BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stres Gibson menyatakan bahwa Stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). Definisi ini menjelaskan sebuah kondisi susah atau penderitaan yang menunjukkan paksaan, tekanan, ketegangan, atau usaha yang kuat. Diutamakan ditunjukkan pada individual, organ individual atau kekuatan mental seseorang. Gibson juga mendefinisikan stres sebagai interaksi antara stimulus dan respons. Stres sebagai stimulus adalah kekuatan atau dorongan terhadap individu yang menimbulkan reaksi ketegangan atau menimbulkan perubahan-perubahan fisik individu. Stres sebagai respons yaitu respons individu baik respons yang bersifat fisiologis, dan psikologis terhadap stresor yang berasal dari lingkungan, sehingga Gibson merumuskan definisi kerja mengenai stres dan mendefiniskan stres sebagai suatu tanggapan adaptif ditengahi oleh perbedaan individual dan/atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap kegiatan (lingkungan), situasi, atau kejadian eksternal yang membebani tuntutan psikologis atau fisik yang berlebihan pada seseorang (Dalam Dewi, 2010). Definisi lain mengenai stres datang dari Baum, yang menyatakan bahwa stres adalah pengalaman emosional negatif yang disertai dengan perubahan biochemical, fisiologis, kognitif, dan perubahan tingkah laku yang dapat dikur dan secara langsung berubah atau terakomodasi karena adanya situasi yang menekan 8
9 (stressful event). Stres timbul karena adanya stresor. Menurut Taylor, stresor adalah segala sesuatu yang ada dan membangkitkan stres pada situasi yang menekan (Dalam Dewi, 2010). Stres adalah suatu keadaan dimana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu (Slamet & Markan, 2008). Beranjak dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan respons antara individu dengan sumber personal yang dimiliki terhadap stresor yang merupakan hasil interaksi individu itu sendiri dengan lingkungannya. Bila organisme tidak kuat menghadapi dan menganggap stresor tersebut sebagai tuntutan dari lingkungan yang menekan, maka stresor dapat menyebabkan ketegangan yang selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan. Namun, bila individu tersebut menghadapi dan mengelola stresor dengan baik maka akan timbul hal-hal yang positif. 2.1.1 Definisi Stres Kerja Hans Selye menyatakan stres kerja sebagai kerusakan pada tubuh dikarenakan tuntutan yang diberikan kepadanya (Dalam King, 2012). Stres kerja menurut Handoko, adalah kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang dimana stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan pekerjaan (Handoko, 2010). Stress kerja menurut Mangkunegara, adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari symptom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur,
10 merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan (Mangkunegara, 2013). Brousseau dan Prince mengatakan bahwa stres kerja juga dipandang sebagai kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul karena karyawan merasa terancam dalam bekerja. Spears mendefiniskan stres kerja sebagai reaksi seseorang terhadap tekanan yang berlebihan atau tuntutan di tempat kerja yang bersifat merugikan. Rivai dan Sagala mendefiniskan stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir, dan kondisi seseorang yang bekerja (Dalam Dewi, 2010). Robbins menyatakan bahwa stres kerja merupakan keadaan yang dinamik yang diinginkan dan hasilnya diartikan sebagai sesuatu hal yang tidak pasti namun sangat penting baginya yang berupa peluang, kendala maupun tuntutan (Robbins, 2016). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa stres kerja didefinisikan sebagai situasi yang menuntut usaha individu untuk mengatasinya, stres kerja juga didefinisikan sebagai reaksi individu pada situasi yang menekan dan stres kerja melibatkan perubahan kondisi normal seseorang baik pada kondisi psikologis, fisik, dan individu itu sendiri. 2.1.2 Sumber-sumber stres kerja Robbins (2016) mengatakan bahwa sumber potensial stres dapat dibagi kedalam tiga kategori umum, yakni faktor lingkungan, faktor organisasi, dan faktor individual.
11 a. Faktor lingkungan seperti ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain dari struktur suatu organisasi, ketidakpastian itu juga mempengaruhi tingkat stres di kalangan karyawan dalam organisasi tersebut. Lingkungan kerja tidak hanya memberikan pengaruh terhadap desain struktur organisasi, namun juga pada stres yang terjadi antara pekerja dan organisasinya. Faktor lingkungan yang berpengaruh meliputi ketidakpastian politik (political uncertainty), situasi ekonomi yang tidak menentu, yaitu akibat perubahan dunia bisnis yang meningkatkan kecemasan pegawai akan kelangsungan pekerjaannya dan ketidakpastian teknologi (technological uncertainty) yang menuntut pekerja untuk selalu memperbaharui kemampuan mereka dalam mengoperasikan alatalat teknologi. Ketidakpastian teknologi dapat menjadi penyebab stres karena inovasi-inovasi baru dapat membuat keterampilan dan pengalaman seorang karyawan menjadi ketinggalan dalam periode waktu yang singkat, komputer, robot, otomatisasi, dan ragam-ragam lain dari inovasi teknologis merupakan ancaman bagi banyak orang dan menyebabkan stres. b. Faktor organisasi diantaranya tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan, seorang bos yang menuntut dan tidak peka, serta rekan kerja yang tidak menyenangkan merupakan beberapa contoh faktor-faktor di dalam organisasi yang dapat menimbulkan stres. Robbins (2016) juga menambahkan faktor-faktor organisasi dikategorikan sebagai berikut : 1). Tuntutan pekerjaan (task demands). Faktor ini berhubungan dengan pekerjaan, meliputi desain dari pekerjaan tersebut (autonomi, variasi
12 pekerjaan, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan iklim organisasi). 2). Tuntutan peran (role demands). Faktor ini berhubungan dengan tekanan yang ada pada lingkungan kerja yang dirasakan pekerja akibat dari peran yang dimainkan dalam organisasinya. Konflik peran menyebabkan ekspektasi yang berpotensi membuat pekerja mengalami kesulitan untuk berbaur dengan lingkungan sosial dan merasa puas dengan pekerjaannya. Peran yang berlebihan (role overload) juga mempengaruhi tingkat stres kerja. Peran yang berlebihan juga yang merupakan situasi yang dirasakan pekerja ketika mereka diminta bekerja melebihi batas waktu yang disepakati. Faktor peran yang juga dapat menyebabkan stres kerja adalah ambiguitas peran (role ambiguity) yaitu ketika pekerja merasa pekerjaan tidak tergambar dan dimengerti dengan jelas dan pekerja tidak mengetahui secara pasti apa yang dikerjakan. 3). Tuntutan interpersonal (interpersonal demand) adalah faktor yang mempengaruhi stres yang berasal dari pekerja lain. Kurangnya dukungan sosial dari kolega dan rendahnya hubungan interpersonal dapat menyebabkan stres kerja, terutama pada pekerja yang membutuhkan kebutuhan sosial yang tinggi. 4). Struktur organisasi, yaitu faktor yang menjelaskan perbedaan level pada organisasi, derajat aturan, dan regulasi, dan cara keputusan akan dibuat. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan dapat menyebabkan stres kerja bagi karyawan.
13 5). Kepemimpinan organisasi memberikan gaya manajemen pada organisasi. Beberapa pihak didalamnya dapat membuat iklim organisasi yang melibatkan ketegangan, ketakutan, dan kecemasan. c. Faktor individual sebenarnya merupakan penetapan lazimnya individu hanya bekerja 40 sampai 50 jam sepekan. Namun pengalaman dan masalah yang dijumpai orang di luar jam kerja yang lebih dari 120 jam tiap pekan dapat melebihi ke pekerjaan. Persoalan keluarga, masalah ekonomi pribadi, dan karakteristik kepribadian bawahan adalah faktor-faktor individual. 2.1.3 Aspek-aspek stres kerja Aspek-aspek stres kerja menurut Robbins (dalam Dewi, 2010) dikategorikan menjadi tiga kategori umum : aspek fisiologis, psikologis dan perilaku. a. Aspek Fisiologis Stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju detak jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan sakit kepala, dan menyebabkan serangan jantung. b. Aspek Psikologis Stres yang muncul dalam keadaan psikologis, akan menampilkan ketidakpuasan, ketegangan, kecemasan, mudah marah, dan kebosanan. c. Aspek Perilaku Gejala stres dalam perilaku mencakup dalam perubahan menurunnya produktivitas, meningkatnya absensi, dan keinginan untuk mengundurkan diri,
14 juga perubahan dalam kebiasaan makan, meningkatnya merokok, dan konsumsi alkohol, bicara dengan sangat cepat, gelisah dan gangguan tidur. Berdasarkan pendapat dari ahli di atas dapat disimpulkan bahwa stres merujuk pada adanya sebagian penyimpangan dalam diri. Aspek stres tersebut dapat dikenali melalui gangguan atau fungsi fisiologis, psikologis, dan perilaku. 2.2 Kecerdasan Emosional 2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memahami serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kejernihan berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan berbagai kecakapan, baik kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi (Goleman, 2015). Patton memberi definisi mengenai kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan membangun produktif dan meraih keberhasilan (Dalam Hidayati, 2008). Menurut Salovey, kecerdasan emosional adalah kemampuan memonitor emosi seseorang dengan yang lainnya, memberikan perbedaan diantara individu sehingga dapat menggunakan informasi sebagai petunjuk untuk berpikir dan bertindak (Dalam Goleman, 2015). Reuven Bar-On menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan, kompetensi emosional dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri dan orang lain serta berhasil dalam mengatasi tuntutan, tantangan dan tekanan sehari-hari (Dalam Supriyadi, 2013). Ashkanasy dan Daus
15 berpendapat bahwa kecerdasan emosional lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan mood (suasana hati) (Dalam, Sanjaya, 2012). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk merasakan dan memahami emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain secara efektif. 2.2.2 Faktor-faktor kecerdasan emosional Goleman (2015) menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu : a. Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi dengan cara contoh-contoh ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa, kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. b. Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan pendidikan dan masyarakat. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.
16 2.2.3 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Salovey (dalam Goleman, 2015) mencetuskan kecerdasan emosional yang diperluas menjadi 5 aspek kemampuan utama yaitu : a. Mengenali emosi diri Mengenali emosi diri yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Ketidakmampuan mencermati perasaan diri yang sesungguhnya membuat individu berada dalam kekuasaan perasaan. Individu yang dapat mengenal perasaan pada saat perasaan itu muncul ke permukaan adalah individu yang mampu mengendalikan kehidupannya dan mampu membuat keputusan pribadi yang lebih mantap. b. Mengelola emosi Mengelola emosi yaitu kemampuan menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas atau selaras hingga tercapainya keseimbangan dalam diri individu. Tercakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. Emosi yang terlalu intens atau terlalu lama akan mengganggu stabilitas kehidupan kita. Setiap perasaan pasti mempunyai nilai dan berarti dalam hidup. Hidup tanpa perasaan adalah hambar. Jadi yang penting bukan menekan perasaan tetapi menjaga keseimbangannya. Emosi yang terlalu ditekan akan menciptakan ketumpulan perasaan, sebaliknya emosi yang tidak terkontrol atau terlalu ekstrim akan mengarah pada kehidupan yang patologis.
17 c. Memotivasi Diri Sendiri Memotivasi diri sendiri yaitu kemampuan untuk menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Hal ini sangat penting dalam kaitan untuk memberikan perhatian, memotivasi diri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Kendali diri dari emosional adalah kemampuan menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Mampu menyesuaikan diri dalam situasi memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Individu yang memiliki kemampuankemampuan tersebut cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Motivator terbesar dalam hidup ini adalah sikap optimis dan harapan (hope). Dari sudut pandang kecerdasan emosional, optimis adalah suatu sikap yang menahan seseorang untuk tidak terjerumus ke dalam keadaan apatis, keputus-asaan dan depresi pada saat mengalami kekecewaan dan kesulitan dalam hidup. d. Mengenali Emosi Orang Lain Mengenali emosi orang lain yakni kemampuan untuk menempatkan diri pada diri orang lain disebut juga empati. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga mampu dan mau turun tangan untuk membantu orang lain keluar dari kesusahannya. Sebagai contoh individu yang memiliki kemampuan empati yang baik, mampu mengetahui apa yang dibutuhkan oleh temannya yang mengalami kesulitan hingga mampu menolongnya menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
18 e. Membina Hubungan Membina hubungan dengan sesama adalah mampu mengenali emosi masing-masing individu dan mengendalikannya. Sebelum dapat mengendalikan emosi orang lain, seseorang harus mampu mengendalikan emosinya sendiri dan mampu berempati. Inilah yang merupakan kompetensi sosial yang dapat membuat hubungan dengan orang lain menjadi efektif. Kompetensi sosial memungkinkan seseorang untuk memberi inspirasi kepada orang lain, menjalin hubungan yang intim, membujuk serta mempengaruhi orang lain menjadi tenang. Individu yang hebat dalam membina hubungan dengan orang lain akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain. 2.3 Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Stres Kerja pada Karyawan PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara Karyawan PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara mengalami banyak masalah pekerjaan, yang menyebabkan timbulnya stres pada karyawan, sehingga tidak jarang diantara karyawan ada yang mengalami stres saat bekerja. Berkaitan dengan faktor-faktor potensial penyebab stres kerja Robbins (2016) mengatakan bahwa faktor lingkungan, organisasi, dan individual akan mempengaruhi stres seseorang. Bagaimana pegawai asuransi terpengaruh oleh lingkungan seperti komputer dan teknologi karena inovasi-inovasi baru dapat membuat keterampilan dari pengalaman seorang karyawan menjadi ketinggalan dalam periode waktu yang singkat. Dari faktor organisasi seperti menghindari kekeliruan atau menyelesaikan tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang
19 berlebihan, serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Dan dari faktor individu seperti persoalan pribadi seperti keluarga, masalah ekonomi, dan karakteristik bawaan akan mempengaruhi stres. Menurut Salovey (dalam Goleman, 2015), Individu dengan kecerdasan emosional memiliki kemampuan untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, menempatkan diri pada orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (bekerjasama) dengan orang lain. Dengan kemampuan-kemampuan itu individu akan lebih bijak dalam menerima dan mengelola sumber-sumber stres, hal-hal ini akan mengurangi potensi stres individu atau bahkan dapat menginterpretasikan stres menjadi sesuatu yang dapat meningkatkan potensi diri. Dari penelitian sebelumnya, Ricko yang meneliti mengenai hubungan kecerdasan emosional terhadap stres kerja pada kru film di sebuah rumah produksi, mengungkapkan bahwa anggota kru film sering terlibat percecokan dan beda pendapat sehingga hubungan komunikasi mereka di tempat kerja jadi tidak baik, dan hal itu mempengaruhi kinerja mereka, tidak jarang dari mereka yang merasa cemas dan takut apabila pekerjaan mereka menjadi buruk, dari sinilah timbul stres kerja. Namun hal itu bisa diatasi saat mereka mampu melepaskan ketersinggungan dan kecemasan mereka dengan menghibur diri mereka sendiri (Ricko, 2011). Memperkuat pendapat diatas, Salovey (dalam Goleman, 2015) mengatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosional memiliki kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau
20 ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. Dengan dimilikinya kemampuankemampuan ini potensi timbulnya stres akan dapat diminimalisasikan. Berdasarkan uraian, logika berfikir, dan pendapat beberapa tokoh diatas secara teoritis dapat disimpulkan bahwa Ada Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Stres Kerja. Kecerdasan Emosional Stres Kerja Gambar 2.1 Kerangka Penelitian 2.4 Hipotesis Berdasasarkan uraian tersebut, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut : Ada pengaruh kecerdasan emosional Terhadap Stres Kerja pada karyawan PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara. Ho : Tidak ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap stres kerja pada karyawan PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara. Ha : Ada pengaruh kecerdasan emosional terhadap stres kerja pada karyawan PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara.