BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi pelaku usaha. Dalam mejalankan bisnisnya, pelaku usaha tidak terlepas dari Perjanjian atau kontrak bisnis yang dirancang untuk menuangkan kepentingan-kepentingan pelaku usaha. Perjanjian yang dirancang dan dibuat sangat detail yang menampung kepentingan dan keinginan masing-masing pihak, namun dalam pelaksanaan perjanjian tetap terjadi permasalahan yang timbul dari perjanjian yang dibuat. Demi mempertahankan hak dan memenuhi kewajiban seperti yang telah diatur dalam hukum perdata, orang tidak boleh bertindak semaunya saja, tidak boleh main hakim sendiri ( eigen richting, own arbitrarily action), melainkan harus berdasarkan pada peraturan hukum yang telah ditetapkan dan diatur dalam undang-undang. 1 Timbulnya permasalahan demi mempertahankan hak tersebut mengakibatkan butuhnya suatu lembaga yang dapat memberi perlindungan dan keadilan untuk bagi para pihak dalam permasalahannya. Sengketa yang timbul dapat terjadi berdasarkan hubungan hukum diantara para pihak dan juga tidak berdasarkan hubungan hukum diantara para pihak. Kebutuhan lembaga penyelesaian sengketa bertujuan untuk memberikan 1 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 16. 1
keadilan sehingga permasalahan yang timbul dari perjanjian dapat diselesaikan berdasarkan aturan-aturan yang ada dengan putusan seadil-adilnya. Keadilan adalah ukuran yang kita pakai dalam memberi perlakuan objek diluar diri kita. Objek yang ada di luar diri kita ini adalah manusia, sama dengan kita. Oleh karena itu, ukuran tersebut tidak dapat dilepaskan dari arti yang kita berikan kepada manusia atau kemanusiaan, tentang konsep kita mengenai manusia. Persoalan keadilan memang merupakan masalah yang cukup rumit dan kompleks, sebab menyangkut hubungan antar manusia dari segala aspek kehidupan. Berkenaan dengan hal tersebut maka dibutuhkan suatu lembaga penyelesaian sengketa yang dapat memberi putusan seadil mungkin. Sebagaimana kita ketahui bahwa didalam bidang bisnis, penyelesaian sengketa merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan transaksi dan juga merupakan salah satu dari fungsi hukum. 2 Proses penyelesaian sengketa yang sudah lama dikenal adalah melalui litigasi di pengadilan. Lembaga pengadilan sebagai peradilan umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. 3 Proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di pengadilan, cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum. 4 Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, 2 Peter Mahmud Marzuki, 1999, Tanggapan Terhadap RUU Alternatif Penyelesaian Sengketa, Seminar Sehari Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa, Kerjasama Depertemen Kehakiman dengan The Asia Foundation, Jakarta, hlm. 2. 3 Erman Suparma, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, PT. Tatanusa, Jakarta, hlm. 115. 4 Frans Hendra Winarta, 2013, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9. 2
selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir ( ultimum remedium) setelah alternatif penyelesaian sengekta lain tidak membuahkan hasil. 5 Demi memenuhi rasa keadilan terhadap sengketa yang timbul, para pihak memiliki pertimbangan untuk membawa sengekta untuk diselesaikan melalui peradilan umum atau di luar peradilan umum. Keputusan dalam memilih lembaga penyelesaian sengketa ini menjadi salah satu materi penting dalam pembentukan perjanjian oleh para pihak. Salah satu cara yang saat ini sering dipilih untuk menyelesaikan perselisihan adalah melalui lembaga arbitrase. Dikalangan bisnis, arbitrase lazimnya dijadikan pilihan hukum alternative penyelesian perselisihan yang mungkin timbul. 6 Pilihan forum arbitrase baru berkembang di Indonesia setelah adanya pemerintahan Hindia Belanda. Perkembangan pilihan forum ini diawali dengan dikeluarkannya peraturan didalam Hukum Acara Perdara atau Reglement op de Rechtsvordering/ RV Pasal 615 sampai dengan Pasal 651, didalam HIR (HIR/Het Herziene Indonesisch Reglement) Reglement Indonesia yang diperbaharui Pasal 377 dan Pasal 705 Berita Acara untuk Luar Jawa dan Madura (Reglement op de Buitengewesten/RGB). 7 Tahun 1999, Pemerintah Negara Republik Indonesia dibawah Pemerintahan Presiden BJ Habibie telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 12. 6 M. Husyein Umar, 1996, Beberapa masalah Dalam Penerapan ADR di Indonesia, Lokakarya Menyongsong Pembangunan Hukum Tahun 2000 yang diselenggarakan BAPPENAS di Universitas Pajajaran, Bandung, hlm. 7. 7 Mutiara Hikmah, 2008, Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, volume 5, nomor 2, Januari, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, hlm. 320-321. 3
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undangundang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan perdagangan internasional. 8 Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat diantara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak yang bersengketa. 9 Memasuki era globalisasi ini, peranan lembaga arbitrase semakin penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis baik yang berskala nasional, regional maupun internasional. Pada saat ini sebagian besar pelaku bisnis di Indonesia sudah terbiasa mencantumkan klausula penyelesaian sengketa melalui arbitrase hampir dalam setiap kontrak bisnis mereka. 10 Hal ini dapat dilihat dalam kontrak perdagangan, dimana para pihak sering memasukkan klausul arbitrase yang mengatur tata cara penyelesaian persengketaan yang mungkin atau sedang terjadi sehubungan dengan kontrak perdagangan tersebut. Dunia maju selalu menuntut pencantuman klausul arbitrase pada setiap perjanjian bisnis yang mereka lakukan dengan pihak Indonesia. 11 Arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang paling populer dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi 8 Suyud Margono, Op Cit, hlm. 114. 9 Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, 2001, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 99. 10 Felix O. Soebagio dan Fatimah Jatim, 1995, Arbitrase di Indonesia, Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksana-annya Dalam Praktik Dalam Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 82. 11 M. Yahya Harahap, 1991, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, hlm. 5. 4
penyelesaian sengketa lainnya. 12 Jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain untuk menyelesaiakan sengketa, maka institusi arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang paling mirip dengan badan pengadilan umum, terutama jika ditinjau dari prosedur yang berlaku, kekuatan putusannya, keterikatan dengan hukum yang berlaku atau dengan aturan main yang ada. 13 Idealnya, kita dapat menciptakan suatu sistem yang mempertimbangkan baik kepentingan pribadi maupun kepentingan umum dalam penyelesaian sengketa tertentu dengan metode penyelesaian sengketa yang paling tepat baginya. Dalam sistem tersebut, dibandingkan dengan hanya mengandalkan pada satu metode penyelesaian sengketa yang sudah biasa khusus, misalnya litigasi, para pihak dapat memiliki banyak cara yang mungkin digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka. 14 Untuk dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase, para pihak dalam perjanjian harus mencantumkan klausul pada perjanjian yang menyatakan bahwa para pihak sepakat dalam hal penyelesaian sengketa diselesaikan melalui arbitrase. Perjanjian arbitrase ini dapat dilakukan dengan jalan, yaitu dapat berupa pactum de compromittendo dan juga berdasarkan akta kompromis. Pactum de compromittendo adalah suatu klausula dalam perjanjian dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang atau majelis wasit. Pada waktu membuat pactum de compromittendo sama sekali belum terjadi sengketa atau perselisihan. Akta kompromis merupakan perjanjian khusus dibuat Jakarta, hlm. 3. 12 Munir Fuady, 2003, Arbitrase Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 40. 13 Ibid, hlm. 41. 14 Felix O. Soebagio dan Fatimah Jatim, 1995, Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, 5
oleh para pihak setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi itu kepada seorang arbiter untuk diselesaikan. Pilihan cara penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase yang diperjanjikan oleh para pihak akan menimbulkan kewenangan mutlak bagi lembaga yang telah dipilih tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa apabila para pihak telah memilih cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka Pengadilan Negeri secara mutlak tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa tersebut. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Akibat perbedaan pemahaman kewenangan lembaga penyelesaian sengketa, kesepakatan memilih forum penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase masih didapati mengajukan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri. Dimana secara jelas bahwa para pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri dalam perjanjian menerapkan klausula arbitrase. Dalam hal ini pihak yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri melanggar asas Pacta Sunt Servanda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata dimana perjanjian yang dibentuk mengikat sebagai hukum bagi pihak yang membuatnya. Gugatan yang dilakukan melalui Pengadilan Negeri pada umumnya didasari dengan Perbuatan Melawan Hukum, dasar gugatan perbuatan melawan hukum seakan tidak termasuk dalam cakupan penyelesaian sengketa yang disepakati dalam perjanjian. Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maka gugatan yang 6
diajukan pada Pengadilan Negeri dengan klausula arbitrase wajib ditolak oleh Pengadilan Negeri untuk diselesaian. Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila terdapat suatu sengketa yang terdapat klausul arbitrase dan para pihak membawanya ke Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Negeri harus secara jabatan ( ambtshalve) menyatakan diri tidak berwenang. Jadi tidak perlu pihak tergugat mengajukan suatu eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan. Pengadilan atas inisiatif sendiri pun karena jabatan dapat menyatakan tidak berwenang. 15 Berdasarkan perbedaan pemahaman peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga berdampak pada pelaksanaan proses penyelesaian sengekta terkait dengan kompetensi Pengadilan Negeri dan lembaga arbitrase. Berdasarkan hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas, penulis berpendapat bahwa sangat beralasan apabila tulisan ini akan diteliti dan dianalisis mengenai masalah kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa gugatan perbuatan melawan hukum dengan klausula arbitrase. 15 Sudargo Gautama, 1999, Undang-Undang Arbitrase Baru, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm. 15. 7
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka pokok permasalahan yang akan diteliti dan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana penerapan klausula arbitrase dalam kontrak bisnis dan keterkaitan antara kompetensi Pengadilan Negeri dengan Lembaga Arbitrase? 2. Apakah Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus gugatan Perbuatan Melawan Hukum dengan adanya klausula arbitrase? C. Tujuan Penelitian Penulisan penelitian ini adalah untuk memenuhi persyaratan gelar Magister Hukum. Penelaahan dan penelitian tentang aplikasi klausula arbitrase dalam kontrak bisnis dan dalam kewenangan Pengadilan Negeri memeriksa gugatan perbuatan melawan hukum ini secara umum dimaksudkan: 1. Memberikan gambaran tentang penerapan klausula arbitrase dalam kontrak bisnis. 2. Mengetahui dan menganalisis keterkaitan antara kompetensi Pengadilan Negeri dengan Lembaga Arbitrase dalam memeriksa perkara-perkara yang didalamnya ada perjanjian arbitrase, serta untuk mengetahui dan menganalisis secara jelas mengenai kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pengadilan Negeri untuk campur tangan dalam penyelesaian sengketa dengan klausula arbitrase. 8
3. Mengetahui dan menganalisis kompetensi Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus gugatan Perbuatan Melawan Hukum dengan adanya klausula arbitrase. D. Manfaat Penelitian Secara ilmiah diharapkan penelitian ini bisa menyumbangkan ide, gagasan, pemikiran dan solusi baik secara kerangka pemikiran, terapan atau implementasi ataupun secara akademik terhadap studi penelitian tentang aplikasi klausula arbitrase dalam kontrak bisnis dan kewenangan Pengadilan Negeri memeriksa gugatan perbuatan melawan hukum. Secara umum penelitian ini akan memberi kontribusi mengenai pengajuan penyelesaian perselisihan dengan adanya klausula arbitrase. Manfaat penulisan ini adalah : 1. Secara teoritis penelitian ini diterapkan dapat menambah wawasan dan pengembangan dalam ilmu hukum juga sebagai referensi bagi para akademisi untuk melihat penerapan hukum di Indonesia 2. Secara praktis penelitian ini dapat memberi masukan bagi praktisi dalam menyelesaikan perselisihan dengan adanya kalusula arbitrase. 9
E. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis penelitian tentang Aplikasi Klausula Arbitrase Dalam Kontrak Bisnis Dan Dalam Kewenangan Pengadilan Negeri Memeriksa Gugatan Perbuatan Melawan Hukum sampai saat ini belum pernah ada dan belum dipublikasikan. Adapun penelitian sebelumnya yang mirip dengan penelitian penulis yaitu menyangkut Kompetensi Pengadilan Niaga Terhadap Perkara Kepailitan Yang Berklausula Arbitrase pernah diteliti oleh Saudara Suprapto dari Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada tahun 2003 dan Analisis Yuridis Perjanjian Arbitrase (Study Putusan No:46/Pdt.G/1999/PN Jakarta Selatan yang diteliti oleh Saudari Siti Azizah dari Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia tahun 2011. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan dengan yang telah dilakukan, hal ini didasarkan pada fokus kajian penelitian penulis menitikberatkan pada kewenangan Pengadilan Negeri memeriksa dan memutus gugatan perbuatan melawan hukum sedangkan penelitian terdahulu yang diteliti oleh Saudara Suprapto memiliki fokus kajian pada kewenangan Pengadilan Niaga terhadap perkara kepailitan. Rumusan masalah pada tulisan Kompetensi Pengadilan Niaga Terhadap Perkara Kepailitan Yang Berklausula Arbitrase yaitu, bagaimanakah kompetensi Pengadilan Niaga terhadap Perkara Kepailitan berklausula Arbitrase? Bagaimanakah jika salah satu pihak akhirnya melanggar kesepakatan untuk memilih forum Arbitrase? Penelitian terdahulu dalam kesimpulannya yang pada intinya menjelaskan bahwa perkara kepailitan hanya 10
dapat diputuskan oleh Pengadilan Niaga serta permohonan kepailitan atau suatu perjanjian dengan klausula arbitrase harus ditolak oleh Pengadilan Niaga. Perbedaan terletak pada perkara kepailitan dan perkara perdata perbuatan melawan hukum. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Siti Azizah memiliki rumusan masalah yaitu, bagaimana peran lembaga arbitrase yang diatur dalam Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 dalam penyelesaian putusan pengadilan di Indonesia dan bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak Indonesia dimasa yang akan datang berdasarkan kasus ini. Kesimpulannya yang pada intinya menyatakan bahwa untuk kegiatan-kegiatan dalam bidang ekonomi dan keuangan yang didalamnya terdapat penyertaan modal Negara dan Negara terancam bahaya, maka jika sengketa yang terjadi diselesaikan diluar pengadilan maka acuan tidak kepada hukum perdata tetapi mengacu kepada hukum publik. Untuk memenuhi asas legalitas diciptakan undang-undang seperti UU PUPN, UU Perbankan dan UU Pasar Modal. Perbedaan dengan tulisan penulis yaitu terletak pada bagaimana cara penyelesaian diluar pengadilan terkait acuan penyelesaian sengketa yang didalamnya terdapat penyertaan modal Negara dan perkara perdata perbuatan melawan hukum. Apabila ternyata ada penelitian serupa, penulis berharap penelitian ini dapat dipakai sebagai pelengkap pada penelitian serupa. 11