TINJAUAN PUSTAKA Rumput Lapang Limbah Tanaman Jagung

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Biskuit

HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI SIFAT FISIK DAN EVALUASI KECERNAAN BISKUIT BERBASIS RUMPUT LAPANG DAN LIMBAH TANAMAN JAGUNG PADA DOMBA

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Cara pengeringan. Cara pengeringan akan menentukan kualitas hay dan biaya yang diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH. Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

EVALUASI KECERNAAN BISKUIT DAUN JAGUNG SEBAGAI PAKAN SUMBER SERAT PADA DOMBA

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

PENGANTAR. Latar Belakang. 14,8 juta ekor adalah sapi potong (Anonim, 2011). Populasi sapi potong tersebut

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

PENDAHULUAN. rendah adalah masalah yang krusial dialami Indonesia saat ini. Catatan Direktorat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

Coleman and Lawrence (2000) menambahkan bahwa kelemahan dari pakan olahan dalam hal ini wafer antara lain adalah:

HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI KUALITAS SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS BISKUIT LIMBAH TANAMAN JAGUNG SEBAGAI SUBSTITUSI SUMBER SERAT UNTUK DOMBA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Indigofera sp.

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

Feed Wafer dan Feed Burger. Ditulis oleh Mukarom Salasa Selasa, 18 Oktober :04 - Update Terakhir Selasa, 18 Oktober :46

I. PENDAHULUAN. menjadi permasalahan yang dihadapi oleh para peternak. Faktor penghambat. kemarau terjadi kekurangan hijauan pakan ternak.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang Sesuai dengan trend global, saat ini banyak produk pangan yang berlabel kesehatan.

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

I. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Jantan

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

M.K. Pengantar Ilmu Nutrisi

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al.,

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

PENGARUH METODE PENGOLAHAN KULIT PISANG BATU (Musa brachyarpa) TERHADAP KANDUNGAN NDF, ADF, SELULOSA, HEMISELULOSA, LIGNIN DAN SILIKA SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

I PENDAHULUAN. bentuk daun-daunan termasuk di dalamnya rumput dan leguminosa. peternak masih bergantung pada hijauan yang berada di lapang.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Apriadji (1990), limbah atau sampah merupakan zat-zat atau bahanbahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Rumput Lapang Rumput lapang merupakan hijauan yang sudah umum digunakan oleh para peternak sebagai pakan utama ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan serat kasar. Rumput ini mudah diperoleh, murah, dan mudah dikelola karena tumbuh liar tanpa dibudidayakan, karena itu rumput lapang mempunyai kualitas yang rendah untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991). Menurut Wiradarya (1989), rumput lapang merupakan campuran dari berbagai rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang rendah. Komposisi zat makanan rumput lapang berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering Nutrien Komposisi* Komposisi** Komposisi*** Bahan Kering (%) 22,97 - - Abu (%) 9,12 8,23 8,48 Protein Kasar (%) 10,21 7,75 8,59 Lemak Kasar (%) 1,23 1,34 6,93 Serat Kasar (%) 32,09 31,46 36,38 Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (%) 47,35 50,93 48,31 Total Digestible Nutrient (%) - 52,37 57,31 Kalsium (%) 0,17-0,30 Posfor (%) 0,17-0,12 Sumber: *Batubara (1992), **Furqaanida (2004), *** Wahyuni (2008) Limbah Tanaman Jagung Tanaman jagung (Zea mays L) termasuk ke dalam family rumput-rumputan (Gramineae). Jagung banyak digunakan pada bidang peternakan sebagai pakan unggas dan limbahnya sebagai pakan ruminansia. Selain buah atau bijinya, tanaman jagung menghasilkan limbah dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) diikuti dengan daun, tongkol, dan kulit buah jagung (Umiyasih dan Wina, 2008), akan tetapi pemanfaatan limbah tanaman jagung belum maksimal, dikarenakan limbah tersebut cepat rusak setelah dipanen, bersifat bulky (voluminous), dan musiman. Kandungan nilai gizi limbah tanaman seringkali sulit untuk dianalisis, karena variasi komposisi bagi bagian-bagian tanaman dan juga proporsi bagian yang diberikan pada ternak berbeda. Sering pula dijumpai bahwa limbah jagung yang 3

diambil dari lapangan tidak langsung diberikan kepada ternak, sehingga ada selang waktu sejak panen hingga pemberian pada ternak, hal ini mengakibatkan terlarutnya zat-zat gizi atau hilang karena menguap sehingga menurunkan kandungan gizi dari limbah tanaman jagung tersebut yang akhirnya dapat menurunkan penampilan atau mengurangi pertumbuhan ternak (Tangendjaja dan Gunawan, 1998). Daun Jagung Daun jagung muncul dari buku-buku batang, sedangkan pelepah daun menyelubungi ruas batang untuk memperkuat batang. Panjang daun bervariasi antara 30-150 cm dan lebar 4-15 cm dengan ibu tulang daun yang sangat keras Tepi helaian daun halus dan kadang-kadang berombak. Terdapat juga lidah daun (ligula) yang transparan dan tidak mempunyai telinga daun (auricale). Bagian bawah daun tidak berbulu (glabrous) dan umumnya mengandung stomata yang lebih banyak dibanding dengan di permukaan atas (Muhadjir, 1988). Klobot Jagung Salah satu limbah tanaman jagung adalah klobot jagung yang dapat dijadikan makanan ternak ruminansia. Komposisi zat makanan klobot jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Nutrien Klobot Jagung Berdasarkan Bahan Kering Nutrien % Bahan Kering Bahan Kering (%) 91,41 Protein Kasar (%) 7,84 Serat Kasar (%) 32,25 Lemak Kasar (%) 0,65 Abu (%) 3,23 Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (%) 56,03 Total Digestible Nutrient (%) 54,29 Kalsium (%) 0,21 Posfor (%) 0,44 Sumber: Furqaanida (2004) Parakkasi (1995) menyatakan bahwa setelah panen klobot dapat digunakan sebagai makanan ternak ruminansia. Klobot dan tongkol merupakan hijauan, karena itu buah jagung lengkap lebih disukai dibanding dengan biji jagung. Klobot jagung selain berfungsi sebagai pelindung biji jagung dan tongkol untuk mempertahankan kesegaran sehingga tidak akan terlalu keras untuk dikunyah oleh ternak. 4

Teknologi Pengolahan Pakan Keuntungan bahan baku pakan yang mengalami proses pengolahan adalah mengurangi ukuran partikel bahan, meningkatkan penampilan produk, meningkatkan palatabilitas ternak (Henderson dan Perry, 1976), membuat kondisi fisik yang baik untuk kondisi rumen, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan konversi pertambahan bobot badan dan sebagai proses awal untuk kegiatan prosesing selanjutnya. Pengolahan pakan menjadi bentuk pakan tertentu akan meningkatkan daya cerna pakan dan menghilangkan sifat memilih ternak (Pfost, 1976). Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan karena volume dan beratnya proses pengeringan (Whiteley, 1971). Biskuit termasuk produk yang mudah menyerap air dan oksigen, oleh sebab itu bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap terhadap komponen volatile terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis (Manley, 1983). Almond (1989) mengatakan bahwa secara umum pembuatan biskuit dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu pencampuran bahan, pembentukan adonan dan pencetakan, pembakaran dan pendinginan. Ada beberapa variasi proses dapat digunakan sesuai dengan jenis biskuit yang akan dibuat. Pemanasan biskuit termasuk ke dalam proses dry heating yaitu pemanasan yang dilakukan tanpa penambahan minyak atau lemak, salah satunya yaitu baking. Baking adalah teknik pemasakan atau cooking dengan cara meletakkan bahan pangan ke dalam oven yang biasanya telah dilengkapi dengan elemen panas yang terletak di bagian bawah dari oven. Pemindahan panas yang terjadi dalam baking tersebut terdiri dari tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Pada awalnya udara bagian bawah oven dipanaskan, kemudian udara yang hangat dan panas bergerak ke atas, terjadilah perpindahan konveksi. Udara panas yang bergerak ke atas dan kemana-mana tersebut akhirnya menyentuh bahan pangan, terjadilah perambatan panas secara konduksi. Radiasi panas yang dipancarkan oleh dasar oven membentur ke seluruh permukaan dinding 5

oven, kemudian dipantulkan dan diserap, akhirnya membentur bahan pangan sehingga bahan pangan menjadi panas (Winarno, 2007). Kriteria mutu fisik produk pangan biskuit atau produk kering pada kadar air kritis tidak lembek dan renyah (Herawati, 2008). Pembuatan biskuit dalam bidang pangan ini digunakan sebagai prinsip dasar bentuk biskuit pakan karena adanya persamaan dalam proses pemanasan dan pencetakan terutama bentuk bulat. Biskuit pakan ini dibuat dari bahan serat terutama hijauan sebagai pengganti hijauan segar agar ruminansia dapat memanfaatkan serat ketika kualitas dan kuantitas hijauan menurun. Sifat Fisik Pakan Karakteristik atau sifat fisik bahan pakan ruminansia jarang diukur, terutama sekali dalam hubungannya dengan kandungan nutisinya yang dapat digunakan pada formulasi ransum. Telah diketahui bahwa beberapa dari sifat fisik seperti ukuran partikel dan densitas dapat menerangkan sebagian dari interaksi antara flora rumen dan degradasi bahan pakan. Densitas partikel mempengaruhi laju rata-rata pakan hingga rata-rata pergantian pakan pada rumen dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Ukuran partikel pakan mempengaruhi luas area yang tersedia untuk aktivitas mikroorganisme dan multiplikasinya dan juga memegang peranan pada laju rata-rata bahan pakan melewati saluran pencernaan (Giger-Reverdin, 2000). Ukuran Partikel Uji ukuran partikel merupakan proses penentuan nilai tengah atau nilai ratarata ukuran partikel dari sejumlah pakan atau komposisi sampel (McEllhiney, 1994). Ukuran partikel dapat ditentukan dengan menggunakan metode tyler sieve (Henderson dan Perry, 1976) dan median particle size (Giger-Reverdin, 2000). Ukuran partikel mempengaruhi luas permukaan yang tersedia bagi penempatan dan multiplikasi mikro-organisme rumen (Giger-Reverdin, 2000) Weston (2002) menambahkan bahwa partikel yang lolos dari saringan 1200 µm memiliki laju pengosongan rumen dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran partikel, contohnya partikel yang lolos dari saringan 150 µm ternyata meninggalkan rumen sekitar 14 kali lebih cepat dibandingkan partikel yang tertahan pada saringan 6

dengan ukuran 1200 µm - 600 µm. Ukuran partikel dan tekstur biskuit pakan yang halus menyebabkan laju aliran digesta rumen menjadi lebih cepat, sehingga domba dapat mengkonsumsi pakan lebih banyak. Menurut Arora (1989), ukuran partikel pakan yang lebih kecil akan meningkatkan laju aliran cairan dan laju aliran digesta rumen, sehingga konsumsi pakan akan meningkat demikian juga pengosongan lambung lebih cepat. Grinding dan pelleting biasanya mendukung peningkatan jumlah konsumsi dan membantu dalam pencernaan selulosa dan protein yang kompleks, akan tetapi terkadang grinding menurunkan nilai kecernaan pakan yang selanjutnya memunculkan ide untuk mengukur seberapa halus suatu pakan digiling, yang ditetapkan dalam ukuran kehalusan atau modulus of fineness (Schneider dan William, 1975). Uji ukuran kehalusan adalah proses pengayakan atau penyaringan sejumlah sampel pakan untuk menentukan bagian yang halus (McEllhiney, 1994). Prosedur penanganan pakan rutin seperti grinding dan pelleting mengubah ukuran partikel pakan, oleh sebab itu kecernaannya juga berubah, dengan mengabaikan efeknya terhadap komposisi kimia bahan pakan jika ada. Pengurangan ukuran partikel pakan dapat meningkatkan nilai kecernaan, yang disebabkan oleh peningkatan luas permukaan untuk aktifitas enzimatik; menurunkan kecernaan dengan berkurangnya waktu retensi dan meminimalkan luas daerah terbuka ke enzim pencernaan; atau tidak mempunyai pengaruh yang dapat dideteksi sama sekali (Kitessa et al, 1999). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel mengakibatkan penurunan aktivitas mengunyah dan kandungan lemak. Pengurangan ukuran partikel hijauan meningkatkan konsumsi bahan kering dan sintesis protein mikroba yang disebabkan oleh peningkatan laju pengosongan rumen (Fonseca et al, 2000). Bahan kering hay alfalfa giling memiliki nilai kecernaan 2,2% lebih rendah dibanding hay yang dipotong kasar. Laju kecernaan residu pakan yang digiling halus pada steer lebih baik jika dibandingkan dengan pakan kasar, dan kecernaan serat kasar cenderung menurun saat laju aliran digesta semakin meningkat. Tingkat ruminasi berkurang saat ternak diberi pakan hay halus. Sebuah studi terhadap hay 7

yang digiling dengan empat tingkat kehalusan yaitu kasar, agak halus, dan sangat halus, nilai kecernaan bahan keringnya masing-masing turun 3,2%, 7,6% dan 15,1% jika dibandingkan dengan hay yang diberikan dalam bentuk panjang (utuh). Kandungan nutrien tercerna pada hay menurun seiring dengan semakin kecil ukuran partikel. Tidak ada perbedaan yang konsisten antara nutrien hay alfalfa giling dalam derajat kehalusan yang berbeda. Proses grinding yang menghasilkan partikel halus tidak selalu menekan nilai kecernaan bahan kering. Domba mengunyah makanan dengan sangat efektif sehingga kemungkinan tidak terdapat keuntungan dari penggilingan biji-bijian bagi domba kecuali untuk biji-bijian yang sangat kecil dan keras (Schneider dan William, 1975). Ukuran kehalusan atau yang sering disebut dengan modulus of fineness (MF) adalah pengukuran kekasaran atau kehalusan agregat tertentu. Pemakaian nilai ukuran hasil penggilingan dengan metode sieving atau yang biasa disebut ukuran partikel sebagai suatu bahan pengukur kehalusan partikel kemudian dipetimbangkan kembali hingga dibuat suatu pemanfaatan ukuran kehalusan dan ukuran keseragaman atau modulus of uniformity (MU) yang baik dalam menginterpretasikan percobaan dan menemukan bahwa kerapatan, ukuran kehalusan dan ukuran keseragaman berhubungan signifikan dengan koefisien cerna, ketika ukuran partikel tidak berhubungan (Schneider dan William, 1975). Kerapatan (Densitas) Densitas atau kerapatan jenis curah merupakan massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Menurut Wirakartakusumah et al (1992) kerapatan curah diberi sifat-sifat tambahan seperti loose bulk density (LBD) atau kerapatan tumpukan dan tapped bulk density (TBD) atau kerapatan pemadatan tumpukan (setelah getaran). Toharmat et al (2006) menyatakan bahwa sifat kerapatan bahan terkait dengan kadar serat dalam bahan. Semakin tinggi kadar serat maka semakin rendah kerapatan atau bahan tersebut semakin amba. Hasil penelitian Khalil (1999) yang memperlihatkan bahwa semakin kecil ukuran partikel, semakin tinggi kerapatan pemadatan tumpukan. Giger-Reverdin (2000) juga menyatakan bahwa setiap kenaikan nilai tengah ukuran partikel biasanya diikuti dengan menurunnya nilai kerapatan. 8

Kerapatan adalah suatu ukuran kekompakan partikel dalam lembaran dan sangat tergantung pada kerapatan bahan baku yang digunakan serta besarnya tekanan kempa yang diberikan selama proses pembuatan lembaran dengan menentukan atau mengukur berat sampel untuk setiap satu satuan volume sampel (Suryani, 1986). Kerapatan bahan baku sangat tergantung pada besarnya kempa yang diberikan selama proses pembuatan (Syananta, 2009). Tekanan pengempaan dilakukan untuk menciptakan ikatan antara permukaan bahan perekat dan bahan yang direkat dengan bantuan alat pengepres (Suryani, 1986). Menurut Trisyulianti et al (1998), wafer pakan yang mempunyai kerapatan tinggi akan memberikan tekstur yang padat dan keras sehingga mudah dalam penanganan, penyimpanan dan goncangan pada saat transportasi serta diperkirakan akan lebih lama dalam penyimpanan. Sebaliknya, pada pakan yang mempunyai kerapatan rendah akan memperlihatkan bentuk wafer pakan yang tidak terlalu padat dan tekstur yang lebih lunak serta porous (berongga), sehingga diperkirakan hanya dapat bertahan dalam penyimpanan beberapa waktu saja. Wafer dengan kerapatan yang rendah akan mempunyai ruang kosong atau luasan kontak antar partikel yang lebih besar sehingga mengakibatkan kemampuan penyerapan air yang besar. Kerapatan wafer ransum komplit dapat mempengaruhi palatabilitas ternak. Pakan atau wafer yang terlalu keras dengan kerapatan yang tinggi akan menyebabkan sulitnya ternak dalam mengkonsumsi wafer secara langsung sehingga perlu ditambahkan air pada saat akan diberikan dan ternak pada umumnya menyukai pakan atau wafer dengan kerapatan yang rendah (Nursita, 2005). Menurut Furqaanida (2004), kerapatan menentukan bentuk fisik dari wafer ransum komplit yang dihasilkan dan menunjukkan kepadatan wafer ransum komplit dalam teknik pembuatannya. Rumput dan sebagian hasil ikutan industri pertanian merupakan hijauan pakan yang kaya sumber serat. Hijauan secara umum mempunyai nilai kerapatan yang rendah (Khalil, 1999). Ternak yang diberi pakan dengan rasio keambaan yang besar biasanya mencoba mengkonsumsi lebih banyak pakan. Walaupun demikian, satu hal yang harus diingat bahwa kapasitas saluran pencernaan tidaklah tidak 9

terbatas. Saat saluran pencernaan penuh, tidak ada pakan yang dapat dikonsumsi lagi (Schneider dan William, 1975). Sebuah studi tentang pendugaan kandungan nutrien dedak padi terhadap sifat fisik (Wibowo, 2010) menunjukkan bahwa kadar abu dan kadar serat kasar mempunyai hubungan yang positif dengan kerapatan tumpukan sehingga setiap kenaikan nilai kerapatan tumpukan (LBD) akan meningkatkan kadar abu dan kadar serat bahan, sedangkan kadar protein kasar dan lemak kasar mempunyai hubungan negatif dengan LBD. Sebaran nilai kerapatan pemadatan tumpukan (TBD) lebih baik dibandingkan nilai LBD yang berarti bahwa setiap bahan sumber abu dan serat akan lebih banyak menempati volume dibandingkan bahan sumber protein dan lemak. Semua hasil uji sifat fisik LBD, TBD dan kelarutan total memberikan pengaruh nyata terhadap masing-masing kandungan nutrien, namun kadar protein kasarlah yang mempunyai korelasi paling erat dengan sifat fisik LBD, TBD dan kelarutan total. Kecernaan Kecernaan zat makanan didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut dicerna oleh hewan (McDonald et al, 1991), apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisisen cerna (Tillman, 1989). Keberadaan pakan dalam alat pencernaan ruminansia akan mengalami perubahan kimia, biologi, dan fisik. Setiap jenis ternak memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi pakan, sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen (Sutardi, 1980). Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengukur kecernaan suatu bahan pakan seperti in vivo, in sacco dan in vitro. Teknik evaluasi pakan secara in vivo mempunyai tingkat akurasi yang lebih tinggi dibanding teknik lain karena bersifat aplikatif pada ternak secara langsung. Menurut Suparjo (2008), pengukuran kecernaan secara in vivo dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara tak langsung dengan menggunakan marker dan cara langsung. Pengukuran secara langsung merupakan pengukuran konvensional dengan menggunakan kandang metabolis ataupun kandang individu. Dalam metoda ini semua pakan, sisa pakan dan feses ditimbang dan dicatat, kemudian diambil sampel untuk dianalisis. Dengan mengetahui jumlah pakan yang diberikan, sisa pakan, dan feses maupun urine yang 10

dikeluarkan setiap ekor ternak serta mengetahui kandungan zat makanan bahan pakan, sisa pakan, feses atau urine, maka akan didapat nilai kecernaan dari masingmasing komponen. Pengukuran secara tidak langsung merupakan metode yang pada penerapannya feses yang dikeluarkan ternak tidak perlu dikumpulkan dan ditimbang semua tetapi cukup diambil sampelnya. Teknik ini biasanya dilakukan pada ternak yang digembalakan, pengukuran konsumsinya dihitung dengan menduga feses yang dikeluarkan untuk setiap ternak dengan menggunakan perunut misalnya chrome oxide, ferric oxide, pigment, silika, lignin dan cromogen (Suparjo, 2008). Selisih antara konsumsi zat makanan bahan pakan dengan ekskresi zat makanan feses menunjukkan jumlah zat makanan bahan pakan yang dapat dicerna (Suparjo, 2008 ). Kecernaan ransum mempengaruhi konsumsi ransum, kecernaan ransum yang rendah dapat meningkatkan konsumsi ransum karena laju digesta dalam pencernaan semakin cepat dan ransum akan cepat keluar dari saluran pencernaan (Church dan Pond, 1988). Rumen dan retikulum berisi mikroorganisme seperti bakteri dan protozoa. Nilai kecernaan yang meningkat berkaitan dengan peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam rumen yang menunjukkan pemenuhan kebutuhan mikrorganisme untuk optimasi aktivitas mikroorganisme merupakan hal yang penting. Mikroorganisme memecah partikel-partikel kecil pakan untuk memproduksi zat-zat kimia sederhana yang beberapa diantaranya diserap melalui dinding lambung dan sebahagian lagi dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme tidak dapat memecah sejumlah besar makanan asing, sehingga jika jenis pakan baru diberikan kepada ternak ruminansia seharusnya diperkenalkan secara perlahan-lahan guna memungkinkan miroorganisme berubah (Gatenby, 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, daya cerna semu protein kasar, lemak, komposisi ransum, penyiapan pakan, faktor hewan dan jumlah pakan yang diberikan (Tillman et al, 1991). Domba akan mengkonsumsi lebih banyak pakan halus dibanding pakan yang kasar. Konsumsi bahan kering pakan kasar bervariasi mulai dari 1,5% dari bobot badan untuk pakan dengan kualitas rendah hingga 3,0% untuk pakan dengan kualitas tinggi (Gatenby, 1991). 11

Proses pengeringan menyebabkan penurunan nilai kecernaan hijuan. Dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mengunyah hay dan membawanya masuk ke saluran pencernaan jika dibandingkan dengan hijauan segar. Penyimpanan pakan kering untuk beberapa bulan, walaupun lebih disukai, dapat menurunkan nilai kecernaan (Schneider dan William, 1975). Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kosentrasi serat pakan yang meningkat tidak mempengaruhi volume digesta rumen maupun bobot digesta akan tetapi menurunkan persentase bobot bahan kering digesta. Kandungan serat yang tinggi menurunkan kecernaan bahan kering namun meningkatkan kecernaan neutral detergent fibre (NDF) (Tjardes, 2002). Menurut Sutardi (1980), nilai kecernaan bahan organik dari suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut. Nilai rataan koefisien cerna bahan kering pada domba lokal adalah 57,34% sedangkan nilai rataan koefisien cerna bahan organik adalah 60,74% (Elita, 2006). Kecernaan Serat Kecernaan serat suatu bahan makanan sangat mempengaruhi kecernaan pakan, baik dari segi jumlah maupun dari komposisi kimia seratnya (Tillman et al, 1991). Serat tidak pernah digunakan secara keseluruhan oleh ruminansia, sekitar 20-70% dari serat yang dikonsumsi ditemukan dalam feses (Cuthbertson, 1969). Ibrahim et al (1995) menyatakan kecernaan serat kasar yang rendah merupakan akibat dari proporsi lignin yang tinggi di daerah tropis dengan pemberian pakan hijauan dan pakan konsentrat yang menyebabkan laju pergerakan zat makanan yang tinggi, sehingga kerja enzim tidak optimal serta mengakibatkan sejumlah zat makanan tidak dapat didegradasi dan diserap oleh tubuh. Kecernaan Neutral Detergent Fibre (NDF) dan Acid Detergent Fibre (ADF) Bahan kering hijauan kaya akan serat terdiri dari kira-kira 20% isi sel dan 80% dinding sel. Sistem analisa menurut Van Soest (1982) membagi pakan hijauan dalam dua fraksi yaitu: a) isi sel bersifat mudah larut dalam detergent netral; b) dinding sel bersifat tidak mudah larut dalam deterjen netral. Adapun serat dalam pakan asal rumen termasuk dalam komponen dinding sel yang sulit difermentasi. 12

Dinding sel terdiri dari: a) acid detergent soluble yang larut dalam detergen asam seperti hemiselulosa dan protein dinding sel, dan b) acid detergent fibre (ADF) yang tidak larut dalam detergen asam (Van Soest, 1982). Kandungan ADF hijauan erat hubungannya dengan manfaat bahan pakan. Kecernaan NDF kemungkinan besar lebih berhubungan dengan pemanfaatan dinding sel oleh ruminansia. Karena dinding sel mewakili sebagian besar bagian tidak tercerna dari tumbuhan hijauan makanan ternak, kecernaan dan komposisi dinding sel dapat terdiri dari faktor-faktor yang sebagian besar menjadi pembatas bagi produksi ternak dengan pakan tinggi hijauan (Van Soest, 1994). Kandungan serat yang tinggi menurunkan kecernaan bahan kering namun meningkatkan kecernaan NDF. Peningkatan kecernaan NDF pada perlakuan tinggi serat merupakan hasil dari peningkatan kondisi pencernaan serat oleh mikroorganisme sepanjang saluran pencernaan (Tjardes et al, 2002). Kecernaan Protein Kasar Kebutuhan protein domba secara teori dapat diperhitungkan, walaupun kita mengetahui bahwa kandungan protein pakan maupun kebutuhan protein domba cukup baik untuk membuat lebih dari perkiraan yang sangat umum dari kekurangan atau kelebihan protein (Gatenby, 1991). Kisaran normal kecernaan protein yaitu antara 47,70%-71,94% (Manurung, 1996). Ginting (2000) melaporkan bahwa kecernaan protein kasar (PK) domba yang diberi hijauan berkisar antara 38,19%- 51,09%. Rendahnya kecernaan PK pada hijauan karena protein sel tumbuhan berada di dalam isi sel sehingga untuk mencernanya harus memecah dinding sel tumbuhan terlebih dahulu (Russel et al, 1992). Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis merupakan domba asli Indonesia dikenal sebagai domba Lokal, domba Kampung atau domba Kacang. Domba ini tidak jelas asal-usulnya dan dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Devendra dan McLeroy, 1992). Konsentrasi Domba Ekor Tipis terbesar terdapat di propinsi Jawa Barat (Iniquez dan Gunawan, 1990). Domba Ekor Tipis merupakan domba prolifik. Sifat-sifat domba prolifik menurut Tiesnamurti (1992) tercantum pada Tabel 3. 13

Tabel 3 Sifat-sifat Domba Prolifik Sifat Tunggal Kembar Dua Kembar > 3 Rata-rata bobot lahir (kg) 2.6 1.8 1.2 Rata-rata bobot sapih per ekor (kg) 15.2 10.3 8.1 Kematian prasapih (%) 10 17 30 Laju pertumbuhan prasapih (gr/ekor/hari) 130 95 75 Laju pertumbuhan lepas sapih (gr/ekor/hari) 119 124 135 Umur pubertas betina (hari) 359.1 359.2 312 Rata-rata bobot badan setahun (kg) 25 20 18 Sumber: Tiesnamurti (1992) Karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya (Tiesnamurti, 1992). Ekor pada domba lokal umumnya pendek (Devendra dan McLeroy, 1992) dengan ukuran panjang rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992). 14