BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu buah tropis yang menjadi primadona ekspor Indonesia adalah buah salak. Dari data yang dikumpulkan dalam laporan Statistik Pertanian Hortikultura (SPH), terdapat 26 jenis komoditas buah tropis yang diproduksi di Indonesia. Salak menduduki urutan kelima komoditas buah yang memberikan kontribusi terbesar terhadap total produksi buah tahun 2014 dengan volume produksi sebesar 1.118.953 Ton atau sekitar 5,65% terhadap total produksi buah nasional. Sentra produksi salak di Indonesia berada di Jawa dengan produksi sebesar 655.707 ton atau sekitar 58,60% dari total produksi salak nasional. Provinsi Jawa Tengah adalah penghasil salak terbesar dengan produksi salak 441.841 ton atau sekitar 39,49% dari total produksi salak nasional diikuti oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, dan Jawa Timur (Kementan, 2015). Permintaan salak tidak hanya datang dari pasar domestik tetapi juga pasar mancanegara. Volume ekspor salak di tahun 2012 mencapai 760.227 kg atau apabila dihitung nilainya sebesar 996.952 US$, sedangkan di tahun 2013 volume ekspornya mencapai 747.274 kg atau apabila dihitung nilainya sebesar 1.455.411 US$ (Ditjen PPHP, 2014). Data statistik tersebut cukup menggambarkan komoditas salak merupakan salah satu buah tropis yang sangat potensial. Sebagai salah satu sentra penghasil salak terbesar di Indonesia setelah Provinsi Jawa Tengah, di tahun 2013 Provinsi DIY menyumbang 106.145 ton salak, angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2012 dengan besar kenaikan 163,64%. Karena kenaikan produksi yang sangat 2
Berat (ton) 3 besar tersebut salak termasuk kedalam buah dengan produksi terbanyak di DI Yogyakarta tahun 2013 setelah pisang, mangga, dan nangka. Penghasil salak terbesar adalah Kabupaten Sleman dengan total produksi sebanyak 104.500 ton atau 98,45% diikuti Kabupaten Kulon Progo dengan produksi sebanyak 1.634 ton atau sekitar 1,54%. Gambar 1.1 menunjukkan produksi buah tahunan terbanyak di DIY tahun 2012-2013: 2012 2013 Komoditas Gambar 1. 1 Produksi Buah Tahunan Terbanyak di DIY Tahun 2012-2013 (dalam ton). (BPS DIY, 2013) Kecamatan Turi, Tempel, dan Pakem merupakan produsen salak terbesar di Kabupaten Sleman dengan produksi sebesar 97,61% dari total produksi Kabupaten Sleman. Karena alasan tersebut penelitian ini akan berfokus pada ketiga kecamatan itu, khusunya di Kecamatan Turi sebagai kecamatan dengan produksi salak pondoh tertinggi di Kabupaten Sleman. Usaha budidaya salak pondoh merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, mengingat permintaan salak pondoh selalu datang dalam jumlah yang besar baik dari pasar domestik maupun pasar mancanegara, namun pendanaan di sektor ini
4 adalah permasalahan yang sulit untuk dipahami dikarenakan karateristik produk yang unik, rantai pasok yang kompleks, produksi yang terpecah-pecah, kurangnya ahli akuntansi dalam sektor tersebut, serta rendahnya kesadaran para pelaku dalam rantai pasok untuk melakukan pencatatan dan pengelolaan keuangan menyebabkan rendahnya visibilitas biaya di masing-masing tier rantai pasok salak. Pencatatan yang terstruktur dan rutin seperti pencatatan kegiatan budidaya harian, pencatatan pembelian sarana budidaya, serta pencatatan order/pesanan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh petani yang tergabung dalam kelompok tani untuk dapat melakukan registerasi izin ekspor ataupun pengajuan sertifikasisertifikasi penunjang seperti sertifikasi produk prima, sertifikasi registerasi kelompok tani, dan sertifikasi organik. Di tingkat pengepul hingga pedagang pertukaran informasi mengenai permintaan dan pasokan salak menjadi hal yang sangat penting agar tidak ada ketimpalan informasi antara jumlah permintaan di pasar dengan pasokan salak dari petani yang juga akan menjadi dasar penentuan harga pokok pembelian salak. Akuntansi dalam rantai pasok produk segar berbeda dengan akuntansi pada sektor lain. Akuntansi manajemen dapat mendukung pengambilan keputusan secara disiplin dan akuntabel. Namun penerapannya masih terkendala dengan rendahnya visibilitas biaya dan pemahaman mengenai biaya pada level dasar rantai pasok produk segar. Dari hasil observasi dan wawancara di obyek penelitian didapatkan data mengenai kebiasaan mencatat di masing-masing tier yang menunjukkan masih rendahnya minat untuk mencatat oleh para pelaku usaha Salak. di tingkat petani
5 sekitar 88,24% telah melakukan pencatatan namun belum melakukan pelaporan keuangan, hanya ada 11,76% petani yang sudah melakukan pencatatan dan pelaporan keuangan. Di tingkat pengepul hanya 57,1% yang telah melakukan pencatatan keuangan namun belum melakukan pelaporan keuangan, 14,28% telah melakukan pencatatan keuangan dan pelaporan keuangan, dan 28,62% belum melakukan pencatatan ataupun pelaporan keuangan. Di tingkat pedagang 100% responden tidak melakukan pencatatan dan pelaporan keuangan secara berkala untuk mengetahui posisi usaha yang mereka lakukan. Serta di tingkat Asosiasi dan Paguyuban sebagai penaung kegiatan ekspor telah dilakukan pencatatan namun pelaporan keuangan hanya disampaikan sebatas arus kas yang masuk dan keluar serta saldo terakhir yang ada di dalam akun Asosiasi maupun Paguyuban. Persentase pelaku tertinggi yang telah melakukan pencatatan ada di tingkat petani, hal ini dikarenakan pencatatan kegiatan budidaya, pembelian fasilitas produksi, serta penjualan menjadi salah satu syarat untuk melakukan registerasi kebun yang dinaungi di bawah Dinas Pertanian. Registerasi ini akan menjadi salah satu syarat kegiatan ekspor salak ke negara-negara pengekspor seperti Cina dan Kamboja. Di tingkat pengepul persentae pelaku yang melakukan pencatatan keuangan menurun, hal ini dikarenakan tidak ada pihak yang mewajibkan pengepul untuk melakukan pencatatan ataupun pelaporan keuangan secara rutin dan berkala. Mereka hanya akan mencatat piutang usaha apabila ada pembeli yang penangguhkan pemnayaran salak. Di tingkat pedagang justru tidak ada sama sekali pelaku yang melakukan pencatatan dan pelaporan keuangan. Mereka melakukan transaksi jual beli harian tanpa ada rekaman transaksi karena pencatatan dianggap
6 merepotkan dan menyita waktu mereka. Di tingkat Paguyuban dan Asosiasi pencatatan order dan pembayaran sudah dilakukan dengan cukup baik namun belum ada pelaporan kaungan yang dapat menfasilitasi mereka untuk mengetahui posisi usaha yang sedang mereka lakukan. Standar Akuntansi yang berlaku di Indonesia antara lain, Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP), Standar Akuntansi Keuangan Syariah (SAK Syariah), dan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Keempat standar akuntansi tersebut dikeluarkan atau diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). SAK diadopsi dari IFRS (International Financial Reporting Standard) dan digunakan oleh badan usaha yang telah teregisterasi ataupun sedang dalam proses registerasi di pasar modal, sedangkan SAK-ETAP merupakan bentuk penyederhanaan dari SAK dengan tujuan entitas bisnis kecil dan menengah dapat membuat laporan keuangan mereka sendiri namun tetap dapat dipertanggungjawabkan saat dilakukan audit terhadap laporan keuangan tersebut. Dari keempat standar akuntansi yang ada, SAK-ETAP merupakan standar yang paling sederhana namun pada kenyataannya standar yang paling sederhana itu belum dapat diterapkan oleh sasaran utama SAK-ETAP yaitu UKM (Usaha Kecil Menengah). Pelaku pada tiap tier rantai pasok salak pondoh memiliki kebutuhan pencatatan dan pelaporan keuangan yang jauh lebih sederhana daripada UKM, oleh sebab itu perlu adanya pengembangan format pelaporan keuangan yang pada proses penyusunannya tetap mengacu pada standar yang telah digunakan di Indonesia yaitu SAK-ETAP namun juga telah disederhanakan dan disesuaikan dengan
7 kebutuhan di masing-masing tier. Penyusunan format pencatatan dan pelaporan keuangan yang lebih sederhana diharapkan bisa membantu proses pengambilan keputusan sesuai kebutuhan pelaku di masingg-masing tier rantai pasok salak. 1.2. Rumusan Masalah Dari permasalahan yang telah digambarkan di atas maka disusunlah beberapa rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana sistem rantai pasok salak yang terjadi di Kabupaten Sleman? 2. Bagaimana format pelaporan keuangan yang cocok diterapkan di tingkat petani, pengepul, pedagang, serta asosiasi dan paguyuban? 3. Bagaimana penerimaan masing-masing pelaku terhadap format pelaporan keuangan yang telah dikembangkan? 1.3. Batasan Masalah Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian dilakukan di tiga kecamatan sebagai produsen salak terbesar di Kabupaten Sleman yaitu Kecamatan Turi, Kecamatan Pakem, Kecamatan Tempel. 2. Pengembangan format pelaporan keuangan dilakukan terbatas untuk rantai pasok yang terbentuk di pasar Yogyakarta. 3. Tahapan pengembangan Format laporan keuangan yang dilakukan hanya sampai pengenalan dan pengujian penerimaan pengguna atas format laporan keuangan, belum sampai pada implementasi format laporan keuangan di masing-masing tier.
8 1.4. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi rantai pasok salak yang terjadi di Kabupaten Sleman. 2. Mendesain format pelaporan keuangan yang dapat diterapkan oleh pelaku pada masing-masing tier. 3. Melakukan pengujian penerimaan pengguna terhadap format pelaporan keuangan yang dikembangkan. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan gambaran rantai pasok salak yang terjadi di Kabupaten Sleman. 2. Menghasilkan format pencatatan dan pelaporan keuangan untuk masingmasing tier dalam rantai pasok sebagai acuan pengelolaan keuangan.