Prevalensi perokok di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Tobacco Atlas tahun 2015, Indonesia meraih predikat jumlah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kebahagiaan. Kebahagiaan menurut Snyder dan Lopez (2007) merupakan emosi positif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. positif dengan kepuasan yang tinggi dalam hidup, memiliki tingkat afek positif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PT. Permata Finance Indonesia (PT. PFI) dan PT. Nusa Surya Ciptadana

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

RISET TAHUN Hubungan antara subjective well-being dengan motif penggunaan kartu debit pada konsumen lanjut usia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kenikmatan dan pelengkap kebahagiaan dalam keluarga. Anak merupakan titipan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada remaja biasanya disebabkan dari beberapa faktor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bidang pelayanan kesehatan tempat yang mendukung rujukan dari pelayanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan hasil interaksi antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia seseorang dikatakan sejahtera apabila dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang bahagia. Kebahagiaan menjadi harapan dan cita-cita terbesar bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2013 tentang perubahan keempat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebahagiaan merupakan salah satu kajian dalam psikologi positif.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas : Terapi Kebermaknaan Hidup

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. tahun sesudahnya menyebabkan timbulnya berbagai masalah. Banyak industri yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membuat hal tersebut menjadi semakin bertambah buruk.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

Konsep Wellbeing dalam Psikologi Positif. Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEPRESI PASCA MELAHIRKAN PADA KELAHIRAN ANAK PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

H.I.V DAN KANKER; PSIKOLOGI SEPANJANG PERJALANAN PENYAKIT. Oleh: dr. Moh. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. penelitian antara dua kelompok penelitian.adapun yang dibandingkan adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tahun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. persaingan. Seseorang akan berkompetisi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

2015 SUBJECTIVE WELL-BEING PENGEMUDI ANGKUTAN KOTA

kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan remaja. Beberapa kejadian misalnya; kehilangan orang yang dicintai, konflik keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

Transkripsi:

Prevalensi perokok di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Tobacco Atlas tahun 2015, Indonesia meraih predikat jumlah perokok terbanyak nomor tiga di dunia setelah China dan India (Eriksen, Mackay & Ross, 2015). Indonesia juga meraih peringkat nomor satu di dunia untuk jumlah perokok pria yang berusia diatas 15 tahun dengan jumlah 66% laki-laki di Indonesia merokok (Eriksen, Mackay & Ross, 2015).Kebiasaan merokok pada masyarakat yang masih tinggi merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Merokok menjadi salah satu faktor penyebab kematian terbesar dari angka total kematian serta meningkatkan resiko kanker (Lee, Park, Ko, Cho, & Chang, 2010). Resiko dari merokok bukan hanya dirasakan oleh perokok tetapi juga orang-orang disekitarnya. Sebagian besar perokok memulai kebiasaan merokok pada usia remaja (Tsai, Wen, Tsai, dan Tsai, 2009). Tsai, Wen, Tsai, dan Tsai (2009) mengungkapkan motif sosial dan kondisi psikologis menjadi faktor utama yang mendorong seseorang mulai merokok. Motif sosial tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan orang tua dan teman-teman, terlebih pada perokok pria (Branstetter, Blosnich, Dino, Nolan, & Horn, 2012) serta tekanan dari teman dalam pergaulan (Tsai, dkk., 2009; Simons-Morton & Farhat, 2010; Rosario-Sim, O Connell, & Lavin, 2012; Morrell, Lapsley, & Halpern-Felsher, 2016) dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru (McGovern, dkk., 2006). Kebiasaan merokok juga dipengaruhi oleh iklan produk rokok yang mempromosikan hal menarik dan mengairahkan seperti petualangan dan kegembiraan serta manfaat terkait dengan merokok (McGovern, dkk., 2006). Sementara faktor psikologis, rokok digunakan untuk meredakan rasa marah, stress, kecemasan, serta depresi (Tsai, dkk., 2009). Sebuah penelitian menunjukkan kebiasaan merokok, pengalaman kejadian traumatis, dan gejala stres pasca trauma (PTS) memiliki hubungan yang relevan secara klinis (Langdon & Leventhal, 2014). Perokok dengan kecemasan akan mengkonsumsi rokok dua kali lebih besar daripada perokok yang tidak memiliki riwayat gangguan mental (Lawrence, Mitrou, & Zubrick, 2009; Lawrence, dkk., 2010 Piper, Cook, Schlam, Jorenby, & Baker (2010). Tekanan psikologis dan kesehatan mental perokok

menyebabkan sulitnya berhenti merokok. Orang yang memiliki masalah gangguan mental maupun tekanan psikologis akan mengkonsumsi rokok lebih banyak dan akan semakin meningkat setiap harinya (Lawrence, Mitrou, Sawyer, & Zubrick, 2010; Lawrence, Considine, Mitrou, & Zubrick, 2010) sehingga kebiasaan merokok sulit dihentikan (Leung, Gartner, Dobson, Lucke, & Hall, 2011). Keengganan menghentikan kebiasaan merokok dikarenakan perokok merasa rokok dapat mengurangi rasa nyeri atau rasa sakit yang dideritanya. Kebiasaan merokok sulit dihetikan juga dipengaruhi oleh efek plasebo dari rokok yang menimbulkan ketergantungan terhadap konsumsi rokok (Ditre, Brandon, Zale, & Meagher, 2011; Zale, Maisto, & Ditre, 2015). Banyaknya afek negatif yang dirasakan perokok juga menyebabkan sulitnya perokok menghentikan kebiasaannya serta meningkatkan resiko relapse. Kajian literatur juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan afek negatif perokok, termasuk depresi, kecemasan (Leventhal & Zvolensky, 2015) dan kemarahan (Cougle, Hawkins, Macatee, Zvolensky, & Sarawgi, 2014a; Cougle, Hawkins, Macatee, Zvolensky, & Sarawgi, 2014b). Uraian diatas Menunjukkan kondisi psikologis memiliki pengaruh yang cukup besar pada perilaku merokok sebagai upaya mengurangi atau menghilangkan tekanan psikologis maupun aspek negatif dari pengalaman kehidupan yang dirasakan. Perokok merasakan berada pada pada kondisi psikologis yang negatif dan berupaya untuk mendapatkan kondisi psikologis yang lebih positif dengan cara merokok. Carr (2004) mendeskripsikan keadaan psikologi yang positif sebagai subjective well-being yang dicirikan dengan tingginya tingkat kepuasan hidup, dan tingkat emosi positif serta rendahnya tingkat emosi negatif. Subjective well-being mengacu pada evaluasi seseorang terhadap hidup yang didapat dari penilaian terhadap kepuasan hidup, evaluasi berdasarkan perasaan, termasuk suasana hati dan emosi. Diener dan Chan (2011) mengungkapkan bahwa orang merasakan suasana hati yang sedih atau menyenangkan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap kehidupan.

Menurut Diener & Chan (2011) subjective well-being dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan suasana hati positif seperti sukacita, kebahagiaan, dan energi, serta karakteristik seperti kepuasan hidup, harapan, optimisme, dan rasa humor. Seseorang yang memiliki subjective well-being tinggi akan memiliki pandangan hidup yang lebih positif sehingga berdampak pada kondisi hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi psikologis yang positif lebih memudahkan perokok mengurangi bahkan menghentikan kebiasaan merokok, sehingga perokok tidak akan menggunakan rokok sebagai media pengalihan untuk mengurangi tekanan maupun permasalahan secara psikologis yang dirasakan. Mujamiasih (2013) mengemukakan bahwa individu dapat memperoleh subjective well-being melalui psikologi positif yang dapat meningkatkan emosi positif. Psikologi positif dapat dilakukan melalui kegiatan positif yang bisa mengerahkan kekuatan-kekuatan diri dalam area-area utama kehidupan. Intervensi berbasis psikologi positif juga secara signifikan dapat meningkatkan subjective well-being dan menurunkan simptom depresi dan stress serta meningkatkan kesehatan mental (Sin & Lyubomirsky, 2009; Goodmon, Middleditch, Childs, & Pietrasiuk, 2016). Selain itu, teknik intervensi untuk meningkatkan subjective wellbeing dapat dilakukan melalui terapi berbasis penerimaan, misalnya kesadaran pengalaman, keterbukaan, kesediaan, kesadaran, dan difusi kognitif yang telah dinilai cukup efektif dalam upaya untuk mengurangi kebiasaan merokok dan kondisi psikologis yang tidak fleksibel pada perokok (Gifford & Lillis, 2009; McCallion & Zvolensky, 2015). Kebersyukuran, pemaafan, dan pandangan terhadap kebahagiaan akan mempengaruhi subjective well-being ketika seseorang telah mengenali dirinya secara utuh (Froh, Sefick, & Emmons, 2008; Chan, 2013). Penelitian mengenai efektivitas empathic love therapy telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Rosada (2015) dalam penelitiannya mengenali efektifitas empathic love therapy dalam meningkatkan subjective well-being pada guru di sekolah inklusi menunjukkan bahwa empathic love therapy efektif untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif (subjective well-being).

Empathic love therapy akan meningkatkan afek positif dan berdampak pada tingkat subjective well-being sehingga perokok akan mampu mengendalikan atau mengontrol dorongan-dorongan yang melatarbelakangi kebiasaan merokok. Vohs, Finkenauer, dan Baumeister (2011) mengungkapkan seseorang yang memiliki kontrol diri akan lebih mampu memaafkan, mengendalikan diri, memiliki kepuasan hubungan, memiliki gaya hidup lebih sehat dan berkomitmen penuh kasih, interaksi sehari-hari yang lancar dan terhindar dari konflik, serta tidak adanya perasaan ditolak. Prinsip utama psikosintesis adalah mengenai penguatan kehendak diri, pengendali dorongan-dorongan, dan membangkitkan pertumbuhan spiritual serta menumbuhkan perasaan positif melalui cinta yang penuh empati dalam seluruh aspek kehidupannya. (Assagioli, 1965; Firman & Gila, 2007; Rueffler, 1995). Psikosintesis menggunakan kekuatan cinta yang penuh empati untuk mengharmoniskan seluruh aspek psikologis manusia (Ruefller, 1995; Firman & Gila, 2007). Firman & Gila (2010) mengungkapkan cinta dapat memfasilitasi dorongan diri untuk beraktualisasi, mendukung perjalanan manusia di sepanjang rentang kehidupan, dan dapat memberikan kesempatan pada jiwa manusia untuk bertumbuh. Cinta dalam hal ini adalah cinta yang dapat melihat dan menerima diri secara menyeluruh, yang dapat disebut dengan empathic love. Melalui empathic love therapy, seseorang akan memahami dan mulai mengembangkan cinta pada keseluruhan kepribadiannya. Seseorang dapat menerima dan mencintai bahkan dapat mengembangkan kontrol diri sehingga mampu bertanggungjawab terhadap kesehatan dan pertumbuhan pribadinya dalam setiap pengalaman hidupnya. Seseorang yang memiliki "cinta tanpa pamrih" dalam semua aspek kepribadian tidak akan memihak, namun akan memahami dan menghormati semua bagian dalam dirinya (Firman & Gila, 2007). Diener, Suh, Lucas & Smith, (1999) mengungkapkan bahwa subjective well-being pada tingkat individu merujuk pada kebahagiaan. Sehingga melalui adanya cinta yang penuh empati dalam keseluruhan kepribadiannya seseorang akan merasakan afek positif, salah satunya

kebahagiaan. Perasaan bahagia didapat melalui cara seseorang menilai atau mengevaluasi kehidupan yang dirasakan (Firman & Gila, 2007). Berdasarkan penjelasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk medeskripsikan apakah empathic love therapy efektif meningkatkan subjective well-being pada perokok. Adapun hipotesis penelitian ini adalah empathic love therapy efektif dalam meningkatkan subjective well-being pada perokok. Sementara kerangka pikir dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Kondisi Psikologis Perokok Respon negatif terhadap kehidupan, keadaan/peristiwa yang dialami. Merasakan kemarahan, kebencian, perasan jijik, rasa bersalah, ketakutan dan kegelisahan. Subjective well-being rendah - Afek negatif tinggi - Afek positif rendah - Kepuasan hidup rendah Alasan Merokok - Mengurangi tekanan psikologis - Melampiaskan emosi negatif - Ingin mendapatkan penerimaan dan pengakuan Perokok mulai menyadari, memahami dan menerima serta mencintai seluruh aspek kepribadian dan pengalaman. Aspek positif & kepuasan hidup meningkat Aspek negatif menurun Empathic Love Therapy - Mengenali semua bagian diri - Menyadari luka/pengalaman tidak menyenangkan - Menerima luka/pengalaman dengan penuh cinta - Mendapat pemahaman baru menjadi pribadi yang lebih sehat. - Menyatukan dan mengharmoniskan seluruh pengalaman dan kepribadian. - Mengenali dan mengembangkan potensi serta mengontrol kehendak diri. - Secara aktif mampu mencintai dan menerima seluruh diri dan pengalaman. Keterangan: Alur pengaruh kondisi psikologis pada perokok Sasaran Intervensi Hasil proses ELT Alur perubahan peningkatan SWB Subjective well-being meningkat Gambar 1. Kerangka Pemikiran