BAB I PENDAHULUAN. Hasil hutan non kayu sebagai hasil hutan yang berupa produk di luar kayu

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil hutan non kayu sebagai hasil hutan yang berupa produk di luar kayu yang dihasilkan dari pengolahan hutan, contohnya produk ekstraktif. Produk ekstraktif merupakan produk di luar kayu yang diperoleh dari proses ekstraksi, destilasi (penyulingan), atau pengepresan suatu bagian tanaman (daun, kulit kayu, akar, buah/biji, dan bunga) dapat berupa minyak, getah, pewarna, dan obat (Kasmudjo, 1982). Produk ekstraktif yang berupa minyak-minyakan dibedakan menjadi dua yaitu minyak atsiri dan minyak lemak. Minyak atsiri juga disebut minyak eteris merupakan minyak encer, bening yang mudah menguap pada suhu kamar dan merupakan hasil penyulingan dari bagian tanaman baik dari daun, bunga, buah, biji, kulit, akar, maupun batang pada tanaman tertentu. Menurut Ketaren (1985) terdapat sekitar 150 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan secara internasional dan saat ini Indonesia menghasilkan sebanyak 40 jenis komoditas minyak atsiri. Namun baru sebagian dari jenis tersebut yang digunakan sebagai sumber minyak atsiri secara komersil, yaitu minyak sereh wangi, nilam, kenanga, pala, daun cengkeh, ekaliptus, cendana, kayu putih, akar wangi, jahe, dan kemukus. Di Indonesia terdapat banyak jenis tanaman yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil minyak atsiri. Salah satunya adalah ekaliptus, ekaliptus merupakan tanaman yang penting dan banyak ditanam di dunia. Menurut Balitbang Dephut (1994) tanaman ini terdiri dari 700 spesies lebih dan termasuk 1

2 2 dalam famili Myrtaceae. Menurut Ketaren (1985) antara 1 jenis dengan jenis lainnya menghasilkan minyak yang kualitasnya berbeda. Hal tersebut didukung dengan penyataan Kasmudjo (2004) mengatakan bahwa kualitas minyak di pengaruhi oleh jenis tanaman, lama masa tunggu, cara pengisian ke dalam ketel, dan cara penyimpanan. Salah satu jenis tanaman yang telah dikembangkan sebagai jenis pembangunan hutan tanaman industri (HTI) untuk menghasilkan kayu dan daunnya memiliki potensi yang besar untuk dijadikan minyak atsiri adalah ekaliptus (Eucalyptus spp.) karena pertumbuhannya yang cepat dan daun yang tumbuh sepanjang tahun (evergreen) (Iskandar et al., 2003). Daun dari tanaman ekaliptus yang ada di HTI merupakan limbah industri yang memiliki potensi dijadikan produk ekstraktif berupa minyak ekaliptus. Minyak ekaliptus adalah minyak atsiri yang dapat dihasilkan dari tanaman ekaliptus terutama pada bagian daunnya. Guenther (1990) mengemukakan bahwa minyak ekaliptus yang ditemukan dalam perdagangan dewasa ini dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan utama yaitu golongan minyak medicinal, industri, dan golongan minyak parfum. Minyak ekaliptus juga dimanfaatkan sebagai anti rayap, desinfektan, obat gosok, fungisida, bahan pembersih pakaian, insektisida, obat, dan keperluan medis lainnya. Menurut Panahi (2011) minyak ekaliptus juga dapat digunakan sebagai bahan campuran kosmetik, salep, pasta gigi, obat batuk, pelega tenggorokan dan insektisida. Minyak ekaliptus juga dapat dicampur dengan minyak lain untuk meningkatkan harga jual. Minyak atsiri ekaliptus mengandung sineol yang dapat digunakan sebagai antiseptik alami. Selain itu jenis tanaman yang mengandung minyak atsiri ini sering digunakan

3 3 oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai pengusir serangga dan rayap. Penelitian Sakasegawa et al (2003) menyebutkan bahwa minyak atsiri dari daun Melaleuleca sp menyebabkan kematian rayap dengan gejala mengalami keracunan pada sistem pernafasan. Telah ditemukan beberapa bahan yang dapat mematikan rayap serta dapat digunakan sebagai pengawet dan anti rayap. Namun penggunaan bahan pengawet juga harus memperhatikan keefektifannya dalam mencegah serangan organisme perusak kayu dan efeknya terhadap lingkungan. Bahan kimia sintetik yang selama ini digunakan dalam pengawetan kayu berpotensi mencemari lingkungan. Untuk itu, saat ini diperlukan sumber bahan pengawet bersifat ramah lingkungan. Senyawa bioaktif yang ada di dalam tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai pengawet kayu karena dapat menolak serangan serangga dan bersifat racun seperti saponin, alkaloid, flavonoid, tanin, triterpenoid, dan steroid. Di bidang teknologi kayu khususnya pengawetan kayu pemanfaatan tumbuhan ini masih sedikit dilakukan padahal jumlahnya melimpah. Oleh karena itu eksplorasi terhadap tumbuhan ini perlu dilakukan untuk memperbanyak dan memperkaya informasi tentang tumbuhan penghasil bahan pengawet alami sebagai anti rayap (Azis, 2012). Penelitian mengenai teknik pengendalian rayap serta penemuan bahan-bahan baru yang lebih ramah lingkungan sebagai bahan pengendalian rayap terus dikembangkan. Beberapa penelitian yang baru seperti penggunaan bahan kimia dengan daya racun rendah terhadap manusia, penggunaan jamur entomopatogen,

4 4 penggunaan minyak atsiri serta teknik pengendalian yang mengusir rayap dengan menggunakan gelombang elektromagnetik (Webb et al., 1980). Rayap merupakan serangga sosial dari anggota bangsa Isoptera yang dikenal luas sebagai hama penting pada kehidupan manusia. Rayap bersarang dan memakan perabotan atau kerangka rumah yang terbuat dari kayu sehingga menimbulkan banyak kerugian secara ekonomi. Nandika dan Tumbuan (2003) menyatakan bahwa rayap merupakan salah satu penyebab kerusakan pada bangunan kayu di daerah tropis karena makanan utamanya adalah kayu dan bahan lain yang mengandung selulosa. Di seluruh dunia jenis rayap yang telah dikenal ada sekitar spesies (120 spesies merupakan hama), sedangkan di Indonesia telah dikenal lebih kurang dari 200 rayap dan 20 spesies yang diketahui sebagai hama perusak hutan dan pertanian. Secara umum rayap perusak kayu dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu rayap tanah dan rayap kayu kering. Rayap tanah adalah rayap yang hidup ditanah dan membuat sarangnya di atas permukaan tanah. Rayap kayu kering yaitu rayap yang bersarang di dalam kayu kering, baik dalam ranting atau batang mati yang terdapat dilapangan maupun dalam kayu kering yang digunakan untuk bahan bangunan (Subyanto, 1999). Rayap kayu kering dapat memasuki kayu yang terbuka diatas tanah secara langsung dari udara dan rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10% sampai 20% (mungkin lebih rendah) sehingga rayap ini dapat ditemukan pada kayu yang benar-benar kering angin dan pada kerangka

5 5 kayu pada bagian-bagian maupun bahan-bahan yang lebih lembab (Hunt dan Garrat, 1986). Minyak ekaliptus dapat dimanfaatkan sebagai pengawetan kayu secara alami atau bahan yang mematikan bagi rayap. Siramon et al. (2008) meneliti penggunaan minyak atsiri dari daun pohon Eucalyptus camaldulensis terhadap rayap Coptotermes formosanus Shiraki. Hasil penelitian menunjukkan minyak E. camadulensis mengandung terpinene yang mampu mematikan rayap C. formosanus dengan metode kontak langsung dan dengan metode non kontak. Efek yang diberikan oleh minyak E. camadulensis adalah menghambat aktivitas pada rayap dan berpotensi sebagai racun syaraf bagi rayap. Menurut Dubey et al. (2008), Dubey et al. (2010), Isman (2000), dan Koul et al. (2008), aktivitas biologi minyak atsiri terhadap serangga dapat bersifat menolak (repellent), menarik (attractant), racun kontak (toxic), racun pernapasan (fumigant), mengurangi nafsu makan (antifeedant), menghambat peletakan telur (oviposition deterrent), menghambat petumbuhan, menurunkan fertilitas, serta sebagai anti serangga vektor. Berdasarkan hal diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai minyak atsiri dari beberapa spesies ekaliptus yang diperoleh dari hutan tanaman di Wanagama I yaitu Eucalyptus brassiana, Eucalyptus pellita, serta persilangan Eucalyptus brassiana dan Eucalyptus pellita, minyak ekalipus yang dihasilkan akan di cari komposisi kimia dan sifat fisiko-kimianya serta efektivitas sebagai anti rayap kayu kering (Cryptotermes cynocepalus Light.) dengan metode kontak dan non-kontak.

6 6 1.2 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui rendemen, komposisi kimia dan sifat fisiko-kimia minyak Eucalyptus brassiana, Eucalyptus pellita, serta persilangan Eucalyptus brassiana dan Eucalyptus pellita 2. Mengetahui efektivitas minyak Eucalyptus brassiana, Eucalyptus pellita, dan persilangan Eucalyptus brassiana dan Eucalyptus pellita dengan metode kontak dan non-kontak sebagai anti rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.). 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai komposisi kimia dan sifat fisiko-kimia minyak ekaliptus serta informasi tentang daya anti rayap kayu kering dari jenis Eucalyptus brassiana, Eucalyptus pellita, serta persilangan Eucalyptus brassiana dan Eucalyptus pellita. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan acuan peneliti lainnya yang sejenis serta sebagai dasar dalam penentuan dan pengolahan lebih lanjut.