BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Industri perunggasan di Indonesia terutama ayam pedaging (broiler) sangat dominan dalam penyediaan protein hewani. Saat ini produksi daging broiler menempati urutan pertama sebagai penyumbang ketersediaan daging ternak asal unggas di Indonesia. Kontribusi daging asal unggas mengalami peningkatan dari 20% pada tahun 1970 menjadi 65% pada tahun 2008 (Fadilah, 2013). Produksi ayam broiler juga terlihat mengalami peningkatan selama 7 tahun terakhir, yaitu 942.800 ton pada tahun 2007, 1.018.700 ton pada tahun 2008, 1.101.800 ton pada tahun 2009, 1.214.300 ton pada tahun 2010, 1.337.909 ton pada tahun 2011, 1.400.468 ton pada tahun 2012, dan angka sementara 1.479.812 ton pada tahun 2013 (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013). Konsumsi produk unggas ini mengalami peningkatan pesat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya pemenuhan gizi bagi kesehatan tubuh. Peningkatan konsumsi daging ayam juga karena masyarakat mempunyai kesukaan terhadap produk ayam broiler. Daging broiler merupakan bahan makanan protein hewani murah dan padat gizi, sehingga dapat menggantikan bahan makanan protein hewani asal ternak besar (sapi dan kerbau) dan ternak kecil (kambing, domba, dan babi) yang harganya relatif lebih tinggi (Samadi, 2012). Peningkatan konsumsi daging ayam oleh masyarakat berdampak positif terhadap usaha peternakan ayam broiler. Hal ini perlu diimbangi dengan 1
2 peningkatan standar manajemen yang lebih baik, sehingga produksinya akan terus meningkat secara kualitatif maupun kuantitatif. Demi tercapainya karkas yang berkualitas, penilaian kualitas karkas saat ini tidak sebatas penampakan fisik dan nilai gizi yang dikandung, tetapi monitoring terhadap obat dan zat kimia berbahaya pada jaringan tubuh unggas. Monitoring yang dilakukan meliputi residu obat obatan, antibiotik, feed additive, pestisida, logam berat, maupun kontaminasi lain secara langsung maupun tidak langsung dari lingkungan (Sams, 2001). Pengendalian hama merupakan salah satu aspek dari manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti yang dilakukan di peternakan. Salah satu upaya pengendalian hama yaitu dengan penggunaan pestisida (Fadilah, 2013). Insektisida adalah jenis pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama serangga seperti lalat, caplak, maupun tungau (Emmy, 1995). Deltamethrin adalah salah satu insektisida piretroid sintetik yang diisolasi dari tumbuhan Chrysanthemum cinerariaefolium yang digunakan dalam pemberantasan serta pengendalian serangga sebagai vektor penyakit dan ektoparasit pada pertanian maupun peternakan (Godin dkk., 2010). Deltamethrin merupakan insektisida yang paling banyak dan populer digunakan di Indonesia (Mutiatikum dkk., 2002). Deltamethrin dapat masuk dalam tubuh ayam secara langsung karena digunakan sebagai pengendalian hama untuk meningkatkan biosekuriti (Sudarmo, 2008). Penggunaan pestisida di sektor pertanian juga cukup tinggi dengan maksud untuk meningkatkan produksi hasil tanaman pangan (Mutiatikum dkk., 2002). Hal ini terlihat dari banyaknya jenis pestisida yang terdaftar dan diijinkan
3 pemakaiannya di Indonesia serta dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 1986 tercatat 371 jenis, pada tahun 2000 sebanyak 594 jenis, pada tahun 2002 sebanyak 813 jenis, dan pada tahun 2006 sebanyak 1336 jenis. Selain itu pada tahun 2006 terdapat 196 perusahaan pestisida pemegang pendaftaran (Sudarmo, 2008; Rahayuningsih, 2009). Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (2012) melaporkan juga bahwa di Indonesia, pestisida yang diijinkan sebanyak 2475 jenis, termasuk di dalamnya adalah insektisida sebanyak 950 jenis, dan 43 diantaranya adalah deltamethrin. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (2014) melaporkan pada bulan Desember 2013, pestisida yang terdaftar sudah mencapai 2.810 formulasi untuk pertanian dan kehutanan serta 394 formulasi untuk pestisida rumah tangga dan pengendalian vektor penyakit manusia. Penggunaan deltamethrin pada berbagai sektor dapat mencemari lingkungan, secara tidak langsung dapat terpapar dan menjadi residu dalam tubuh ayam (Sudarmo, 2008). Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kualitas produksi unggas terutama mengenai mutu dan keamanan pangan (Soeparno, 2005). Kecamatan Moyudan mempunyai luas 2.762 Ha dengan luas persawahan 1.407 Ha dan area tegal 42 Ha. Populasi broiler di Kecamatan Moyudan sebanyak 152.278 ekor (BPS Kabupaten Sleman, 2013a). Kecamatan Seyegan mempunyai luas wilayah 2.663 Ha dengan luas area persawahan 1.510,79 Ha. Populasi broiler di Kecamatan Seyegan sebanyak 125.869 ekor (BPS Kabupaten Sleman, 2013b). Kedua kecamatan tersebut dipilih karena memiliki keadaan geografis yang hampir sama dan diketahui bahwa keduanya mempunyai produksi pertanian maupun
4 perunggasan yang tergolong tinggi di Kabupaten Sleman. Kedua kecamatan juga memiliki permasalahan hama yang tinggi, tentunya penggunaan pestisida di daerah tersebut juga tinggi (BPS Kabupaten Sleman, 2013c). Efek samping dari aplikasi pestisida yang tidak prosedural menimbulkan pencemaran lingkungan dan meninggalkan residu dalam bahan pangan, termasuk produk unggas. Residu pestisida pada kadar tertentu akan membahayakan kesehatan terutama apabila terjadi terus menerus (Mutiatikum dkk., 2002). Paparan pestisida di Indonesia beberapa kali pernah dilaporkan. Kishi dkk. (1995) melaporkan bahwa 21% petani bawang merah dari Brebes menunjukkan gejala dua atau lebih keracunan pestisida seperti neurobehavioral, kulit dan gastrointestinal. Narwanti dkk. (2012) melaporkan bahwa ditemukan residu insektisida piretroid pada produk bawang merah di sentra produksi bawang merah Daerah Istimewa Yogyakarta melebihi BMR yang ditetapkan oleh SNI. Insektisida piretroid yang sering digunakan adalah sipermetrin, deltamethrin, esfenvalerat, fenvalerat, dan permetrin. Penelitian mengenai residu deltamethrin pada berbagai komoditas telah dilaksanakan oleh peneliti terdahulu, tetapi penelitian mengenai kejadian residu deltamethrin dalam tubuh broiler dan faktor faktor yang berasosiasi dengan residu tersebut belum pernah dilakukan. Atas dasar inilah penulis ingin meneliti tentang kejadian residu deltamethrin dalam tubuh broiler dan faktor faktor yang berasosiasi dengan residu deltamethrin pada broiler di Kecamatan Moyudan dan Seyegan, Kabupaten Sleman.
5 Kemungkinan adanya bahaya residu pestisida deltamethrin pada bahan pangan asal unggas memunculkan rasa ingin tahu peneliti tentang kejadian residu deltamethrin dalam tubuh broiler dan faktor faktor yang diduga berasosiasi dengan residu deltamethrin pada broiler tersebut di Kecamatan Moyudan dan Seyegan, Kabupaten Sleman, sehingga dapat memberikan informasi lebih lanjut mengenai kaitan antara terpaparnya ayam broiler oleh deltamethrin dengan beberapa faktor manajemen. Daftar penelitian yang telah dilakukan mengenai paparan pestisida di lapangan yang terjadi di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Daftar penelitian yang telah dilakukan mengenai paparan pestisida di lapangan yang terjadi di Indonesia No. Pengarang Judul 1. Kishi dkk. (1995) Relationship of Pesticides Spraying to Signs and Symtomps in Indonesian Farmers. 2. Hidayat dkk. (2010) Pengetahuan, sikap dan tindakan petani di Kabupaten Tegal dalam Pengggunaan Pestisida dan Kaitannya dengan Tingkat Keracunan terhadap Pestisida. 3. Mutiatikum dkk. (2002) Analisis Residu Pestisida Piretrin dalam Tomat dan Selada dari Beberapa Pasar di Jakarta. 4. Kurniawati dan Narsito (2010) Deltamethrin Dynamics in Soils from Daerah Istimewa Yogyakarta Province. 5. Laba (2010) Analisis Empiris Penggunaan Insektisida Menuju Pertanian Berkelanjutan. 6. Narwati dkk. (2012) Residu Pestisida Piretroid pada Bawang Merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. 7. Efiyatni dkk. (2013) Penentuan Residu Pestisida Sipermetrin dan Deltametrin dalam Sayuran Sawi secara HPLC. 8. Satria dkk. (2014a) Residu Deltamethrin Terlacak pada Hati Ayam Pedaging yang Dipasarkan di Yogyakarta. 9. Satria dkk. (2014b) Pengoptimalan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dalam Analisis Senyawa Deltamethrin sebagai Residu dalam Produk Asal Hewan.
6 Satria dkk. (2014a) melaporkan bahwa hati ayam pedaging yang dipasarkan di Yogyakarta terdeteksi residu deltamethrin. Ayam pedaging yang diperjualbelikan sebagian besar berasal dari peternakan rakyat di wilayah sekitar Yogyakarta. Terdeteksinya residu deltamethrin pada ayam ayam yang dipasarkan di Yogyakarta dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan termasuk mengenai prevalensi dan analisis faktor penyebab. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melakukan faktor faktor diduga yang berasosiasi dengan paparan residu deltamethrin pada broiler di Kecamatan Moyudan dan Seyegan Kabupaten Sleman. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kaitan antara terpaparnya ayam broiler oleh deltamethrin dengan beberapa faktor manajemen. Diharapkan pula dapat menjadi informasi bagi penelitian lanjutan dengan lingkup yang lebih luas sehingga didapatkan rekomendasi manajemen pemeliharaan yang lebih komperehensif khususnya dalam mengurangi risiko munculnya residu deltamethrin pada produk broiler di Kecamatan Moyudan dan Seyegan Kabupaten Sleman pada khususnya.