BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium berada pada urutan keempat dari seluruh kanker yang menyebabkan kematian pada wanita di Amerika Serikat (Xu et al. 2012). Menurut Green (2016), kanker ovarium merupakan kanker yang menyebabkan angka kematian paling tinggi di antara kanker-kanker ginekologis di Amerika Serikat. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2005, kanker ovarium berada di urutan kelima dari berbagai kanker yang menyebabkan kematian pada wanita di Indonesia (Oemiati dkk. 2011). Dibandingkan dengan seluruh keganasan pada wanita, kanker ovarium berada pada urutan ketiga (Tjindarbumi & Mangunkusumo 2002). Sementara itu angka kejadian kanker ovarium di Indonesia menurut Fauzan (2009) adalah 15 kasus per 100.000 wanita. Kematian yang terjadi akibat kanker ovarium sangat tinggi. Berdasarkan data tahun 2014, di Amerika Serikat tercatat 21.980 kasus dan 14.270 di antaranya meninggal dunia akibat keparahan kanker ovarium (Yang et al. 2015). Dengan demikian terdapat lebih dari 50% pasien kanker ovarium meninggal dunia akibat keganasan. Salah satu penyebab tingginya angka kematian pada kasus kanker ovarium adalah sulitnya menegakkan diagnosis pada stadium awal. Pada stadium awal kanker ovarium berkembang tanpa gejala yang khas atau bahkan tidak bergejala (Yang et al. 2015). Menurut Vella et al. (2011), gejala stadium awal kanker ovarium dapat berupa peningkatan volume abdomen, perut terasa tegang, timbul 1
2 ketidaknyamanan di area panggul, atau timbul gejala gangguan sistem pencernaan. Gejala pada sistem pencernaan tersebut antara lain mual, muntah, konstipasi, serta diare. Gejala-gejala tersebut selain ditemukan pada stadium awal juga dapat ditemukan pada stadium lanjut (Green 2015). Gejala gejala tersebut juga lazim ditemukan pada penyakit lain dan tidak selalu berhubungan dengan keganasan. Kanker ovarium stadium awal tidak menunjukkan gejala klinis hingga berkembang lebih parah, seperti pada kanker ovarium jenis epitelial. Kanker ovarium yang berasal dari sel epitel permukaan biasanya tidak bergejala hingga berkembang menjadi besar baru kemudian menimbulkan keluhan di abdomen. Oleh karena sulitnya mendiagnosis kanker ovarium pada stadium awal, maka sebagian besar kanker ovarium terdiagnosis setelah mencapai stadium III atau IV (Sihombing et al. 2001). Angka ketahanan hidup lima tahun pasien kanker ovarium stadium stadium III adalah 32% dan stadium IV adalah 18% (Yang, et al. 2015). Semakin tinggi stadium kanker ovarium maka angka ketahanan hidup semakin berkurang. Tatalaksana kanker ovarium hingga saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Upaya deteksi dini dilakukan dengan skrining. Metode skrining untuk mendeteksi kanker ovarium adalah dengan cara mengukur peningkatan protein CA-125. Protein CA-125 adalah glikoprotein yang dilepaskan oleh permukaan sel kanker ovarium. Walaupun direkomendasikan untuk skrining, namun protein ini tidak terdeteksi pada 50% wanita yang mengalami kanker ovarium. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kadar protein CA-125 pada kanker ovarium stadium awal. Protein ini juga meningkat pada kondisi lain seperti
3 pada tumor jinak. Selain itu protein ini juga dihasilkan oleh beberapa jaringan normal seperti endometrium, epitel tuba Fallopi, parenkim paru-paru, serta kornea (Kumar et al. 2007, Yan et al. 2014). Tatalaksana kanker ovarium adalah pembedahan dan kemoterapi. Pembedahan merupakan tatalaksana primer kanker ovarium. Pembedahan dilakukan untuk menentukan stadium dan pengangkatan jaringan kanker. Pembedahan hanya efektif dilakukan jika kanker memiliki diferensiasi yang baik. Sementara itu kemoterapi ditetapkan sebagai tatalaksana standar dan sangat diperlukan setelah pembedahan. Kemoterapi diperlukan untuk menekan pertumbuhan sel-sel kanker (Xu et al. 2012). Walaupun kombinasi kedua tatalaksana ini bertujuan untuk memperpanjang angka ketahanan hidup pasien, namun sebagian besar pasien mengalami resistensi terhadap obat kemoterapi (Schuijer & Berns 2003). Angka keberhasilan kemoterapi dapat mencapai 80%, namun pada kenyataannya ditemukan sebanyak 50-75% di antaranya kambuh akibat multidrug resistance (MDR) (Yang et al. 2015). Multidrug resistance (MDR) kanker adalah insensitivitas sel-sel kanker terhadap aksi sitostatik maupun sitotoksik yang ditimubulkan oleh berbagai macam obat antikanker (Ullah 2008). Perkembangan multidrug resistance menjadi masalah utama dalam tatalaksana kanker ovarium dan menjadi penghambat kesuksesan kemoterapi di seting klinis (Yang et al. 2015). Sebagian besar kasus multidrug resistance disebabkan oleh polimorfisme gena ABCB1 (ATP-binding cassette sub-family B member 1). Gena ABCB1 atau dikenal juga dengan nama multidrug resistance-1 (MDR-1) merupakan gena
4 penyandi glikoprotein-p. Glikoprotein-P adalah protein integral yang berfungsi mengeluarkan zat berlebih dari dalam sel, termasuk obat, agar tidak bersifat racun bagi sel (Gao et al. 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Australian Ovarian Cancer Study (AOCS) terdapat 3 jenis Single Nucleotide Polymorphism (SNP) yang banyak ditemukan pada gena ABCB1, yaitu C1236T (rs1128503), G2677T/A (rs2032582) dan C3435T (rs1045642) yang masing-masing berhubungan dengan angka ketahanan hidup pasien kanker ovarium (Gao et al. 2014). Selain ketiga polimorfisme tersebut, saat ini juga telah ditemukan sebanyak 30 Single Nucleotide Polymorphism (SNP) pada gena ABCB1 namun tidak sebanyak 3 SNP di atas. Dari ketiga jenis polimorfisme tersebut, hanya polimorfisme G2677T/A yang mengakibatkan perubahan asam amino, yaitu alanine menjadi serin/treonin. Polimorfisme pada gena ABCB1 tersebut memiliki frekuensi yang berbeda antara etnik satu dengan etnik lain (Sharom 2006). Hingga saat ini polimorfisme sebagai penyebab multidrug resistance (MDR) masih menjadi kontroversi. Walaupun demikian, telah ditemukan banyak bukti bahwa polimorfisme menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam timbulnya multidrug resistance (MDR) dan mempengaruhi angka ketahanan hidup pasien kanker ovarium. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Green (2006) ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara SNP G2677T/A dengan hasil pengobatan. Polimorfisme gena ABCB1 dapat mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat, sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi hasil pengobatan dan prognosis suatu penyakit. Analisis polimorfisme gena ABCB1
5 penting untuk mengoptimalkan pendekatan terapetik pada pasien kanker ovarium (Milojkovic et al. 2011). Penelitian oleh Sailaja et al. (2010) menemukan bahwa di India terdapat polimorfisme G2677T/A dengan frekuensi genotipe GG, GT, dan TT masing-masing adalah 83 (32,9%), 72 (28,6%), dan 97 (38,5%). Penduduk India memiliki ras mongoloid. Ras ini juga dimiliki oleh penduduk Indonesia, termasuk Yogyakarta. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan pada salah satu kota di Indonesia, yaitu Yogyakarta. Yogyakarta merupakan merupakan Ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan provinsi dengan prevalensi kanker paling tinggi di Indonesia, yaitu sebesar 4,1% (Kementrian Kesehatan RI 2015). Penelitian ini mengkaji polimorfisme gena ABCB1 serta perbedaan genotipe gena ABCB1 pada pasien kanker ovarium yang memeriksakan diri di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dan subjek normal pada suatu populasi di Yogyakarta. 1.2 Perumusan Masalah 1. Apakah terdapat polimorfisme G2677T/A gena ABCB1 pada populasi di Yogyakarta? 2. Apakah terdapat perbedaan frekuensi genotipe dan alel penyandi gena ABCB1 antara kelompok pasien kanker ovarium dan kelompok normal? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Polimorfisme G2677T/A gena ABCB1 pada populasi di Yogyakarta
6 2. Perbedaan frekuensi genotipe dan alel penyandi gena ABCB1 antara kelompok pasien kanker ovarium dan kelompok normal. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai polimorfisme pada kanker ovarium belum banyak dilakukan di Indonesia, termasuk di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu data yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitianpenelitian selanjutnya. Penelitian ini sangat diperlukan dalam rangka memperoleh data polimorfisme pada kanker ovarium agar kasus multidrug resistance (MDR) menjadi perhatian khusus dalam permasalahan kanker ovarium. 1.5. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait polimorfisme G2677T/A kanker ovarium: - Gréen et al. (2006) memaparkan bahwa polimorfisme G2677T/A ekson 21 pada gena MDR-1 pasien kanker ovarium di Swedia berhubungan dengan respon terhadap agen kemoterapi paclitaxel. - Gréen et al. (2008) menemukan bukti bahwa pasien kanker ovarium yang memiliki genotipe GA gena ABCB1 memiliki kemampuan pengeluaran paclitaxel yang tinggi dibanding genotipe lain. Tingginya kemampuan dalam mengeluarkan paclitaxel menyebabkan resistensi terhadap agen kemoterapi.
7 - Milojkovic et al. (2011) meneliti polimorfisme C1236T, G2677T/A dan C3435T gena MDR-1 pada populasi di Serbia. Dari penelitian tersebut ditemukan frekuensi genotipe gena MDR1 antara lain: 0,26 untuk GG, 0,52 untuk GT, 0,15 untuk TT, 0,03 untuk GA dan 0,064 untuk TA. - Grimm et al. (2010) meneliti tentang prognostik pada pasien kanker ovarium di Austria yang dikaitkan dengan polimorfisme G2677T/A dan C3435T pada gena ABCB1. Berdasarkan penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara kedua polimorfisme tersebut dengan prognosis pasien kanker ovarium pada ras Kaukasia. - Johnatty et al. (2013) mengevaluasi ekspresi gena ABCB1 terhadap luaran klinis pasien kanker ovarium epitelial. Analisis dilakukan pada polimorfisme C1235T (rs1128503), G2677T/A (rs2032582), dan C3435T (rs1045642). Berdasarkan penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara ketiga polimorfisme tersebut terhadap angka ketahanan hidup pasien kanker ovarium. - Saidijam et al. (2015) menganalisis genotipe polimorfisme C3435T, 2677T/A, dan C1236T gena MDR-1 pada populasi di kota Hamadan, Iran Barat. Dari penelitian ini diperoleh bahwa alel yang banyak ditemukan adalah 3435T, C1236, dan G2677. Sementara itu genotipe yang banyak ditemukan adalah 3343C/T, 1235C/T, dan 2677G/A.