BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Melalui pendidikan

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh: Maryunia Siwi Utami, Asri Widowati, M.Pd., dan Sabar Nurohman, M.Pd., FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Arus globalisasi akan

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi tantangan-tantangan global. Keterampilan berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

BAB I PENDAHULUA N A.

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU

BAB I PENDAHULUAN. dengan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu cara

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di sekitarnya. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu untuk. mengembangkan potensi diri dan sebagai katalisator bagi terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. dimana berbagai informasi mudah didapatkan oleh semua orang di. Perkembangan IPTEK yang sangat pesat dapat berimbas pada tantangan

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) juga. persaingan global yang dihadapi oleh setiap negara, khususnya

KETERAMPILAN DASAR KINERJA ILMIAH PADA MAHASISWA CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN. optimum hendaknya tetap memperhatikan tiga ranah kemampuan siswa yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Sains diartikan sebagai bangunan ilmu pengetahuan dan proses.

BAB I PENDAHULUAN. Di era global ini, tantangan dunia pendidikan begitu besar, hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. pergantian zaman, pendidikan juga mengalami perkembangan, yaitu. menyesuaikan dengan keadaan yang sedang berlangsung.

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

I. PENDAHULUAN. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penemuan dan. pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan materi, energi,

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di sekolah dasar, Ilmu Pengetahuan Alam atau sains merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kehidupan. Setyawati (2013:1) menyatakan bahwa peningkatan kualitas

ANALISIS BUKU AJAR BIOLOGI SMA KELAS X DI KOTA BANDUNG BERDASARKAN LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan fisika sebagai bagian dari pendidikan formal dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memberikan. kemampuan yang dapat memecahkan masalah atau isu-isu yang beredar.

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. mengajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. penyampaian informasi (transfer of knowledge) dari guru ke siswa. Padahal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. secara maksimal. Keberadaan buku ajar memberikan kemudahan bagi guru dan. siswa untuk dapat memahami konsep secara menyeluruh.

PENGEMBANGAN LKS PRAKTIKUM BERBASIS INKUIRI TERBIMBING PADA POKOK BAHASAN LARUTAN PENYANGGA KELAS XI IPA SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan problem solving pada dasarnya merupakan hakikat tujuan

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari IPA tidak terbatas pada pemahaman konsep-konsep IPA, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

I. PENDAHULUAN. baik, namun langkah menuju perbaikan itu tidaklah mudah, banyak hal yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. menyebabkan arus informasi menjadi cepat dan tanpa batas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Literasi sains didefinisikan oleh The National Science Education Standards

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogi Musthapa Kamil, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang terus-menerus, bahkan dewasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu

2015 ANALISIS NILAI-NILAI KARAKTER, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA TOPIK KOLOID MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

PENGARUH MODEL GUIDED INQUIRY DISERTAI FISHBONE DIAGRAM TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui. pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kritis sangat penting dimiliki oleh mahasiswa untuk

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI KEMAMPUAN AKADEMIK SISWA SMA NEGERI 5 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa

ANALISIS BUKU AJAR IPA YANG DIGUNAKAN DI SEMARANG BERDASARKAN MUATAN LITERASI SAINS

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. sangat banyak. Tuntutan tersebut diantaranya adalah anak membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

BAB I PENDAHULUAN. tahun ajaran 2013/2014. Pencapaian tujuan dari Kurikulum 2013

PENDAHULUAN. keahlian atau keterampilan di bidang tertentu. Menurut 21 st. Partnership Learning Framework (BSNP, 2013: 3-4), terdapat enam

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di Indonesia dewasa ini kurang berhasil meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. dampak semakin kompleksnya problematika yang dihadapi oleh manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam proses pembelajaran (Hayati, 2016). sebagai pesan, sumber belajar sebagai sumber pesan, media pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan abad 21 adalah pendidikan era digital yang memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Melalui pendidikan di Indonesia, harapannya dapat dihasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki kompetensi unggul untuk menghadapi tantangan global abad 21, sehingga tidak menjadi beban negara. Pendidikan dituntut untuk dapat menciptakan generasi yang terampil menggunakan teknologi, dapat bertahan dengan menggunakan life skill, yang berupa hard skill dan soft skill yang didalamnya termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi (Trilling & Fadel, 2009: 40-51). Dalam penerapanya, ini juga berlaku dalam pembelajaran IPA. Bansford et.al. dalam National Science Education Standard mengemukakan bahwa literasi IPA meliputi konten IPA dan penggunaan teknologi dalam mencapai tujuan pembelajaran. In the national science Education Standards, a central component of scientific literacy is the appropriate use of technology to support learning goals. Komponen utama dari literasi sains adalah penggunaan teknologi yang tepat untuk mendukung tujuan pembelajaran. Termasuk untuk mengembangkan konten sains dan keterampilan penalaran ilmiah (Sandra, 2010: 473). Dikatakan juga bahwa Scientific literacy is the knowledge and und erstanding of scientific concepts and processes required forpersonal 1

decision making, participation in civic and cultural affairs, and economic productivity. It also includes specific types of abilities (National Research Council, 1996: 21). Secara tidak langung literasi IPA membantu seseorang untuk dapat mengidentifikasi persoalan IPA berdasarkan pemecahan masalah secara ilmiah dan memanfaatkan teknologi informasi (National Research Council, 1996: 23). Penggunaan teknologi dalam pembelajaran IPA didukung oleh pemerintah melalui salinan lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Didalamnya dinyatakan bahwa sesuai dengan SKL dan Standar Isi (SI), maka prinsip pembelajaran yang digunakan menekankan pada peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hard skill) dan keterampilan mental (soft skill), serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Maka dari itu, pada era digital ini guru juga dituntut untuk dapat mengimplementasikan teknologi secara optimal untuk memfasilitasi aktivitas pembelajaran yang dapat mendorong pengembangan kemampuan peserta didik. Selain kemahiran dalam menggunakan teknologi dalam pembelajaran IPA, guru juga juga dituntut untuk dapat membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir yang baik melalui kegiatan pembelajaran IPA. Sebagai upaya memepersiapkan generasi unggul yang dapat bersaing di era global abad 21. Sebagaimana dikemukakan dalam 2

National Science Education Standards (1996: 20) bahwa pembelajaran IPA adalah pembelajaran aktif yang juga melibatkan minds-on experiences. Kemampuan berpikir merupakan kemampuan akal secara sadar untuk mengolah pengetahuan yang telah diterima melalui panca indra untuk memecahkan masalah secara lebih efektif dan efisien dalam upayanya bertahan hidup dan mempertahankan eksistensinya (Adun Rusyna, 2014: 2-5). Kemampuan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skills (HOTS) merupakan salah isu kecerdasan abad ke-21 yang meliputi kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Kemampuan berpikir perlu dilatih secara bertahap. Kemampuan berpikir analisis adalah langkah awal untuk melatih peserta didik agar dapat mencapai tahap-tahap kemampuan High Order Thinking Skills (HOTS) yang lebih tinggi. Ketika peserta didik sudah mampu diajak untuk berpikir analisis dengan baik, maka peserta didik dapat dilatih untuk mencapai tahap evaluasi dan mencipta. Kemampuan berpikir analisis ini penting untuk dikembangkan, agar peserta didik mampu memecahkan masalahnya secara lebih efektif dan efisien, baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang (Trilling & Fadel, 2009: 40-51). Upaya mengembangkan kemampuan berpikir analisis peserta didik dapat dilakukan melalui kegiatan inquiry. Pembelajaran inkuiri merupakan pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal untuk berpikir (Suyadi, 2013: 120). Roth, & Rochyhoudhury mengemukakan bahwa 3

inquiry-based science experiences conducted in relevant, meaningful context have been shown to develop higher order thingking skill in students (Bajpai, 2013: 45). Andrew, et.al. mengemukakan bahwa pendekatan guided inquiry IPA dapat meningkatkan pemahaman peserta didik. Saat peserta didik memahami lebih banyak konsep dan proses IPA, kemampuan mereka dalam menjelaskan akan menjadi lebih canggih, yang mencerminkan basis pengetahuan ilmiah yang luas, logis, tingkat analisis yang lebih tinggi, dan kritis (National Research Council, 1996: 117). Berdasarkan hasil PISA 2015, yang mengujikan soal-soal dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk anak usia SMP, dapat diketahui bahwa rata-rata skor pencapaian peserta didik di Indonesia untuk sains, membaca, dan matematika secara berturut-turut berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 70 negara. Peringkat ini tidak berbeda jauh dari hasil tes dan survey PISA tahun 2012, yang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 64 dari 65 negara. Data ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik di Indonesia masih rendah, dan perlu ditingkatkan. Hasil PISA ini dikuatkan dengan data hasil observasi pembelajaran di dua sekolah menengah pertama, diketahui bahwa soalsoal HOT sudah diberikan kepada peserta didik ketika proses pembelajaran IPA berlangsung, namun sebagian besar peserta didik memiliki masih mengalami kesulitan. Kegiatan yang cocok untuk mengembangkan kemampuan berpikir analisis ini salah satunya adalah inquiry, dan cara yang paling cocok untuk 4

menerapkan pendekatan inquiry adalah melalui kegiatan berbasis laboratorium. Berdasarkan fakta di lapangan, pelaksanaan kegiatan laboratorium belum optimal dan guru masih kesulitan dalam menerapkan kegiatan laboratorium dalam pembelajaran IPA di sekolah, sehingga jarang dilakukan. Alasanya antaralain karena keterbatasan alokasi waktu pembelajaran, membutuhkan banyak waktu dalam menyiapkan alat dan bahan, memberikan instruksi kegiatan eksperimen, mengkondisikan peserta didik, melakukan konfirmasi ulang terhadap hasil yang diperoleh peserta didik, sedangkan laboratorium IPA yang ada hanya satu untuk duabelas kelas. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, dapat diketahui bahwa laboratorium virtual dapat memenuhi dan melengkapi kebutuhan penyelidikan sebagaimana kegiatan laboratorium yang dilakukan secara real. Dengan kemampuan modeling dan simulasinya laboratorium virtual memiliki kelebihan dibandingkan dengan kegiatan laboratorium konvensional sebagai berikut: (1) murah, (2) praktikum bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, (3) membantu mengatasi kekurangan alat, (4) memungkinkan siswa memilih sendiri percobaan yang akan dilakukan; (5) memungkinan siswa mengulang bagian praktikum laboratorium yang kurang jelas, (6) meningkatkan keterlibatan siswa; (7) merangsang siswa untuk bekerja dan memecahkan masalah secara mandiri; (8) meningkatkan pemahaman konsep anak pada konsep yang bersifat abstrak (Hardyanto, 2012: 6-7). Knapp & Allen (1996: 116) juga menambahkan bahwa laboratorium elektronik dapat melakukan hands-on 5

experience dengan peralatan yang lebih mudah, lebih aman, dan lebih ringkas dibandingkan secara tradisional. Berdasarkan observasi fasilitas sekolah, sudah tersedia dua ruangan laboratorium komputer, LCD, proyektor, dan wifi. Di sisi lain ketersediaan fasilitas teknologi ini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran IPA yang diharapkan. Keberadaan laboratorium komputer dan fasilitas IT ini seharusnya dapat digunakan sebagai media penunjang kegiatan pembelajaran, untuk mempercepat guru dalam proses penyampaian materi dan memaksimalkan pencapaian tujuan pembelajaran. Sebagaimana fungsi media pembelajaran adalah sebagai alat yang dapat membantu proses pembelajaran, untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai lebih baik,dan lebih sempurna (Daryanto, 1993: 25). Berdasarkan observasi pembelajaran, pembelajaran IPA yang ada masih berpusat pada guru, dan peserta didik kurang aktif dalam proses pembelajaran. Guru hendaknya dapat membuat pembelajaran dikelas menjadi lebih aktif. Sebagaimana dinyatakan dalam National Science Education Standards, bahwa pada prinsipnya pembelajarn IPA merupakan proses aktif yang melibatkan hands-on dan minds-on experiences. Handson experience yang dimaksud adalah melakukan proses-proses ilmiah, sedangkan minds-on experience adalah kegiatan berpikir seperti memecahkan masalah, dan berpikir analisis. Pembelajaran yang dilakukan 6

untuk mengaktifkan peserta didik ini dapat dilakukan dengan kegiatan penyelidikan yang berbasis inkuiri (National Research Council, 1996: 20). Collete & Chiapetta (1994: 86-87) mengemukakan bahwa pendekatan inquiry menekankan pada pembelajaran aktif, yang membekali guru untuk mengembangkan lingkungan belajar yang dapat menstimulasi rasa ingin tahu peserta didik dan keinginan peserta didik untuk melakukan kegiatan penyelidikan. Melalui pendekatan inquiry, peserta didik juga dapat membangun konsep mereka sendiri dengan lebih baik, untuk dapat mengembangkan kemampuan pola penalaran mereka secara lebih efektif (Bajpai, 2013: 45). Salah satu jenis inquiry ini adalah guided inquiry. Alasan menggunakan pendekatan guided inquiry (inkuiri terbimbing), karena berdasarkan observasi peserta didik masih membutuhkan bimbingan guru. Sesuai dengan pernyataan (Asih, 2014: 81) yang mengemukakan bahwa pendekatan inkuiri di tingkat SMP masih tahap inkuiri terbimbing. Dari berbagai pemaparan permasalahan di atas, peneliti menganalisis bahwa dibutuhkan alternaltif media pembelajaran yang lebih efektif, praktis, dan efisien. Dalam hal ini, media yang akan dikembangkan yaitu virtual laboratory. Virtual laboratory ini dapat mengatasi permasalahan pada kegiatan laboratorium real, seperti mempersingkat proses IPA yang membutuhkan waktu lama, sehingga dapat mempercepat proses penyampaian materi, virtual laboratory dapat menghemat waktu untuk menyiapkan alat dan bahan, memberikan instruksi eksperimen, dan 7

konfirmasi hasil. Animasi dan simulasi kegiatan laboratorium yang disajikan dalam virtual laboratory merupakan lingkungan yang cocok untuk menerapkan pembelajaran berbasis inquiry. Virtual laboratory cocok untuk materi-materi yang sifatnya eksperimental dan abstrak seperti gerak pada tumbuhan. Berdasarkan wawancara, secara umum media yang digunakan untuk memperjelas pengetahuan peserta didik mengenai sistem gerak pada tumbuhan belum mengintegrasikan teknologi komputer, hanya melalui gambar materi dari LKS dan buku paket. Secara manual, gerak tumbuhan dapat diamati oleh peserta didik, akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama dan terus-menerus, padahal alokasi waktu pembelajaran materi tersebut hanya 5x40 menit. Hal tersebut menyebabkan pengamatanya kurang maksimal bila dilakukan tanpa bantuan media. Kemampuan untuk mempercepat dan merangkum semua proses sains yang terjadi dapat dilakukan menggunakan media virtual laboratory. Peserta didik dapat melihat secara detail fenomena IPA yang tidak dapat diamati secara langsung menggunakan panca indra, melalui animasi simulasi dan pemodelan yang di sajikan melalui virtual laboratory. Simulasi dan pemodelan dapat memperjelas dan memperinci bagian bagian detail yang tidak dapat diamati langsung menggunakan panca indra manusia. Peserta didik akan lebih mudah memahami apabila mereka memiliki gambaran peristiwa yang terjadi sesunguhnya melalui simulasi dan animasi, daripada hanya membaca dari buku teks. Penggunaan virtual 8

laboratory juga dapat diulang-ulang, kapan saja dan dimana saja oleh peserta didik. Ketika peserta didik dapat memahami lebih banyak konsep dan proses IPA, kemampuan mereka dalam menjelaskan akan menjadi lebih canggih, mencerminkan basis pengetahuan ilmiah yang luas, logis, tingkat analisis yang lebih tinggi, dan kritis (National Research Council, 1996: 117). Pada ahirnya pencapaian tujuan pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, antara lain: 1. Idealnya pendidikan dan pembelajaran IPA di era digital sudah mengintegrasikan pemanfaatan teknologi dan informasi dalam pembelajaran, akan tetapi kenyatannya fasilitas teknologi informasi yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal. 2. Kemampuan berpikir analisis merupakan salah satu komponen HOTS yang menjadi isu kecerdasan untuk menghadapi abad 21 ini. Akan tetapi kenyataanya peserta didik belum terlatih untuk mengembangkan kemampuan berpikir analisis dalam pembelajaran IPA. 3. Kemampuan berpikir analisis peserta didik dapat dilatih dan ditingkatkan melalui kegiatan penyelidikan di laboratorium, akan tetapi faktanya guru masih mengalami banyak kendala dalam melaksanakan kegiatan laboratorium secara real tanpa menggunakan bantuan teknologi komputer. 9

4. Berdasarkan hasil observasi, sudah tersedia fasilitas LCD, proyektor, dan laboratorium komputer, tetapi belum digunakan secara maksimal untuk membantu tercapainya tujuan pembelajaran IPA. 5. Idealnya pembelajaran IPA pada abad 21 ini adalah pembelajaran yang aktif dan terpusat pada peserta didik, tetapi realitanya pembelajaran IPA yang ada masih berpusat pada guru. 6. Idealnya pembelajaran pada materi gerak pada tumbuhan membutuhkan waktu yang lama dalam proses observasi dan praktikumnya, akan tetapi kenyataanya alokasi waktu penyampaian materi sangat terbatas. 7. Idealnya media pembelajaran menarik dan dapat membantu memperjelas pemahaman peserta didik. Akan tetapi media yang digunakan untuk memperjelas pengetahuan peserta didik mengenai sistem gerak pada tumbuhan hanya melalui gambar dan materi di buku paket. C. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada masalah nomor 3, 5 dan 7, sehingga judul penelitian ini adalah Pengembangkan virtual laboratory berpendekatan guided inquiry materi Gerak Pada Tumbuhan untuk meningkatkan kemampuan berpikir analisis peserta didik yang meliputi kemampuan untuk membedakan, mengorganisasikan, dan mengatribusikan. 10

D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Apakah virtual laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi Gerak pada Tumbuhan ini memenuhi kriteria layak digunakan menurut ahli dan guru IPA? 2. Bagaimana respon peserta didik terhadap media pembelajaran virtual laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi Gerak pada Tumbuhan yang dikembangkan? 3. Seberapa besar peningkatan kemampuan berpikir analisis peserta didik setelah menggunakan media pembelajaran virtual laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi Gerak pada Tumbuhan? E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Menghasilkan virtual laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi Gerak Pada Tumbuhan yang layak menurut ahli dan guru IPA. 2. Mengetahui respon peserta didik terhadap media pembelajaran virtual laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi Gerak pada Tumbuhan yang dikembangkan 3. Mengetahui berapa besar peningkatan kemampuan berpikir analisis peserta didik setelah menggunakan virtual laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi Gerak pada Tumbuhan. 11

F. Spesifikasi Produk dan Keterbatasan Pengembangan Spesifikasi produk, dan keterbatasan pengembangan pada penelitian ini, antara lain: 1. Produk yang dihasilkan dari penelitian pengembangan ini yaitu adalah virtual laboratory IPA untuk meningkatkan kemampuan berpikir analisis peserta didik SMP kelas VIII semester 2. 2. Media virtual laboratory ini dapat di gunakan di semua perangkat computer, dan smart phone yang memiliki sistem android. 3. Materi yang disajikan dalam bentuk animasi, gambar, tulisan, video, simulasi, eksperimen, dan soal-soal diskusi dalam virtual laboratory dapat meningkatkan keterampilan berpikir analisis peserta didik. 4. Media virtual laboratory ini di desain dengan isi materi Gerak pada Tumbuhan kelas VIII semester 2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. G. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti: a. Menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti mengenai proses pembuatan media pembelajaran virtual laboratory sehingga dapat digunakan sebagai bekal mengajar. b. Melatih kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian. c. Mengaplikasikan ilmu pedagogi dan keilmuan IPA. 12

2. Bagi Guru: a. Memberikan informasi dan referensi untuk mengembangkan media pembelajaran IPA. b. Memberikan contoh penerapan pembelajaran berpendekatan inkuiri terbimbing dengan media berbasis teknologi. 3. Bagi Peserta didik: a. Meningkatkan kemampuan kemampuan berpikir analisis peserta didik. b. Meningkatkan hasil belajar peserta didik. c. Memberikan pemahaman yang lebih baik karena peserta didik dapat mempelajari materi dan konsep pembelajaran IPA khususnya untuk materi Gerak pada Tumbuhan untuk kelas VIII semester 2. H. Definisi Operasional Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Virtual laboratory bentuk tiruan laboratorium IPA yang nyata, berbasis komputer interaktif dengan mengintegrasikan teks, gambar, animasi, suara dan video melalui pemodelan, simulasi, dan animasi yang digunakan dalam aktivitas pembelajaran ataupun penelitian ilmiah untuk mendalami konsep-konsep IPA. 2. Pendekatan guided inquiry merupakan pendekatan pembelajaran melalui proses penyelidikan yang langkahnya meliputi orientasi masalah, merumuskan masalah, menyusun hipotesis, menguji hipotesis, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan hasil. 13

3. Kemampuan berpikir analisis adalah kemampuan untuk menguraikan materi kedalam unsur-unsur pembentuknya, mencari hubungan, dan mengorganisasikan susunan antar unsur-unsur tersebut secara terpisah maupun secara keseluruhan. Kemampuan ini terdiri dari tiga aspek, yaitu membedakan (differentiating), mengoranisasikan (organizing), dan mengatribusikan (attributing). 14