II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suren (Toona sureni Merr.) Pohon Suren merupakan salah satu jenis pohon dari famili Meliaceae. Pohon ini merupakan salah satu jenis yang berasal dari Indonesia. Daerah penyebarannya sangat luas, penyebarannya yaitu di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Ciri umum dari kayu Suren yaitu memiliki tinggi pohon yang dapat mencapai 34-40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-25 m. Diameter dapat mencapai 85 cm. Pohon ini juga dapat memiliki banir dengan tinggi 0,9 m dan lebar banir 0,6 m. warna kayu teras merah daging, warna gubal cokelat, dan teksturnya agak kasar. Sementara daunnya majemuk, lanset, dan tepi daun agak bergelombang dan tidak bergerigi (Gambar 2). Kayu Suren merupakan kayu ringan dengan berat jenis 0,38-0,50 dengan kelas kuat III-IV dan kelas awet III-V. Pohon Suren ini biasa tumbuh pada tanah kering dan tanah lembab yang subur, umumnya di daerah yang memiliki ketinggian dibawah 1.200 m dari permukaan laut. Kegunaan kayu Suren antara lain dapat digunakan untuk bahan bangunan, peti, kotak, perahu, dan meja tulis yang indah, selain itu juga disukai untuk membuat almari pakaian karena pada waktu dikerjakan kayunya berbau harum (Hayne 1987). Spesies ini menghasilkan kayu yang baik. Kulit kayunya dimanfaatkan sebagai astringent dan sebagai obat pencahar. Di Indo-Cina, spesies ini digunakan sebagai tonik, sebagai antiperiodik, dan anti rematik. Sementara di Indonesia jenis ini digunakan sebagai tonik untuk mengatasi diare, disentri, dan infeksi usus lainnya. Ekstrak daunnya memiliki aktivitas antibiotik terhadap Staphylococcus, dengan cara melaburkan ramuan ujung daun pada luka bengkak (Hua et al.. 2008). Hayne (1987) pun mengemukakan bahwa daun dan kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat disentri, demam, kencing manis dan sebagai obat pengelat.
4 Gambar 1 Kenampakan daun Suren (koleksi pribadi). 2.2 Kayu Teras (Heartwood) Kayu teras merupakan bagian dari batang kayu yang sudah tidak lagi berfungsi secara fisiologis tetapi masih berfungsi untuk menunjang pohon secara mekanis (Haygreen & Bowyer 1989). Mengacu pada penjelasan Rudman dalam Haygreen dan Bowyer (1989) bahwa penyebab utama terbentuknya kayu teras adalah penumpukan dan penguraian zat-zat makanan yang melebihi dari volume kebutuhan pohon. Zat-zat makanan tersebut bergerak ke arah dalam sepanjang jari-jari, menumpuk, dan hancur, kemudian mengakibatkan matinya sel-sel. Kayu teras yang terbentuk berada pada bagian tengah penampang melintang kayu yang pada umumnya mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Setelah pohon mencapai umur tertentu, kebanyakan kayu pada bagian dalam batang pohon mulai berubah menjadi kayu teras dan proporsinya pun semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan pohon tersebut. Sel-sel parenkim yang mati menghasilkan endapan-endapan organik seperti senyawa fenol, resin, pigmen, dan lainnya (Sjostrom 1981). Berbagai macam endapan organik yang terkandung di dalam kayu teras tersebut dikenal sebagai zat ekstraktif (Pandit & Kurniawan 2008). Pada umumnya kayu teras menjadi lebih keras dan mengandung zat ekstraktif organik dari golongan polifenol. Polifenol ini merupakan ekstraktif organik hasil konversi dari pati, gula, dan ekstraktif organik yang ada dalam parenkim kayu gubal (Achmadi 1990). Kayu teras seringkali lebih awet daripada kayu gubal, kayu teras lebih tahan terhadap serangan jamur dan serangan serangga perusak kayu. Hal ini
5 disebabkan adanya zat-zat yang bersifat toksik dalam zat ekstraktif. Oleh karena adanya endapan zat ekstraktif juga pada umumnya kayu teras berubah warna menjadi lebih gelap. Suren memiliki kayu teras berwarna merah terang (Pandit & Kurniawan 2008). Berdasarkan penelitian Rahmawan (2011) yang membandingkan bioaktivitas antar bagian pohon, menunjukkan bahwa ekstrak dari kayu teras memiliki bioaktivitas yang lebih tinggi daripada ranting, daun, dan kayu gubalnya. 2.3 Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu proses untuk memisahkan senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan pelarut air maupun pelarut organik tertentu. Sementara ekstrak adalah komponenkomponen kimia kayu yang dipisahkan dari hasil ekstraksi. Ekstrak ini biasa digunakan sebagai ciri-ciri spesifik suatu genus maupun spesies kayu (Lewin & Goldstein 1991). Metode ekstraksi terbagi menjadi dua macam cara, yaitu cara dingin dan cara panas. Metode ekstraksi dengan cara dingin yaitu maserasi dan perkolasi, sedangkan metode dengan cara panas yaitu refluks, digesti, infus, dekok, dan sokletasi (Voigt 1994). Tahapan yang perlu diperhatikan dalam mengekstrak jaringan tumbuhan adalah penyiapan bahan sebelum diekstrak, pemilihan pelarut, kondisi proses ekstraksi, pengambilan pelarut, dan pengujian sebagai tahap penyelesaian (Sabel & Warren 1973). Sokletasi merupakan salah satu metode ekstraksi. Pada prinsipnya proses sokletasi yaitu penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah penggunaan pelarut lebih sedikit, proses pembaruan pelarut secara terus-menerus sehingga proses lebih cepat, dan pemanasannya dapat diatur (Voigt 1994). Dalam hal pemilihan larutan perlu diperhatikan bahwa proses isolasi suatu jaringan atau zat-zat yang ada pada tumbuhan yang bersifat polar akan dapat
6 dilakukan dengan menggunakan pelarut polar, begitu pula dengan ekstrak nonpolar dapat diekstrak dengan pelarut non-polar (Lewin & Goldstein 1991). Menurut Achmadi (1990), jenis zat ekstraktif yang terekstrak pada pelarut n-heksana (turunan benzena) adalah jenis golongan utama terpena, fenol, hidrokarbon melalui penyulingan uap, sedangkan zat ekstraktif yang terlarut dalam fraksi metanol (alkohol) adalah flobafen, tanin, stilbena dan jenis zat warna yaitu flavonoid, antosianin. Kemudian Hillis (1987) menyatakan bahwa flavonoid merupakan senyawa yang menyebabkan kayu teras berwarna merah, seperti pada sampel kayu Suren yang digunakan. Sjostrom (1981) menjelaskan bahwa fenolik yang terdapat pada kayu teras, kulit, dan sedikit di dalam xilem berfungsi sebagai fungisida dan juga meningkatkan warna kayu. Zat ekstraktif terdapat di dalam rongga sel namun bukan merupakan bagian dari struktur dinding sel kayu (Tsoumis 1991). Zat ekstraktif memiliki arti yang penting dalam kayu. Beberapa tanaman diketahui dapat menghasilkan zat ekstraktif sebagai senyawa bioaktif, termasuk antikanker, yang pada umumnya berupa senyawa-senyawa flavonoid, glikosida, steroid alkaloid dan terpenoid (Kurz & Constabel 1998). Berdasarkan penelitian sebelumnya, Suren memiliki kandungan bahan Surenon, Surenin dan Surenolakton yang berperan sebagai penghambat pertumbuhan insektisida dan antifeedant (menghambat daya makan) terhadap larva serangga uji ulat sutera. Bahan-bahan tersebut juga terbukti merupakan pengusir atau penolak (repellant) serangga, termasuk nyamuk (Sunarto 1998). Aktivitas biologis terhadap A.salina juga ditemukan pada ekstrak n-heksana (Yuhernita & Juniarti 2009). Senyawa non-polar yang terkandung dalam Suren didominasi oleh senyawa fitol yang berfungsi sebagai senyawa antidiabetes dan juga sebagai senyawa obat hepatitis (Hsieh et al. 2011 dan Yu et al. 2012). 2.4 Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Metode uji toksisitas larva udang (Brine Shrimp Lethality Test/BSLT) terhadap A. salina merupakan metode bioassay konvensional yang umum digunakan untuk menguji komponen aktif tumbuhan. Metode ini juga dianggap memiliki korelasi dengan daya sitotoksik senyawa-senyawa antikanker, sehingga
7 sering digunakan untuk skrinning awal pencarian senyawa antikanker. Penggunaan BSLT sebagai uji bioaktivitas memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah, cepat, murah, sederhana (tidak memerlukan keterampilan dan peralatan khusus), dan hasilnya dapat dipercaya (Meyer et al. 1982). Larva udang A. salina merupakan kelompok udang-udangan dari phylum arthropoda. Keunggulan penggunaan larva udang untuk uji BSLT adalah sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat, mudah dibiakkan, dan harganya yang murah. Kepekaan yang dimiliki oleh larva udang ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya (Sofyan 2008). A. salina ditemukan hampir di semua perairan di bumi yang memiliki kisaran salinitas sebesar 10-220 g/l, hal inilah yang menyebabkannya mudah dibiakkan. Penggunaannya dalam uji BSLT yaitu dengan menetaskan terlebih dahulu telur udang tersebut. Udang akan menetas dalam waktu 24 jam dan yang baik digunakan yaitu larva udang dengan umur 48 jam karena jika melebihi 48 jam dikhawatirkan nilai mortalitas bukan dipengaruhi oleh toksisitas bahan uji melainkan karena keterbatasan persediaan makanannya (Meyer et al. 1982). Dalam uji ini diamati tingkat mortalitas larva udang A. salina yang disebabkan oleh ekstrak tumbuhan dengan konsentrasi tertentu. Senyawa tumbuhan yang aktif akan menghasilkan tingkat mortalitas yang tinggi. Data besarnya mortalitas yang diperoleh akan diolah untuk mendapatkan LC 50 (Lethal Concentration 50%) pada tingkat kepercayaan 95% dengan menggunakan Probit Analysis Method sebagai perbandingan potensi signifikan secara statistik. LC 50 merupakan besarnya konsentrasi (µg/ml) ekstrak yang diuji untuk dapat mematikan 50% dari hewan uji. Hasil uji BSLT dapat dikategorikan aktif secara biologis dan potensial untuk diteliti lebh lanjut apabila hasil tersebut menunjukkan nilai LC 50 dibawah dari 250 µg/ml (Rieser et al. 1998 dalam Pissutthanan et al. 2004).