakan padang penggembalaan terbatas dengan memanfaatkan lahan tidak produktif, ternak dilepas pada siang hari dan sore atau malam hari dikandangkan. 2.1.5 Bobot Badan Menurut Lendhanie (2005) kerbau lumpur pada umur 1 tahun beratnya mencapai 195-200 kg, sedangkan ketika berumur 3 tahun mencapai berat badan 400-500 kg. Menurut Herianti dan Pawarti (2009) bobot kerbau yang baru lahir yaitu 30-40 kg, sedangkan bobot umur 1.5-3 tahun berkisar antara 250-350 kg. 2.2.1 Plathyhelminthes 2. 2 CACING PARASITIK 2.2.2.1 Pembagian Plathyhelminthes Platyhelminthes memiliki badan yang pipih, tidak memiliki rongga tubuh, dan biasanya bersifat hermaprodit. Plathyhelminthes terbagi dalam kelas Trematoda, Cestoidea, dan Turbellaria (Cheng 1973). 3

4 2.2.1.2 Kelas Trematoda Cacing dewasa biasanya ovipar dan meletakkan telurnya pada uterus. Saat perkembangan telur, embrio cacing terdapat dalam suatu pyriform bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium dibantu oleh silia menuju air. Kemudian mirasidium mencari siput yang cocok untuk melakukan perkembangan selanjutnya. Mirasidium berkembang menjadi sporokista dalam jaringan lunak siput. Sporokista mengandung sejumlah sel germinal. Sel-sel tersebut berkembang menjadi redia dan bermigrasi ke hepato-pankreas siput. Redia berkembang dari sel germinal menjadi serkaria (Taylor et al. 2007). Serkaria merupakan cacing pipih yang muda dengan ekor yang panjang. Serkaria berkembang menjadi metaserkaria dengan melepaskan ekornya dalam waktu satu jam. Kista metaserkaria berfungsi memperpanjang kelangsungan hidupnya. Sewaktu diingesti oleh inang definitif, bagian luar dinding kista dipecah secara mekanik selama inang mengunyah. Pecahnya kista menghasilkan larva dan langsung berpenetrasi pada usus dan bermigrasi pada tempat yang disukainya kemudian menjadi dewasa dalam beberapa minggu (Taylor et al. 2007). Siklus tersebut diilustrasikan secara jelas pada Gambar 2. Menurut keterangan Withlock (1960), cacing memiliki siklus hidup yang bervariasi. Secara umum ada dua macam siklus yaitu siklus langsung dan tidak langsung. Siklus hidup langsung dilalui tanpa inang antara. Siklus tidak langsung berarti parasit membutuhkan inang antara sebelum menginfeksi inang definitif. Trematoda memiliki siklus hidup tidak langsung. 2.2.1.3 Kelas Cestoidea Kelas ini terdiri atas dua subkelas yaitu cestodaria dan cestoda. Subkelas cestoda merupakan cacing parasit pada hewan berdarah dingin, ternak domestik bahkan manusia. Cacing ini terdiri atas dua ordo penting yaitu Pseudophyllidea dan Cyclophyllidea. Ordo Cyclophyllidea sebagian besar bersifat parasitik pada hewan berdarah panas. Cyclophillidea mempunyai siklus hidup tidak langsung sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3 (Lapage 1962). Cestoda tidak memiliki rongga badan dan semua organ tersimpan di dalam jaringan parenkim (Lapage 1962). Selain itu, cestoda tidak memiliki saluran pencernaan, sehingga makanannya akan langsung diserap oleh dinding tubuhnya. Cestoda memiliki bentuk tubuh seperti pita dan panjang tubuh mulai dari ukuran sentimeter sampai beberapa meter. Tubuhnya bersegmen dan setiap segmen berisi satu atau dua set organ reproduksi jantan dan betina. Tubuhnya panjang, pipih, dan terdiri dari tiga daerah, yaitu skoleks (kepala), leher, dan badan atau strobila (Taylor et al. 2007). Bagian kepala memiliki 2 sampai 4 alat penghisap yang memiliki rostelum. Rostelum merupakan penonjolan yang berada pada kepala dan dilengkapi kait untuk menempel pada dinding usus inang. Tepat di belakang skoleks terdapat leher pendek dari jaringan yang tidak mengalami diferensiasi, kemudian diikuti strobila yang bersegmen (Levine 1994).

2.2.2 Nemathelminthes Phylum Nemathelminthes terdiri atas tiga kelas utama yaitu kelas Nematomorpha, Acantocephala, dan Nematoda (Cheng 1973). Penulis tidak melakukan peninjauan pustaka terhadap kelas Nematomorpha dan Acantocephala karena keduanya tidak bersifat parasit pada ternak ruminansia domestik. 5 Gambar 2 Siklus hidup cacing kelas Trematoda, Paramphistomum cervi 2.2.2.1 Kelas Nematoda (Sumber: LIoyd et al. 2007) Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Secara umum nematoda memiliki bentuk silinder, lonjong pada kedua ujung tubuh, tidak memiliki warna, dan memiliki lapisan kutikula. Sistem pencernaan nematoda berupa tabung sederhana, tapi lebih lengkap dibandingkan kelas lainnya. Mulut nematoda dikelilingi oleh dua atau tiga bibir yang berhubungan dengan esophagus (Taylor et al. 2007). Sistem reproduksi pada jantan dan betina terpisah (Lapage 1962). Sebagian Nematoda mengalami siklus langsung dan sebagian lain mengalami siklus tidak langsung (Withlock 1960). Siklus hidup langsung Nematoda diilustrasikan secara jelas pada Gambar 4).

6 Gambar 3 Siklus hidup cacing kelas Cestoidea, Taenia sp.(sumber: CDC 2012) Gambar 4 Siklus hidup cacing kelas Nematoda (Sumber : Scheuerle 2009)

7 Gambar 6 Beberapa jenis telur cacing yang sering ditemukan pada ruminansia (Perbesaran 400 ) (kiri-kanan): 1) Telur Toxocara 2) Telur Fasciola hepatica (F); Telur Paramphistomum cervi (P) 3) Telur Trichostrongylid (kiri); Telur Moniezia (kanan) 4) Telur Fasciola gigantica 5) Telur Nematodirus 6) Telur Strongyloides (kecil) dan Strongylid (besar) (Sumber: RVC 2012; De Waal 2010; Scheuerle 2009; Goral 2011; Peebles 2008; Miller & Gipson 2003) 2.2.3 Telur Cacing Morfologi telur cacing sangat membantu dalam mendiagnosa penyakit kecacingan secara spesifik. Masing-masing kelas memiliki morfologi yang berbeda. Trematoda digenea memiliki telur bulat, kerabang yang tipis, dan sebuah operculum yang akan terbuka jika larva (mirasidium) keluar serta knob (Kremer & Chaker 1983; Krejci & Fried 1994). Kelas Cestoda subkelas Pseudophyllidea sama seperti telur digenea yang memiliki kerabang yang tipis dan sebuah

8 operkulum, akan tetapi telur tersebut berisi larva coracidium. Sedangkan subkelas Cyclophyllidea memiliki ciri kerabang yang tebal dan berisi larva oncosphere yang dilengkapi dengan tiga pasang kait. Telur nematoda sangat berbeda baik ukuran dan bentuknya. Ketebalan kulit telur nematoda bervariasi dan terdiri dari tiga lapisan. Lapisan dari kulit telur nematoda yaitu inner membran, middle layer dan outer membran (Taylor et al. 2007). Berdasarkan keterangan The Royal Veterinary College (RVC) (2012), ada beberapa jenis telur yang biasa ditemukan pada ruminansia yaitu telur Toxocara, Nematodirus, Fasciola, Paramphistomum, Strongyloides, Trichostrongyloid, dan Moniezia (Gambar 6). 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai dari 12 Juli 2011 sampai dengan 14 Juli 2012. Pengumpulan sampel dilakukan selama empat minggu dari tanggal 14 Juli 2011-11 Agustus 2011 di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR), sedangkan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Helminthologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah plastik sampel, saringan, cawan petri bergaris, saringan bertingkat, kamar hitung McMaster, mikroskop Nikkon YS100 dan Nikkon Eclipse E600 dan monitor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tinja kerbau sebanyak 248 sampel, dan larutan gula-garam jenuh. Sampel tinja diambil dari kerbau lumpur yang berasal dari kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. 3.3.1 Pengumpulan Sampel 3.3 Metode Penelitian Kerbau yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah empat ekor yaitu kerbau 1, 2, 3 dan 4. Kerbau-kerbau tersebut diberi albendazol peroral dengan dosis pemberian 20 ml pada dua hari sebelum pengambilan sampel. Sampel diambil dari tinja kerbau melalui palpasi perektal atau yang sudah jatuh (dalam kondisi baru jatuh) ke tanah jika tinja sudah keluar. Pengambilan sampel dilakukan setiap dua hari sekali. Masing-masing kerbau dilakukan pengambilan pada lima titik yaitu bagian atas, bawah, tengah, kanan dan kiri dari tinja (Gambar 7). Pengambilan sampel pada lima titik ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya kesalahan. Pengumpulan sampel dilakukan dengan mempersiapkan sebanyak 248 buah plastik sampel yang telah ditandai dengan nomor kerbau, tanggal pengambilan dan titik pengambilan sampel. Masing-masing titik dilakukan pengambilan tinja sekitar 7-10 gram. Tinja disimpan di dalam plastik yang tertutup rapat, lalu disimpan sementara dalam coolbox dan selanjutnya disimpan di dalam refrigerator.