BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Marie Eugène François Thomas Eugène Dubois, atau Eugène Dubois

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN MUSEUM PALEONTOLOGI PATIAYAM

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

Mengenal Manusia Purba Sejarah Kelas X

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TUGAS SEJARAH II MANUSIA PURBA TRINIL DAN SANGIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang

2 Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

BAB II KAJIAN LITERATUR

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadaan Museum di Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan,

BAB I PENDAHULUAN. Budaya, salah satu bentuk pemanfaatan cagar budaya yang diperbolehkan adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. Kisaran terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kisaran Timur dan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan yang dilakukan untuk melestarikan dan merawat Benda Cagar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB. I PENDAHULUAN. Negara adalah sektor pariwisata. Negara-negara di dunia seakan bersepakat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara yang sangat unik di dunia. Suatu Negara

Manusia purba atau dikategorikan sebagai manusia yang hidup pada masa tulisan atau aksara belum dikenal, disebut juga manusia prasejarah atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata budaya diyakini memiliki manfaat positif secara ekonomi dan

I. PENDAHULUAN. beragam konteks. Cultural Studies, istilah ini diciptakan oleh Richard

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

biasa dari khalayak eropa. Sukses ini mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk menggiatkan lagi komisi yang dulu. J.L.A. Brandes ditunjuk untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dunia pasti dihadapkan dengan dua keadaan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas masyarakat. Komponen-komponen pendukung kota dapat dibuktikan

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.3

BAB I PENDAHULUAN. Wayang, dan Museum Seni Rupa dan Keramik menurut Gubernur Jakarta, Basuki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Ketentuan dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

PENEMU 1. P.E.C. SCHEMULLING TAHUN 1864 FOSIL VERTEBRATA DARI KALIOSO 2. EUGENE DUBOIS, KURANG TERTARIK

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. - Arkeologika, benda koleksi merupakan benda objek penelitian ilmu arkeologi.

Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB V PENUTUP. makna koleksi tersebut dalam konteks budaya tempat koleksi berasal. Perbedaan. koleksi epigrafi Jawa Kuno, dan koleksi etnik Aceh.

MEMUTUSKAN: : PERATURAN BUPATI TENTANG PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA.

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah,

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan kawasan bersejarah kerap diiringi dengan perubahan fungsi dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul 1.2 Pengertian Judul

BAB I PENDAHULUAN. TABEL 1.1 JUMLAH WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE OBJEK WISATA KOTA BANDUNG Jumlah. Jumlah Tahun.

2016, No pengetahuan dan teknologi tentang keanekaragaman hayati yang harus disosialisasikan kepada masyarakat, perlu membangun Museum Nasiona

MODUL III PENDAFTARAN CAGAR BUDAYA

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN WARISAN BUDAYA DAN CAGAR BUDAYA

MUSEUM GEOLOGI BLORA

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. membentang luas lautan yang merupakan pesisir utara pulau Jawa. Kabupaten

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Nomor : / BAP-I/IV/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat. Merdeka yang dimaksud adalah terbebas dari kekuasaan Kerajaan

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan,

A. LATAR BELAKANG MASALAH

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

2015 PENGARUH PENYAMPAIAN PEOPLE,PHYSICAL EVID ENCE D AN PROCESS TERHAD AP KEPUTUSAN BERKUNJUNG

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. sepatutnyalah potensi Sumberdaya Budaya (Culture Resources) tersebut. perlu kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan.

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

Gambar 1 Kerangka pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Sejarah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu bisa menjadi bosan dan hasil kerjanya tidak akan maksimal.

SILABUS SMA. Sumber Belajar. Kompetensi Dasar Materi pokok Pembelajaran Penilaian Alokasi waktu

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah 2.2 Kriteria Lanskap Sejarah

WORLD HERITAGE DAY A Tribute to Borobudur Community in Conserving a World Heritage. Borobudur Magelang, Jawa Tengah, April 2012

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologinya (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II MUSEUM NEGERI PROVINSI JAMBI. perjalanan panjang sejarah Jambi yang telah meninggalkan banyak benda yang mempunyai nilai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul MONUMEN BATIK SOLO Monumen Batik : Solo :

PENGEMBANGAN KAWASAN GUA SUNYARAGI SEBAGAI TAMAN WISATA BUDAYA DI CIREBON

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia (world heritage list) dibawah

Dasar Kebijakan Pelestarian Kota Pusaka 1. Tantangan Kota Pusaka 2. Dasar Kebijakan terkait (di Indonesia) 3. Konvensi Internasional

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Marie Eugène François Thomas Eugène Dubois, atau Eugène Dubois adalah ahli yang pertama kali berani menyatakan menemukan fosil the missing link dalam evolusi Charles Darwin. Fosil itu ditemukan di Desa Trinil, tidak jauh dari Kota Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1891-1892. Mengikuti nomenklatur yang diusulkan oleh Ernst Haeckel untuk mata rantai yang hilang, Eugène Dubois menamai temuan fosilnya sebagai Pithecanthropus erectus. Peristiwa penemuan fosil Pithecanthropus erectus merupakan tonggak sejarah yang amat penting bagi dunia paleoantropologi dan bagi Indonesia. Sejak penemuan itu, Indonesia dikenal sebagai ladang perburuan fosil manusia purba yang amat subur hingga kini. Namun, peristiwa penting itu belum banyak diabadikan dan dipresentasikan kepada masyarakat luas, khususnya di Indonesia. Penelitian yang dituliskan dalam bentuk thesis ini mencoba untuk mengungkapkan kembali jejak-jejak kehidupan Eugène Dubois ketika berada di Indonesia terutama ketika ia melakukan penelitian di Jawa. Secara lebih khusus, penelitian ini mencoba melacak kembali rumah tinggal Eugène Dubois di Tulungagung dan mencoba merancang konsep pengembangan museum sebagai sarana pelestarian dan penyajian karya Eugene Dubois kepada masyarakat.

2 Eugène Dubois sebenarnya adalah seorang ahli anatomi yang lahir tanggal 28 Januari 1858, delapan belas bulan setelah penemuan fosil Neanderthal di Jerman dan setahun sebelum terbitnya the Origin of Species karya Charles Darwin. Ia dibesarkan di Wijsden, desa kecil di bagian Selatan Limburg Belanda, daerah perbatasan antara Jerman dan Belgia. Ketertarikan Eugène Dubois dengan teori evolusi sudah terlihat sejak dia berumur sepuluh tahun. Melalui surat kabar ayahnya Jean Joseph Balthasar, dia mengetahui kedatangan Karl Vogt seorang ahli biologi dari Jerman ke Limburg untuk membahas teori evolusi. Ia merupakan siswa yang berprestasi, tekun dan giat mempelajari ilmu taksonomi. Akhirnya ia menjadi pengikut teori Darwin dan terobsesi menemukan missing link dari teori evolusi Darwin. Ekspedisi Eugène Dubois dimulai tahun 1887, tepatnya ketika dia memutuskan mengundurkan diri sebagai tenaga pengajar di Universitas Amsterdam Belanda dan bergabung pada kesatuan militer Belanda sebagai tenaga medis. Hindia Belanda adalah pilihan lokasi penelitiannya, dan salah satu jalan untuk masuk wilayah koloni tersebut adalah dengan menjadi tenaga medis militer. Dia memutuskan orientasi penelitiannya ke Hindia Belanda karena beberapa alasan, yaitu : (1) missing link dibayangkan akan menyerupai kera yang banyak ditemukan di Eropa, namun fosil primata juga banyak ditemukan di daerah tropis, tempat yang menjadi habitatnya saat ini; (2) fosil banyak ditemukan juga di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa yang dikumpulkan oleh Raden Saleh seorang bangsawan Jawa dan Franz Junghuhn peneliti dari Jerman yang bekerja sebagai tenaga medis di tentara Belanda; (3) struktur geologi di Pulau Sumatera

3 dan Pulau Jawa berpotensi menghasilkan banyak fosil, karena terdapat banyak gua-gua alam. Fosil terbaik yang pernah ditemukan di Eropa sebagian besar berada dalam gua; (4) semua fosil yang ditemukan di Hindia Belanda khususnya wilayah Timur, berada pada Kala Plestosin, yang secara prinsip banyak persamaan dengan temuan di Eropa (Shipman, 2001: 61-62). Penemuan Eugène Dubois yang paling terkenal adalah fosil Pithecanthropus erectus di Trinil Jawa Timur pada tahun 1891 dan 1892. Temuan spesimen ini kini lebih dikenal sebagai Homo erectus. Penemuan tersebut membuktikan adanya transisi evolusioner karena menunjukkan manifestasi karakteristik dari dua spesies, yaitu kera dan manusia. Eugène Dubois adalah ilmuwan satu-satunya di masanya yang melakukan penelitian secara terencana dan konsisten untuk menemukan the missing link. Dia juga merupakan ilmuwan pelopor yang menganalisis hubungan rasio volume otak dengan ukuran tubuh manusia purba. Menggunakan skala metrik dan perhitungan matematis dalam membandingkan ukuran volume otak, adalah metode analisis baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Dia juga menemukan metode baru untuk memperkirakan volume otak berdasarkan fosil tengkorak yang tidak lengkap, dan memperkirakan tinggi badan berdasarkan satu tulang paha saja. Eugène Dubois adalah ilmuwan pertama yang menggunakan metode evolusioner dengan data yang sangat terbatas, dikotomi antara manusia dengan spesies kera dimanfaatkannya untuk mengevaluasi fosil-fosil hasil temuannya (Shipman dan Storm, 2002: 111).

4 Hasil hipotesis Eugène Dubois banyak mendapat sanggahan dari para ahli paleoanthropologi. Mereka berpendapat bahwa dia terlalu memaksakan hubungan antara fragmen atap tulang tengkorak, tulang paha dan gigi geraham temuannya berasal dari individu yang sama. Beberapa ilmuwan yang menyanggah hasil hipotesanya adalah Paul Matschie, seorang ahli zoologi dari Jerman. Leonce Pierre Manouvrier juga mempertanyakan asosiasi antara temuan tersebut, meskipun Pierre setuju dengan metode penghitungan volume otak yang dilakukan oleh Eugène Dubois. Ahli anatomi Wilhelm Krause dari Jerman berpendapat bahwa, fosil fragmen atap tengkorak temuan Eugène Dubois merupakan bagian dari spesies kera, sedangkan fosil tulang paha kiri temuan yang lain merupakan bagian dari tulang paha manusia. Rudolf Virchow berpendapat lain, fragmen atap tengkorak temuan Eugène Dubois merupakan bagian dari tengkorak siamang (gibbon) dan tulang paha kiri temuannya merupakan bagian tulang kaki manusia. Kritik-kritik yang sama juga bermunculan dari beberapa ahli Inggris seperti Lydekker, Cuningham, Keith dan Tunner, ahli anatomi dari Swiss Rudolf Martin, Topinard dari Perancis, dan Ten Kate dari Belanda. Hanya dua orang ahli paleontologi yang mendukung hipotesa Dubois, yaitu Othniel C. Marsh dari Amerika dan Ernst Haeckel dari Jerman. Menanggapi berbagai kritikan dari para ahli tentang hasil hipotesanya, Eugène Dubois semakin gencar melakukan kampanye dan ceramah di Belanda. Secara terus menerus dia melakukan perbaikan dan penyempurnaan hasil penelitiannya, termasuk menyertakan data geologi dan fauna Trinil sebagai pelengkap. Dia juga menghadiri berbagai konferensi, simposium dan melakukan

5 ceramah hampir di tiap institusi besar di Eropa dalam kurun waktu 1895-1896. Dalam setiap ceramahnya ia juga memamerkan fosil Pithecanthropus erectus dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengamati, meneliti dan membuat argumen persuasif secara pribadi. Pada era tersebut Eugène Dubois adalah ilmuwan yang sangat terkenal, posisi evolusi Pithecanthropus erectus juga menjadi topik utama. Semangatnya dalam mempertahankan hipotesanya layak untuk mendapatkan apresisasi. Lebih dari seratus artikel terbit antara tahun 1895-1900 yang membahas Pithecanthropus erectus sebagai isu utama. Puncak pengakuan hipotesa Eugène Dubois terjadi pada tahun 1898, ketika Pithecanthropus erectus menjadi topik dalam konggres Internasional zoologi ke empat di Cambridge Inggris. Pada konggres tersebut banyak yang setuju dan menyimpulkan bahwa Pithecanthropus erectus adalah fosil the missing link yang valid (Kjaergaard, 2011: 92). Konsistensi Eugène Dubois dalam mempertahankan hubungan fosil Pithecanthropus erectus dengan teori evolusi menghasilkan penghargaan dari pemerintah Perancis melalui anugerah Prix Broca. Untuk menghormati kontribusinya dalam ilmu antropologi, pada tahun 1897 Eugène Dubois dianugerahi gelar Doktor Kehormatan bidang Botani dan Zoologi dari University of Amsterdam. Berturut-turut ia akhirya diangkat sebagai kurator paleontologi dan mineralogi di Museum Teyler dan menjadi direktur Indische Fossielen (fosil Indonesia) di bawah pemerintah Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kembali mendanai penelitian di Trinil pada tahun 1898 1900, namun tidak berhasil menemukan fosil baru sekelas

6 Pithecanthropus erectus. Antara tahun 1900-1920 reputasi Eugène Dubois mengalami keterpurukan, bahkan dia harus menerima tuduhan bahwa dirinya mengalami ketidakstabilan mental. Ia sempat menutup akses bagi peneliti lain untuk mengamati fosil Pithecanthropus erectus dari Trinil. Perubahan sikapnya yang mengejutkan sempat membuat Henry Fairfield Osborn presiden American Museum of Natural history memprotes sikap tertutupnya. Henry melalui Royal Dutch Academy of Science menekan Eugène Dubois agar mengizinkan ilmuwan yang memenuhi syarat untuk mempelajari fosil temuannya. Meskipun dia diisukan mempunyai masalah mental, namun terdapat bukti bahwa antara tahun 1900 hingga 1923 ia telah menulis 116 artikel tentang geologi dan hidrologi. Mundurnya Eugène Dubois dari penelitian lapangan menurut Pat Shipman adalah untuk mengurangi dampak gelombang kebencian, terutama dikalangan para ilmuwan (Shipman dan Storm, 2002: 113). Pada periode 1930 Eugène Dubois diberi julukan peneliti yang irasional, tidak ilmiah dan mempunyai masalah mental. Penilaian negatif terhadapnya dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan G. H. R. von Koenigswald dari tahun 1936 hingga kematian Eugène Dubois tahun 1940. Perseteruannya dengan beberapa peneliti lain bermula sejak ditemukannya fosil baru Pithecanthropus di Mojokerto Jawa Timur oleh von Koenigswald. Dia menentang hipotesa von Koenigswald tentang hasil temuannya, dan merasakan kehadiran von Koenigswald dapat mengancam karir akademisnya. G. H. R. von Koenigswald bersama peneliti lain seperti Pierre Teilhard de Chardin, Franz Weidenreich, Helmutt de Terra dan Hallam Movius bersama-sama melemahkan dan meremehkan hasil penelitian Dubois. Kelompok

7 von Koenigswald banyak menghadiri simposium internasional dan merepresentasikan fosil-sosil baru yang sangat menarik dengan tetap meremehkan hasil hipotesa Dubois. Kegigihan Eugène Dubois dalam mempertahankan hipotesanya tentang Pithecanthropus erectus dari tekanan negatif peneliti dari luar, hingga pada akhirnya dunia mengakui kebenarannya, perlu untuk diapresiasi sebagai ilmuwan yang berdedikasi tinggi terhadap ilmu paleoantropologi. Tanpa malu-malu Eugène Dubois menyampaikan penafsiran tentang temuan fosilnya, berusaha menekan para koleganya agar mempertimbangkan penolakan mereka tentang Pithecanthropus erectus sebagai jawaban the missing link menurut teori evolusi Darwin. Mempertahankan keyakinannya selama dua puluh tahun, gencar mendapat pertentangan dari sesama ilmuwan dan akhirnya diakui para evolusioner internasional merupakan pekerjaan yang cukup berat untuk dilakukan. Awal abad ke-20 ditandai dengan pengakuan hipotesa Eugène Dubois, bahwa fosil Pithecanthropus erectus merupakan the missing link yang valid. Dubois layak diakui sebagai salah satu pendiri paleoantropologi atas jasa-jasanya tersebut (Shipman dan Storm, 2002: 115). Pentingnya peran Eugène Dubois dalam mengembangkan ilmu paleoantropologi serta kontribusi besarnya terhadap penemuan the missing link, layak untuk mendapatkan penghargaan. Salah satu bentuk penghargaan tersebut dapat berupa pendirian museum. Kategori museum yang sesuai dengan karakter dan eksistensi Eugène Dubois di Indonesia adalah museum rumah bersejarah (historic house museum). Museum rumah bersejarah dapat berupa bangunan atau

8 rumah yang mempunyai latar sejarah dan dapat dikategorikan sebagai cagar budaya. Beberapa bentuk rumah tersebut seperti, bangunan istana kerajaan, tempat tinggal tokoh penting, tempat tinggal seniman atau artis, tempat tinggal orang kaya bahkan rumah penginapan atau hotel kuno. Dalam beberapa diskusi International Council of Museum (ICOM), mereka mendefinisikan historic house museum sebagai museum yang terintegrasi dengan semua komponen atribut rumah berdasarkan konteks aslinya. Museum tidak dapat dipisahkan dengan komponen pembentuk ruang seperti perabotan asli, perkakas rumah asli, serta koleksi lain yang berasal dari beberapa periode. Dapat disimpulkan bahwa museum rumah bersejarah mengikat secara langsung seluruh unsur ruang dalam rumah seperti aslinya, dan merepresentasikannya dalam bentuk pameran museum ( Pinna, 2001: 4-7). Salah satu pilihan terbaik dalam menyusun konsep rancangan Museum Memorial Marie Eugène Francois Thomas Dubois (M.E.F.T. Dubois ) adalah dengan melacak kembali rumah tinggal Eugène Dubois selama melakukan penelitian di Indonesia. Berdasarkan data-data riwayat penelitiannya, diketahui bahwa dia tinggal di Tulungagung selama lima tahun. Dalam buku The Man Who Found the Missing Link, Pat Shipman menulis kisah perjalanan Eugène Dubois secara kronologis. Tulisan tersebut bersumber dari arsip-arsip keluarga dan dokumen korespondensi Eugène Dubois selama berada di wilayah kolonial Hindia Belanda. Data tersebut banyak menyampaikan realita kehidupan sosial, menggambarkan eksistensi rumah dan pengalaman pribadi Eugène Dubois sebagai seorang peneliti.

9 Penelitian ini pada akhirnya adalah membahas pengembangan potensi historic house museum atau museum rumah bersejarah di Kabupaten Tulungagung. Eksistensi rumah tinggal Eugène Dubois dan potensi bangunan berarsitektur Indis lainnya di Kabupaten Tulungagung menarik untuk diteliti lebih mendalam. Penelitian tentang gedung peninggalan masa kolonial di Kabupaten Tulungaung secara spesifik belum pernah dilakukan. Pemanfaatan gedung peninggalan masa kolonial dengan pertimbangan aspek pelestarian, dapat dimanfaatkan sebagai gedung museum rumah bersejarah. Keberadaan Museum Memorial M.E.F.T. Dubois juga berpotensi menarik minat masyarakat baik pada tingkatan lokal Kabupaten Tulungagung, tingkat nasional dan masyarakat internasional. B. PERMASALAHAN Selama hampir lima tahun Eugène Dubois tinggal di Tulungagung, dia telah berhasil menemukan empat puluh ribu lebih fosil dari berbagai spesies, termasuk penemuan masterpiece fosil Pithecanthropus erectus. Terdapat hubungan penting antara koleksi dengan lokasi penemuan fosil. Walaupun Kabupaten Tulungagung secara administrasi tidak terkait langsung dengan lokasi penemuan fosil Pithecanthropus erectus, peristiwa dan aktifitas Dubois banyak tercatat berada di wilayah Kabupaten Tulungagung. Besarnya peran Eugène Dubois dalam perkembangan ilmu paleoantropologi serta jasa-jasanya sebagai pelopor penelitian prasejarah di Indonesia menjadi alasan penulis untuk mengangkat beberapa permasalahan terkait jejak-jejaknya di Kabupaten Tulungagung. Keadaan museum daerah

10 Tulungagung yang kurang representatif, serta daya tampung gedung yang tidak seimbang dengan jumlah koleksi, juga menjadi alasan perlunya membahas evaluasi dan perencanaan desain museum yang baru. Permasalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Dimanakah lokasi rumah tinggal Eugène Dubois yang dapat dijadikan sebagai museum rumah bersejarah? 2. Bagaimana konsep dan storyline yang sesuai untuk museum Memorial Marie Eugène François Thomas Dubois? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menemukan lokasi yang lebih akurat dan mempunyai dasar referensi kuat tentang rumah tempat tinggal Eugène Dubois di Tulungagung. Lokasi gedung Asisten Residen pemerintahan Hindia Belanda di Tulungagung menjadi bagian dari prioritas pelacakan. Berdasarkan sumber rujukan, gedung Asisten Residen tersebut diperkirakan sebagai tempat tinggal Eugène Dubois dan keluarganya selama hampir lima tahun. 2. Mengidentifikasikan gedung peninggalan Pemerintahan Kolonial Belanda yang representatif untuk gedung museum, sebagai alternatif ketika rumah tinggal Eugene Dubois belum dapat dipastikan atau ditemukan. 3. Untuk menyusun konsep perencanaan secara fisik museum memorial Marie Eugène François Thomas Dubois, termasuk storyline museum sebagai bentuk strategi penyajiannya.

11 D. MANFAAT PENELITIAN Sejalan dengan rencana strategis kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010-2014 dan visi - misi pembangunan kebudayaan nasional, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk wacana pengembangan pariwisata, pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Tulungagung dan menciptakan kawasan konservasi warisan budaya berskala internasional. Rencana strategis pembangunan pendidikan dan kebudayaan tahun 2015-2019 diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteran rakyat, dengan tetap memperhatikan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipasi masyarakat, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, kesatuan serta berpegang pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pendidikan memiliki hubungan yang amat erat dengan kebudayaan. Pendidikan pada dasarnya juga merupakan proses membangun kebudayaan atau membentuk peradaban. Pada sisi lain, pelestarian dan pengelolaan kebudayaan adalah untuk menegaskan jati diri dan karakter bangsa Indonesia (Kemendikbud, 2015). Penelitian yang mencakup aspek pelestarian warisan budaya terutama bangunan kolonial di Kabupaten Tulungagung, diharapkan dapat memberikan dasar pertimbangan pemerintah daerah dalam menentukan arah kebijakan. Melihat penelitian ini nantinya akan menghasilkan konsep dan storyline museum, diharapkan dapat memberikan manfaat dalam membangun permuseuman di Kabupaten Tulungagung.

12 E. TINJAUAN PUSTAKA Susan R. Orr dalam tesisnya yang berjudul Historic House Museum Sustainability In The 21 st Century : Paths to Preservation, menguraikan bahwa untuk merencanakan rumah yang bernilai sejarah menjadi museum, perencana harus merujuk dalam tugas museum secara umum, yaitu merawat, memelihara, dan menginterpretasi koleksi secara obyektif. Museum harus merespon secara positif kepercayaan dan kebudayaan yang telah diberikan kepada kita untuk selamanya. Maraknya pengembangan historic house museum terutama setelah perang dunia ke II telah usai. Saat itu Amerika gencar meningkatkan mutu pendidikan terutama di bidang teknologi dan kebudayaan. Hal ini mengilhami beberapa ahli kebudayaan untuk mengembangkan obyek-obyek bangunan yang mempunyai nilai sejarah menjadi aset yang berhubungan dengan aspek kebudayaan dan nilai ekonomis. Dalam konteks inilah bermunculan historic house museum. Tantangan dalam merubah rumah bersejarah menjadi museum oleh Susan dihubungkan dengan dinamika organisasi pelestari budaya, perubahan demografi, pendanaan, teknologi, interpretasi dan beberapa hal yang berkaitan dengan perawatan rumah itu sendiri (Orr, 2010: 53-54). Susan dalam kesimpulannya juga menjelaskan jika keberadaan rumah pribadi yang mempunyai nilai sejarah akan dijadikan museum, kemungkinan permasalahan yang terjadi adalah pro dan kontra tentang kepemilikan bangunan. Susan memberikan sedikit gambaran bahwa pemerintah seharusnya dapat mengganti rugi secara material dari nilai bangunan tersebut. Pemerintah kemudian bersinergi dengan stake holders untuk merumuskan konsep pengelolaannya,

13 mendiskripsikan aspek sejarah bangunannya, mengidentifikasi koleksinya, hingga perencanaan dalam pemanfaatan yang memerlukan kesepakatan dengan berbagai pihak. Meunurut Jared Leonard (2006), seperti halnya kajian ilmu arkeologi lainnya, museum rumah bersejarah juga merupakan objek yang langka atau sangat jarang jumlahnya dibandingkan dengan populasi rumah biasa. Tujuan utama dari museum jenis ini adalah merawat dan menginterpretasi struktur rumah, arsitektur dan catatan sejarah yang berkaitan dengan individu sebagai objek. Jared memberi contoh rumah George Washington di Gunung Vernon yang mewakili publikasi awal tentang rumah yang mempunyai nilai sejarah dan dimanfaatkan sebagai museum. Museum George Washington adalah museum yang sukses pada awal pendiriannya. Namun, perkembangan selanjutnya perhatian publik justru lebih dominan pada sejarah rumah-rumah dari komunitas yang terpinggirkan (marginalized). Mereka lebih melihat hal itu sebagai dinamika sosial, keunikan dan primitifisme yang menarik untuk disajikan sebagai koleksi (Leonard, 2006: 7). Museum rumah bersejarah adalah simbol peristiwa, zaman dan rezim yang melekat dan tidak dapat dipisahkan terkecuali bangunan rumah tersebut telah hilang atau rusak. Pada kondisi tertentu, bangunan rumah yang mempunyai nilai sejarah dan secara arsitektural masih utuh, namun komponen pembentuk ruang beserta koleksi aslinya telah hilang, apakah masih relevan untuk dimanfaatkan sebagai museum rumah bersejarah. Berdasarkan kondisi tersebut, definisi museum rumah bersejarah berkembang menjadi tidak absolut, tidak harus lengkap dengan

14 berbagai koleksi asli. Untuk menghindari kerancuan dalam mendefinisi museum rumah bersejarah perlu dibuat klasifikasi museum yang disesuaikan dengan kondisi eksisting dan tipologinya. Sherry Butcher-Younghans (1993) mengklasifikasikan museum rumah bersejarah menjadi empat tipe, yaitu : 1) The Documentary Historic House Museum, adalah museum yang menggambarkan kehidupan tokoh beserta rumah yang mempunyai nilai sejarah, berada pada lingkungan asli dan didukung koleksi otentik dalam tata letak sesungguhnya; 2) The representative historic house museum, perwakilan yang menggambarkan kehidupan para tokoh dan gaya hidup pada suatu zaman. Secara arsitektur bangunan telah mengalami restorasi, suasana rumah direkonstruksi menggunakan koleksi pengganti (replika) yang sama namun berasal dari rumah yang berbeda.; 3) The aesthetic historic house museum, merupakan tempat memamerkan koleksi pribadi yang tidak ada kaitan langsung dengan rumah, sejarah dan penghuninya. Koleksi yang dipamerkan merupakan benda yang bernilai estetika tinggi dan mempunyai sifat terbatas; 4) Combinations of the three types, tidak semua museum dapat memenuhi ketiga kategori sebelumnya, sehingga museum dapat membuat kombinasi dari ketiganya. (Butcher -Younghans, 1993: 184-186). Di Indonesia, telah ada sejumlah museum bangunan bersejarah antara lain Museum Sasmita Loka ahmad yani di Jakarta Pusat, Rumah Tjong A Fie di Medan, Museum Afandi di Yogyakarta, dan tempat kelahiran Presiden Soeharto di Kemusuk, Yogyakarta. Namun sejauh ini belum ada museum rumah bersejarah yang didirikan untuk Eugène Dubois yang perannya amat penting dalam

15 pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia maupun dunia, khususnya paleoantropologi. Mengingat penelitian ini akan merujuk pada pengembangan museum, identifikasi potensi museum yang sudah ada di Kabupaten Tulungagung perlu untuk dikaji secara mendalam. Museum satu-satunya yang berada di Kabupaten Tulungagung adalah Museum Wajakensis. Museum ini terletak di Jalan Raya Boyolangu km 4 Kabupaten Tulungagung, pada koordinat 8º 06 08.4 LS dan 111º 53 47.9 BT. Pengelolaan koleksi museum berada dibawah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto melalui Koordinator Wilayah (Korwil) Tulungagung. Penyelenggara tempat dan anggaran pemeliharaan bersumber dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Olahraga dan Ekonomi Kreatif. Kondisinya saat ini cukup memprihatinkan, jumlah koleksi yang dipamerkan tidak sebanding dengan kapasitas ruang pamer di dalam museum. Museum tidak mempunyai ruang khusus seperti gudang dan ruang konservasi. Beberapa koleksi prasasti batu diletakkan terbuka pada teras bangunan, sangat rawan terhadap kerusakan dan aksi vandalisme pengunjung. Tidak seimbangnya antara daya tampung ruang dengan jumlah koleksi perlu dikaji untuk solusi yang berkelanjutan. Tulisan yang secara rinci mengungkapkan ketokohan Eugène Dubois telah ditulis oleh Pat Shipman (2001). Dalam buku yang berjudul The Man How Found the Missing Link, ia mengulas banyak hal tentang kehidupan Marie Eugène François Thomas Dubois, baik kehidupan keluarganya secara pribadi maupun aktifitas perburuan fosil di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Beberapa informasi

16 yang sangat penting terdapat dalam tulisan Pat Shipman, di antaranya penggambaran bentuk dan karakter rumah Eugène Dubois di Tulungagung. Kota ini memang paling banyak disebutkan dalam buku ini. Beberapa tempat yang sering dikunjungi oleh Eugène Dubois juga diulas, seperti kebun kopi di lereng Gunung Willis, Mringin, Ngunut, Ngadiluwih dan tempat lain yang secara administratif lokasinya berada di wilayah Kabupaten Tulungagung. Penelitian Shipman merujuk pada biografi Eugène Dubois yang digambarkan secara naratif. Kehidupan sosial, lingkungan dan teknik penamaan lokasi yang disebutkan Shipman, mempunyai banyak persamaan dengan toponim daerah-daerah di Indonesia. Memang ada sedikit perbedaan dalam penulisan nama-nama tempat, namun itu dapat dipahami karena penulisan korespondensi yang dahulu dilakukan Eugène Dubois banyak merujuk pada lafal dan dialektika daerah tertentu. Selain itu, setelah satu abad lebih peristiwa tersebut terjadi, tentunya banyak terjadi perubahan nama wilayah, baik perluasan maupun penyempitan. Perubahan nama tersebut sebagai dampak dari pembangunan, terutama penggabungan dan pemekaran wilayah yang terjadi di Kabupaten Tulungagung dan Provinsi Jawa Timur pada umumnya. Bentuk dan struktur bangunan sebagai petunjuk untuk melacak keberadaan rumah Dubois digambarkan dengan jelas oleh Pat Shipman. Rumah Tradisional berarsitektur jawa joglo, dengan teras veranda yang luas serta bangunan arsitektur Indis sebagai pelengkap pada bagian belakang. Dalam arsitektur tradisional jawa rumah yang berada disekitar rumah induk disebut dengan rumah gandok. Masing-masing bangunan terhubung dengan lorong panjang berbahan

17 kayu dengan atap genting seperti halnya bentuk atap yang umum pada rumahrumah penduduk daerah Tulungagung. Tentunya, dalam proses pemilihan rumah bersejarah menjadi museum, perlu dilakukan penilaian nilai penting bangunan tersebut. Michael Pearson dan Sullivan (1995), memberikan arahan tentang cara mengidentifikasi nilai penting pada tinggalan bernilai arkeologis. Selain itu dalam buku Looking After Heritage Place, mereka mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mengelola Benda Cagar Budaya. Dijelaskan bahwa sebelum kita memulai studi yang aplikatif terhadap pengelolaan Benda Cagar Budaya atau diduga sebagai Benda Cagar Budaya, kita terlebih dahulu harus mengidentifikasi nilai-nilai penting yang melingkupi objek tersebut. Pendugaan nilai penting (significance assessment) dapat meliputi nilai penting kesenian (aesthetic significance), nilai arsitektural (Architectureal value), nilai sejarah (Historical value), nilai keilmuan (Scientific value), nilai sosial (Social value) dan nilai penting alam - budaya (The natural of cultural significance). Daud Aris Tanudirjo, dalam makalahnya yang berjudul Melestarikan Warisan Budaya kita, mendiskripsikan beberapa pemahaman tentang definisi warisan budaya dan nilai penting. Beberapa acuan yang merujuk pada pengertian warisan budaya salah satunya adalah konvensi yang ratifikasi oleh masyarakat internasional, yaitu konvensi UNESCO tentang Operational Guidelines for the Implementation of World Heritage Convention yang ditetapkan pada tahun 2005. Beberapa pengertian tersebut menyebutkan hakikat warisan budaya dapat meliputi : Monumen, kumpulan bangunan, situs, saujana budaya, dan secara

18 khusus UNESCO memberikan perhatian pada tinggalan kota bersejarah, kanalkanal kuno, dan jalur antar kawasan. Beberapa nilai penting juga digambarkan dalam determinasi yang berbeda, seperti nilai sejarah dengan beberapa kriteria yang berkaitan dengan peristiwa, tokoh, tahap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berkaitan dengan tahap perkembangan suatu kehidupan ekonomi sosial politik. Nilai penting ilmu pengetahuan juga dikaitkan dengan potensi sumber daya yang mempunyai potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam menjawab masalah-masalah keilmuan secara umum. Nilai penting kebudayaan, yaitu nilai yang mewakili hasil penciptaan budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya (jati diri), termasuk etnik, estetik, publik dan politis (Tanudirjo, 2004). Sementara itu, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, memberikan pandangan yang menarik terkait hubungan antara warisan budaya dengan pengembangan kota. Dalam makalahnya berjudul Strategi Membangun Kota pusaka (Heritage City) di tengah Globalisasi Abad ke-21, ia menjelaskan, suksesnya pembangunan kawasan heritage di berbagai negara dan kota-kota besar karena wilayah tersebut berada pada daerah pesisir atau tepi sungai besar. Sebagian besar sukses pembangunan kota-kota pusaka ini terletak pada kepiawaian melakukan daur-ulang bangunan-bangunan tua untuk kegiatankegiatan yang bersifat baru atau modern. Suksesnya pelaksanaan strategi pembangunan kota pusaka tersebut juga didukung oleh keputusan politik dari pihak eksekutif dan legislatif, dari satu pemerintah ke periode berikutnya untuk secara konsisten mempertahankan sebagian wilayah kota, sebagian bangunan-

19 bangunan bersejarah dan beberapa taman kota. Untuk menjaga kelestarian wilayah inti (core area) dipatok parameter yang bersifat mutlak di dalam bentuk; boulevard lingkar, pedestrian zone, monumen ukuran besar, danau buatan dan lain sebagainya. Salah satu bentuk pemanfaatan warisan budaya berupa bangunan adalah daur ulang menjadi museum. Kini, perencanaan museum yang disarankan adalah perencanaan yang memperhatikan keinginan dan ekspetasi calon pengunjungnya. Seseorang mengunjungi museum mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Mereka mempunyai motivasi dan ekspetasi yang berdampak langsung terhadap sesuatu yang akan mereka pelajari dan apa yang akan segera mereka lakukan. Ketika ekspetasi mereka terpenuhi maka proses belajar secara langsung akan terjadi, dan museum berperan sebagai fasilitator melalui penyampaian label dan koleksinya. Ketika harapan pengunjung tidak terpenuhi, proses belajar akan sangat berat dan sulit. Penyelenggaraan museum akan sukses ketika museum dapat menarik pengunjung untuk dapat memotivasi dirinya secara individu melalui pemahaman makna yang terkandung didalam koleksi (Falk dan Dierking, 2000: 139). Menurut Kevin Walker (2008), multimedia merupakan sarana penyampaian informasi yang efektif. Tingkat pemahaman pengunjung terhadap koleksi museum tidak berhubungan langsung dengan seberapa besar data informasi tersebut dapat disimpan atau diserap pengunjung. Tampilan preview dalam ruang pamer hanya merupakan fasilitas yang terintegrasi dengan materi informasi. Beberapa metode informasi dapat diterapkan pada label museum,

20 seperti perangkat telepon pintar (smartphone) yang dapat terhubung secara otomatis dengan server museum. Informasi koleksi dapat diakses menurut keinginan secara individual, lebih pribadi dan pengunjung dapat mencetaknya melalui perangkat yang telah disediakan. Dalam penelitiannya Kevin Walker menemukan bahwa proses pembelajaran yang nyata di museum adalah ketika pengunjung terlibat langsung dan aktif dalam membangun arah dan tujuannya sendiri. Pengunjung tidak terpengaruh dengan konsep dan desain yang dikhususkan pada karakter pengunjung tertentu. Mereka akan mencari refleksi secara pribadi dan kecenderungan berbagi informasi (sharing) ( Walker, 2008: 119-120). F. KEASLIAN TULISAN Catatan tentang keberadaan rumah Eugène Dubois di Tulungagung dalam bentuk penelitian khusus memang belum pernah dilakukan, namun Pat Shipman pernah menelusuri jejak-jejak Eugene Dubois dan mempublikasikannya dalam bentuk buku. Secara khusus Shipman mengakui bahwa hingga saat ini belum ada yang menyatakan bahwa rumah Dubois telah ditemukan. Pat Shipman berharap rumah Dubois dapat segera ditemukan dan menambah rangkaian sejarah perjalanan Dubois menjadi lebih lengkap. Beberapa review atau ulasan tentang buku Pat Shipman memang banyak ditemukan di beberapa situs atau blog internet, namun tidak ada yang menegaskan letak rumah Eugene Dubois di Kota Tulungagung. Kelompok Kajian Sejarah dan Sosial Budaya (KS2B) Tulungagung adalah salah satu lembaga yang fokus pada penelitian sejarah dan kebudayaan, dan

21 gencar melakukan penelitian prasejarah. Dalam beberapa penelitiannya, tersirat beberapa hal tentang keberadaan rumah Dubois. Mereka lebih banyak meyakini bahwa Dubois menyewa rumah di Penampihan lereng Gunung Wilis, lokasi tersebut saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung. Tidak terdapat ulasan yang lebih rinci dari pernyataan tersebut, namun semua bentuk informasi dapat menjadi referensi terkait studi komparatif dari eksistensi rumah Dubois dalam penelitian lebih lanjut. Berdasarkan data di atas, penelitian ini merupakan penelitian yang berbeda sama sekali dengan penelitian lainnya. Penelitian ini tidak saja melacak rumah atau bangunan terkait Eugene Dubois yang berpotensi dijadikan sebagai museum, tetapi juga ditujukan untuk merancangnya menjadi museum rumah bersejarah. G. LANDASAN TEORI Historic house museum merupakan tipe bangunan yang tidak dapat lepas dari formasi arsitekturnya. Michaela Giebelhausen (2006) berpendapat bahwa arsitektural adalah museum. Konfigurasi arsitektural dapat memberikan makna khusus pada museum dan mempengaruhi penilaian terhadap konsep museum secara keseluruhan. Arsitektur bukan hanya elemen ruang yang digunakan sebagai tempat pameran, arsitektur juga dapat mempengaruhi pengalaman dan apresiasi pengunjung terhadap museum. Sejak awal museum telah dikonsep sebagai ruang transformatif untuk kepentingan pendidikan dan pelestarian. Pada awalnya museum memorial sebenarnya adalah rumah tinggal, terlepas dari bagaimana perilaku dan aktifitas penghuninya. Konsep dasarnya masih mengacu pada definisi museum, seperti konservasi dan keamanan. Ketika melihat

22 objek dalam museum, kita berpikir bahwa kita sedang melihat beberapa hal yang murni, otentik dan tidak tersentuh. Kita mempunyai tendensi untuk melihat objek museum sebagai bentuk yang asli dari masa lalu. Beberapa museum berusaha menampilkan secara realistis, sesuatu yang kongkrit, artefak unik dan layak untuk direpresentasikan. Ivan Gaskell kurator Fogg Art Museum menjelaskan bahwa benda memiliki "kehidupan setelah kematian" yang harus diakui jika kita ingin menjadi pemikir kritis (Gaskell, 2000). Beberapa hal seperti pernyataan visi dan misi, arsitektur, masalah keuangan, akuisisi, katalog, display pameran, label, program pendidikan, permintaan repatriasi, hubungan masyarakat, konservasi, desain web, keamanan dan reproduksi, semua berdampak pada cara kita memahami objek. Museum bukan ruang netral yang berbicara dengan satu kelembagaan atau suara yang otoritatif. Museum adalah tentang individu yang membuat pilihan subjektif (Marstine, 2006). Membahas keaslian koleksi dalam museum, terdapat tiga tingkatan utama yang harus dipertimbangkan, yaitu artefak, bangunan museum dan pertemuan antar keduanya. Tidak semua museum memiliki tiga komponen tersebut secara lengkap. Tangible dan intangible dapat diselaraskan dalam bentuk yang lebih nyata dengan informasi yang sesunguhnya. Tidak ada pengalaman yang tidak asli, sebab semua pengalaman pasti terjadi pada manusia sebagai individu. Berikutnya manusia secara personal akan menjadi kunci, jujur atau tidak jujur dalam menyampaikan pengalamannya. Museum harus fokus dalam menyampaikan persepsi keaslian kepada masyarakat. Pine dan Gilmore memberikan istilah untuk metode ini dengan kata render authenticity, yang artinya menyatukan beberapa

23 bagian yang telah tersusun menjadi satu kesatuan utuh. Dua dimensi yang menjadi kunci dalam proses render authenticity adalah berkata jujur pada diri sendiri dan jujur menyampaikan hal sesungguhnya kepada orang lain (Pine dan Gilmore, 2007: 1-4). Historic house museum secara profesioal menempatkan pentingnya konteks sejarah dalam memahami artefak. Museum ketegori ini juga lebih mendekatkan keutuhan dan otentitas koleksi dalam penyelenggaraannya. Tidak dapat disangkal dampak peperangan mengakibatkan kerugian fisik yang besar dan semangat recovery setelah perang kadang mengabaikan nilai dan konteks sejarah. Laura Keim Stutman (1998) berpendapat bahwa analisis dokumentasi fotografi dapat digunakan sebagai teknik dalam merekonstruksi rumah dan ruangan pada museum rumah bersejarah. Museum Ryerss di Philadelphia Amerika Serikat sukses menerapkan metode analisis dokumentasi fotografi dalam merekonstruksi ruangan berikut penataan interior sesuai dengan periode aslinya. Pameran fotografi dan sentuhan akhir desain interior penting dilakukan agar dapat membawa pengunjung larut dalam sensasi kontemplasi bersama penghuninya di masa lalu (Stutman, 1998: 64-65). H. METODE PENELITIAN Untuk melacak rumah Eugène Dubois, objek penelitian ini adalah bangunan-bangunan arsitektur indies, baik yang masih dimanfaatkan sebagai sekolah, kantor, rumah tinggal, gudang maupun yang sudah tidak dimanfaatkan lagi. Lokasi penelitian berada di wilayah Kabupaten Tulungagung, dengan fokus observasi pada daerah sekitar rumah dinas Bupati Tulungagung dan alun-alun

24 kota. Secara administratif lokasi tersebut masuk dalam wilayah Kelurahan Kampung Dalem Kecamatan Tulungagung. Alasan pemilihan lokasi tersebut selain di wilayah ini terkonsentrasi tinggalan bangunan Indis dalam jumlah banyak, juga data awal sumber rujukan peta Belanda mengarah pada pusat kota. Selain terfokus di wilayah kota, lokasi penelitian juga meliputi Kecamatan Kauman, Kecamatan Pagerwojo, Kecamatan Sendang, dan Kecamatan Kedungwaru. Observasi dilakukan pada wilayah tersebut karena ditemukan beberapa rumah tinggal bergaya Indis namun dengan jumlah dan sebaran yang beragam. Penelitian juga dilakukan di daerah sekitar lereng Gunung Wilis ke arah Selatan hingga perbatasan Kabupaten Trenggalek. Tahapan penelitian meliputi persiapan, pengumpulan data, analisis data dan kesimpulan. Tahap persiapan adalah pengumpulan data pustaka dan observasi pada objek penelitian hingga dapat disimpulkan permasalahan yang akan di analisis dalam penelitian. Pada tahap pengumpulan data, selain mendata objek bangunan secara fisik, juga mendata segala informasi yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian. Informasi tersebut dapat menjadi data sekunder seperti, naskah kuno, arsip, gambar, foto dan peta Belanda. Data-data tersebut selain diperoleh melalui akses lembaga kearsipan juga dapat diperoleh melalui internet.

25 Gambar 1. Peta Lokasi penelitian di Kabupaten Tulungagung (lingkaran merah) sumber peta Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan modifikasi penulis. Fitur-fitur seperti pasar, stasiun kereta api, jalan, sungai, kuburan, perkebunan, Benteng Van De Bosch di Ngawi, dan tempat-tempat lain yang menjadi bagian dari aktifitas Eugène Dubois akan dilihat sebagai parameter dalam penentuan jarak transportasi efektif.

26 Tahapan pengumpulan data objek penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu : a. Studi Pustaka Dilakukan dengan pengumpulan literatur dalam bentuk buku atau naskah yang berhubungan dengan objek penelitian. Data lain yang penting untuk ditelusuri adalah arsip, dokumentasi dan peta yang berhubungan dengan eksistensi Belanda di wilayah Kabupaten Tulungagung. Dalam penelitian ini juga digunakan data sekunder dalam bentuk arsip korespondensi, surat kedinasan, dan dokumentasi asli penelitian Eugene Dubois yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dan telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Peneliti prasejarah yang menulis biografi Eugene Dubois dan konsisten menganalisis fosil hasil temuan Eugene Dubois adalah Pat Shipman dan John de Vos. Selain menggunakan data yang bersumber pada hasil penelitian, pengumpulan data juga dilakukan melalui publikasi Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV) yang dapat diakses melalui internet. b. Wawancara Wawancara dilakukan dalam rangka menggali informasi dari masyarakat selaku pemilik, pengguna dan pengelola bangunan berarsitektur Indis di wilayah Kabupaten Tulungagung. Beberapa instansi seperti dinas

27 Kebudayaan, kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Tulungagung dan Pemerintah Daerah sebagai pengguna gedung Pendopo Agung, juga dilakukan wawancara mendalam. Wawancara kepada masyarakat di wilayah sekitar objek juga dilakukan untuk memperoleh data terkait persepsi mereka terhadap keberadaan Bangunan Indis. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang advokasi kebudayaan juga menjadi target wawancara, mengingat beberapa survei potensi cagar budaya Kabupaten Tulungagung sudah pernah dilakukan lembaga ini sebelumnya. Wawancara dilakukan dengan teknik wawancara bebas dan mendalam (indepth interview). c. Observasi lapangan Observasi lapangan merupakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui keadaan objek dengan sebenar-benarnya, mengetahui lokasional dan jarak antar bangunan jika masuk dalam satu kawasan. Survei merupakan salah satu upaya dalam penjajagan yang dapat dilakukan dengan berbagai cara (Tanudirjo, 1989: 31 ). Pada tahap observasi, pencatatan dan dokumentasi adalah hal yang penting untuk dilakukan. Dalam cakupan wilayah penelitian yang luas, metode dokumentasi diperlukan untuk mempermudah analisis data yang berhubungan dengan persebaran dan lokasional objek penelitian. Pencatatan berhubungan dengan data letak koordinat, unsur pembentuk fisik bangunan, fungsi awal dan fungsi yang baru, serta tingkat kerusakan fisik saat penelitian dilakukan.

28 Tahap selanjutnya adalah analisis data. Untuk menentukan lokasi yang diperkirakan rumah Eugène Dubois menurut sumber rujukan, digunakan teknik tumpang susun peta atau disebut juga dengan map overlay. Secara singkat, map overlay adalah menampilkan suatu peta digital pada peta digital yang lain beserta atribut-atributnya dan menghasilkan peta baru dengan gabungan informasi serta atribut kedua peta tersebut. Teknik tumpang susun dilakukan dengan menggunakan peta baru atau peta satelit dan peta lama terbitan Belanda. Secara teknis membutuhkan lebih dari satu layer peta agar dapat dianalisa secara visual. Metode ini disederhanakan dengan menggunakan persamaan skala peta dan memperkecil deviasi perbedaan peta baru dengan peta lama. Data-data yang mempunyai bentuk informasi geografis dapat digunakan untuk mendukung analisis penentuan lokasi objek. Salah satu cara pengumpulan data informasi geografis adalah dengan penginderaan jarak jauh (inderaja). Penginderaan jarah jauh merupakan ilmu dan seni untuk mendapatkan informasi suatu objek, wilayah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari sensor pengamat tanpa harus kontak langsung dengan objek, wilayah atau fenomena yang diamati (Lillesand & Kiefer, 1994). Melihat dari konteks data yang cukup terbatas, maka penelitian ini lebih merupakan penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif. Penelitian eksplorasi atau observasi merupakan bagian dari penalaran induktif, sehingga hasil akhirnya nanti akan lebih bersifat hipotesis dan tidak konklusif (Tanudirjo, 1989). Data yang sudah terkumpul dianalisis sehingga diperoleh kesimpulan berdasarkan kerangka konsep yang digunakan.

29 Secara singkat hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tulisan sesuai dengan sistematika berikut : BAB I Pendahuluan, yang berisi latar belakang dan alasan pemilihan permasalahan, lokasi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori serta metodologi penelitian. BAB II Gambaran umum, membahas tentang kondisi geografis, demografi penduduk dan kehidupan sosial budaya masyarakat Kabupaten Tulungagung. Bahasan selanjutnya tentang aspek sejarah dan budaya masyarakat Tulungagung dan perkembangan arsitektur tradisional Jawa dan arsitektur Indis pada masa pemerintah kolonial Belanda. BAB III Jejak sejarah Eugène Dubois di Tulungagung, pada bab ini dibahas perjalanan enam tahun Eugène Dubois melakukan penelitian di Indonesia. Berikutnya membahas sumber-sumber rujukan yang menguatkan kedudukan rumah Eugène Dubois di Tulungagung. Dari sumber-sumber rujukan tersebut terdapat beberapa informasi penting, salah satunya adalah informasi dari John de Vos, seorang paleontologis dari Naturalis Biodiversity Centre di Belanda yang menjelaskan kedudukan rumah Eugène Dubois dalam peta kuno terbitan Belanda. Pembahasan bab ini akan ditutup dengan hasil-hasil pelacakan rumah Eugene Dubois berdasarkan pada sumber-sumber rujukan tersebut. BAB IV Perencanaan museum di Kabupaten Tulungagung, membahas tentang kesimpulan pelacakan rumah tinggal Eugène Dubois di Pulau Jawa. Pada bab ini juga ditentukan rumah atau gedung yang sesuai untuk gedung Museum

30 Memorial M.E.F.T. Dubois berdasarkan identifikasi nilai penting. Bangunan yang dipilih, dikaji dari beberapa aspek, seperti keaslian, keutuhan, keadaan perlindungan saat ini, aspek regulasi dan kajian arsitektur. Landasan pengembangan Museum Memorial M.E.F.T. Dubois dijelaskan dalam tujuh pokok bahasan, yaitu status legalitas, anggaran dasar dan rumah tangga, komposisi sumberdaya manusia, prioritas dalam perencanaan, SOP, manajemen koleksi dan evaluasi koleksi. Pada bab ini akan ditutup dengan uraian kondisi permuseuman di Kabupaten Tulungagung, mengidentifikasi dan mengevaluasi sistem pengelolaannya untuk kepentingan pengembangan museum yang lebih baik. BAB V Konsep rancangan museum memorial M.E.F.T. Dubois di Kabupaten Tulungagung. Diskusi pada bab ini akan diawali dengan strategi pengembangan Museum Wajakensis yang meliputi dua kategori, yaitu pengembangan kawasan dan pengembangan gedung museum. Pembahasan berikutnya adalah mengenai konsep rancangan Museum Memorial M.E.F.T. Dubois yang terdiri dari uraian gagasan utama, konsep pendidikan, alur cerita atau storyline pameran dan desain tata pameran. Pembahasan tentang desain tata pameran dan alur pengunjung akan disampaikan dalam bentuk gambar denah dan penempatan koleksi pada masing-masing ruang. BAB VI Penutup, merupakan hasil akhir penelitian yang berisi kesimpulan dan saran. Khusus untuk saran akan direkomendasikan beberapa hal tentang strategi pemanfaatan gedung bersejarah yang terpilih berdasarkan kajian nilai

31 penting di Kabupaten Tulungagung. Pemanfaatan sebagai gedung museum adalah salah satu bentuk pemanfaatan yang disarankan.

I. DESAIN ALUR PENELITIAN 32