Prevalensi perokok di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Tobacco Atlas tahun 2015, Indonesia meraih predikat jumlah perokok terbanyak nomor tiga di dunia setelah China dan India (Eriksen, Mackay & Ross, 2015). Indonesia juga meraih peringkat nomor satu di dunia untuk jumlah perokok pria yang berusia diatas 15 tahun dengan jumlah 66% laki-laki di Indonesia merokok (Eriksen, Mackay & Ross, 2015).Kebiasaan merokok pada masyarakat yang masih tinggi merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Merokok menjadi salah satu faktor penyebab kematian terbesar dari angka total kematian serta meningkatkan resiko kanker (Lee, Park, Ko, Cho, & Chang, 2010). Resiko dari merokok bukan hanya dirasakan oleh perokok tetapi juga orang-orang disekitarnya. Sebagian besar perokok memulai kebiasaan merokok pada usia remaja (Tsai, Wen, Tsai, dan Tsai, 2009). Tsai, Wen, Tsai, dan Tsai (2009) mengungkapkan motif sosial dan kondisi psikologis menjadi faktor utama yang mendorong seseorang mulai merokok. Motif sosial tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan orang tua dan teman-teman, terlebih pada perokok pria (Branstetter, Blosnich, Dino, Nolan, & Horn, 2012) serta tekanan dari teman dalam pergaulan (Tsai, dkk., 2009; Simons-Morton & Farhat, 2010; Rosario-Sim, O Connell, & Lavin, 2012; Morrell, Lapsley, & Halpern-Felsher, 2016) dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru (McGovern, dkk., 2006). Kebiasaan merokok juga dipengaruhi oleh iklan produk rokok yang mempromosikan hal menarik dan mengairahkan seperti petualangan dan kegembiraan serta manfaat terkait dengan merokok (McGovern, dkk., 2006). Sementara faktor psikologis, rokok digunakan untuk meredakan rasa marah, stress, kecemasan, serta depresi (Tsai, dkk., 2009). Sebuah penelitian menunjukkan kebiasaan merokok, pengalaman kejadian traumatis, dan gejala stres pasca trauma (PTS) memiliki hubungan yang relevan secara klinis (Langdon & Leventhal, 2014). Perokok dengan kecemasan akan mengkonsumsi rokok dua kali lebih besar daripada perokok yang tidak memiliki riwayat gangguan mental (Lawrence, Mitrou, & Zubrick, 2009; Lawrence, dkk., 2010 Piper, Cook, Schlam, Jorenby, & Baker (2010). Tekanan psikologis dan kesehatan mental perokok
menyebabkan sulitnya berhenti merokok. Orang yang memiliki masalah gangguan mental maupun tekanan psikologis akan mengkonsumsi rokok lebih banyak dan akan semakin meningkat setiap harinya (Lawrence, Mitrou, Sawyer, & Zubrick, 2010; Lawrence, Considine, Mitrou, & Zubrick, 2010) sehingga kebiasaan merokok sulit dihentikan (Leung, Gartner, Dobson, Lucke, & Hall, 2011). Keengganan menghentikan kebiasaan merokok dikarenakan perokok merasa rokok dapat mengurangi rasa nyeri atau rasa sakit yang dideritanya. Kebiasaan merokok sulit dihetikan juga dipengaruhi oleh efek plasebo dari rokok yang menimbulkan ketergantungan terhadap konsumsi rokok (Ditre, Brandon, Zale, & Meagher, 2011; Zale, Maisto, & Ditre, 2015). Banyaknya afek negatif yang dirasakan perokok juga menyebabkan sulitnya perokok menghentikan kebiasaannya serta meningkatkan resiko relapse. Kajian literatur juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan afek negatif perokok, termasuk depresi, kecemasan (Leventhal & Zvolensky, 2015) dan kemarahan (Cougle, Hawkins, Macatee, Zvolensky, & Sarawgi, 2014a; Cougle, Hawkins, Macatee, Zvolensky, & Sarawgi, 2014b). Uraian diatas Menunjukkan kondisi psikologis memiliki pengaruh yang cukup besar pada perilaku merokok sebagai upaya mengurangi atau menghilangkan tekanan psikologis maupun aspek negatif dari pengalaman kehidupan yang dirasakan. Perokok merasakan berada pada pada kondisi psikologis yang negatif dan berupaya untuk mendapatkan kondisi psikologis yang lebih positif dengan cara merokok. Carr (2004) mendeskripsikan keadaan psikologi yang positif sebagai subjective well-being yang dicirikan dengan tingginya tingkat kepuasan hidup, dan tingkat emosi positif serta rendahnya tingkat emosi negatif. Subjective well-being mengacu pada evaluasi seseorang terhadap hidup yang didapat dari penilaian terhadap kepuasan hidup, evaluasi berdasarkan perasaan, termasuk suasana hati dan emosi. Diener dan Chan (2011) mengungkapkan bahwa orang merasakan suasana hati yang sedih atau menyenangkan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap kehidupan.
Menurut Diener & Chan (2011) subjective well-being dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan suasana hati positif seperti sukacita, kebahagiaan, dan energi, serta karakteristik seperti kepuasan hidup, harapan, optimisme, dan rasa humor. Seseorang yang memiliki subjective well-being tinggi akan memiliki pandangan hidup yang lebih positif sehingga berdampak pada kondisi hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi psikologis yang positif lebih memudahkan perokok mengurangi bahkan menghentikan kebiasaan merokok, sehingga perokok tidak akan menggunakan rokok sebagai media pengalihan untuk mengurangi tekanan maupun permasalahan secara psikologis yang dirasakan. Mujamiasih (2013) mengemukakan bahwa individu dapat memperoleh subjective well-being melalui psikologi positif yang dapat meningkatkan emosi positif. Psikologi positif dapat dilakukan melalui kegiatan positif yang bisa mengerahkan kekuatan-kekuatan diri dalam area-area utama kehidupan. Intervensi berbasis psikologi positif juga secara signifikan dapat meningkatkan subjective well-being dan menurunkan simptom depresi dan stress serta meningkatkan kesehatan mental (Sin & Lyubomirsky, 2009; Goodmon, Middleditch, Childs, & Pietrasiuk, 2016). Selain itu, teknik intervensi untuk meningkatkan subjective wellbeing dapat dilakukan melalui terapi berbasis penerimaan, misalnya kesadaran pengalaman, keterbukaan, kesediaan, kesadaran, dan difusi kognitif yang telah dinilai cukup efektif dalam upaya untuk mengurangi kebiasaan merokok dan kondisi psikologis yang tidak fleksibel pada perokok (Gifford & Lillis, 2009; McCallion & Zvolensky, 2015). Kebersyukuran, pemaafan, dan pandangan terhadap kebahagiaan akan mempengaruhi subjective well-being ketika seseorang telah mengenali dirinya secara utuh (Froh, Sefick, & Emmons, 2008; Chan, 2013). Penelitian mengenai efektivitas empathic love therapy telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Rosada (2015) dalam penelitiannya mengenali efektifitas empathic love therapy dalam meningkatkan subjective well-being pada guru di sekolah inklusi menunjukkan bahwa empathic love therapy efektif untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif (subjective well-being).
Empathic love therapy akan meningkatkan afek positif dan berdampak pada tingkat subjective well-being sehingga perokok akan mampu mengendalikan atau mengontrol dorongan-dorongan yang melatarbelakangi kebiasaan merokok. Vohs, Finkenauer, dan Baumeister (2011) mengungkapkan seseorang yang memiliki kontrol diri akan lebih mampu memaafkan, mengendalikan diri, memiliki kepuasan hubungan, memiliki gaya hidup lebih sehat dan berkomitmen penuh kasih, interaksi sehari-hari yang lancar dan terhindar dari konflik, serta tidak adanya perasaan ditolak. Prinsip utama psikosintesis adalah mengenai penguatan kehendak diri, pengendali dorongan-dorongan, dan membangkitkan pertumbuhan spiritual serta menumbuhkan perasaan positif melalui cinta yang penuh empati dalam seluruh aspek kehidupannya. (Assagioli, 1965; Firman & Gila, 2007; Rueffler, 1995). Psikosintesis menggunakan kekuatan cinta yang penuh empati untuk mengharmoniskan seluruh aspek psikologis manusia (Ruefller, 1995; Firman & Gila, 2007). Firman & Gila (2010) mengungkapkan cinta dapat memfasilitasi dorongan diri untuk beraktualisasi, mendukung perjalanan manusia di sepanjang rentang kehidupan, dan dapat memberikan kesempatan pada jiwa manusia untuk bertumbuh. Cinta dalam hal ini adalah cinta yang dapat melihat dan menerima diri secara menyeluruh, yang dapat disebut dengan empathic love. Melalui empathic love therapy, seseorang akan memahami dan mulai mengembangkan cinta pada keseluruhan kepribadiannya. Seseorang dapat menerima dan mencintai bahkan dapat mengembangkan kontrol diri sehingga mampu bertanggungjawab terhadap kesehatan dan pertumbuhan pribadinya dalam setiap pengalaman hidupnya. Seseorang yang memiliki "cinta tanpa pamrih" dalam semua aspek kepribadian tidak akan memihak, namun akan memahami dan menghormati semua bagian dalam dirinya (Firman & Gila, 2007). Diener, Suh, Lucas & Smith, (1999) mengungkapkan bahwa subjective well-being pada tingkat individu merujuk pada kebahagiaan. Sehingga melalui adanya cinta yang penuh empati dalam keseluruhan kepribadiannya seseorang akan merasakan afek positif, salah satunya
kebahagiaan. Perasaan bahagia didapat melalui cara seseorang menilai atau mengevaluasi kehidupan yang dirasakan (Firman & Gila, 2007). Berdasarkan penjelasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk medeskripsikan apakah empathic love therapy efektif meningkatkan subjective well-being pada perokok. Adapun hipotesis penelitian ini adalah empathic love therapy efektif dalam meningkatkan subjective well-being pada perokok. Sementara kerangka pikir dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Kondisi Psikologis Perokok Respon negatif terhadap kehidupan, keadaan/peristiwa yang dialami. Merasakan kemarahan, kebencian, perasan jijik, rasa bersalah, ketakutan dan kegelisahan. Subjective well-being rendah - Afek negatif tinggi - Afek positif rendah - Kepuasan hidup rendah Alasan Merokok - Mengurangi tekanan psikologis - Melampiaskan emosi negatif - Ingin mendapatkan penerimaan dan pengakuan Perokok mulai menyadari, memahami dan menerima serta mencintai seluruh aspek kepribadian dan pengalaman. Aspek positif & kepuasan hidup meningkat Aspek negatif menurun Empathic Love Therapy - Mengenali semua bagian diri - Menyadari luka/pengalaman tidak menyenangkan - Menerima luka/pengalaman dengan penuh cinta - Mendapat pemahaman baru menjadi pribadi yang lebih sehat. - Menyatukan dan mengharmoniskan seluruh pengalaman dan kepribadian. - Mengenali dan mengembangkan potensi serta mengontrol kehendak diri. - Secara aktif mampu mencintai dan menerima seluruh diri dan pengalaman. Keterangan: Alur pengaruh kondisi psikologis pada perokok Sasaran Intervensi Hasil proses ELT Alur perubahan peningkatan SWB Subjective well-being meningkat Gambar 1. Kerangka Pemikiran