BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TKS 4406 Material Technology I

Aspal merupakan bahan perkerasan untuk jalan raya. Tentu "penghuni" jurusan Teknik Sipil mengenalnya. Mari kita bahas bersama mengenai aspal.

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

A. Sifat Fisik Kimia Produk

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM KONSTRUKSI JALAN UJI PEMANASAN BAHAN BITUMEN

kimia MINYAK BUMI Tujuan Pembelajaran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prasarana jalan berkaitan erat dengan pertumbuhan pembangunan di berbagai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

4 Pembahasan Degumming

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol

SNI 6832:2011. Standar Nasional Indonesia. Spesifikasi aspal emulsi anionik

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM BIOKIMIA. (Uji Pembentukan Emulsi Lipid)

Pengaruh Temperatur Terhadap Penetrasi Aspal Pertamina Dan Aspal Shell

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

LAPORAN PRAKTIKUM KONSTRUKSI JALAN UJI PEMANASAN ASPAL

Prarancangan Pabrik Hidrorengkah Aspal Buton dengan Katalisator Ni/Mo dengan Kapasitas 90,000 Ton/Tahun BAB I PENGANTAR

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Pengolahan Minyak Bumi

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201

BAB II LANDASAN TEORI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB.IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data analisis kandungan Resin, Wax dan Aspalten di dalam minyak mentah dapat dilihat pada Tabel 4.1.

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK FARMASI PERCOBAAN I PERBEDAAN SENYAWA ORGANIK DAN ANORGANIK

4. Hasil dan Pembahasan

Spesifikasi aspal emulsi kationik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPAL EMULSI DINGIN DAN PERBANDINGAN STABILITAS ASPAL EMULSI DINGIN DENGAN LASTON

4. Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK PERCOBAAN II SIFAT-SIFAT KELARUTAN SENYAWA OGANIK

Deterjen yang pertama dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Saat ini : kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat

BAB I PENDAHULUAN. Korosi merupakan fenomena kimia yang dapat menurunkan kualitas suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

Bilamana beberapa fase berada bersama-sama, maka batas di antara fase-fase ini dinamakan antarmuka (interface).

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangan Pabrik Mononitrotoluen dari Toluen dan Asam Campuran Dengan Proses Kontinyu Kapasitas 55.

Film adalah lapisan suatu zat yang menyebar melalui permukaan dengan ketebalan sangat kecil, dan pengaruh gravitasi dapat diabaikan.

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PENGARUH PENAMBAHAN SEMEN PADA KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPAL EMULSI DINGIN

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proporsi tertentu yang dicampur merata dan dilapis dengan hotmix aspal yang telah

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon

Spektrum Sipil, ISSN Vol. 2, No. 2 : , September 2015

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK PERCOBAAN H-3 SOL LIOFIL

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun

Laporan Kimia Fisika Penentuan Tegangan Permukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak fenomena-fenomena alam yang kurang kita perhatikan akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

D. 2 dan 3 E. 2 dan 5

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

HASIL DAN PEMBAHASAN

Air adalah wahana kehidupan

4 Hasil dan pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

4 Hasil dan Pembahasan

PEMBAHASAN. I. Definisi

METODE PENGUJIAN VISKOSITAS ASPAL MINYAK DENGAN ALAT BROOKFIELD TERMOSEL

4. Hasil dan Pembahasan

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Karet alam merupakan cairan getah dari tumbuhan Hevea brasiliensis

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspal Aspal didefinisikan sebagai material perekat, berwarna hitam atau coklat tua dengan unsur utama bitumen. Aspal dapat diperoleh di alam ataupun juga merupakan hasil residu dari pengilangan minyak bumi. Aspal merupakan material yang umum digunakan untuk bahan pengikat agregat, oleh karena itu seringkali bitumen disebut pula sebagai aspal. Bitumen merupakan bahan bersifat seperti damar yang banyak dipakai dalam konstruksi jalan raya sebagai pengikat agregat, sebagai pengikat untuk komposisi komposisi roofing dan flooring, dan untuk gedung gedung yang tahan air. Mereka terjadi dalam deposit deposit alam, tetapi diperoleh terutama dari residu penyulingan minyak (Stevens, 2001). Bitumen diproduksi secara buatan dari minyak mentah dalam proses penyulingan minyak bumi (Rogers, 2008). Aspal adalah material yang pada temperatur ruang berbentuk padat dan bersifat termoplastis. Jadi, aspal akan mencair jika dipanaskan sampai dengan temperatur tertentu, dan kembali membeku jika temperatur turun. Bersama dengan agregat, aspal merupakan material pembentuk campuran perkerasan jalan. Aspal adalah material yang termoplastik, berati akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap jenis aspal berbeda beda, yang dipengaruhi oleh komposisi kimiawi aspalnya, walaupun mungkin mempunyai nilai penetrasi atau

viskositas yang sama pada temperatur tertentu. Pemeriksaan sifat kepekaan aspal terhadap perubahan temperatur perlu dilakukan sehingga diperoleh informasi rentang temperatur yang baik untuk pelaksanaan pekerjaan. Aspal yang mengandung lilin (wax) lebih peka terhadap temperatur dibandingkan dengan aspal yang tidak mengandung lilin. Kepekaan terhadap temperatur akan menjadi dasar perbedaan umur aspal untuk menjadi retak/mengeras (Sukirman, 2003). 2.1.1 Sumber Aspal Aspal yang dihasilkan dari industri kilang minyak mentah (crude oil) dikenal sebagai refinery bitumen, residual bitumen, straight bitumen atau steam refined bitumen. Isitilah refinery bitumen merupakan nama yang tepat dan paling umum digunakan. Aspal yang dihasilkan dari minyak mentah yang diperoleh melalui proses destilasi minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga suhu 350 O C dibawah tekanan atmosfer untuk memisahkan fraksi fraksi minyak seperti gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah) dan gas (Wignall, 2003). Proses penyulingan minyak melibatkan minyak mentah yang disuling dengan berbagai hidrokarbon diperoleh. Bensin adalah yang paling mudah menguap yang pertama diperoleh, diikuti oleh bahan seperti minyak tanah dan minyak gas. Bahan sisa kemudian dipanaskan pada tekanan rendah untuk mengumpulkan solar dan minyak pelumas. Pada tahap akhir residu dapat diolah untuk menghasilkan aspal berbagai nilai penetrasi (Rogers, 2008).

Gambar 2.1 Skema Aspal Minyak Bumi. 2.1.2 Jenis Jenis Aspal Pada dasarnya, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan atas asal dan proses pembentukannya adalah sebagai berikut: a) Aspal Alam. Aspal alam adalah aspal yang terbentuk dari proses alam. Aspal ini biasanya kualitasnya tidak seragam (Asiyanto, 2008). Menurut Oglesby (1996) aspal alam berasal dari berbagai sumber, seperti dari Trinidad mengandung kira-kira 40% organik dan zat zat anorganik yang tidak dapat larut dan dari Bermuda mengandung kira kira 6% zat zat yang tidak dapat larut. Dengan pengembangan aspal minyak bumi, aspal alam relatif menjadi tidak penting. Indonesia mempunyai aspal alam yang terkenal dengan nama Asbuton yaitu aspal batu buton yang berasal dari Pulau Buton. Cadangan deposit asbuton berkisar 200 juta ton dengan kadar aspal bervariasi antara 10 sampai 35% aspal. Asbuton merupakan campuran antara bitumen dengan bahan mineral lainnya dalam bentuk batuan (Sukirman, 2003).

b) Aspal Batuan. Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang diperpadat dengan bahan bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian di Amerika Serikat. Aspal ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan lama dan stabil, tetapi kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada daerah daerah tertentu saja (Oglesby, 1996). c) Aspal Minyak Bumi. Aspal minyak bumi adalah aspal yang terbentuk dari proses yang terjadi dalam pabrik sebagai hasil samping dari proses penyulingan minyak bumi. Aspal minyak bumi ini mempunyai kualitas yang standar (Asiyanto, 2008). Setiap minyak bumi dapat menghasilkan residu jenis asphaltic base crude oil yang banyak mengandung aspal, parafin base crude oil yang banyak mengandung parafin, atau mixed base crude oil yang mengandung campuran antara parafin dan aspal. Untuk perkerasan jalan umumnya digunakan aspal minyak bumi jenis asphaltic base crude oil (Sukirman, 2003). Aspal minyak terbagi kedalam tiga jenis menurut Asiyanto (2008) yaitu: 1) Aspal keras, disebut juga Asphalt Concrete (AC) yang dibagi bagi menurut angka penetrasinya. Misal: AC 40/60, AC 80/100, dan seterusnya. 2) Aspal cair, disebut juga aspal cut back, yang dibagi bagi menurut proses fraksinya. Misalnya Slow Curing (SC), Medium Curing (MC) dan Rapid Curing (RC). Aspal cair dalam keadaan suhu ruang berbentuk seperti cairan, biasanya digunakan untuk pekerjaan prime coat yaitu sebagai lapisan dasar dari aspal campuran yang berbatasan dengan lapisan subbase. 3) Aspal emulsi, yaitu campuran aspal (55%-65%), air (35%-45%) dan bahan emulsi 1% sampai 2%. Di pasaran ada dua macam aspal emulsi, yaitu jenis aspal emulsi anionik (15%) dan jenis aspal emulsi kationik (85%).

2.1.3 Sifat Kimiawi Aspal Aspal dipandang sebagai sebuah sistem koloidal yang terdiri dari komponen molekul berat yang disebut aspaltene, dispersi/hamburan di dalam minyak perantara disebut maltene. Bagian dari maltene terdiri dari molekul perantara disebut resin yang menjadi instrumen di dalam menjaga dispersi asphaltene (Koninklijke, 1987). Aspal merupakan senyawa hidrogen (H) dan karbon (C) yang terdiri dari parapin, naften dan aromatis. Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan sebagai selimut agregat dalam bentuk film aspal yang berperan menahan gaya gesek permukaan dan mengurangi kandungan pori udara yang juga berarti mengurangi penetrasi air ke dalam campuran (Rianung, 2007). Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun oleh hidrokarbon dan atom atom N, S, dan O dalam jumlah yang kecil. Dimana unsur unsur yang terkandung dalam bitumen adalah karbon (82-88%), hidrogen (8-11%), sulfur (0-6%), oksigen (0-1,5%), dan nitrogen (0-1%). Berikut sifat sifat dari senyawa penyusun dari aspal: a) Asphaltene Asphaltene merupakan senyawa komplek aromatis yang berwarna hitam atau coklat amorf, bersifat termoplatis dan sangat polar, merupakan komplek aromatis, H/C ratio 1 : 1, memiliki berat molekul besar antara 1000 100000, dan tidak larut dalam n heptan. Asphaltene juga sangat berpengaruh dalam menentukan sifat reologi bitumen, dimana semakin tinggi asphaltene, maka bitumen akan semakin keras dan makin kental, sehingga titik lembeknya akan semakin tinggi, dan menyebabkan harga penetrasinya semakin rendah. b) Maltene Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturate, aromatis, dan resin. Dimana masing masing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia yang berbeda, dan sangat menentukan dalam sifat bitumen.

Saturate. Senyawa ini berbentuk cairan kental non polar, berat molekul hampir sama dengan aromatis. tersususn dari campuran hidrokarbon lurus, bercabang, alkil naften, dan aromatis, komposisi 5 20% dari total bitumen. Aromatis. Senyawa ini berwarna coklat tua, berbentuk cairan kental, bersifat non polar, dan di dominasi oleh cincin tidak jenuh, berat molekul 300 2000, terdiri dari senyawa naften aromatis, komposisi 40 65% dari total bitumen. Resin. Merupakan senyawa yang berwarna coklat tua, dan berbentuk padat atau semi padat dan sangat polar, dimana tersusun oleh atom C dan H, dan sedikit atom O, S, dan N, untuk perbandingan H/C yaitu 1,3 1,4, memiliki berat molekul antara 500 50000, dan larut dalam n heptan. Dengan demikian maka aspal atau bitumen adalah suatu campuran cairan kental senyawa organik, berwarna hitam, lengket, larut dalam karbon disulfida, dan disusun utamanya oleh polisiklik aromatis hidrokarbon yang sangat kompak (Nuryanto, 2008). 2.2 Aspal Emulsi Aspal emulsi (emulsion asphalt) adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan pengemulsi. Di dalam aspal emulsi, butir butir aspal larut dalam air. Untuk menghindari butiran aspal saling menarik membentuk butir butir yang lebih besar, maka butiran tersebut diberi muatan listrik (Sukirman, 2003). Aspal emulsi merupakan aspal yang didispersikan secara merata ke dalam air. Untuk dapat mendispersikan aspal yang bersifat non polar ke dalam air yang bersifat polar diperlukan bahan pengemulsi (emulsifier) yang molekulnya memiliki bagian polar dan non polar, bagian polar dari emulsifier akan larut dalam air, sedangkan bagian non polar akan larut dalam aspal, sehingga emulsifier berfungsi mengikat molekul aspal dengan molekul air. Dalam suatu campuran emulsi, kandungan aspal

umumnya berkisar ± 55 65% dan kandungan bahan pengemulsi (emulsifier) ± 2% (Depertemen Pekerjaan Umum, 1991). Aspal emulsi mengandung butir/tetes aspal yang terhambur/tersebar di dalam air, campuran ini dicampur dengan cara mengemulsikan agents (subtansi jenis sabun). Terdapat dua macam emulsi, emulsi anion dan emulsi kation. Emulsi anion mempunyai kandungan pengemulsi basa (alkaline emulsifier) dan pecahnya emulsi pada prinsipnya bergantung saat air hilang selama proses evaporasi. Oleh karena itu kesulitan akan dialami saat terjadinya breaking selama periode waktu cuaca basah. Emulsi kation mempunyai pengemulsi asam dan terjadinya breaking dikendalikan oleh chemical coagulation dan bukan oleh hilangnya air karena penguaopan. Karena itu emulsi sangat cocok untuk penggunaan cuaca basah (Wignall, 2003). Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, menurut Sukirman (2003) aspal emulsi dapat dibedakan atas: a. Aspal kationik disebut juga aspal emulsi asam, merupakan aspal emulsi yang buriran aspalnya bermuatan arus listrik positif. b. Aspal anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal emulsi yang butiran aspalnya bermuatan negatif. c. Nonionik merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami ionisasi, berarti tidak mengantarkan listrik. Dan berdasarkan kecepatan pengerasnya, sukirman (2003) membedakan aspal emulsi atas: a. Rapid Setting (RS), aspal yang mengandung sedikit bahan pengemulsi sehingga pengikatan yang terjadi cepat, dan aspal cepat menjadi padat atau keras kembali. b. Medium Setting (MS), aspal emulsi dengan tipe pengikatan sedang. c. Slow Setting (SS), jenis aspal emulsi yang paling lambat mengeras.

2.3 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa aktif permukaan yang mempunyai struktur molekul yang memiliki gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik dalam satu struktur molekul yang sama (Johnson, 1989). Surfaktan digunakan untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut (Spitz, 1996). Molekul surfaktan tidak sepenuhnya dapat larut pada kedua cairan yang berbeda fase tersebut, tetapi cenderung untuk terkonsentrasi pada daerah antar muka (O Brien, Walter, dan Peter, 2000). Surfaktan cendrung terpartisi pada antar permukaan fasa cairan yang berbeda tingkat kepolaran dan ikatan hidrogennya. Sifat yang unik tersebut, menyebabkan surfaktan sangat potensial digunakan sebagai komponen bahan adesif, bahan penggumpal, pembasah, pembusa, pengemulsi, dan bahan penetrasi serta telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri proses yang menggunakan sistem multifasa seperti pada industri makanan, farmasi, kosmetika, tekstil, polimer, cat, deterjen dan agrokimia (Johnson, 1989). Surfaktan cenderung mempunyai konsentrasi lebih besar pada antarmuka daripada didalam larutan. Molekul molekul pada permukaan cairan mempunyai energi potensial yang lebih tinggi daripada molekul molekul yang ada dibagian dalamnya. Hal ini disebabkan interaksi antar molekul senyawa tersebut dibagian dalam lebih kuat daripada interaksi molekul molekul pada permukaan dengan molekul molekul gas diatasnya (Rosen, 1978). Kebanyakan surfaktan disajikan dengan formula RX, dimana R merupakan gugus hidrofilik (kepala) dan X merupakan gugus hidrofobik (ekor). Bagian kepala dapat berupa anionik, kationik, zwitterionik, dan ionik. Sedangkan bagian ekor biasanya terdiri dari satu atau lebih rantai hidrokarbon yang mempunyai 10 atau 20 atom karbon dalam setiap rantainya (Dickinson dan Clements, 1996). Perbedaan sifat pada bagian yang hidrofobik biasanya kurang penting daripada bagian hidrofilik. Umumnya bagian hidrofobik adalah hidrokarbon rantai panjang. Biasanya mereka dikelompokkan dalam perbedaan struktur, seperti:

1. Rantai lurus, kelompok alkil panjang (C 1 C 20 ). 2. Rantai bercabang, kelompok alkil panjang (C 1 C 20 ). 3. Rantai panjang (C 1 C 15 ) residu alkilbenzen. 4. Residu alkilnaftalen (C 3 dan kelompok alkil yang lebih besar dan lebih panjang). (Rosen, 1978). Surfaktan dapat dikelompokkan sebagai anionik, kationik, atau netral, bergantung pada sifat dasar gugus hidrofiliknya (Fessenden dan Fessenden, 1986). Berdasarkan muatan yang dikandungnya, menurut Schwartz (1977) surfaktan terbagi atas: a. Surfaktan anionik adalah surfaktan yang bermuatan negatif. Contoh surfaktan ini antara lain alkilbenzen sulfonat, natrium lauril sulfat. b. Surfaktan kationik adalah surfaktan yang bermuatan positif. Contohn surfaktan ini antara lain garam ammonium, diamina hidroklorida. c. Sufaktan non ionik yaitu surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Contoh surfaktan ini seperti etilena oksida, mono alkanolamida. d. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bermuatan positif dan negatif dimana muatanya bergantung pada ph. Pada ph tinggi dapat menunjukkan sifat anionik dan pada ph rendah dapat menunjukkan sifat kationik, yang dapat membentuk surfaktan amfoter. Contoh dari surfaktan amfoter antara lain alkil asetat, karboksil glisianat. 2.3.1 Alkilbenzen Sulfonat Surfaktan umumnya disintesis dari senyawa turunan minyak bumi, misalnya alkilbenzen sulfonat. Alkilbenzen sulfonat luas penggunaannya di dunia industri. Dalam struktur alkilbenzen sulfonat terdapat dua bagian berbeda yaitu bagian hidrofilik dan hidrofobik. Sekitar tahun 1950 penggunaan Kerilbenzena sebagai bahan pencuci dan digantikan oleh alkilbenzen sulfonat karena pembuatannya yang lebih mudah dan

lebih baik untuk menghilangkan kotoran. Pada periode 1950 1965 lebih dari setengah deterjen di dunia menggunakan alkilbenzen sulfonat, sehingga surfaktan ini dengan cepat menggantikan semua bahan dasar deterjen. Akan tetapi selama periode tersebut masalah pengolahan limbah muncul. Hal ini kemudian dihubungkan dengan fakta bahwa alkilbenzen sulfonat tidak terdegradasi secara lengkap oleh bakteri yang terdapat di dalam air buangan. Adanya rantai bercabang dari alkilbenzen sulfonat akan menghalangi serangan dari bakteri (Schwartz, 1977). Alkilbenzen sulfonat merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang pertama digunakan dengan gugus alkil yang sangat bercabang. Bagian alkil senyawa ini disintesis dengan polimerisasi propilen dan dilekatkan pada cincin benzen dengan reaksi alkilasi Friedel Crafts. Kemudian dilakukan pengolahan dengan basa (Fessenden dan Fessenden, 1986). Alkilbenzen sulfonat yang merupakan komponen utama pembentuk deterjen anionik yang bersifat sebagai zat aktif permukaan (surface active agent), yaitu zat yang menyebabkan turunnya tegangan permukaan air sehingga air dapat dengan mudah meresap ke dalam substrat (Purnomo, 1992). Surfaktan alkilbenzen sulfonat ini sukar terbiodegradasi oleh mikroorganisme. Surfaktan yang terdiri dari gugus sulfonat dengan rantai alkil C 12 C 20 menurun kelarutannya dalam medium non polar dan meningkat kelarutannya dalam medium polar. Gugus sulfonat dalam surfaktan meningkatkan karakter hidrofolik molekul surfaktan (Rosen, 1978). Gambar 2.2 Struktur Alkilbenzen Sulfonat 2.3.2 Dietanolamida Dietanolamida adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Dietanolamida

pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150 o C selama 6-12 jam (Herawan, Nuryanto, dan Guritno, 1999). Dietanolamida termasuk dalam surfaktan non ionik yang memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan cairan, atau antar permukaan dua cairan yang tidak saling bercampur. Aktifitas suatu surfaktan terjadi karena sifat ganda dari molekulnya, yang terdiri dari bagian hidrofilil (suka air) dan lipofil (suka lemak). Bagian polar (hidrofil) molekul surfaktan dapat bermuatan positif (surfaktan kationik), negatif (surfaktan anionik), memiliki kedua muatan positif dan negatif (surfaktan amfoterik) ataupun netral (surfaktan non ionik) sedangkan bagian lipofilnya merupakan rantai alkil (Gennaro, 1990). Pada umumnya, dietanolamida digunakan dalam produk deterjen seperti deterjen bubuk yang ringan, serta deterjen cair yang berat dan ringan, dimana basa tidak ditemui dan daya larut yang tinggi dibutuhkan (Kirk-Othmer, 1992). Menurut William dan Schmitt (1996), dietanolamida digunakan secara luas sebagai surfaktan, penstabil dan pengembang busa. Dietanolamida selain mampu menstabilkan busa juga dapat meningkatkan tekstur kasar busa dan dapat mencegah terjadinya proses penghilangan minyak yang berlebihan. Wujudnya yang cair menyebabkan dietanolamida lebih mudah ditangani. Pemanfaatan turunan senyawa nitrogen ini dapat ditemukan pada pembuatan deterjen, foam fire, extinguisher, agen emulsifier dan kosmetik. Karakter utama senyawa ini selain digunakan untuk menstabilkan dan mengembangkan busa juga termasuk kedalam kelompok surfaktan. R-COOCH 3 + 3HN CH 2 CH 2 OH CH 2 CH 2 OH O 3RC-N CH 2 -CH 2 -OH CH 2 -CH 2 -OH + CH 3 OH metil ester asam lemak dietanolamin dietanolamida metanol Gambar 2.3 Struktur Dietanolamida

2.4 Metode Analisa Viskositas Viskositas (viscosity) adalah ukuran hambatan suatu fluida untuk mengalir. Semakin besar viskositas makin lambat aliran cairan. Viskositas cairan bisanya turun dengan meningkatnya suhu (Chang, 2005). Setiap fluida mempunyai viskositas yang berbeda beda yang harganya bergantung pada jenis cairan dan suhu. Viskositas menyatakan kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir secara lambat. Jadi viskositas tidak lain menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan (Yazid, 2005). Gas dan cairan (fluida), mempunyai sifat yang disebut viskositas, yaitu gaya tahan suatu lapisan fluida terhadap gerakan lapisan lain fluida tersebut. Cairan mempunyai gaya gesek yang lebih besar untuk mengalir daripada gas, sehingga cairan mempunyai koefisien viskositas yang lebih besar daripada gas. Viskositas gas bertambah dengan naiknya temperatur, sedang viskositas cairan turun dengan naiknya temperatur (Sukardjo, 2002). Pada cairan, viskositas meningkat dengan naiknya tekanan dan menurun bila suhu meningkat (Bird, 1993). Ketika molekul bergerak pada suhu yang lebih tinggi, molekul tersebut dapat mengatasi gaya antarmolekul lebih mudah, sehingga tahanan aliran menurun (Silberberg, 2007). Metode viskositas Brookfield merupakan pengukuran viskositas aspal pada temperatur 38 O C sampai 260 O C dengan menggunakan alat viskosimeter Brookfield. Viskosimeter Brookfield ini digunakan untuk mengukur viskositas aspal pada berbagai temperatur. Torsi pada spindel yang berputar pada temperatur tertentu digunakan untuk mengukur ketahanan relatif terhadap perputaran dalam tabung benda uji. Nilai viskositas aspal dalam milipascal sekon (mpa.s) diperoleh dengan mengalikan hasil pembacaan torsi dengan suatu faktor. Satuan viskositas dalam Satuan Sistem Internasional (SSI) adalah Pascal sekon (Pa.s). Satuan viskositas dalam sitem centimeter gram sekon (cgs) adalah poise (dyreis/cm 2 ) dan nilai ini setara dengan 0,1 Pascal sekon (Pa.s). Biasanya satuan viskositas dinyatakan dalam centipoises (cp), dimana 1 cp sama dengan 1 milipascal sekon (mpa.s) (SNI-06-6441-2000).

2.5 Metode Analisa Spektroskopi FTIR Spektrum inframerah (IR) banyak dipakai dengan penekanannya akhir akhir ini ke Fourier Transform (FT) IR (FTIR). Kelebihan kelebihan dari FTIR mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi, kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum. FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar kepenelitian penelitian struktur polimer. Karena spektrum spektrum bisa di-scan, disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan penelitian penelitian reaksi reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Persyaratan persyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah kopling instrumen FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi (Stevens, 2001). Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak diantara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Sebagian besar kegunaannya terbatas diantara 4000 cm -1 dan 666 cm -1 (2,5 15 µm). Walaupun spektrum inframerah merupakan kekhasan sebuah molekul secara menyeluruh, gugus gugus atom tertentu memberikan penambahan pita pita pada bilangan gelombang tertentu, ataupun didekatnya, apapun bangun molekul selebihnya. Letak pita didalam spektrum inframerah disajikan sebagai bilangan gelombang (cm -1 ) lebih sering dipakai karena secara langsung berbanding dengan energi getarnya. Dua kawasan penting dalam pemeriksaan awal sebuah spektrum ialah daerah 4000 1300 cm -1 (2,5 7,7 µm) dan daerah 909 650 cm -1 (11,0 15,4 µm). Bagian bilangan gelombang tinggi sebuah spektrum disebut sebagai daerah gugus fungsi. Bilangan gelombang uluran khas bagi gugus gugus fungsi yang penting seperti OH, NH, dan C=O terletak pada bagian itu. Pada umumnya ketiadaan serapan kuat didaerah 909 650 cm -1 (11,0 15,4 µm) menunjukkan suatu senyawa niraromatik. Senyawa senyawa aromatik dan heteroaromatik menunjukkan pita serapan kuat tekukan C H keluar bidang (out of plane) dan liukan cincin didaerah tersebut diatas, yang seringkali dikaitkan dengan corak penggantian gugusan. Bagian tengah spektrum, yaitu 1300 909 cm -1 (7,7 11,0 µm), biasanya disebut sebagai daerah

sidik jari. Corak serapan didaerah ini seringkali rumit dengan pita pita yang ditimbulkan oleh cara cara getaran yang berantraksi. Bagian spektrum ini sangat berharga dalam hubungannya dengan bagian spektrum lainnya (Silverstein, 1986).