4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau

Morphometric and Meristic Character of Mangrove Crab (Scylla serrata) in Mangrove Ecosystem at West Sentosa Village, Medan Belawan Subdistrict

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 07 Februari 2016 s/d 12 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 25 Februari 2016 s/d 01 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

SUSUNAN KEANGGOTAAN SUB TIM KOORDINASI KERJASAMA PARIWISATA INDONESIA-SINGAPURA

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha)

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

JENIS KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN LABUHAN BAHARI BELAWAN MEDAN. Putri March F. Hia, Boedi Hendrarto, Haeruddin*)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Agustus 2016 s/d 02 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

IDENTIFIKASI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIDARATKAN DI TPI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 11 November 2016 s/d 15 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 17 Februari 2016 s/d 22 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Februari 2016 s/d 05 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 November 2016 s/d 18 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 22 September 2016 s/d 26 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 01 Desember 2016 s/d 05 Desember 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 13 Februari 2016 s/d 18 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 08 Maret 2016 s/d 13 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. Jakarta, 08 Maret 2016

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata dan Scylla Oceanica) Di Kawasan Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon

3. METODE PENELITIAN

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 Januari 2017 s/d 18 Januari 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kewenangan Pengguna Anggaran/Barang. Kepala Unit Pelaksana Teknis.

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 26 Januari 2017 s/d 30 Januari 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7 HARI KEDEPAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7 HARI KEDEPAN

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 25 September 2016 s/d 29 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1990 TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA JAKARTA, MEDAN, DAN UJUNG PANDANG

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 03 November 2016 s/d 07 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PARIWISATA

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Bintan (Kep. Riau), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Samarinda dan Pontianak (Kalimantan), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Maros dan Bone (Sulawesi), Teluk Bintuni dan Jayapura (Papua). Kepiting bakau yang diperoleh selama penelitian berasal dari para nelayan setempat yang menangkap kepiting bakau dengan menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Lokasi penangkapan kepiting bakau berada di perairan hutan mangrove maupun di perairan pesisir yang berlokasi di sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian. Pemilihan daerah penelitian berdasarkan lokasi sebaran hutan mangrove di Indonesia, dimana kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran (Siahainenia 2008). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7%, pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Menurut Pramudji (2004) sebaran hutan mangrove mencakup hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung), Jawa (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), Bali, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur), Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan), Maluku, serta Irian Jaya (Papua). Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor, keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan dan dapat dilihat pada Tabel 6.

34 Tabel 6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian. Jumlah data (ekor) No. Daerah Scylla spp. Scylla Scylla Scylla (gabungan ketiga spesies) serrata tranquebarica oceanica 1 Pidie 83 11 64 8 2 Jambi 12 9-3 3 Bintan 5 - - 5 4 Cilamaya 36 36 - - 5 Blanakan 49 20 21 8 6 Gebang 54 24 24 6 7 Ambulu 23 23 - - 8 Mataram 30 10 14 6 9 Samarinda 98 2 29 67 10 Pontianak 30-1 29 11 Maros 61 29 12 20 12 Bone 75 55 5 15 13 Teluk Bintuni 55 4 6 45 14 Jayapura 14 6 1 7 Total 625 229 177 219 Berdasarkan Tabel 6, jumlah sampel kepting bakau (Scylla spp.) tertinggi berasal dari Samarinda yaitu 98 ekor atau 15,68% dari jumlah total sampel, sedangkan jumah sampel terendahnya berasal dari Bintan yaitu 5 ekor atau 0,8% dari jumlah seluruh sampel. Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan selama penelitian ialah Scylla serrata, yaitu 36,64% dari jumlah total sampel, sedangkan persentase spesies yang paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari jumlah total sampel. Selanjutnya, persentase sampel Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian adalah 35,04% dari jumlah total sampel. Berdasarkan jumlah sampel yang paling banyak ditemukan di setiap lokasi penelitian, spesies Scylla serrata mendominasi di 5 lokasi, yaitu Jambi, Cilamaya, Ambulu, Maros, dan Bone. Sedangkan spesies Scylla tranquebarica mendominasi di 3 lokasi, yaitu Pidie, Blanakan, dan Mataram. Kemudian spesies Scylla oceanica mendominasi di 6 lokasi, yaitu Bintan, Samarinda, Pontianak, Teluk Bintuni, dan Jayapura. Jumlah sampel Scylla serrata terbanyak berasal dari Bone, yaitu sebanyak 55 ekor atau 24,02% dari jumlah total sampel S. serrata, sedangkan jumlah sampel terendah berasal dari Bintan dan Pontianak, dimana pada kedua lokasi tidak

35 ditemukan S. serrata pada saat pengambilan sampel. Selanjutnya, jumlah sampel S. tranquebarica terbanyak berasal dari Pidie, yaitu sebanyak 64 ekor atau 36,16% dari jumlah total sampel S. tranquebarica. Jumlah sampel S. tranquebarica terendah berasal dari Jambi, Bintan, Cilamaya, dan Ambulu, dimana pada keempat lokasi tersebut tidak ditemukan S. tranquebarica pada saat pengambilan sampel. Kemudian, jumlah sampel S.oceanica terbanyak berasal dari Samarinda yaitu 67 ekor atau 30,59% dari jumlah total sampel S. oceanica, sedangkan jumlah sampel terendahnya berasal dari Ambulu dan Cilamaya, dimana pada kedua lokasi tidak ditemukan S. oceanica pada saat pengambilan sampel. Tidak ditemukannya kepiting bakau dari setiap spesies di beberapa daerah penelitian bukan berarti kepiting tersebut tidak menempati habitat di daerah tersebut, karena distribusi sebaran kepiting bakau ketiga spesies tersebut mencakup hampir seluruh wilayah perairan Indonesia. Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia (Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya). Akan tetapi, tidak adanya beberapa spesies kepiting bakau di beberapa lokasi penelitian diduga oleh lokasi penangkapan kepiting bakau, karena para nelayan biasanya melakukan penangkapan di dua tempat, yaitu di perairan hutan mangrove dan di perairan pesisir yang berlokasi di sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian. Hal tersebut berkaitan dengan habitat ketiga spesies kepiting bakau, di mana S. serrata biasanya berada di perairan hutan mangrove dengan cara meliang (burrow), sedangkan S. tranquebarica dan S. oceanica biasanya berada di perairan pesisir di sekitar area hutan mangrove. Menurut Moosa et al. (1985) jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan jenis S. serrata ditemukan meliang di daerah mangrove. 4.2. Distribusi Frekuensi Panjang Karapas Setiap Spesies Kepiting Bakau Distribusi frekuensi panjang karapas dapat digunakan untuk mengetahui modus, ukuran karapas tertinggi dan terendah dari spesies kepiting bakau pada masing-masing daerah. Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian pada setiap daerah memiliki frekuensi yang berbeda-beda, dan dapat dilihat pada Gambar 13, 14, 15, dan Lampiran 6.

36 Selang kelas panjang karapas (mm) 34-44 45-55 56-66 67-77 78-88 89-99 100-110 Bone Maros Pidi Jambi Cilamaya Blanakan Gebang Ambulu Mataram Samarinda Jayapura Teluk Bintuni Daerah penelitian Gambar 13. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla serrata berdasarkan lokasi pengambilan sampel. Selang kelas panjang karapas (mm) 41-53 54-66 67-79 80-92 93-105 106-118 Pidi Blanakan Gebang Mataram Kalimantan Barat Daerah penelitian Samarinda Bone Maros Jayapura Teluk Bintuni Gambar 14. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla tranquebarica berdasarkan lokasi pengambilan sampel.

37 Selang kelas panjang karapas (mm) 41-53 54-66 67-79 80-92 93-105 106-118 Samarinda Kalimantan Pidi Bintan Jambi Blanakan Gebang Mataram Bone Maros Jayapura Teluk Barat Bintuni Daerah penelitian Gambar 15. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla oceanica berdasarkan lokasi pengambilan sampel. Berdasarkan Gambar 13, terdapat 7 selang kelas panjang karapas Scylla serrata. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas 67-77 mm, dengan frekuensi S. serrata tertinggi berasal dari daerah Bone yaitu 31 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. serrata adalah 34 mm yang berasal dari daerah Bone, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 107 mm yang berasal dari Teluk Bintuni. Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. serrata di daerah Bone, Maros, Pidie, Jambi, dan Cilamaya berturut-turut ialah 34-77 mm dan 67-140 mm, 46-86 mm dan 64-105 mm, 43-70 mm dan 33-98 mm, 69-86 mm dan 82-118 mm, serta 46-92 mm dan 67-163 mm. Kemudian kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. serrata di daerah Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Mataram berturut-turut adalah 52-96 mm dan 76-134 mm, 61-106 mm dan 69-164 mm, 54-100 mm dan 76-150 mm, serta 64-90 mm dan 90-129 mm. Selanjutnya S. serrata di daerah Samarinda, Jayapura, dan Teluk Bintuni berturut-turut memiliki kisaran ukuran panjang dan lebar karapas sebesar 73-87 mm dan 95-118 mm, 80-87 mm dan 110-124 mm, serta 90-107 mm dan 127-146 mm.

38 Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla serrata yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Bone. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi, dimana proses reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al. 1985 in Le Vay 2001). Waktu penangkapan S. serrata di wilayah Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, Jambi, Teluk Bintuni, dan Jayapura berkisar pada bulan Juli-November 2008. Selanjutnya waktu penangkapan S. serrata di wilayah Pidie, Maros, Bone, dan Mataram berkisar pada bulan Februari hingga Maret 2009. Kathirvel dan Srinivasagam (1992) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa kepiting bakau di India memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim matang gonad pada bulan April-Juni dan September-Februari serta memiliki ukuran lebar karapas yang berkisar di antara 85-129 mm. Selain itu, proses rekruitmennya pun berlangsung sepanjang tahun, dengan puncak pada bulan Desember-Oktober. Berdasarkan hal di atas, S. serrata yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura yang ditangkap pada bulan September dan November, dimana pada bulanbulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Sedangkan S. serrata yang berada di daerah Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Jambi yang ditangkap pada bulan Juli-Agustus 2008 dan S. serrata yang berasal dari Pidie, Maros, Bone, dan Mataram, yang ditangkap pada bulan Februari-Maret 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Berdasarkan Gambar 14, terdapat 6 selang kelas panjang karapas Scylla tranquebarica. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas 67-79 mm, dengan frekuensi S. tranquebarica tertinggi berasal dari daerah Samarinda yaitu 21 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. tranquebarica adalah 41 mm yang berasal dari daerah Pidie, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 115 mm yang berasal dari Teluk Bintuni.

39 Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. tranquebarica di daerah Pidie, Blanakan, Gebang, Mataram, dan Pontianak berturut-turut ialah 41-69 mm dan 58-103 mm, 64-100 mm dan 90-142 mm, 64-97 mm dan 90-135 mm, 62-104 mm dan 87-150 mm, serta 99 mm dan 144 mm. Kemudian kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. tranquebarica di daerah Samarinda, Bone, dan Maros berturut-turut adalah 57-76 mm dan 80-106 mm, 45-75 mm dan 62-110 mm, serta 45-69 mm dan 62-102 mm. Selanjutnya S. tranquebarica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni memiliki ukuran panjang dan lebar karapas sebesar 90 mm dan 132 mm serta 91-115 mm dan 126-164 mm. Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Pidie. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi. Waktu penangkapan S. tranquebarica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni berkisar pada bulan September- November 2008. Kemudian waktu penangkapan di daerah Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Samarinda, Mataram, Blanakan, dan Gebang berkisar pada bulan Februari-Mei 2009. Waktu penangkapan tersebut berhubungan dengan proses reproduksi kepiting bakau, dimana reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al. 1985 in Le Vay 2001). Selanjutnya Le Vay et al. (pers. obs.) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa kepiting bakau S. tranquebarica di Vietnam memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim matang gonad pada bulan September-Oktober. Selain itu S. tranquebarica di Jawa bagian Utara memiliki ukuran lebar karapas yang berkisar di antara 80-90 mm pada saat matang gonad dan proses rekruitmennya pun berlangsung sepanjang tahun. Berdasarkan hal di atas, S. tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura yang ditangkap pada bulan September dan November, dimana pada bulanbulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Kemudian S. tranquebarica yang berada di daerah Pidie, Maros, Bone, Kalimantan

40 Barat, Samarinda, Mataram, Blanakan, dan Gebang yang ditangkap pada bulan Februari-Mei 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Berdasarkan Gambar 15, terdapat 6 selang kelas panjang karapas Scylla oceanica. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas 80-92 mm, dengan frekuensi S. oceanica tertinggi berasal dari daerah Samarinda yaitu 45 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. oceanica adalah 41 mm yang berasal dari daerah Pidie, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 115 mm yang berasal dari Jayapura. Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. oceanica di daerah Samarinda, Pontianak, Pidie, Bintan, dan Blanakan berturut-turut ialah 62-102 mm dan 83-150 mm, 74-95 mm dan 111-144 mm, 41-61 mm dan 59-89 mm, 79-99 mm dan 123-136 mm, serta 61-93 mm dan 86-130 mm. Kemudian kisaran ukuran panjang karapas dan lebar karapas S. oceanica di daerah Gebang, Mataram, Bone, dan Maros berturut-turut adalah 65-88 mm dan 91-127 mm, 70-91 mm dan 97-134 mm, 41-67 mm dan 62-90 mm, serta 44-87 mm dan 65-118 mm. Selanjutnya S. oceanica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni memiliki kisaran ukuran panjang dan lebar karapas sebesar 79-115mm dan 115-159 mm serta 60-110 mm dan 110-158 mm. Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla oceanica yang berasal dari Jayapura memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Pidie. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi. Waktu penangkapan S. oceanica di daerah Jambi, Samarinda, Jayapura dan Teluk Bintuni berkisar pada bulan Agustus-Desember 2008, serta Maret dan Mei 2009 untuk daerah Samarinda dan Teluk Bintuni (pengambilan sampel kedua kali di kedua lokasi tersebut). Kemudian waktu penangkapan di daerah Bintan, Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Mataram, Blanakan, dan Gebang berkisar pada bulan Januari-Mei 2009. Waktu penangkapan tersebut berhubungan dengan proses reproduksi kepiting bakau, dimana reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan

41 pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al. 1985 in Le Vay 2001). Berdasarkan hal di atas, S. oceanica yang berasal dari Jambi yang ditangkap pada tanggal 31 Agustus 2008, Jayapura yang ditangkap pada bulan September, Samarinda yang ditangkap pada bulan November 2008, serta Teluk Bintuni yang ditangkap pada bulan November-Desember 2008, dimana pada bulan-bulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Kemudian S. oceanica yang berada di daerah Bintan, Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Samarinda, Teluk Bintuni, Mataram, Blanakan, dan Gebang yang ditangkap pada bulan Januari-Mei 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Selanjutnya berdasarkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas dari ketiga spesies kepiting bakau pada masing-masing daerah, dapat diketahui bahwa ukuran panjang dan lebar karapas tertinggi berasal dari spesies Scylla oceanica dengan selang kelas panjang karapas 41-118 mm, sedangkan ukuran terendah berasal dari spesies Scylla serrata dengan selang kelas panjang karapas 34-110 mm. Kemudian, berdasarkan perbandingan ukuran panjang dan lebar karapas pada masing-masing daerah, dapat diketahui bahwa Teluk Bintuni memiliki ukuran panjang dan lebar karapas kepiting bakau yang tertinggi. Hal tersebut erat kaitannya dengan kondisi habitat dan kelimpahan makanan yang akan mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, di mana kondisi hutan mangrove di Teluk Bintuni masih lebat dan bagus, serta belum banyak campur tangan manusia. Sehingga keadaan tersebut mempengaruhi kelimpahan makanannya. Menurut Pramudji (2004) Pulau Papua memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara. Keadaan tersebut mengakibatkan tingginya kelimpahan makanan di muara sungai yang merupakan area hutan mangrove dan habitat kepiting bakau. 4.3. Identifikasi Karakter Morfologi Hingga saat ini, pada pelaksanaan proses identifikasi dan klasifikasi kepiting bakau masih terdapat perdebatan di antara para ahli mengenai pembagian jumlah

42 spesies kepiting bakau. Menurut Stephenson & Campbell (1960) in Fushimi & Watanabe (2001) keempat spesies kepiting bakau tersebut merupakan satu spesies kepiting bakau berdasarkan kesimpulan yang diambil dari sampel yang berasal dari Queensland dan New South Wales (Australia). Stephenson dan Campbell menduga bahwa perbedaan karakter morfologis tersebut diperoleh dari perbedaan lingkungan habitat kepiting bakau. Akan tetapi Stephenson dan Campbell tidak secara spesifik menyebutkan kondisi lingkungan yang dapat membuat perbedaan morfologi dari ketiga spesies kepiting bakau tersebut. Sedangkan menurut Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001) kepiting bakau diklasifikasikan menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filipina berdasarkan perbedaan morfologi eksternal (warna karapas dan pleopod, gigi anterolateral pada karapas, dan duri luar pada cheliped carpus). Selanjutnya terdapat ahli lainnya, yaitu Fuseya (1998) in Fushimi & Watanabe (2001) yang melakukan analisis morfometrik antar spesies pada genus Scylla yang berasal dari daerah sebaran geografis kepiting bakau yang luas. Fuseya pun melakukan uji karakteristik morfologi pada pleopod pertama dan kedua dari kepiting bakau jantan. Berdasarkan analisisnya, spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica benar-benar dapat dibedakan dan karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador. Kemudian dilakukan penelitian genetika kepiting bakau di mana informasi genetik merupakan hal penting dalam mengindentifikasi ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Pada bulan Juni 1994 hingga Mei 1995, Fuseya dan Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) telah mengumpulkan dan mengindentifikasi 342 kepiting bakau yang berasal dari 7 lokasi (Danau Hamana dan Okinawa (Jepang), Bali dan Cilacap (Indonesia), Chantaburi dan Surat Thani (Thailand), dan Madagaskar). Fuseya dan Watanabe mengklasifikasi kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica, berdasarkan klasifikasi Estampador. Keenan et al. (1998) in Watanabe et al. (2002) melakukan revisi spesies kepiting bakau menjadi empat spesies. Hal ini berdasarkan analisis mt-dna

43 kepiting bakau yang menyatakan bahwa terdapat empat spesies dalam genus Scylla, yaitu S. serrata (S. oceanica Estampador), S. olivacea (S. serrata Estampador), S. tranquebarica (S. serrata var. paramamosain Estampador), serta S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador). Akan tetapi Klinbunga et al. (2000) in Watanabe et al. (2002) melakukan riset genetika terhadap kepiting bakau yang berasal dari Thailand dan menyatakan bahwa terdapat tiga spesies kepiting bakau dengan menggunakan analisis RAPD dari genomik DNA kepiting bakau. Ketiga spesies tersebut adalah Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan kriteria Estampador. Berdasarkan riset para ahli di atas, Penulis menggunakan identifikasi dan klasifikasi berdasarkan Estampador pada tahun 1949, yaitu Scylla serrata: duri frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama. Scylla tranquebarica: duri frontal margin tajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berduri. Scylla oceanica: duri frontal margin tajam berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh identifikasi karakter morfologis untuk membedakan ketiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan warna karapas, bentuk alur H, bentuk duri frontal margin, duri pada cheliped carpus (inner carpal), serta corak pada pleopod masingmasing spesies. 4.3.1. Scylla serrata Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla serrata termasuk ke dalam kelompok Mamosain, di mana spesies tersebut hidup meliang di area hutan mangrove, berwarna coklat kehitaman, dan tidak memiliki corak pada pleopodnya. Sedangkan menurut Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla serrata memiliki warna karapas coklat kemerahan dengan bentuk alur H tidak dalam dan tidak memiliki corak pada pleopodnya. Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 16, diketahui bahwa Scylla serrata memiliki warna karapas coklat kehitam-hitaman dengan bentuk alur H pada karapas tidak dalam. Menurut Moosa et al. (1985) S. serrata termasuk kelompok yang

44 berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan. Warna karapas pada S. serrata berhubungan dengan habitatnya, yaitu hidupnya meliang di daerah mangrove (Moosa et al. (1985); Kathirvel & Srinivasagam (1992)). Bentuk duri frontal margin tumpul dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah satu dan tidak tumpul serta pleopod pada S. serrata tidak bercorak. Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla serrata memiliki warna karapas coklat merah seperti karat dengan bentuk alur H pada karapas tidak dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tumpul, serta tidak memiliki duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) yang berubah menjadi vestigial. Gambar 16. Scylla serrata (jantan). 4.3.2. Scylla tranquebarica Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla tranquebarica termasuk ke dalam kelompok Banhawin, di mana spesies tersebut

45 berenang bebas di sekitar perairan pesisir, berwarna hijau, dan memiliki corak pada pleopodnya. Begitu pula dengan Scylla oceanica, kedua spesies ini memiliki ciriciri yang hampir mirip, kecuali pada bagian alur H dan duri pada cheliped carpus, dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Scylla tranquebarica (jantan). Berdasarkan hasil penelitian, pada Gambar 17, terlihat bahwa Scylla tranquebarica memiliki warna karapas coklat kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam. Bentuk duri frontal margin tajam dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah dua dengan salah satu duri berduri tajam, sedangkan duri lainnya agak tumpul serta pleopod pada S. tranquebarica bercorak. Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla tranquebarica memiliki warna karapas hijau buah zaitun dengan bentuk alur H pada karapas dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tajam, serta bentuk kedua duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) jelas, dimana salah satunya agak tumpul. Moosa et al. (1985) menyatakan bahwa kepiting bakau genus Scylla

46 di Indonesia memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka. 4.3.3. Scylla oceanica Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla oceanica termasuk ke dalam kelompok Banhawin, sama halnya dengan Scylla tranquebarica, di mana spesies tersebut berenang bebas di sekitar perairan pesisir, berwarna hijau, dan memiliki corak pada pleopodnya. Sedangkan menurut Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla oceanica memiliki warna karapas hijau keabu-abuan, dengan bentuk alur H yang dalam, serta memiliki corak pada kaki jalan dan pleopodnya, dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Scylla oceanica (jantan)

47 Berdasarkan hasil penelitian, pada Gambar 18, terlihat bahwa Scylla oceanica memiliki warna karapas coklat kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam. Bentuk duri frontal margin tajam dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah dua dan berduri tajam serta pleopod pada Scylla oceanica bercorak. Hal di atas sesuai dengan deksripsi yang dijelaskan oleh Moosa et al. (1985). Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla oceanica memiliki warna karapas hijau keabu-abuan dengan bentuk alur H pada karapas dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tajam, serta memiliki bentuk duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) keduanya tajam. 4.4. Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan panjang, volume, dan bobot terhadap perubahan waktu (Hartnoll 1982 in Anggraini 1991). Di dalam manajemen sumberdaya perikanan, analisis pertumbuhan digunakan untuk meramalkan ukuran rata-rata biota di suatu populasi pada waktu tertentu dan untuk membandingkan kondisi biota di daerah perikanan yang berbeda atau pada daerah yang sama dengan strategi manejemen yang berbeda. Organisme yang tidak mempunyai kerangka luar (eksoskeleton), ukuran panjang berubah secara kontinu. Akan tetapi pada Crustacea yang memiliki kerangka luar, terutama kepiting bakau, pertumbuhan menjadi suatu proses yang diskontinu. Di dalam fase pertumbuhan kepiting bakau, terdapat suatu rangkaian lepas cangkang (molt atau ecdysis) yang dipisahkan oleh suatu rangkaian antar ganti cangkang (intermolt). Pada saat fase antar ganti cangkang, karapas tubuh menjadi keras dan pertumbuhan terbatas sedangkan pada saat fase lepas cangkang, karapas yang lama dilepaskan sehingga penambahan pertumbuhan terjadi sangat cepat dengan periode waktu yang relatif pendek sebelum karapas yang baru menjadi keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada crustacea meliputi dua faktor, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi ukuran, jenis kelamin, tingkat kedewasaan, dan cacat tubuh. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor ekstrinsik adalah ketersediaan makanan, suhu lingkungan, dan parasit (Hartnoll 1982 in Anggraini 1991).

48 Kajian pertumbuhan masing-masing spesies kepiting bakau di beberapa daerah yang meliputi hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dapat dilihat pada Tabel 7, 8, 9 serta Gambar 19, 20, dan 21. Di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla serrata yang berasal dari 11 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 7 dan Gambar 19. Tabel 7. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla serrata. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas (mm) Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidie 11 33-98 0.469 0.685 0.976 0.646 0.804 0.335 Jambi 9 82-118 0.821 0.906 2.300 0.836 0.914 0.465 Cilamaya 36 67-163 0.693 0.833 1.772* 0.608 0.78 0.473 Blanakan 20 76-134 0.467 0.683 3.530* 0.93 0.964 0.667 Gebang 17 69-164 0.680 0.825 2.115* 0.763 0.874 0.526 Ambulu 23 76-150 0.904 0.951 2.870* 0.961 0.981 0.651 Mataram 5 90-129 0.315 0.561 3.167 0.955 0.977 0.62 Bone 55 67-140 0.560 0.748 1.640* 0.628 0.792 0.548 Maros 29 64-105 0.913 0.955 3.097* 0.895 0.946 0.747 Teluk Bintuni 4 127-146 0.558 0.747 3.209 0.762 0.873 0.737 Jayapura 6 110-124 0.021 0.145-0.335 0.828 0.91 0.431 Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H 0 Berdasarkan Tabel 7, pada hubungan lebar karapas-berat, terlihat bahwa sebagian besar pola pertumbuhan Scylla serrata di beberapa daerah ialah pola pertumbuhan allometrik positif, artinya pertambahan berat tubuh lebih dominan dibandingkan pertambahan lebar karapas. Sama halnya dengan pola pertumbuhan kepiting bakau menurut Hartnoll (1982) di mana pola pertumbuhannya ialah allometrik. Akan tetapi terdapat beberapa S. serrata yang memiliki pola pertumbuhan isometrik, di mana pertambahan lebar karapas sama dengan dibandingkan pertambahan berat. Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Maros, yaitu sebesar 0,913 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 91,3%.

49 4 3 Frequency 2 1 0-1.0000 0.0000 1.0000 Nilai b 2.0000 3.0000 4.0000 Gambar 19. Grafik sebaran nilai b Scylla serrata. Mean =2.2128 Std. Dev. =1.1581 N =11 Berdasarkan pada Gambar 19, diketahui bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat memiliki distribusi yang normal dengan nilai rata-rata b sebesar 2,2128. Selanjutnya di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla tranquebarica yang berasal dari 8 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 8 dan Gambar 20. Tabel 8. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla tranquebarica. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas (mm) Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidi 64 58-103 0.827 0.909 2.703* 0.810 0.900 0.609 Blanakan 21 90-142 0.752 0.867 1.097 0.590 0.768 0.309 Gebang 24 90-135 0.746 0.864 3.190* 0.915 0.957 0.623 Mataram 12 87-150 0.829 0.910 3.197* 0.777 0.882 0.592 Samarinda 29 80-106 0.725 0.852 2.706* 0.913 0.955 0.692 Maros 12 62-102 0.772 0.879 2.990* 0.706 0.840 0.590 Bone 5 62-110 0.983 0.992 2.163* 0.997 0.999 0.631 Teluk Bintuni 4 126-164 0.960 0.980 3.721* 0.978 0.989 0.664 Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H 0

50 Berdasarkan Tabel 8, pada hubungan lebar karapas-berat, terlihat bahwa sebagian besar pola pertumbuhan Scylla tranquebarica di beberapa daerah memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, akan tetapi S. tranquebarica di Blanakan memiliki pola pertumbuhan isometrik. Menurut Hartnoll (1982) hubungan lebar karapas-berat pada kepiting dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Bone, yaitu sebesar 0,983 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 98,3%. 3 2 Frequency 1 0 1.0000 1.5000 2.0000 2.5000 3.0000 3.5000 4.0000 Mean =2.7209 Std. Dev. =0.7989 N =8 Nilai b Gambar 20. Grafik sebaran nilai b Scylla tranquebarica. Kemudian berdasarkan pada Gambar 20, terlihat bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat memiliki distribusi yang normal dengan nilai ratarata b sebesar 2,7209. Selanjutnya di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla oceanica yang berasal dari 11 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 9 dan Gambar 21.

51 Tabel 9. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla oceanica. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas (mm) Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidie 8 59-89 0.786 0.887 2.526 0.941 0.970 0.640 Jambi 3 83-110 0.999 1.000 2.866 0.955 0.997 0.563 Blanakan 8 86-130 0.963 0.981 2.667* 0.987 0.993 0.655 Gebang 6 91-127 0.967 0.984 3.696* 0.987 0.993 0.655 Mataram 4 97-134 0.942 0.971 2.534 0.977 0.988 0.555 Samarinda 66 83-150 0.482 0.694 1.984* 0.870 0.933 0.604 Pontianak 29 111-144 0.488 0.699 2.794* 0.927 0.963 0.614 Maros 20 65-118 0.671 0.819 2.162* 0.532 0.729 0.846 Bone 15 62-90 0.898 0.948 2.827* 0.872 0.934 1.025 Teluk Bintuni 45 110-158 0.764 0.874 3.461* 0.672 0.820 0.671 Jayapura 7 115-159 0.779 0.882 3.640* 0.897 0.947 0.835 Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H 0 3 2 Frequency 1 0 1.5000 2.0000 2.5000 Nilai b 3.0000 3.5000 4.0000 Gambar 21. Grafik sebaran nilai b Scylla oceanica. Mean =2.8325 Std. Dev. =0.5635 N =11 Berdasarkan Tabel 9, pada hubungan lebar karapas-berat, sebagian besar Scylla oceanica memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, artinya pertambahan berat tubuh lebih dominan dibandingkan pertambahan lebar karapas. Akan tetapi, S. oceanica yang berasal dari Pidie, Jambi, dan Mataram memiliki pola pertumbuhan isometrik, artinya pertambahan lebar karapas sama dengan pertambahan berat.

52 Menurut Hartnoll (1982) hubungan lebar karapas-berat pada kepiting dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Kemudian berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Gebang, yaitu sebesar 0,967 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 96,7%. Selanjutnya pada Gambar 21 terlihat bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat S. oceanica memiliki distribusi yang normal dengan nilai rata-rata b kurang dari 3, yaitu 2,8325. 4.5. Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hubungan Kekerabatan Genus Scylla Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data hingga mendapatkan suatu komponen utama yang dapat menggambarkan sebagian besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Variabel yang digunakan dalam AKU hanya 10 karakter morfometrik kepiting bakau Scylla spp. yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), berat tubuh (B), tinggi tubuh (T), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb), panjang cheliped sebelah kanan dan kiri (PCR dan PCL), panjang profundus sebelah kanan dan kiri (PPR dan PPL), serta tinggi cheliped sebelah kanan dan kiri (TCR dan TCL). Karakter meristik yang meliputi jumlah duri frontal margin (SO), jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR) tidak digunakan dalam AKU, hal tersebut dikarenakan jumlah duri dari ketiga karakter meristik hampir sama pada setiap sampel kepiting sehingga memiliki keragaman yang mendekati nol. 4.5.1. Scylla serrata Berdasarkan hasil perhitungan Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 91,3% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan

53 eigen value (akar ciri pertama) sebesar 10,041 yang juga merupakan ragam komponen utama. Selain itu diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari seluruh karakter morfometrik S. serrata yang dapat menggambarkan secara umum karakter morfometriknya. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,295P + 0,289L + 0,294T + 0,302B + 0,290P.orb + 0,311Pcr + 0,302Ppr + 0,306Tcr + 0,311Pcl + 0,302Ppl + 0,314Tcl. Berdasarkan nilai vektor ciri komponen utama pertama, terlihat bahwa nilai setiap karakter morfometrik S. serrata bernilai positif artinya keseluruhan karakter morfometrik di atas dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi terdapat satu karakter yang paling berpengaruh pada AKU, yaitu tinggi chela sebelah kiri (TCL), hal ini dikarenakan karakter tersebut memiliki hubungan korelasi paling dekat dengan komponen utama pertama. Kemudian, terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 5,1% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. serrata dan memiliki eigen value (nilai akar ciri atau ragam) sebesar 0,563. Berdasarkan besaran persentase total keragaman dari dua komponen utama diperoleh satu komponen utama, yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. serrata yang bernilai 91,3% dibandingkan dengan komponen utama kedua yang bernilai 5,1%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan penggerombolan S. serrata menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 22, yang menampilkan kemiripan Scylla serrata di setiap daerah, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. serrata antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar Scylla serrata di beberapa lokasi penelitian memiliki perbedaan pada karakter morfometriknya. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil (garis berwarna merah) pada Gambar 22, misalnya S. serrata yang berasal dari Blanakan memiliki kemiripan dengan yang berasal dari Samarinda dan Mataram tetapi berbeda dengan S. serrata yang berasal dari Jambi dan Ambulu. Menurut Overton et al. (1997) terjadinya perbedaan karakter morfometrik pada kepiting bakau disebabkan oleh

54 adanya pengaruh lingkungan perairan di sekitar hutan mangrove yang dapat mempengaruhi sifat fenotip dari kepiting bakau. Selain itu, faktor suhu pun dapat menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi karakteristik morfometrik kepiting bakau walaupun terpisah oleh jarak geografi yang jauh karena suhu dapat mempengaruhi iklim pada suatu daerah. Hal ini pun berlaku pada kepiting bakau jenis S. tranquebarica dan S. oceanica. Gambar 22. Grafik score plot Scylla serrata. Overton et al. (1997) menyatakan terdapat perbedaan kepiting bakau yang berasal dari empat lokasi di Asia Tenggara, yaitu Klong Ngao, Ranong, Thailand; Teluk Ban Don, Surat Thani, Thailand; Can Gio, Vietnam Selatan; serta Sematan, Sarawak, Malaysia Timur. Kepiting bakau yang diteliti memiliki dua sifat fenotif, yaitu kepiting bakau tipe black dan white berdasarkan nama lokalnya. Khusus kepiting bakau yang berasal dari Teluk Ban Don terdapat kedua jenis kepiting ( black dan white) yang simpatrik, artinya kedua jenis kepiting tersebut hidup dalam habitat yang sama tetapi tidak melakukan perkawinan antar spesies. Berdasarkan keempat lokasi tersebut, diketahui terdapat tiga kelompok berbeda berdasarkan kemiripan karakter pada masing-masing lokasi. Kepiting bakau yang berasal dari Klong Ngao (Thailand) memiliki kemiripan dengan kepiting bakau dari

55 Sematan (Malaysia) dengan sifat fenotif black. Kemudian, kepiting bakau yang berasal dari Teluk Ban Don (Thailand) dengan sifat fenotif black memiliki kemiripan dengan kepiting bakau yang berasal dari Can Giao (Vietnam) dengan sifat fenotif white. Sedangkan kepiting bakau yang berasal dari Klong Ngao (Thailand) yang memiliki sifat fenotif white dan black membentuk kelompok tersendiri. Berdasarkan Gambar 22 terdapat dua kelompok besar yang memiliki kemiripan satu sama lainnya, yaitu kelompok 1 (Pidie, Maros, Jambi, Cilamaya, Bone, Blanakan, Jayapura, Gebang, Ambulu, Mataram, dan Samarinda) serta kelompok 2 (Teluk Bintuni). Berdasarkan kelompok tersebut, dapat diketahui bahwa penyebaran Scylla serrata di wilayah bagian barat dan timur Indonesia tidak dipengaruhi oleh adanya garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok 1 di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, dan Jayapura) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidie, Jambi, Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Samarinda). Distribusi S. serrata yang tidak dipengaruhi oleh garis Wallace dapat disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla serrata di dunia, yang menyebar mulai dari Samudera Hindia (Pakistan hingga Australia Barat), Laut Cina Selatan (Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak, hingga Cina Selatan), hingga ke Samudera Pasifik (Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria) (Keenan et al. 1998 in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut seperti tampak pada Gambar 24. Gambar 23. Peta distribusi Scylla serrata di dunia (FAO 1998).

56 4.5.2. Scylla tranquebarica Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 92,6% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan eigen value (nilai akar ciri pertama) sebesar 10,181 yang merupakan ragam komponen utama. Kemudian, diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari seluruh karakter morfometrik yang dapat menggambarkan secara umum keseluruhan karakter morfometrik S. tranquebarica. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,311P + 0,310L + 0,307T + 0,304B + 0,303P.orb + 0,3Pcr + 0,299Ppr + 0,286Tcr + 0,298Pcl + 0,293Ppl + 0,306Tcl. Berdasarkan vektor ciri yang bernilai positif pada setiap karakter morfometriknya, keseluruhan karakter morfometrik di atas dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi terdapat satu karakter morfometrik yang paling berpengaruh pada AKU, yaitu panjang orbital (P.orb atau optical groove width) berdasarkan hubungan korelasi terdekat dengan komponen utama pertama. Kemudian terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 5,9% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. tranquebarica dan memiliki nilai akar ciri atau ragam sebesar 0,647. Berdasarkan besaran persentase nilai keragaman kedua komponen utama, diperoleh satu komponen utama saja yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. tranquebarica dengan persentase sebesar 92.6% dibanding komponen utama kedua yang bernilai 5.9%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan secara sederhana penggerombolan S. tranquebarica menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 24, yang menampilkan kemiripan Scylla tranquebarica di setiap daerah secara sederhana, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. tranquebarica antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar.

57 Gambar 24. Grafik score plot Scylla tranquebarica. Kepiting bakau Scylla tranquebarica di beberapa lokasi penelitian memiliki pada karakter morfometriknya. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil pada Gambar 24, misalnya S. tranquebarica yang berasal dari Pidi dan Maros memiliki kemiripan tetapi berbeda dengan S. tranquebarica yang berasal dari Samarinda dan Bone. Hal ini sama dengan dengan hasil penelitian Overton et al. (1997). Selanjutnya, berdasarkan Gambar 24 terdapat dua kelompok besar yang memiliki kemiripan antar daerahnya, yaitu kelompok 1 (Pidie, Maros, Samarinda, Bone, Blanakan, Gebang, Mataram, Pontianak, dan Jayapura) serta kelompok 2 (Teluk Bintuni). Berdasarkan kelompok tersebut, dapat diketahui bahwa penyebaran Scylla tranquebarica di wilayah bagian barat dan timur Indonesia tidak dipisahkan oleh garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok 1 di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, dan Jayapura) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidi, Blanakan, Gebang, Samarinda, dan Kalimantan Barat) menjadi satu kelompok. Distribusi S. tranquebarica yang tidak terpengaruh oleh garis Wallace dapat disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla tranquebarica di dunia, yang menyebar mulai dari Samudera Hindia (Pakistan hingga Malaysia), Laut Cina Selatan (Singapura dan Sarawak), hingga ke Samudera Pasifik (Filipina) (Keenan et al. 1998

58 in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut, seperti pada Gambar 25. Gambar 25. Peta distribusi Scylla tranquebarica di dunia (FAO 1998). 4.5.3 Scylla oceanica Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 94,6% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan eigen value (nilai akar ciri pertama) sebesar 10,408 yang merupakan ragam komponen utama. Kemudian diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari S. oceanica yang dapat menggambarkan secara umum karakter morfometrik S. oceanica. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,296P + 0,305L + 0,303T + 0,295B + 0,298P.orb + 0,302Pcr + 0,295Ppr + 0,303Tcr + 0,309Pcl + 0,306Ppl + 0,304Tcl. Berdasarkan nilai vektor ciri dari setiap karakter morfometrik S. oceanica yang bernilai positif, keseluruhan karakter morfometrik tersebut dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi, terdapat satu karakter morfometrik yang paling berpengaruh, yaitu panjang chela sebelah kiri (Pcl), hal ini berdasarkan hubungan korelasi terdekat dengan komponen utama pertama. Kemudian terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 3,2% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. oceanic serta memiliki nilai akar ciri atau ragam sebesar 0,348. Berdasarkan besaran persentase nilai keragaman dari kedua komponen utama, diperoleh satu komponen

59 utama saja, yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. oceanica sebesar 94,6% dibanding komponen utama kedua yang bernilai 3,2%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan secara sederhana penggerombolan S. oceanica menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 26, yang menampilkan kemiripan Scylla oceanica di setiap daerah secara sederhana, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. oceanica antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar Gambar 26. Grafik score plot Scylla oceanica.. Berdasarkan Gambar 26, dikeahui bahwa terdapat perbedaan pada karakter morfometrik Scylla oceanica di beberapa lokasi penelitian. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil pada Gambar 26, misalnya S. oceanica yang berasal dari Maros memiliki kemiripan dengan yang berasal dari Samarinda tetapi berbeda dengan S. oceanica yang berasal dari Blanakan dan Gebang. Selanjutnya berdasarkan Gambar 26, terdapat dua kelompok besar berdasarkan kemiripan antar daerahnya, yaitu kelompok 1 (Pidi, Bone, Maros, Jambi, Samarinda, Blanakan, Gebang, dan Mataram) serta kelompok 2 (Bintan, Kalimantan Barat,

60 Jayapura, dan Teluk Bintuni). Selanjutnya dapat diperoleh suatu gambaran mengenai penyebaran kepiting bakau S. oceanica yang tidak dipengaruhi oleh garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kedua kelompok besar di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, Jayapura, dan Teluk Bintuni) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidi, Jambi, Bintan, Blanakan, Gebang, Samarinda, dan Kalimantan Barat). Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya penyebaran spesies S. oceanica di dunia (Gambar 27). Gambar 27. Peta distribusi Scylla oceanica di dunia (FAO 1998). Berdasarkan Gambar 27, distribusi S. oceanica yang tidak terpengaruh oleh garis Wallace disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla oceanica di dunia, yang menyebar mulai dari Indo-Pasifik Barat (Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina), Taiwan, Jepang, hingga ke Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat) (Keenan et al. 1998 in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut. 4.6. Analisis Biplot Karakter Meristik dan Morfometrik Kepiting Bakau Analisis biplot digunakan untuk mengetahui keeratan antara karakter meristik dan morfometrik kepiting bakau, yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), berat tubuh (B), tinggi tubuh (T), jumlah duri frontal margin (SO), jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb) panjang cheliped sebelah kiri dan kanan (PCL dan PCR),

61 panjang profundus sebelah kiri dan kanan (PPL dan PPR), serta tinggi cheliped sebelah kanan dan kiri (TCL dan TCR) pada kepiting bakau. Selain itu, analisis biplot digunakan pula untuk mengetahui keragaman setiap karakter dan nilai peubah karakter untuk mengetahui keunggulan karakter tersebut. Analisis biplot dari Scylla serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 28, Gambar 29, dan Gambar 30. 5 4 Samari nd 3 Pcr Pcl 2 1 0-1 -2 Mat aram Ppr Tcr Ppl Tcl Bl anakan PL Porb T SO Gebang Pi di Jambi SCR SCL Bone Maros Jayapura Ci l amaya Ambul u Tel. Bi nt B -10 0 10 20 30 Di mensi on 1 (99. 1%) Gambar 28. Grafik biplot Scylla serrata. Berdasarkan Gambar 28, dapat dilihat bahwa karakter P, L, T, B, PCR, PPR, TCR, PCL, PPL, dan TCL saling berkorelasi positif berdasarkan sudut-sudut yang dibuat antar karakter kurang dari 90 o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya pun akan mengalami peningkatan. Nilai keragaman ditunjukkan oleh garis berwarna merah dimana semakin panjang garis tersebut, keragamannya semakin besar. Karakter meristik SO, SCR, dan SCL memiliki keragaman yang sangat kecil mendekati nol, hal ini menggambarkan nilai dari karakter tersebut hampir sama di setiap daerah. Sedangkan keragaman karakter morfometrik lainnya memiliki keragaman yang tinggi. Scylla serrata yang berasal dari Pidie, Jambi, Maros, Cilamaya, Ambulu dan Bone memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan spesies S. serrata dari daerah lainnya. S. serrata yang berasal dari Samarinda, Mataram,

62 Blanakan, dan Subang memiliki ukuran yang hampir sama. Kemudian, S. serrata dari Teluk Bintuni dan Jayapura memiliki ukuran yang relatif lebih besar dan dapat digambarkan oleh berat badannya yang besar. Ketiga hal di atas berkenaan dengan sudut yang dibentuk antara suatu lokasi dengan karakter morfometrik atau meristiknya, jika sudut yang dibentuk lebih dari 90 o maka ukuran kepiting di daerah tersebut di atas ukuran rata-rata karakter morfometrik atau meristiknya begitu pula jika sebaliknya. 5 4 L 3 2 1 0-1 Samari nd Bone Pcl P Ppl Mat aram T Bl anakan Gebang Porb Tcl SCR SCL SO Ppr Pcr Tcr Kal bar Jayapura B -2-3 -4 Maros Pi di Tel. Bi nt -10 0 10 20 30 Di mensi on 1 (99. 4%) Gambar 29. Grafik biplot Scylla tranquebarica. Berdasarkan Gambar 29, di atas dapat dilihat bahwa karakter P, L, T, B, PCL, PPL, dan TCL saling berkorelasi positif berdasarkan sudut-sudut yang dibuat antar variabel kurang dari 90 o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya pun akan mengalami peningkatan. Sedangkan karakter PPR, PCR, dan TCR saling berkorelasi negatif dengan karakter P, L, T, B, PCL, PPL, dan TCL berdasarkan sudut antar variabel lebih dari 90 o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya akan mengalami penurunan. Akan tetapi, hubungan di antara karakter PPR, PCR, dan TCR saling berkorelasi positif. Nilai keragaman ditunjukkan oleh garis berwarna merah di mana semakin panjang garis tersebut, keragamannya semakin besar. Karakter meristik SO, SCR, dan SCL memiliki keragaman yang sangat kecil mendekati nol, hal ini menggambarkan nilai