V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INKONSISTENSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI KOTA BOGOR. Oleh

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI

III. METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Permasalahan Pajak Lahan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA GORONTALO. Lydia Surijani Tatura Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan

HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Sukabumi

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 19. Selisih Serapan dan Emisi Karbon Dioksida. (ton) ,19 52,56 64,59 85,95 101, , , ,53

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

PERUBAHAN FUNGSI PEMANFAATAN RUANG DI KELURAHAN MOGOLAING KOTA KOTAMOBAGU

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Latar Belakang Obyek. Perkembangan kota tergantung dari lokasi, kepadatan kota, dan berkaitan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dian Mayasari, 2013

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB III TINJAUAN KOTA BEKASI

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

Gambar 3.16 Peta RTRW Kota Bogor

BAB V STRATEGI PRIORITAS PENANGANAN KAWASAN PERMUKIMAN CILOSEH

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

Gambar 11 Lokasi Penelitian

Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Komunikasi Internal Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Panti Sosial Bina Remaja Taruna Jaya di Tebet

BAB IV ANALISIS PEMILIHAN ALTERNATIF LOKASI PASAR LOKAL DI KECAMATAN CIKAMPEK

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

APLIKASI SIG DALAM MENENTUKAN LOKASI TPA DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

GUNA LAHAN DI KAWASAN SEKITAR BANDAR UDARA MUTIARA KOTA PALU

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

LOGO Potens i Guna Lahan

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Sabaruddin

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PREDIKSI PERKEMBANGAN LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LAMONGAN

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Barat, Bogor Selatan, Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Utara, dan Tanah Sareal. Berdasarkan hasil digitasi Citra SPOT 2003 dan Citra Ikonos 2007 Kota Bogor dengan tujuh klasifikasi penggunaan/penutupan lahan yaitu: badan air, belukar/semak, kebun/pepohonan, ladang/tegalan, ruang terbangun (built up area), sawah, tanah kosong maka didapatkan luas (Ha) masing-masing tipe penggunaan/penutupan lahan tersebut pada tahun 2003 dan 2007 yang disajikan pada Tabel 9. Pada Tabel 9 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 sebaran penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor didominasi oleh ruang terbangun (built up area) sebesar 36,89% (4.154 Ha), selanjutnya badan air merupakan luasan lahan paling rendah 1,63% (184 Ha). Selebihnya merupakan penggunaan/penutupan lahan belukar semak 2,51% (282 Ha), kebun/pepohonan 15,82% (1.783 Ha), ladang/tegalan 12,64% (1.424 Ha), sawah 23,03% (2.594 Ha), dan tanah kosong 7,49% (843 Ha). Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 Land Use/Land Cover Tahun 2003 Tahun 2007 Ha % Ha % Badan Air 184 1,63 228 2,03 Belukar/Semak 282 2,51 390 3,46 Kebun/Pepohonan 1783 15,82 1653 14,67 Ladang/Tegalan 1424 12,64 743 6,59 Ruang Terbangun 4156 36,89 5322 47,23 Sawah 2594 23,03 2100 18,64 Tanah Kosong 843 7,49 832 7,38 Sumber: Hasil Analisis (2009)

35 Gambar 4. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2003 (%) Pada Tahun 2007, luas ruang terbangun meningkat menjadi 47,23% (5.322 Ha) diikuti oleh belukar/ semak 3,46% (390 Ha) dan badan air 2,03% (228 Ha) dari total luas daerah penelitian, sedangkan yang mengalami penurunan luas adalah kebun/pepohonan menjadi 14,67% (1.653 Ha), ladang/tegalan 6,59% (743 Ha) sawah 18,64% (2.100 Ha), dan tanah kosong menjadi 7,38% (832 Ha) (Gambar 5). Gambar 5. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2007 (%)

36 Peningkatan ruang terbangun dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari peningkatan kegiatan ekonomi termasuk jasa komersial meliputi industri, perdagangan dan jasa, perkantoran/pemerintahan dan pertambahan jumlah penduduk yang membutuhkan ruang sebagai tempat tinggal dan beraktivitas dari waktu ke waktu. Sedangkan penurunan luasan sawah dan ladang/tegalan mengindikasikan adanya tahapan perubahan pemanfaatan lahan menjadi ruang terbangun, yakni berawal dari sawah kemudian menjadi ladang/tegalan terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi ruang terbangun. Penelitian Marisan (2006) di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor menyimpulkan bahwa peningkatan luasan area ruang terbangun sebagian besar (75,75%) berasal dari penutupan pertanian lahan kering, sementara itu peningkatan luasan area pertanian lahan kering sebagian besar berasal dari penutupan lahan basah (72,75%). Untuk badan air peningkatan lebih disebabkan perluasan area untuk kawasan/fasilitas olahraga di Kelurahan Rancamaya, Kecamatan Bogor Selatan dalam skala besar. Jika dilihat berdasarkan perbandingan dua titik tahun, secara keseluruhan penggunaan lahan di Kota Bogor dari tahun 2003 sampai tahun 2007 terbukti mengalami perubahan yang cenderung ke arah ruang terbangun yang mengalami peningkatan sebesar 10,34% atau 1167 Ha dari tahun 2003 hingga 2007 (Gambar 6). Gambar 6. Perbandingan Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (%)

37 Pada Gambar 6 terlihat bahwa peningkatan luasan ruang terbangun sebesar 10,34 % (1.167 Ha) diikuti oleh peningkatan belukar/semak 0,95% (107 Ha) dan badan air 0,4% (45 Ha) seiring dengan menurunnya luasan ladang/tegalan sebesar 6,05% (681 Ha), diikuti sawah 4,39% (495 Ha), kebun/pepohonan 1,15% (130 Ha) dan tanah kosong 0,10% (12 Ha). Penurunan jenis penggunaan/penutupan lahan tersebut diduga akan terus terjadi seiring dengan semakin tingginya kebutuhan akan ruang terbangun di Kota Bogor. Sebagai gambaran umum, untuk perubahan penggunaan/penutupan lahan menjadi ruang terbangun dari tahun 2003 ke tahun 2007 banyak terkonversi dari pertanian lahan kering dan basah meliputi sawah dan tegalan sekitar 304 Ha dan 393 Ha. Sedangkan konversi dari belukar/semak mempunyai luasan yang paling rendah sekitar 15 Ha, selebihnya merupakan konversi dari kebun/pepohonan sebesar 166 Ha dan tanah kosong sebesar 287 Ha (Gambar 7). Gambar 7. Alih Fungsi Beberapa Pemanfaatan Ruang Tahun 2003 ke Ruang Terbangun Tahun 2007 (Ha) Berdasarkan Gambar 8 dan 9, dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 hingga 2007 penggunaan lahan yang paling mendominasi adalah ruang terbangun. Ruang terbangun meliputi pemukiman dan jasa komersial cenderung memusat pada Kecamatan Bogor Tengah, hal ini terjadi sebagai akibat dari terkonsentrasinya kegiatan ekonomi di pusat-pusat kota sehingga untuk meminimalisasi jarak banyak penduduk Bogor yang juga tinggal di pusat kota (Bappeda Kota Bogor).

38 Gambar 8. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 Gambar 9. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2007

39 5.2. Pola Sebaran Penggunaan Lahan dan Perubahan Luasannya di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Berdasarkan sebaran penggunaan/penutupan lahan Kota Bogor dari Tahun 2003 ke 2007, dapat dilihat secara garis besar dominasi penggunaan/penutupan lahan yang terdistribusi ke dalam ruang terbangun (built up area). Di Kota Bogor pada umumnya wilayah ruang terbangun ini berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada. Sehingga dari hasil intersect peta land use/land cover tahun 2003 dan 2007 dengan peta jaringan jalan utama Kota Bogor yang dibagi menjadi empat yaitu: 1) jalan arteri primer, 2) jalan arteri sekunder, 3) jalan kolektor primer, 4) jalan kolektor sekunder, dapat diketahui sebaran penggunaan/penutupan lahan di sepanjang jaringan jalan utama Kota Bogor dari tahun 2003 ke 2007. Pada Tabel 8 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 sebaran penggunaan/penutupan lahan secara keseluruhan di sepanjang jalur utama Kota Bogor dengan buffer 200 m didominasi oleh ruang terbangun sebesar 56,13% (3.607 Ha) sedangkan badan air merupakan luasan lahan yang paling rendah 1,18% (76 Ha) dari total luas area buffer. Selebihnya merupakan penggunaan/penutupan lahan ladang/tegalan 10,24% (658 Ha), kebun/pepohonan 9,63% (619 Ha), tanah kosong 11,45% (736 Ha), sawah 10,21% (656 Ha) dan belukar/semak 1,16% (75 Ha). Tabel 10. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Ha dan %) Land Use/Land Cover Tahun 2003 Tahun 2007 Ha % Ha % Badan Air 76 1,18 76 1,18 Belukar/Semak 75 1,16 166 2,59 Kebun/Pepohonan 619 9,63 659 10,26 Ladang/Tegalan 658 10,24 280 4,36 Ruang Terbangun 3607 56,13 4251 66,16 Sawah 656 10,21 548 8,53 Tanah Kosong 736 11,45 445 6,92 Sumber: Hasil Analisis (2009)

40 Gambar 10.Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 (%) Pada tahun 2007, luas ruang terbangun meningkat menjadi 66,16% (4.201,51 Ha) diikuti oleh kebun/pepohonan 10,26% (659 Ha), dan belukar/semak 2,59% (166 Ha) dari total luas area buffer sedangkan yang mengalami penurunan luas adalah ladang/tegalan menjadi 4,36% (280 Ha), lahan sawah menjadi 8,53% (548 Ha), dan tanah kosong menjadi 6,92% (445 Ha). Sedangkan badan air cenderung tetap atau tidak mengalami perubahan (Gambar 11). Gambar 11. Proporsi Total Penggunaan/Penggunaan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 (%)

41 Jika dilihat berdasarkan perbandingan luasan penggunaan/penutupan lahan tahun 2003 ke 2007 dapat dibuktikan, penggunaan/penutupan lahan di sepanjang jalur utama Kota Bogor dengan buffer 200 m dari tahun 2003 sampai tahun 2007 mengalami perubahan yang cenderung ke arah ruang terbangun, yang mengalami peningkatan sekitar 10,03% (644 Ha) dari tahun 2003 hingga 2007 (Gambar 12). Dengan zona buffer sejauh 200 m, secara umum peningkatan ini cukup menggambarkan bahwa perkembangan ruang terbangun di Kota Bogor ini secara linier diduga mengikuti perkembangan jaringan jalan utama yang ada. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa peningkatan ruang terbangun sekitar 10,03% (644 Ha) diikuti oleh peningkatan belukar/semak 1,42% (92 Ha), kebun pepohonan 0,63% (40 Ha) seiring dengan menurunnya luasan ladang/tegalan sekitar 5,87% (377 Ha), lahan sawah sekitar 1,68 % (108 Ha) dan tanah kosong sekitar 4,53% (291 Ha). Berbeda dengan pola sebaran penggunaan/penutupan lahan secara keseluruhan, dalam pola sebaran dua titik tahun di sepanjang jalan utama Kota Bogor, luasan untuk kebun/pepohonan justru mengalami peningkatan 40 Ha. Hal ini mengindikasikan perkembangan pesat ruang terbangun yang diduga secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama telah membuat pemerintah kota berupaya mempertahankan kebun/pepohonan mencakup ruang terbuka hijau untuk mengurangi bangkitan lalu lintas yang sangat tinggi di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Gambar 12. Perbandingan Proporsi Total Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (%)

42 5.3. Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Dari hasil overlay peta RTRW Kota Bogor (Gambar 16) dengan informasi eksisting penggunaan/penutupan lahan (Gambar 8 dan Gambar 9), diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bogor tahun 2003 (Gambar 17) dan Tahun 2007 (Gambar 18) yang kemudian dianalisis. Pada analisis inkonsistensi tahun 2003, jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan dan sawah) yaitu seluas 124 Ha (1,10 % dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.267 Ha atau 67,50% dari luas peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 184 Ha), dan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) yaitu seluas 13 Ha (0,12% dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.267 Ha dan 5,11% dari luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya sebesar 260 Ha) (Tabel 11). Tabel 11. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap Olahraga/Jalur Hijau 184 1,63 124 1,10 67,50 Pertanian/Kebun Campuran 130 1,15 14 0,12 10,73 Hutan Kota 260 2,31 13 0,12 5,11 Sumber: Hasil Analisis (2009) Pada analisis inkonsistensi tahun 2007, sama halnya seperti tahun 2003 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan dan sawah) yaitu 148 Ha (1,31% dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.267 Ha dan 80,37% dari luas peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 184 Ha), sedangkan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan, sawah dan tanah kosong) yaitu seluas 17 Ha (0,15%

43 dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.267 Ha dan 6,37% dari luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya sebesar 260 Ha) (Tabel 12). Tabel 12. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2007 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap Olahraga/Jalur Hijau 184 1,63 148 1,31 80,37 Pertanian/Kebun Campuran 130 1,15 22 0,19 16,79 Hutan Kota 260 2,31 17 0,15 6,37 Sumber: Hasil Analisis (2009) Besarnya jenis luasan inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau dapat dipahami sebagai suatu hal yang menggambarkan minimnya pengawasan pemerintah dan kesadaran masyarakat sekitar akan pentingnya ruang terbuka hijau di Kota Bogor yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekologi di tengah perkembangan pembangunan yang cukup pesat di Kota Bogor. Pada Gambar 13, 14, dan 15 dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi penggunaan lahan ruang terbangun sekitar 104 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha) adalah sekitar 40,01%, sedangkan pada tahun 2007 jenis inkonsistensi ini mengalami luasan peningkatan menjadi 120 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha) adalah sekitar 46,25%. Untuk tiap jenis inkonsistensi peruntukan RTRW (taman/lapangan olahraga/jalur hijau) menjadi penggunaan/penutupan lahan ladang/tegalan, sawah dan tanah kosong juga mengalami peningkatan luasan inkonsistensi dari tahun 2003 ke 2007, kecuali untuk jenis inkonsistensi hutan kota/kebun raya menjadi ladang/tegalan yang justru mengalami penurunan sebesar 3 Ha dari tahun 2003 ke 2007. Penurunan luasan ladang/tegalan ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk konversi dari tanaman pertanian lahan kering yang pada akhirnya menjadi penggunaan lahan lain seperti ruang terbangun karena mempunyai land rent yang tinggi.

44 Gambar 13. Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Ha) Keterangan: A = Hutan Kota/Kebun Raya Ladang/Tegalan B = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ladang/Tegalan C = Hutan Kota/Kebun Raya Ruang Terbangun D = Pertanian/Kebun Campuran Ruang Terbangun E = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ruang Terbangun F = Hutan Kota/Kebun Raya Sawah G = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Sawah H = Hutan Kota/Kebun Raya Tanah Kosong Gambar 14. Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap peruntukan ruang di Kota Bogor Tahun 2003 (%)

45 Gambar 15. Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap peruntukan ruang di Kota Bogor Tahun 2007 (%) Berdasarkan Gambar 17 dan 18 dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Bogor pada tahun 2003 mendominasi pada Kecamatan Bogor Selatan dengan jenis inkonsistensi berupa taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan lain dan pada tahun 2007 sebaran inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan lain masih mendominasi di Kecamatan Bogor Selatan disertai peningkatan luasan dalam waktu empat tahun. Pada Kecamatan Tanah Sareal dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang yaitu taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan yang lain merupakan inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan luasan yang paling rendah dibandingkan dengan di Kecamatan yang lain baik pada tahun 2003 dan tahun 2007. Hal disebabkan Kecamatan Bogor Selatan yang diperuntukkan sebagai kawasan RTH dan Pemukiman dengan KDB rendah merupakan Kecamatan dengan tingkat pembangunan yang rendah, disamping jarak yang jauh dari pusat kota hal ini menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang. Sehingga tingkat inkonsistensi pemanfaatan ruang yang terjadi begitu tinggi. Dengan melihat peta RTRW (Gambar 16), dapat disimpulkan besarnya inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan

46 lahan lain di Kecamatan Bogor Selatan dikarenakan minimnya jumlah dan luasan penggunaan lahan dengan nilai rent tinggi (permukiman, perumahan, perdagangan dan jasa, dll) sehingga mendorong segala bentuk penyimpangan penggunaan lahan yang mempunyai nilai rent yang lebih tinggi. Begitu juga dengan yang terjadi di Kecamatan Tanah Sareal, total luasan inkonsistensi di Kecamatan Tanah Sareal merupakan yang paling rendah diantara kecamatan yang lain dikarenakan peruntukan di Kecamatan Tanah Sareal sudah didominasi oleh penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang tinggi (permukiman, perumahan, perdagangan dan jasa, jasa komersial, fasilitas pendidikan, kesehatan, industri dll) sehingga hanya sedikit mendorong bentuk inkonsistensi ke penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang lebih tinggi khususnya ke arah ruang terbangun. Gambar 16. Peta RTRW Kota Bogor Periode 1999-2009

47 (a) (b) Gambar 17. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun 2003 (a) dan 2007 (b)

48 5.4. Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Dari hasil overlay peta RTRW Kota Bogor (Gambar 16) dengan informasi eksisting penggunaan/penutupan lahan (Gambar 8 dan 9), diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bogor tahun 2003 (Gambar 17 a) dan Tahun 2007 (Gambar 17 b), kemudian dari peta inkonsistensi yang telah diperoleh masing masing akan di-intersect dengan empat macam hiraki jalan yang telah dilakukan buffer 200 m, sehingga didapatkan peta inkonsistensi di sepanjang jalan utama Kota Bogor dengan buffer 200 m untuk tahun 2003 dan 2007 (Gambar 21 dan Gambar 22). Berdasarkan hasil analisis, jenis inkonsistensi di sepanjang jalan utama Kota Bogor tahun 2003 paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) yaitu sekitar 20 Ha (0,37% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar 5.235 Ha dan 15,12% dari total luas peruntukan taman/lap olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer jalan utama sebesar 130 Ha), dan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan tanah kosong) yaitu sekitar 7 Ha (0,13% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar 5.235 Ha dan 7,49% dari total luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya di sepanjang buffer jalan utama sebesar 93 Ha) (Tabel 13). Tabel 13. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap OR/Jalur Hijau 130 2,46 20 0,37 15,12 Pertanian/Kebun Campuran 0,36 0,01 0 0 0 Hutan Kota/Kebun Raya 93 1,77 7 0,13 7,49 Sumber: Hasil Analisis (2009) Pada tahun 2007 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain yaitu 30 Ha (0,57% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar

49 5.235 Ha dan 23,04% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 130 Ha), sedangkan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada peruntukan pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan lain yaitu 0,04 Ha (0,001% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar 5.235 Ha dan 12,15% dari total luas peruntukan pertanian/kebun campuran sebesar 0,36 Ha di sepanjang buffer jalan utama) (Tabel 14). Tabel 14. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap OR/Jalur Hijau 130 2,46 30 0,57 23,04 Pertanian/Kebun Campuran 0,36 0,01 0,04 0,001 12,15 Hutan Kota/Kebun Raya 93 1,77 8 0,15 8,56 Sumber: Hasil Analisis (2009) Berdasarkan Gambar 19, 20, dan 21 dapat dilihat untuk tahun 2003 jenis inkonsistensi di sepanjang jalan utama paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan ruang terbangun sekitar 15,62 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (130 Ha) adalah sekitar 15,12%, sedangkan pada tahun 2007 jenis inkonsistensi ini mengalami peningkatan menjadi 23,20 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (130 Ha) adalah sekitar 23,04%. Demikian halnya dengan hutan kota/kebun raya dan pertanian/kebun campuran yang mengalami perubahan yang identik, hal ini mencerminkan tingginya kebutuhan akan ruang terbangun di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebagai tempat tinggal dan juga beraktivitas. Peningkatan inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan ladang/tegalan sekitar 2,62 Ha (2,82% dari peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sekitar 130 Ha) diindikasikan sebagai suatu tahapan perubahan pemanfaatan lahan menjadi penggunaan lahan lain seperti ruang terbangun yang mempunyai nilai rent tinggi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Begitu juga dengan inkonsistensi hutan kota/kebun raya

50 menjadi tanah kosong di tahun 2007 sekitar 0,95 Ha (0,74 % dari peruntukan hutan kota/kebun raya sekitar 93 Ha), dimana pada tahun 2003 belum terdapat jenis inkonsistensi ini di sepanjang jalan utama Kota Bogor, diduga karena perkembangan akan ruang terbangun di Kota Bogor secara linier mengikuti jaringan jalan utama yang ada maka kebutuhan akan ruang terbangun ini diawali dengan perubahan penggunaan lahan hutan kota/kebun raya ke tanah kosong terlebih dahulu untuk selanjutnya menjadi penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang lebih tinggi daripada penggunaan lahan sebelumnya seperti ruang terbangun (built up area). Selain itu dibandingkan tahun 2003, pada tahun 2007 jenis inkonsistensinya bertambah, dimana pada tahun 2007 sudah terdapat jenis inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi ruang terbangun dan hutan kota/kebun raya menjadi tanah kosong sedangkan pada tahun 2003 belum ditemukan inkonsistensi jenis ini. Hal ini disebabkan semakin tingginya penggunaan lahan ke arah ruang terbangun sebagai tempat tinggal dan juga beraktivitas yang mendorong segala bentuk alih fungsi lahan. Gambar 18. Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (Ha) Keterangan: A = Hutan Kota/Kebun raya Ruang Terbangun B = Hutan Kota/Kebun raya Tanah Kosong C = Pertanian/Kebun Campuran Ruang Terbangun

51 D = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ruang Terbangun E = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ladang/Tegalan Gambar 19. Proporsi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama yang Konsisten dan Inkonsisten Terhadap Peruntukan Ruang Berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2003 (%) Gambar 20. Proporsi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang Berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2007 (%)

52 Berdasarkan Gambar 21 dapat dilihat bahwa sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan arteri (arteri primer dan sekunder) Kota Bogor pada tahun 2003 didominasi dengan jenis inkonsistensi berupa taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan). Sedangkan pada tahun 2007 sebaran inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) masih mendominasi di sepanjang jalan arteri (arteri primer dan sekunder) disertai bertambahnya luasan dari tahun 2003 ke tahun 2007. Untuk jalan arteri primer dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang yaitu taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) merupakan inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan luasan yang rendah dibandingkan dengan di jalan arteri sekunder baik pada tahun 2003 dan tahun 2007 dengan jenis inkonsistensi yang sama (taman/lapangan olahraga/jalur hijau ke bentuk penggunaan lahan lain). Pada Gambar 22, menunjukkan bahwa sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan kolektor (kolektor primer dan sekunder) pada tahun 2003 masih didominasi oleh jenis inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) demikian halnya pada tahun 2007 dimana pada tahun 2007 semakin bertambah luasan inkonsistensinya. Tetapi di jalan kolektor sekunder pada tahun 2003 belum terdapat jenis inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan lain, sedangkan pada tahun 2007 di jalan kolektor sekunder sudah terdapat luasan kecil inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan ruang terbangun. Baik inkonsistensi yang terjadi di sepanjang jalan arteri dan sekunder. Hal ini mengindikasikan kebutuhan ruang akan penggunaan lahan lain dan ruang terbangun khususnya telah meningkat yang mengakibatkan dan mendorong segala bentuk penyimpangan terhadap peruntukan penggunaan lahan termasuk pertanian/kebun campuran.

53 (a) (b) Gambar 21. Peta Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri Kota Bogor (a) Tahun 2003 dan (b) Tahun 2007

54 (a) (b) Gambar 22. Peta Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Kota Bogor (a) Tahun 2003 dan (b) Tahun 2007

55 5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi pertama yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ke arah ruang terbangun (Y 1 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder ke arah ruang terbangun yaitu persentase ruang terbangun per kelurahan dan persentase jasa komersial per kelurahan (%). Hasil analisis regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -0,816981 0,138803 X2 3,22698 0,005224 0,062372 X4 0,69088 0,000979 0,348124 X8-1,10380-0,043793 0,002735 X3 9,65449 0,004834 0,101256 X6 0,73059 0,016951 0,012254 X5 1,01895 0,000064 0,111344 X7-8,30254-0,004087 0,163116 Regression Summary for Dependent Variable: Y1 (inkonsistensi sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ruang terbangun) R= 0,96334316 R²= 0,92803005 Adjusted R²= 0,87205342 F(7,9)=16,579 p<,00018 Std.Error of estimate: 0,17860 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Y 1 = -0,81 1,10 X 8 + 0,73 X 6 R 2 = 0,928 Dimana : Y 1 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 6 = Persentase Ruang Terbangun per Kelurahan (%) X 8 = Persentase Jasa Komersial per Kelurahan (%)

56 Berdasarkan hasil analisis di atas faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder Kota Bogor (Y 1 ) adalah persentase ruang terbangun per kelurahan dan persentase jasa komersial per kelurahan (%), dimana dengan semakin bertambahnya persentase ruang terbangun per kelurahan sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder sebesar 0,73 Ha, sebaliknya dengan semakin berkurangnya persentase jasa komersial per kelurahan sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder sebesar 1,1 Ha. Pengaruh tingginya persentase ruang terbangun per kelurahan menunjukkan tingginya pertumbuhan dan perkembangan di daerah tersebut yang mencerminkan tingginya alih fungsi pemanfaatan ruang khususnya ke arah ruang terbangun dengan rent yang tinggi, hal tersebut pada akhirnya akan mendorong bentukbentuk penyimpangan/inkonsistensi arahan pemanfaatan ruang di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder dari RTRW Kota Bogor. Sedangkan nilai negatif dari persentase jasa komersial menunjukan bahwa aktivitas jasa komersial yang berada di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder tersebut tidak efektif untuk meningkatkan luasan penyimpangan/inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun dikarenakan kebijakan yang telah ditetapkan di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder Kota Bogor dimana tidak diperuntukkan jika penggunaan lahannya adalah jasa komersial yang meliputi industri, perdagangan dan jasa serta pusat pemerintahan. 5.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi kedua yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun (Y 2 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun yaitu jarak ke jalan arteri primer, jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke jalan kolektor primer, jarak ke stasiun Kereta Api (KA), persentase jasa komersial per kelurahan dan jarak ke terminal. Hasil analisis

57 regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -2,86319 0,161433 X4 0,66986 0,00063 0,050315 X1 1,64078 0,00104 0,001454 X3 0,90340 0,00995 0,004228 X7-0,22372-0,00022 0,327587 X6 0,62222 0,02241 0,252984 X9-1,28372-0,00062 0,014868 X2 0,84572 0,00159 0,004038 X8-1,10697-0,09058 0,021623 X10 0,43677 0,00016 0,048765 X5 0,39178 0,00007 0,309931 Regression Summary for Dependent Variable: Y2 (inkonsistensi sepanjang kolektor primer ruang terbangun) R= 0,76601445 R²= 0,58677814 Adjusted R²= 0,44428784 F(10,29)=4,1180 p<,00134 Std.Error of estimate: 0,39376 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Y 2 = -2,86 + 1,64 X 1 + 0,90 X 3 1,28 X 9 + 0,84 X 2-1,10 X 8 + 0,43 X 10 R 2 = 0,586 Dimana : Y 2 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 1 = Jarak ke jalan arteri primer (m) X 2 = Jarak ke jalan arteri sekunder (m) X 3 = Jarak ke jalan kolektor primer (m) X 8 = Persentase jasa komersial per kelurahan (%) X 9 = Jarak ke terminal utama (m) X 10 = Jarak ke stasiun KA utama (m) Untuk analisis regresi inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor primer (Y 2 ), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi antara lain: jarak ke jalan arteri primer, arteri

58 sekunder, kolektor primer, jarak ke stasiun KA, persentase jasa komersial per kelurahan dan jarak ke terminal. Dimana dengan semakin dekatnya jarak ke terminal utama sebesar 1 m diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 1,28 Ha. Semakin dekat suatu daerah dengan terminal utama mencerminkan tingginya aksesibilitas di daerah tersebut yang berarti semakin tinggi juga pembangunan di daerah tersebut, hal ini tentunya mendorong segala bentuk penyimpangan tata ruang khususnya penyimpangan ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor primer. Semakin bertambah jauhnya jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, dan kolektor primer sebesar 1 m maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi sebesar masing-masing 1,64 Ha, 0,84 Ha, dan 0,9 Ha di sepanjang jalan kolektor primer. Begitu juga dengan semakin bertambah jauhnya jarak ke stasiun KA utama sebesar 1 m maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 0,43 Ha. Sebaliknya dengan semakin berkurangnya persentase jasa komersial sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 1,1 Ha. Pada model menunjukkan kecenderungan yang bernilai positif untuk jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, dan kolektor primer. Ketiga hirarki jalan utama ini diduga merupakan parameter perkembangan ruang terbangun di Kota Bogor yang berarti semakin jauh jarak dari ketiga hirarki jalan tersebut menimbulkan minimnya pengawasan dalam pelaksanaan pemanfaatan tata ruang di Kota Bogor. Sehingga semakin jauh jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer maka akan semakin besar luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor. 5.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi ketiga yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun (Y 3 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun yaitu jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke

59 jalan kolektor sekunder dan jarak ke stasiun. Hasil analisis regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -0,380556 0,653965 X2 0,434292 0,000571 0,005303 X4-0,376400-0,005696 0,015626 X10 0,465863 0,000315 0,016220 X7-0,272721-0,000407 0,071694 X1 0,204777 0,000238 0,245829 Regression Summary for Dependent Variable: Y3 (inkonsistensi sepanjang kolektor sekunder ruang terbangun) R= 0,55682350 R²= 0,31005241 Adjusted R²= 0,21926983 F(5,38)=3,4153 p<,01204 Std.Error of estimate: 0,67911 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Y 3 = -0,38 + 0,43 X 2 0,37 X 4 + 0,46 X 10 R 2 = 0,310 Dimana : Y 3 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 2 = Jarak ke jalan arteri sekunder (m) X 4 = Jarak ke jalan kolektor sekunder (m) X 10 = Jarak ke stasiun KA utama (m) Pada inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor sekunder (Y 3 ), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi antara lain: jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke jalan kolektor sekunder dan jarak ke stasiun utama. Semakin dekat jarak ke jalan kolektor sekunder diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun sebesar 0,37 Ha, dan semakin bertambah jauhnya jarak ke jalan arteri sekunder dan stasiun KA utama sebesar 1 m maka diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder sebesar masing-masing 0,43 dan 0,46 Ha.

60 Dengan semakin dekat jarak ke jalan kolektor sekunder menunjukkan tingginya aksesibilitas dari dan ke jalan kolektor sekunder, sedangkan jalan kolektor sekunder merupakan salah satu jalan utama dengan jejang hirarki tinggi. Ruang terbangun dengan rent tinggi cenderung untuk mendominasi wilayah dengan aksesibilitas tinggi sehingga pada akhirnya keadaan ini mendorong segala bentuk inkonsistensi/penyimpangan tata ruang menjadi penggunaan lahan dengan nilai rent tinggi khususnya di sepanjang jalan utama Kota Bogor.