Restorasi Gambut Harus Berpihak Kepada Ajas Manfaat Oleh Momon Sodik Imanudin Lahan gambut adalah lahan dengan kondisi alami memiliki daya menampung air besar,selalu jenuh air, mengandung bahan serasah dari proses pelapukan tanaman yang mati terkumulasi dari tahun ke tahun sehingga membentuk lapisan organic (gambut). Indonesia sendiri memiliki luas lahan gambut yang sangat luas yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Keberadaan lahan gambut penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan karena perannya dalam penyerapan dan penyimpanan karbon. Proses drainase dari usaha pembukaan lahan menyebabkan karbon terlepas. Penguapan terbesar terjadi akibat proses kebakaran. Selain itu lahan gambut mampu menyimpan air secara besar sehinga bisa dikatakan sebagai kolam raksasa, yang bisa menjaga ketersediaan air tawar dan pencegahan intrusi air asin. Kebakaran lahan gambut untuk kawasan Sumatera yang terjadi di tahun 2015 telah menghabiskan areal lebih kurang 832.999 ha (BNPB, 2015). Untuk itu perlu upaya pemulihan kembali lahan-lahan yang terbakar. Pemerintah sejauh ini telah meprioritaskan program restorasi gambut melalui Badan Restorasi Gambut. Tujuan utama restorasi adalah mengambalikan kondisi ekosistem gambut melalui penataan kawasan untuk mengembalikan fungsi hidrologis sebagai penyimpan air jangka panjang (long storage water), agar gambut dalam keadaan basah dan sulit terbakar. Pemerintah melalui BRG telah membangun model implementasi di lapangan yang dilakukan dengan dua kegiatan utama yaitu pembasahan (rewetting) dan revegetasi. Upaya pembasahan dengan mambangun sekat kanal, bertujuan agar muka air tanah
meningkat mendekati permukaan tanah, diharapkan pada musim kemarau tetap basah dan bisa mengurangi bahaya kebakaran. Fakta di lapangan dua kegiatan ini tidak bisa berjalan dengan maksimal. Penelitian TIM Lembaga Penelitian Unsri dengan membangun bangunan pengendali air di saluran pada lahan sawit dan lahan semak pada lahan gambut menunjukan muka air tanah di musim kemarau tetap turun pada kedalaman 50-60 cm. Namun demikian pada periode musim hujan sampai menjelang musim kemarau lebih kurang 8 bulan air bisa di jaga pada kedalaman 30-40 cm. Selain itu restorasi gambut harus memperhatikan ajas manfaat. Bagi lahan-lahan bekas kebakaran yang berada disekitar kawasan baik perkebunan, hutan konservasi, atau konsesi yang sudah terlanjur ditanam masyarakat dengan tanaman karet perlu dilakukan penyelesaian yang tidak merugikan kedua belah pihak. Intinya ada kebakaran dan juga kemiskinan ibarat dua sisi mata uang. Penduduk sekitar kawasan umumya miskin, lahan mereka sudah habis dialihfungsikan menjadi hutan tanaman industri, atau perkebunan. Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka menjadi buruh kasar di perusahan-perusahan tersebut. Padahal mereka semua juga punya mimpi ingin hidup sejahtera, menyekolahkan anak, punya rumah layak dll. Tidak ada jalan lain untuk mencoba peruntungan dengan membuka kebun sedikit sedikit pada lahan yang terbakar. Sebagai gambara profil area restorasi yang dimanfaatkan penduduk untuk berkebun (Gambar ) Model restorasi yang harus dijalankan harus mengedepankan ajas manfaat. Karena tidak bisa kita hanya menahan air di bagian hulu tetapi juga lahan dibagian hilir membutuhakan air, sehingga kanal yang dibuat harus dilengkapi dengan bangunan pelimpah pada kedalaman tertentu. Disisi lain penyekatan kanal akan terjadi konplik bila dibuat terlalu tinggi yang menyebabkan lahan tergenang, karena area lahan di sekitarnya banyak yang sudah ditanami kebun. Area kebun tidak menghendaki tanah tergenang, sehingga yang diperlukan adalah sekat kanal terkendali. Ketinggian kanal
harus diatur untuk menciptkan kondisi muka air tanah di lahan antara 30-40 cm, sehingga konsepnya adalah drainase terkendali, bukan retensi total. Resotarsi juga harus membuka peluang usaha masyarakat dan kemitraan dengan pihak swasta (perkebunan atau HTI). Pola agroforestry seperti tumpang sari antara karet dan nenas sangat diminati oleh masyarakat. Untuk kawasan yang berbatasan dengan masyarakat ada baiknya mitra lebih mengedapankan keinginan warga dalam pemilihan komoditi. Karet selama ini sudah beralih menjadi tanaman HTI sehingga komoditas ini bisa di budidayakan. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari petani bisa melalukan tumpangsari dengan bertanam sayuran, nenas, dan jage merah. Dikiri-kanan petakan lahan bisa ditanam pinang, untuk menciptakan pendapatan tahunan. Ekonomi masyarakat akan meningkat bila diciptakan peluang memperoleh pendapatan hariang, mingguan, bulanan dan tahunan. Kalau tidak akan sulit mencegah terjadi kebakaran lahan, pada area dimana masyarakat hidupnya masih sangat tergantung dengan alam. Gambar 1. Kawasan restorasi gambut yang ditanami kebun karet dan nenas Oleh karena itu kita tetap mendukung programrestorasi, hanya dalam pelaksanaan kita harus juga mempertimbangkan fakta di lapangan. Harus di antisipasi potensi muncul keresahan sosial yang bisa timbul akibat program yang tidak
memperhatikan kondisi sosial, dan lingkungan. Semoga restorasi gambut dengan berbasis masyarakat akan cepat tercapai, dengan tujuan yang sama melalui jalan yang berbeda.