VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa ringkasan hasil dari pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya. Selanjutnya akan dikemukakan sintesis dari keseluruhan pembahasan yang telah dilakukan. 8.1. Ringkasan Untuk mengetahui beberapa hasil yang telah diperoleh dari pembahasan yang telah dilakukan, di bawah ini disajikan beberapa ringkasan hasil. Dengan adanya ringkasan ini akan memberikan gambaran singkat mengenai keseluruhan hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini. 1. Data di Tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Selatan menunjukkan indikasi terjadinya ketimpangan gender, terutama di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. 2. Secara umum telah tercapai ketahanan pangan di tingkat nasional, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Selatan, namun secara khusus masih terjadi kerawanan pangan pada level rumahtangga, terutama petani yang bertempat tinggal di desa-desa yang masuk kategori rawan pangan. 3. Desa-desa rawan pangan di lokasi penelitian secara umum memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup baik untuk pengembangan pertanian, namun sangat kekurangan infrastruktur umum terutama jalan dan pertanian terutama pengairan. Desa-desa rawan pangan ini bisa saja berlokasi di dataran dengan jenis usahatani utama yang dikelola petani adalah pertanian pangan (padi sawah, padi ladang, jagung, ubi, sayuran), perkebunan (kakao, jambu mete, kelapa), dan perikanan darat (rawa), atau terletak di dekat
188 pantai dengan pekerjaan sebagai nelayan, disamping sebagai petani (pangan atau pekebun). 4. Desa/kelurahan tahan pangan dalam penelitian ini terletak di daratan yang jauh dari pantai, dengan usahatani utama adalah membudidayakan padi sawah, disamping tanaman perkebunan seperti kakao, jambu mete, dan kelapa. Dua ciri khas daerah tahan pangan ini adalah terdapat jaringan irigasi tehnis yang dapat digunakan sepanjang tahun, serta tersedianya sarana dan prasarana jalan yang bagus (beraspal dan terletak di ruas jalan provinsi). 5. Karakteristik sosiodemografi responden secara umum adalah berumur produktif (42.49 tahun untuk laki-laki dan 36.70 tahun untuk perempuan) dengan rata-rata pendidikan tertinggi hanya mencapai 7.68 tahun untuk lakilaki dan 6.77 tahun untuk perempuan. Rata-rata umur laki-laki ketika menikah adalah 23.73 tahun dan perempuan adalah 19.53 tahun. Rata-rata ukuran rumahtang-ga adalah 4-5 orang. Secara umum, dilihat dari tingkat pendidikan responden, terjadi ketimpangan gender, dimana rata-rata tingkat pendidikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Berdasarkan data usia suami dan isteri saat penelitian, serta usia saat menikah, dimana usia laki-laki lebih tua daripada perempuan, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan tidak berbeda dengan di daerah lain di Indonesia. Ukuran rumahtangga yang lebih besar di desa-desa rawan pangan dan lebih tingginya jumlah anak yang berusia dibawah 10 tahun dalam rumahtangga, berdampak negatif dalam pencapaian ketahanan pangan, serta juga menjadi penyebab kurangnya alokasi waktu perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang bernilai ekonomis.
189 6. Rata-rata luas lahan yang dikuasai responden di desa tahan pangan lebih tinggi daripada responden di desa rawan pangan. Disini dapat dikatakan bahwa rata-rata kepemilikan lahan pertanian cukup tinggi, yaitu di atas 1 hektar dengan pendapatan/kapita rata-rata berada di bawah batas garis kemiskinan (< Rp.182 000). Sumber pendapatan keluarga terbesar berasal dari usahatani keluarga. Dibanding laki-laki, pangsa pendapatan perempuan dari bekerja di luar usahatani keluarga adalah lebih kecil. Secara umum nampak bahwa pendapatan total rumahtangga di desa tahan pangan mencapai lebih dari dua kali lipat pendapatan rumahtangga responden di desa rawan pangan. Dari data mengenai luas lahan yang dikuasai responden yang lebih dari satu hektar per keluarga, sebenarnya ini merupakan aset sangat penting, yang bila dimanfaatkan seoptimal mungkin bisa menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga. Dengan demikian ada harapan untuk meningkatkan pendapatan/kapita yang saat ini rata-rata berada di bawah garis kemiskinan nasional, yaitu < Rp. 182 000/bulan. 7. Hasil pengamatan terhadap pembagian tenaga kerja berdasar gender (gender division of labor) dalam rumahtangga, menunjukkan bahwa pekerjaanpekerjaan dalam usahatani yang umumnya dilakukan laki-laki adalah yang memerlukan curahan kerja fisik yang relatif besar, seperti mengolah lahan dan memperbaiki pematang sawah. Sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang relatif sedikit mengeluarkan tenaga fisik, seperti menanam padi, menyiangi gulma di sawah, dan melakukan pemanenan. 8. Pekerjaan-pekerjaan di dalam rumahtangga seperti mencuci pakaian, memasak, dan mengurus anak, merupakan tanggung jawab utama perempuan,
190 namun laki-laki juga membantu bila diperlukan, seperti untuk mengambil air dan membersihkan pekarangan. Untuk penyiapan pangan dalam rumahtangga, peran perempuan sangat besar, yaitu mulai dari mencari bahan pangan, mengolah, dan menghidangkannya untuk seluruh anggota keluarga. 9. Untuk menambah pendapatan keluarga, perempuan dan laki-laki bekerja dan atau berusaha di luar usahatani keluarga, baik di usahatani tetangga, maupun di luar sektor pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang umumnya dilakukan lakilaki adalah menjadi buruh mengolah lahan, memperbaiki pematang, dan buruh panjat kelapa di usahatani tetangga, sedangkan perempuan menjadi buruh menanam atau buruh panen. Di luar pertanian, laki-laki melakukan berbagai pekerjaan seperti menjadi buruh bangunan, tukang ojek, menambang emas, dan berdagang, sedangkan perempuan umumnya berdagang di pasar dan di rumah, menjadi guru, dan juga tukang pijat. 10. Hasil analisis terhadap alokasi waktu gender diketahui bahwa laki-laki lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga, yaitu sebesar 23.54 persen untuk responden di desa rawan pangan dan 30.46 persen untuk responden di desa tahan pangan. Sebaliknya, perempuan lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan dalam rumahtangga, yaitu 22.42 persen untuk responden di desa rawan pangan dan 15.88 persen untuk responden di desa tahan pangan. 11. Alokasi waktu kerja gender untuk aktivitas pertanian di luar usahatani keluarga sangatlah kecil. Responden perempuan di desa rawan pangan hanya mengalokasikan 0.17 persen dari waktunya dan di desa tahan pangan sebesar 1.46 persen. Responden laki-laki di desa rawan pangan mengalokasikan
191 waktunya sebesar 2.83 persen dan di desa tahan pangan hanya sebesar 0.83 persen. Ini menjadi gambaran kurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian di perdesaan. 12. Selain untuk kegiatan reproduksi dan produksi, responden juga mengalokasikan waktunya untuk aktivitas waktu luang dan istirahat. Kedua kegiatan ini mengambil porsi terbesar dari alokasi waktu gender, baik perempuan dan laki-laki, terutama untuk istirahat yang mencapai sekitar 40 persen dari alokasi waktu perempuan dan laki-laki. Alokasi waktu untuk aktivitas waktu luang perempuan dan laki-laki di desa rawan pangan jauh lebih tinggi daripada responden di desa tahan pangan, yaitu sekitar 26 persen di desa rawan pangan dan 22 persen di desa tahan pangan. 13. Dalam hal kontrol terhadap sumberdaya, khususnya usahatani keluarga, hasil analisis menunjukkan bahwa laki-laki merupakan penanggung jawab utama untuk kedua lokasi penelitian, yaitu mencapai 86 persen. Meskipun dengan dominasi yang berkurang, namun dalam hal pengambilan keputusan terkait hasil produksi usahatani keluarga, suami tetap merupakan pengambil keputusan utama, terutama di desa rawan pangan yang mencapai 51.43 persen dari responden. 14. Terkait pengambil keputusan dalam proses penjualan hasil produksi, terdapat keseimbangan dalam hubungan suami isteri, yaitu lebih menekankan pada kompromi, tidak didominasi oleh salah satu gender. Dalam hal penggunaan pendapatan usahatani, perempuan di desa rawan pangan lebih dominan sebagai penentu keputusan (40 persen), sedangkan di desa tahan pangan,
192 kompromi bersama suami isteri lebih dominan, yaitu 59.46 persen dari responden rumahtangga. 15. Dilihat dari Percent Concordant model logit yang digunakan, dapat dikatakan bahwa performansi model keputusan kerja berdasar gender secara umum baik, begitu juga dengan model ketahanan pangan rumahtangga. 16. Keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga ditentukan secara signifikan oleh pendidikan perempuan, pendidikan laki-laki, keterampilan dan dummy pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan. Sedangkan keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi secara signifikan oleh pendapatan per kapita, umur saat pertama menikah, ada tidaknya keterampilan khusus, dan dummy pembeda desa tahan pangan/rawan pangan. 17. Ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi secara signifikan oleh variabel pendapatan gender, ukuran rumahtangga, dan pendapatan usahatani keluarga. 8.2. Sintesis Pada bagian ini disajikan sintesis dari keseluruhan hasil yang telah diperoleh. Dengan adanya sintesis ini akan dapat dilihat kaitan (benang merah) dari hasil-hasil yang diperoleh, mengenai keterkaitan gender dan ketahanan pangan, serta peran masing-masing gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan. Undang-Undang RI Nomor 7/1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah
193 maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dari definisi tersebut nampak bahwa upaya pencapaian ketahanan pangan masih difokuskan pada tingkat rumahtangga. Sementara itu, rumahtangga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan kumpulan-kumpulan individu yang umumnya memiliki hubungan keluarga (suami, isteri, anak, saudara, orang tua), maupun yang tidak memiliki hubungan darah ataupun hukum. Kumpulan dari rumahtangga-rumahtangga akan membentuk masyarakat yang lebih luas. Gender adalah pembedaaan perempuan dan laki-laki dilihat dari sifat, peran dan tanggung jawab yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang ada dan berlaku dalam budaya masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan, bukan berdasarkan perbedaan biologis diantara keduanya. Suami dan isteri memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan seluruh anggota rumahtangga, terutama kebutuhan akan bahan pangan. Peran ini dapat dilihat dari alokasi waktu yang dicurahkan untuk berbagai kegiatan (baik aktivitas produksi maupun reproduksi), dan sumbangan pendapatan dari aktivitas produktif yang dilakukan. Selain aktivitas dalam usahatani keluarga, melakukan aktivitas di luar itu juga merupakan hal penting bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pendapatan tambahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan anggota rumahtangga. Ini sejalan dengan Mangkuprawira (1985) bahwa suami dan isteri merupakan satu tim dalam mencari nafkah. Suprihatin (1986) menyatakan bahwa dorongan bagi suami dan isteri untuk bekerja lebih giat adalah untuk memperoleh pendapatan akibat kebutuhan rumahtangga yang meningkat. Bahkan menurut Newman dan Canagarajah (2000) bahwa aktivitas di luar
194 usahatani dapat menurunkan kemiskinan rumahtangga petani, yang pada akhirnya akan memperbaiki ketahanan pangan rumahtangga, bahkan Kimhi dan Rapaport (2004) menyatakan bahwa 90 persen pendapatan petani di Amerika Serikat berasal dari luar usahatani. Padahal diketahui bahwa skala usahatani keluarga di negara itu jauh lebih besar dibandingkan di Indonesia. Menurut Kimhi dan Rapaport (2004), variabel demografi rumahtangga mempengaruhi penawaran tenaga kerja. Mangkuprawira (1985) menyatakan bahwa disamping variabel demografi, alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam mencari nafkah juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan ekologi. Khususnya perempuan, Damanik (2003) menegaskan bahwa faktor utama yang mendorong perempuan untuk bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan, karena penghasilan yang diperoleh suami masih kurang dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan faktor pendorong bagi perempuan untuk tidak bekerja adalah karena perempuan harus mengasuh anak di rumah. Terkait variabel pendidikan, hasil penelitian ini dikuatkan oleh temuan Kimhi dan Rapaport (2004) bahwa faktor pendidikan memiliki efek positif terhadap pekerjaan di luar usahatani. Terkait aspek gender, Todaro (1998) menegaskan bahwa pendidikan bagi perempuan sangatlah penting untuk mendorong tercapainya kesetaraan gender pada berbagai aspek kehidupan. Hasil pengamatan terhadap pembagian tenaga kerja berdasar gender (gender division of labor) dalam rumahtangga, dapat dikatakan bahwa pekerjaanpekerjaan dalam usahatani yang umumnya dilakukan laki-laki adalah yang memerlukan curahan kerja fisik yang relatif besar, seperti mengolah lahan dan memperbaiki pematang sawah. Sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang
195 relatif sedikit mengeluarkan tenaga fisik, seperti menanam padi, menyiangi gulma di sawah dan pemanenan. Hal ini sesuai dengan FAO (Undated) bahwa di pertanian, perempuan dan laki-laki mempunyai peranan yang bervariasi. Pada beberapa kasus bekerja saling melengkapi, tetapi pada kasus lainnya perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berbeda. Hasil analisis alokasi waktu gender diketahui bahwa laki-laki lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga. Sebaliknya, perempuan lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan dalam rumahtangga. Hasil ini sesuai dengan temuan Sitepu (2007) dan Hendratno (2006) bahwa kegiatan usahatani didominasi laki-laki. Demikian juga Mangkuprawira (1985) berpendapat bahwa dilihat dari aspek budaya, peran untuk mencari nafkah dalam rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh suami, sedangkan pekerjaan rumahtangga lebih banyak dilakukan oleh perempuan (isteri). Hasil penelitian Ariyanto (2004) dan Soepriati (2006) menguatkan hasil penelitian ini, yaitu bahwa perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan reproduksi dibandingkan laki-laki. Maume (2006) menegaskan bahwa kewajiban terhadap keluarga lebih dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme. Aktivitas yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dengan mengalokasikan waktu yang dimilikinya, serta karakteristik rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi secara signifikan oleh variabel pendapatan gender, ukuran rumahtangga dan pendapatan usahatani keluarga. Terkait variabel ukuran rumahtangga yang berpengaruh negatif terhadap
196 pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, temuan ini sesuai dengan Suhardjo (1996) dalam Pranadji et al. (2001) yang mengemukakan bahwa besar keluarga berhubungan erat dengan distribusi dalam jumlah maupun ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga. Madanijah et al. (2006) dan Yuliana et al. (2002) juga menemukan hasil yang sama, bahwa jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi status gizi anggota rumahtangga, yang merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Hasil penelitian Asmarantaka (2007) juga menunjukkan bahwa konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota rumahtangga. Untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga, maka salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menjaga agar jumlah anggota rumahtangga tidak meningkat cepat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB) yang selama ini pelaksanaannya tidak seperti saat pemerintahan Orde Baru. Pendapatan gender berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Ini sejalan dengan Sauqi (2002) dan Horenstein (1989) bahwa daya beli (pendapatan) rumahtangga merupakan salah satu faktor yang signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Bahkan Hardinsyah (1996) secara eksplisit menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, maka semakin tinggi mutu gizi makanan (MGM) keluarga, yang merupakan salah satu aspek penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Variabel pendapatan usahatani keluarga juga berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hasil ini sesuai dengan temuan Sauqi (2002) bahwa salah satu variabel yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Kabupaten Lombok Tengah adalah ketersediaan pangan
197 dalam rumahtangga. Demikian juga dengan Adi et al. (1999) menegaskan bahwa ketersediaan pangan dan daya beli pangan merupakan faktor penentu ketahanan pangan. Senada dengan itu, Horenstein (1989) juga menegaskan pentingnya produksi pertanian rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani. Hasil ini juga sesuai dengan Alderman dan Garcia (1994) yang mengukur status gizi anak-anak di perdesaan Pakistan. Demikian juga dengan Asmarantaka (2007) bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh nilai produksi usahatani kopi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan usahatani merupakan sumber pendapatan utama bagi rumahtangga pertanian di Kabupaten Konawe Selatan. Oleh karena itu, upaya-upaya meningkatkan keberhasilan dalam proses produksi usahatani tetap perlu ditingkatkan, antara lain kegiatan penyuluhan kepada petani. Dalam kegiatan ini harus memperhatikan aspek gender, karena ternyata bahwa dalam setiap aktivitas dalam usahatani keluarga, ada aktivitas yang dominan dilakukan oleh perempuan atau laki-laki saja. Akibat ketidakcukupan pendapatan dari usahatani keluarga, maka perempuan dan laki-laki melakukan aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga untuk memperoleh pendapatan tambahan, yang umumnya adalah di sektor perdagangan. Disamping perlunya upaya-upaya peningkatan kesempatan kerja dan berusaha, serta penyediaan modal dengan syarat ringan yang dilakukan pihak di luar petani, aspek keterampilan dan pendidikan gender memegang peranan penting untuk memudahkan dalam meraih kesempatan bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga. Untuk memperlancar kegiatan perekonomian di perdesaan, maka penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi.