BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencak silat merupakan bela diri asli Indonesia yang sudah diakui dunia. Saat ini, pencak silat sendiri sudah dipertandingkan diberbagai ajang kompetisi olahraga internasional, seperti SEA Games. Sebagai pencipta bela diri pencak silat, prestasi Indonesia dalam setiap pertandingan pencak silat, masih belum memuaskan. Tahun 2011, pada SEA games XVII, dari 15 kategori pencak silat, Indonesia hanya mampu meraih 3 medali emas. Meski prestasi pencak silat mulai mengalami peningkatan secara perlahan, hal ini masih belum membanggakan mengingat pada tahun 1997, Indonesia pernah meraih 12 medali emas pada cabang yang sama. Pencak silat sendiri tidak hanya sebagai suatu cabang olahraga, tetapi juga merupakan cerminan budaya Indonesia. Sehingga jika Indonesia sebagai pemilik dari bela diri ini tidak mampu mendapatkan prestasi yang baik, tentu ini dapat mencoreng wajah Indonesia di dunia Internasional. Banyak hal yang dapat menjadi penyebab kurangnya prestasi pencak silat di dunia internasional ini. Faktor ini dapat berasal dari atletnya sendiri ataupun dari lingkungan sekitar. Kurangnya latihan, mental, status gizi, minat dan kemauan dapat menjadi hambatan bagi prestasi seorang atlet. Selain itu, kurangnya dukungan lingkungan yang sesuai, baik secara materiil maupun moriil juga dapat menjadi hambatan. Menurut Benhard (1986) setiap prestasi dapat muncul karena adanya kerja sama dari berbagai pihak, dan faktor di dalam atletik, antara lain 1) bakat; 1
2 2) bentuk gerak dan latihan; 3) tingkat perkembangan faktor dan sifat-sifat yang berdaya gerak (tenaga, kecepatan, kelincahan, dan keterampilan); serta 4) minat dan kemauan. Baik-buruknya seorang atlet, dapat dilihat dari tingkat perkembangan faktor dan sifat-sifat yang berdaya gerak. Pada atlet pencak silat, tangan dan kaki merupakan senjata sekaligus tameng yang dibutuhkan ketika bertanding. Power lengan dan power tungkai, dapat digunakan sebagai salah satu indikator baik buruknya performa seorang atlet pencak silat. Ketidaksesuaian pendekatan gizi dapat mempengaruhi prestasi seorang atlet. Pemberian status gizi baik, diperlukan untuk mempertahankan derajat kebugaran dan kesehatan serta menunjang pembinaan prestasi olahragawan. Zat gizi merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan individu. Hal ini merupakan satu dari sedikit faktor yang dapat dikendalikan oleh individu secara langsung. Zat gizi penting untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Zat gizi yang cukup pada atlet kelas dunia dapat menyebabkan perbedaan performa dengan asumsi faktor yang lain juga tercukupi. Zat gizi memberikan beberapa efek pada atlet. Pada level dasar, zat gizi yang baik mempunyai peran penting untuk menjaga kesehatan dan membuat atlet dapat berlatih dan bertanding (Grandjean, 1989). Menurut Gibson (2005) terdapat dua cara yang bisa dilakukan dalam pendekatan gizi ini, yaitu melalui pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung, dapat digunakan antropometri yang merupakan salah satu indikator status gizi dengan mengukur beberapa parameter berupa ukuran tunggal dari tubuh manusia, seperti umur, tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit.
3 Sedangkan secara tidak langsung, dapat diukur menggunakan survey konsumsi. Survey konsumsi ini merupakan pendekatan zat gizi yang dilakukan dengan melihat riwayat asupan. Hal ini digunakan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri, kecukupan asupan untuk atlet pencak silat ini belum terlalu diperhatikan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian untuk mengetahui lebih jauh kecukupan energi pada atlet pencak silat DIY. Ketika status gizi atlet pencak silat sudah diketahui sejak awal, tindakan atau pelatihan yang akan dijalani kedepannya tentu dapat ditentukan dengan benar. Sehingga dapat mengoptimalkan potensi dan bakat seorang atlet dan pada akhirnya mampu menciptakan atlet yang berprestasi. B. Rumusan masalah 1. Bagaimanakah kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat atlet pencak silat tanding PELATDA DIY? 2. Bagaimanakah hasil pengukuran power lengan dan power tungkai atlet pencak silat tanding PELATDA DIY? 3. Apakah pemenuhan energi, protein, lemak dan karbohidrat berhubungan dengan power lengan dan power tungkai atlet pencak silat tanding PELATDA DIY? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui hubungan pemenuhan energi, protein, lemak dan karbohidrat terhadap power lengan dan power tungkai.
4 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran pemenuhan energi, protein, lemak dan karbohidrat atlet pencak silat tanding PELATDA DIY. b. Mengetahui gambaran power lengan dan power tungkai atlet pencak silat tanding PELATDA DIY. c. Mengetahui hubungan pemenuhan energi, protein, lemak dan karbohidrat terhadap power lengan dan power tungkai atlet pencak silat tanding PELATDA DIY. D. Manfaat penelitian 1. Bagi peneliti a. Menerapkan ilmu yang telah dipelajari saat kuliah. b. Sebagai pengalaman dalam melakukan penelitian. 2. Bagi atlet a. Sebagai motivasi dalam meningkatkan atau mempertahankan performa. b. Mengetahui gambaran kecukupan asupan sehari-hari. c. Sebagai acuan pada pemilihan makanan sebelum, selama dan setelah pertandingan. 3. Bagi institusi a. Sebagai salah satu acuan dalam pengambilan kebijakan pada pendanaan pemusatan latihan daerah. b. Sebagai salah satu acuan dalam penatalaksanaan peningkatan performa yang mendukung prestasi atlet.
5 E. Keaslian penelitian: 1. Widiastuti (2008) dengan judul Dukungan Pola Makan terhadap Latihan Fisik Pencak silat Pelatihan Daerah Olahraga Nasional 2008 Propinsi Bali. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui dukungan pola makan terhadap latihan fisik atlet pencak silat Bali selama pelatihan Pekan Olahraga Nasional XVII propinsi Bali. Subyek penelitian ini adalah seluruh atlet pencak silat yang mengikuti pemusatan latihan daerah PON propinsi Bali sejumlah 26 orang. Pengukuran pola makan diperoleh dengan formulir food frequency questionnaire (FFQ), latihan fisik diperoleh dengan wawancara pelatih untuk menghitung, kebugaran jasmani dinilai dengan VO 2 maks, kelincahan dan komposisi tubuh (persen lemak tubuh), fisiologi diukur kadar hemoglobin dan denyut jantung istirahat, prestasi yang dicapai diukur dengan perolehan medali. Hasil: hasilnya terdapat korelasi dan pengaruh asupan vitamin C dan Fe terhadap nilai VO 2 maks, sedang untuk kelincahan, zat gizi yang memiliki korelasi adalah energi dan bersama-sama dengan lemak dan vitamin C berpengaruh terhadap nilai kelincahan. Terdapat korelasi dan pengaruh asupan karbohidrat terhadap persen lemak tubuh. Untuk kadar hemoglobin tidak ada satupun zat gizi yang diteliti mempengaruhi kadar hemoglobin. Persamaan : metode penelitian yang digunakan. Perbedaan : variabel bebas yaitu kecukupan asupan dan variabel tergantung yaitu power lengan dan power tungkai. 2. Endrawati (2011) dengan judul Hubungan Antara Asupan Energi, Protein, Fe, Dan Vitamin C Dengan Indeks Kebugaran Jasmani Pada Mahasiswa
6 Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui hubungan antara asupan energi, protein, Fe, dan vitamin C dengan indeks kebugaran jasmani pada mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Subjek penelitian ini adalah sebagian dari populasi Mahasiswa Fakultas Teknik UGM yang terpilih, berdasarkan kriteria inklusi. Data yang dikumpulkan adalah asupan energi, protein, Fe, dan vitamin C yang diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner food frekuensi semi kuantitatif. Aktivitas fisik diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner aktivitas fisik dari IPAQ. Pengukuran kebugaran jasmani dengan metode harvard step up test. Hasil penelitian: Berdasarkan hasil analisis didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan indeks kebugaran jasmani (p = 0,462). Tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan indeks kebugaran jasmani (p 0,131). Ada hubungan yang bermakna antara asupan Fe dengan indeks kebugaran jasmani (p = 0,0005). Hubungan positif ini adalah apabila asupan Fe responden cukup, maka indeks kebugaran jasmaninya akan baik. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan vitamin c dengan indeks kebugaran jasmani (p = 0,772). Persamaan: Mengukur asupan energi dan protein. Perbedaan : Indeks kebugaran yang digunakan. 3. Kurnia (2008) dengan judul Hubungan Tingkat Konsumsi Energi, Karbohidrat, Suplemen Antioksidan dan Daya Tahan (Endurance) Atlet pada Periode Latihan di Pusat Pelatihan Klub Bola Basket Garuda
7 Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang tingkat konsumsi energi, karbohidrat, suplemen antioksidan dan daya tahan (endurance) atlet pada periode latihan di pusat pelatihan klub bola basket Garuda Bandung. Jenis penelitian merupakan observasional dengan desain cross sectional. Subjek adalah atlet yang mengikuti pelatihan di pusat pelatihan klub bola basket garuda Bandung sebanyak 14 orang. Hasil: Tidak ada hubungan bermakna antara tingkat konsumsi energi dan daya tahan (endurance) (p=0,388). Tidak ada hubungan bermakna antara tingkat konsumsi karbohidrat dan daya tahan (endurance) (p=0,247). Hubungan tidak bermakna (p=0,409) antara konsumsi suplemen vitamin A dengan daya tahan (endurance), hubungan tidak bermakna antara konsumsi suplemen vitamin C dengan daya tahan (endurance) (p=0,314) dan tidak ada hubungan bermakna antara konsumsi suplemen vitamin E dengan daya tahan (endurance) (p=0,273). Persamaan Perbedaan : metode penelitian. : variabel tergantung dan subyek yang diambil.