BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Altruis Pengertian Altruis adalah suatu bentuk perilaku menolong berupa kepedulian untuk menolong orang lain dengan sukarela tanpa mengharapkan adanya imbalan atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional seseorang dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Altruis adalah tindakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih, atau ingin sekedar beramal baik (Schroeder, Penner, Dovidio, & Piliavin, 1995 dalam Taylor, 2009). Sarwono (2009) pada altruistik, tindakan seseorang untuk memberikan bantuan pada orang lain adalah bersifat tidak mementingkan diri sendiri (selfless) bukan untuk kepentingan diri sendiri (selfish). Perilaku altruis didorong oleh keinginan pribadi untuk menolong sesama tanpa mengharap imbalan. Hal ini dilakukan karena rasa empati yang besar yang dimiliki seseorang sehingga rela berkorban untuk kepentingan orang lain. Batson (Sarwono, 2009) menjelaskan bahwa empati adalah sumber dari motivasi altruistik. Seseorang yang altruis memiliki motivasi yang tinggi dalam membantu membahagiakan orang lain. Staub (Dayakisni, 2012) menyatakan ada tiga indikator tindakan yang dapat dikatakan altruis, yaitu: 1. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku. 12

2 2. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela. 3. Tindakan itu menghasilkan kebaikan Aspek-Aspek Altruis Aspek-aspek perilaku altruis mengacu pada Cohen (Staub 1978) yang menyatakan bahwa dalam altruis terdiri dari tiga hal yaitu : 1. Perilaku memberi Perilaku ini bersifat menguntungkan bagi orang lain yang mendapat atau yang dikenai perlakuan dengan tujuan memenuhi kebutuhan atau keinginan orang lain, perilaku ini dapat berupa barang atau yang lainya. Pada mahasiswa misalnya memberikan bantuan pada mahasiswa yang lain saat mengerjakan tugas salah satu matakuliah. 2. Empati Batson (Sarwono, 2009) menjelaskan bahwa empati adalah sumber dari motivasi altruistik. Mahasiswa yang memiliki empati tinggi maka mahasiswa tersebut akan lebih mudah untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Goleman (2005) menjelaskan kemampuan berempati sebagai kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan di arena kehidupan, kesadaran terhadap perasaan kebutuhan dan kepentingan orang lain, ciri empati yang tinggi adalah memahami orang lain dengan minat aktif terhadap kepentingan mereka, orientasi pelayanan, mengembangkan orang lain, dan menumbuh kembangkankan hubungan saling percaya. Empati membutuhkan cukup banyak ketenangan dan kesediaan untuk 13

3 menerima, sehingga sinyal-sinyal perasaan halus dari orang lain dapat diterima dan ditirukan oleh otak emosional orang itu sendiri. 3. Sukarela Tidak adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan apapun kecuali semata-semata dilakukan untuk kepentingan orang lain. Misalnya mahasiswa yang menjadi panitia pada sebuah acara yang dilaksanakan oleh Fakultas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Altruis Sarwono (2009) mamaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku altruis. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku altruis terbagi menjadi dua yaitu faktor situasional dan faktor dari dalam diri. a. Pengaruh Faktor Situasional 1. Bystander Bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai peran sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat. Efek bystander terjadi karena pertama, pengaruh sosial, yaitu pengaruh dari orang lain yang dijadikan sebagai patokan dalam mengintepretasi situasi dan mengambil keputusan untuk menolong, seseorang akan menolong jika orang lain juga menolong. Kedua, hambatan penonton, yaitu merasa dirinya dinilai oleh orang lain dan risiko membuat malu diri sendiri karena tindakannya menolong yang kurang tepat akan menghambat orang untuk 14

4 menolong. Ketiga, penyebaran tanggung jawab membuat tanggung jawab untuk menolong menjadi terbagi karena hadirnya orang lain. 2. Daya Tarik Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik) akan memengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. Seseorang cenderung akan menolong orang yang mirip dirinya. Pada umumnya orang akan menolong anggota kelompoknya terlebih dahulu baru kemudian menolong orang lain. 3. Atribusi terhadap korban Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban (Weiner,1980). Seseorang akan lebih bersedia memberikan sumbangan kepada pengemis yang cacat dan tua dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda. 4. Ada model Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. 5. Desakan waktu Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya (Sarwono, 2002). 15

5 6. Sifat kebutuhan korban Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan, layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan, dan bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain. Orang yang meminta pertolongan akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk ditolong daripada orang yang tidak meminta pertolongan. b. Pengaruh Faktor dari Dalam Diri 1. Suasana Hati (Mood) Emosi seseorang dapat memengaruhi kecenderungannya untuk menolong. Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku menolong. Namun jika situasinya tidak jelas, maka orang yang sedang bahagia cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang sedang sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. Namun jika dengan menolong dapat membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikan pertolongan. 2. Sifat Beberapa penelitian membuktiakan ada hubungan antara karakteristik seseorang dengan kecenderungan untuk menolong. Orang yang mempunyai sifat pemaaf akan mempunyai kecenderungan mudah menolong. Orang yang mempunyai pemantauan diri yang tinggi juga cenderung lebih penolong karena 16

6 dengan menjadi penolong, ia akan memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi. Kebutuhan akan persetujuan juga mendukung tingkah laku menolong. Individu yang kebutuhannya akan pujian atau penghargaan lainnya sangat tinggi, jika situasi menolong memberikan peluang untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya, maka ia akan meningkatkan tingkah laku menolongnya. Bierhoff, Klein, dan Kramp (1991) dalam Baron, Byrne, Branscombe (2006) telah mengemukakan faktor-faktor dalam diri yang menyusun kepribadian altruistik, yaitu adanya empati, kepercayaan terhadap dunia yang adil, rasa tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control dan egosentrisme yang rendah. 3. Jenis kelamin Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Sementara perempuan lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh. 4. Tempat tinggal Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih penolong daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui urban-overload hypothesis, yaitu orang-orang kota 17

7 terlalu banyak mendapat stimulasi dari lingkungannya sehingga ia harus selektif dalam menerima paparan informasi yang sangat banyak agar bisa tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. Itulah sebabnya, di perkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli dengan kesulitan orang lain karena ia sudah overload dengan beban tugasnya sehari-hari. 5. Pola Asuh Tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh di dalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis secara signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seseorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orang tua dalam menetapkan standar-standar atau contoh-contoh tingkah laku menolong. Pola asuh orang tua yang demokratis juga turut mendukung terbentuknya internal locus of control, yang merupakan salah satu sifat dari kepribadian altruistik, yaitu orang yang suka menolong memiliki locus of control internal yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak suka menolong. 2.2 Kecerdasan Emosional Pengertian Sebuah teori yang komprehensif mengenai kecerdasan emosional pertama kali diajukan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John Mayer dari University of New Hampshire. Salovey dan 18

8 Mayer (Goleman, 2001) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain agar terekspresikan secara tepat dan efektif (Goleman, 2001). Di dalam Penelitian ini, kecerdasan emosional yang dimaksud adalah kemampuan mahasiswa untuk dapat mengerti dan memahami perasaanperasaan diri sendiri, mengelola emosi diri sendiri, mampu memotivasi diri sendiri dan orang lain, serta mempunyai rasa empati terhadap orang lain Aspek Kecerdasan Emosional Salovey (Goleman, 2001; 2005) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, yaitu : a. Kesadaran Diri Kesadaran diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Para ahli psikologi menggunakan istilah metamood untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut John Mayer (Goleman, 2005) kesadaran diri adalah waspada baik terhadap suasana hati maupun 19

9 pikiran tentang suasana hati. Bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri belum menjamin penguasaan emosi, namun menjadi salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosinya. Orang yang mempunyai kesadaran emosi menyadari apa yang sedang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan saat ini. Kesadaran akan emosi merupakan kecakapan emosional dasar yang melandasi terbentuknya kecakapankecakapan lain, misalnya kendali diri akan emosi. (Goleman, 2001) Kesadaran diri berarti mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Mampu mengelola emosi berarti mampu melakukan pengaturan diri, yaitu menangani emosi sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih kembali dari tekanan emosi (Goleman, 2001). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur 20

10 diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. c. Memotivasi Diri Sendiri Motivasi merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu sehingga menuntun seseorang untuk menuju sasaran, dan membantu dalam mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Orang yang mempunyai motivasi diri serta dapat memanfaatkan emosi secara produktif memliki ketekunan dalam usaha mencapai tujuan, kemampuan untuk menguasai diri, bertanggung jawab, dapat membuat rencana-rencana inovatif-kreatif ke depan dan mampu menyesuaikan diri dan optimis. d. Mengenali Emosi Orang Lain (Empati) Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain yaitu merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal dalam penelitiannya menunjukan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan 21

11 diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah bergaul, dan lebih peka (Goleman, 2005). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. e. Membina Hubungan Keterampilan untuk berhubungan dengan orang lain merupakan kecakapan emosional yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain dan sesuatu kemampuan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Membina hubungan dengan orang lain yaitu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Seseorang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Salah satu kemampuan yang berpengaruh dalam kecerdasan emosional adalah mengenali emosi orang lain yang ditunjukkan dengan sikap empati. 22

12 Dimana individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap perasaan orang lain, lebih peka dan mampu mendengarkan orang lain. Hoffman (dalam Goleman, 2001) melihat adanya proses alamiah empati sejak bayi dan masa-masa selanjutnya. Hal ini berhubungan dengan perilaku altruistik dimana salah satu aspek dalam altruis adalah empati, yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan orang lain dan ikut berperan dalam membantu kebutuhan dan kepentingan orang lain Faktor Kecerdasan Emosional Goleman (2005) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor internal yaitu faktor otak. Mengungkapkan bagaimana arsitektur otak memberi tempat istimewa bagi amigdala sebagai penjaga emosi, penjaga yang mampu membajak otak. Amigdala berfungsi sebagai semacam gudang ingatan emosional dan demikian makna emosional itu sendiri hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali. Faktor lain yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah faktor eksternal yaitu yang datang dari luar individu. Sepanjang perkembangan sejarah manusia menunjukkan seseorang sejak kecil mempelajari keterampilan sosial dasar maupun emosional dari orang tua dan kaum kerabat, tetangga, teman bermain, lingkungan pembelajaran di sekolah dan dari dukungan sosial lainnya. Demikian pula pada kecerdasan emosional seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan tidak bersifat menetap. Faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu a) pengaruh keluarga, b) lingkungan sekolah, dan c) lingkungan sosial. 23

13 Demikianlah beberapa hal yang mempengaruhi kecerdasan emosi yang secara garis besar dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu dan faktor dari luar individu selanjutnya kedua faktor ini saling berinteraksi dalam proses belajar dan latihan selama rentang kehidupannya. 2.3 Kajian Hasil Penelitian Penelitian Arif (2010) yang meneliti mengenai Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Intensi Altruisme Pada Siswa kelas X4, X8, dan X9 SMA Negeri 1 Tahunan, Jepara yang berjumlah 102, ditemukan hasil r = 0,502 dengan p < 0,01 artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan intensi altruisme pada siswa. Penelitian yang dilakukan Hunaini (2012) mengenai Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku Altruistik Pada Siswa SMA N 1 Bangil ditemukan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruistik pada siswa SMA N 1 Bangil dengan r = 0,530 dengan p = 0,000. Pujiyanti (2009) meneliti tentang Kontribusi Empati Terhadap Perilaku Altruisme Pada Siswa Siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi kelas 1 dan kelas 2 yang berusia antara 14 sampai dengan 17 tahun, ditemukan hasil p = 0,000 dimana p < 0,05. Nilai r = 0,710 dan r square sebesar 0,504, sehingga dapat disimpulkan bahwa kontribusi empati signifikan terhadap altruisme. 2.4 Hipotesis Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesis bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku altruis pada 24

14 mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana. 25

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU PROSOSIAL

TINGKAH LAKU PROSOSIAL TINGKAH LAKU PROSOSIAL Modul ke: Fakultas Psikologi Dasar tingkah pro-sosial; Tahap-tahap perilaku menolong; Respons terhadap keadaan darurat; Pengaruh internal dan eksternal dalam menolong; Komitmen jangka

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Asertif 2.1.1 Pengertian Asertif Individu yang asertif menurut Sumihardja (Prabowo 2000) mempunyai pengucapan verbal yang jelas, spesifik dan langsung mampu mengungkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia yang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia yang dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia yang dengan rela untuk berbuat sesuatu untuk orang lain, tanpa berharap mendapatkan imbalan apa pun, sebaliknya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda, belum ada

BAB II LANDASAN TEORI. untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda, belum ada BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kreativitas 2.1.1 Pengertian kreativitas verbal Guilford (1975) menyatakan kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru atau

Lebih terperinci

Keterkaitan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja SDM

Keterkaitan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja SDM KeterkaitanKecerdasanEmosionaldenganKinerjaSDM Oleh: Dra. Maria F.Lies Ambarwati, M.M. Peran sumber daya manusia dalam sebuah organisasi sejak dulu hingga saat ini tidak pernah surut sedikitpun. Teknologi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KECERDASAN EMOSI a. Definisi Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Kerangka Teori BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menolong merupakan perbuatan yang mulia, sejauh pertolongan itu dibutuhkan sehingga bermanfaat. Namun terkadang pertolongan justru tidak datang saat dibutuhkan. Banyak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Keterampilan Sosial 2.1.1. Pengertian Keterampilan Sosial Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek psikologis yang perlu dikembangkan dalam kehidupan individu, mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Manusia tidak akan mampu hidup sendiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KECERDASAN EMOSIONAL Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer pada Tahun 1990 (dalam Shapiro, 2001: 8), mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional ialah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu dan sesuatu yang bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang merupakan keterampilan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan dan Emosi Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi: kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang merupakan keterampilan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN UMUR MAHASISWI SEMESTER I DIV KEBIDANAN TAHUN 2017

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN UMUR MAHASISWI SEMESTER I DIV KEBIDANAN TAHUN 2017 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN UMUR MAHASISWI SEMESTER I DIV KEBIDANAN TAHUN 2017 Triwik Sri Mulati Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Kebidanan Abstract: Emotional Intelligence,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA 1 HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1 Disusun oleh : AHMAD ARIF F 100 030

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik berpandangan bahwa bagian

BAB I PENDAHULUAN. sejak masih zaman Yunani kuno. Para filsuf klasik berpandangan bahwa bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pandangan bahwa manusia sebagai individu merupakan satu kesatuan dari aspek fisik atau jasmani dan psikis atau rohani atau jiwa yang tidak dapat dipisahkan, sesungguhnya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, seseorang tidak pernah lepas dari kehidupan emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang dikatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Asih dan Pratiwi (2010) merupakan salah suatu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial menurut Baron dan Byrne (2005) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Secara umum kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di mana dapat berkembang dan diperkembangkan (Giri Wiloso dkk, 2012). Sebagai makhluk sosial, manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong, sangat ironis jika realitas yang terjadi menunjukan hal yang sebaliknya, perilaku individu

Lebih terperinci

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA Ulil Nurul Imanah, M.Pd. Universitas Islam Majapahit ulil_math11@yahoo.co.id Abstrak Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi atau akademiknya saja, tapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Prososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian kecerdasan emosional Kecerdasan emosional, secara sederhana dipahami sebagai kepekaan mengenali dan mengelola perasaan sendiri dan orang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Semangat Kerja 1. Definisi Semangat Kerja Davis & Newstrom (2000) menyebutkan bahwa semangat kerja adalah kesediaan perasaan maupun perilaku yang memungkinkan seseorang bekerja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap. sikap egoisme, dan ini menjadi ciri dari manusia modern, dimana individu

BAB I PENDAHULUAN. yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap. sikap egoisme, dan ini menjadi ciri dari manusia modern, dimana individu 18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, manusia mulai dihadapkan pada kesibukankesibukan yang menyita waktu sehingga banyak individu yang bersikap individualis. Individualisme merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Konflik 1. Pengertian Manajemen Konflik Menurut Johnson ( Supraktiknya, 1995) konflik merupakan situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat,

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 DISKUSI Berdasarkan hasil analisis pada bab IV, maka hipotesis yang menyatakan bahwa empati dan pola asuh demokratis sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terlepas dari kegiatan belajar. Melaksanakan aktivitas sendiri, maupun dalam suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terlepas dari kegiatan belajar. Melaksanakan aktivitas sendiri, maupun dalam suatu 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Belajar 2.1.1 Pengertian Belajar Dalam aktivitas kehidupan manusia sehari-hari hampir tidak pernah dapat terlepas dari kegiatan belajar. Melaksanakan aktivitas sendiri, maupun

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang

Lebih terperinci

KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN INTELEKTUAL MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR SISWA

KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN INTELEKTUAL MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR SISWA Jurnal LINK, 13 (1), 2017, 1-7 http://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/link KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN INTELEKTUAL MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR SISWA Akbar Yuli Setianto *) ; Puji Hastuti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Caring. Swanson (dalam Watson, 2005) mendefinisikan caring sebagai cara perawat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Caring. Swanson (dalam Watson, 2005) mendefinisikan caring sebagai cara perawat 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Caring 1. Pengertian Perilaku Caring Swanson (dalam Watson, 2005) mendefinisikan caring sebagai cara perawat memelihara hubungan yang bernilai dengan pasien agar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional Pada tahun 1990 psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pertama kali melontarkan istilah kecerdasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga, lingkungan teman sebaya sampai lingkungan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga, lingkungan teman sebaya sampai lingkungan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang hidup dengan berinteraksi satu sama lain, ia tidak dapat hidup sendiri tanpa memerlukan bantuan orang lain, mereka hidup dengan orang

Lebih terperinci

SELF-EFFICACY DAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

SELF-EFFICACY DAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Widiyanti, Self-Efficacy dan Kecerdasan Emosional Siswa,... 71 SELF-EFFICACY DAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Oleh: Widiyanti Dosen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, seseorang tidak hanya dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, seseorang tidak hanya dituntut untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan jaman, seseorang tidak hanya dituntut untuk mempunyai kepandaian atau kecerdasan otak saja agar dapat memperoleh pekerjaan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. komunitas Save Street Child yang ikut mengajar anak-anak jalanan atau

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. komunitas Save Street Child yang ikut mengajar anak-anak jalanan atau BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subyek Subyek dalam penelitian ini sebesar 48 subyek yakni relawan komunitas Save Street Child yang ikut mengajar anak-anak jalanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kinerja merupakan kegiatan yang dijalankan oleh tiap-tiap individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kinerja merupakan kegiatan yang dijalankan oleh tiap-tiap individu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kinerja Guru 1. Pengertian Kinerja Guru Kinerja merupakan kegiatan yang dijalankan oleh tiap-tiap individu dalam kaitannya untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan. Menurut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) adalah lembaga pendidikan swasta yang mempunyai visi yaitu menjadi universitas yang unggul dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

TUGAS 2 STANDAR LAYANAN PEMBELAJARAN. OLEH : LENI YUMIATI, S.Kom., M.Kom UNIVERSITAS ANDALAS

TUGAS 2 STANDAR LAYANAN PEMBELAJARAN. OLEH : LENI YUMIATI, S.Kom., M.Kom UNIVERSITAS ANDALAS TUGAS 2 STANDAR LAYANAN PEMBELAJARAN OLEH : LENI YUMIATI, S.Kom., M.Kom UNIVERSITAS ANDALAS Carilah dan jelaskan klasifikasi karakteristik peserta didik didasarkan pada: a. Kecerdasan emosional b. teori

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengambilan Keputusan 1. Pengertian Pengambilan Keputusan Didalam kehidupan pengambilan keputusan merupakan hal yang penting karena pengambilan keputusan akan berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencetak generasi penerus bangsa. Apabila output dari proses pendidikan ini

BAB I PENDAHULUAN. mencetak generasi penerus bangsa. Apabila output dari proses pendidikan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia, salah satu faktor yang mendukung bagi kemajuan adalah pendidikan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stres Gibson menyatakan bahwa Stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). Definisi ini menjelaskan

Lebih terperinci

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR Laelasari 1 1. Dosen FKIP Unswagati Cirebon Abstrak Pendidikan merupakan kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. daya tarik baginya. Menurut Slameto (Djamarah, 2008) minat adalah suatu

BAB II KAJIAN TEORETIK. daya tarik baginya. Menurut Slameto (Djamarah, 2008) minat adalah suatu BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Minat Belajar Minat merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam belajar. Apabila bahan pelajaran yang tidak sesuai dengan minat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keberadaan kecerdasan emosional merupakan suatu kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keberadaan kecerdasan emosional merupakan suatu kondisi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kecerdasan emosional merupakan suatu kondisi yang sangat penting dan menentukan keberhasilan seseorang siswa dalam proses komunikasi dan interaksi. Kecerdasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan sosial (social skill) adalah kemampuan untuk dapat berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain. Keterampilan sosial meliputi beberapa hal, diantaranya

Lebih terperinci

c. Pengalaman dan suasana hati.

c. Pengalaman dan suasana hati. PERILAKU PROSOSIAL Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981) membatasi perilaku prososial

Lebih terperinci

Psikologi Sosial 1. Perilaku Prososial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 12

Psikologi Sosial 1. Perilaku Prososial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 12 MODUL PERKULIAHAN Perilaku Prososial Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 12 61017 Abstract Materi tentang pengertian tingkah laku menolong, mengapa orang menolong,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja. Hal ini termasuk latar belakang penelitian, rumusan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat anak memasuki usia sekolah, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Oleh karena itu, anak mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Persiapan Penelitian. pelaksanaan penelitian, adapun tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Persiapan Penelitian. pelaksanaan penelitian, adapun tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN A. Persiapan Penelitian Tahap persiapan penelitian merupakan tahap yang dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian, adapun tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Orientasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja selalu menjadi perbincangan yang sangat menarik, orang tua sibuk memikirkan anaknya menginjak masa remaja. Berbicara tentang remaja sangat menarik karena

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu objek (Azwar, 2010). Sikap (attitude) ialah pernyataan evaluatif, baik yang

BAB II LANDASAN TEORI. suatu objek (Azwar, 2010). Sikap (attitude) ialah pernyataan evaluatif, baik yang BAB II LANDASAN TEORI A. Sikap 1. Definisi Sikap Sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peneliti menganggap bahwa penelitian tentang kecerdasan emosional pada mahasiswa yang bekerja sangat penting, karena siapa pun dapat mengalami emosi, tak terkecuali

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kecerdasan emosional terdiri dari dua kata yaitu kecerdasan dan emosional. Kecerdasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kecerdasan emosional terdiri dari dua kata yaitu kecerdasan dan emosional. Kecerdasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi yang ada hubungannya dengan kecerdasan emosional dan konsep caring perawat. 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pramuka merupakan sebutan bagi anggota gerakan Pramuka yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pramuka merupakan sebutan bagi anggota gerakan Pramuka yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pramuka merupakan sebutan bagi anggota gerakan Pramuka yang merupakan singkatan dari Praja Muda Karana yang mempunyai arti orang-orang yang berjiwa muda dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Di sepanjang rentang kehidupan, setiap manusia membutuhkan manusia lainnya untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Musik Dalam Kehidupan Sehari-Hari 1. Definisi Musik Musik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara di urutan, kombinasi, dan hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional 1. Definisi kecerdasan emosional Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan terhadap frustasi, mengendalikan dorongan hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tolong menolong antara sesama. Globalisasi juga berperan membuat hubungan

BAB I PENDAHULUAN. tolong menolong antara sesama. Globalisasi juga berperan membuat hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan teknologi dan komunikasi pada saat ini semakin banyak individu yang mementingkan dirinya sendiri atau berkurangnya rasa tolong menolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Posyandu merupakan wadah untuk mendapatkan pelayanan dasar terutama dalam bidang kesehatan yang di kelola masyarakat.penyelenggaraannya di

PENDAHULUAN Posyandu merupakan wadah untuk mendapatkan pelayanan dasar terutama dalam bidang kesehatan yang di kelola masyarakat.penyelenggaraannya di ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Agustus 2011 Tri Maryani. 10506233 Gambaran Altruisme pada Kader Posyandu Altruisme adalah mementingkan sikap untuk menyejahterakan orang lain. Namun di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Remaja pada dasarnya dalam proses perkembangannya membutuhkan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Remaja juga mulai belajar serta mengenal pola-pola sosial salah satunya adalah perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. individu yang menjalani kehidupan didunia ini. Proses seorang individu dalam

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. individu yang menjalani kehidupan didunia ini. Proses seorang individu dalam BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh setiap individu yang menjalani kehidupan didunia ini. Proses seorang individu dalam mencapai kebahagiaan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring kemajuan yang ada, banyak perubahan yang dirasakan dalam berbagai kehidupan saat ini. Lapangan kerja yang semakin kompetitif dan spesialis, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang berkembang dan akan selalu mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab hakikat manusia sejak terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak terhadap bidang ekonomi, politik, sosial, budaya saja, melainkan

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak terhadap bidang ekonomi, politik, sosial, budaya saja, melainkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, pengaruh globalisasi bukan hanya membawa dampak terhadap bidang ekonomi, politik, sosial, budaya saja, melainkan juga membawa

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan jasmani merupakan bagian dari proses pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang. memuaskan dibutuhkan suatu proses dalam belajar.

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang. memuaskan dibutuhkan suatu proses dalam belajar. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial 1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial memiliki arti sebagai sosial positif atau mempunyai konsekuensi positif. Sosial positif ini didasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. forum diskusi ilmiah, mempraktikkan ilmu pengetahuan di lapangan, dan. juga dibutuhkan pula oleh orang lain (Zuhri, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. forum diskusi ilmiah, mempraktikkan ilmu pengetahuan di lapangan, dan. juga dibutuhkan pula oleh orang lain (Zuhri, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa merupakan salah satu kaum intelektual yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, mahasiswa menjalankan tugastugas akademiknya dalam perkuliahan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tahun 1990-an. Sebelumnya Gardner (Goleman, 2009:51-53)

BAB II KAJIAN TEORI. tahun 1990-an. Sebelumnya Gardner (Goleman, 2009:51-53) BAB II KAJIAN TEORI A. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional muncul secara luas pada pertengahan tahun 1990-an. Sebelumnya Gardner (Goleman, 2009:51-53) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (http://id.wikipedia.org/wiki/rumah_sakit/oktober2010) diselenggarakan pemerintah dan masyarakat yang berfungsi untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. (http://id.wikipedia.org/wiki/rumah_sakit/oktober2010) diselenggarakan pemerintah dan masyarakat yang berfungsi untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Rumah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki 5 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional bukanlah merupakan lawan dari kecerdasan intelektual yang biasa kita kenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. tingkat kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang BAB I PENGANTAR Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati tercipta dengan sifat yang unik, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap individu memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepercayaan Terhadap Pasangan. 1. Pengertian Kepercayaan Terhadap Pasangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepercayaan Terhadap Pasangan. 1. Pengertian Kepercayaan Terhadap Pasangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepercayaan Terhadap Pasangan 1. Pengertian Kepercayaan Terhadap Pasangan Worchel (dalam Lau & Lee, 1999) mengungkapkan bahwa kepercayaan merupakan kesediaan ( willingness) individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori teori yang mendukung dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori teori yang mendukung dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori teori yang mendukung dan terkait dengan topik yang akan diambil dan juga menjelaskan tentang kerangka konsep. Penjelasan yang akan disampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Sebagai makhluk sosial hendaknya

Lebih terperinci