BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyakit yang merusak nefron ginjal (Price dan Wilson, 2006).

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

HASIL PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA PERKALIAN PRODUK KALSIUM DAN FOSFAT SERUM DENGAN PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA PASIEN HEMODIALISIS REGULER OLEH :

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang bersifat progresif dan irreversibel yang menyebabkan ginjal kehilangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

Gambaran hasil produk kalsium dan fosfor pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V di Ruang Hemodialisis RSUP Prof. Dr. R. D.

BAB 4 HASIL. 24 Universitas Indonesia. Hubungan kadar..., Krishna Pandu W., FK UI., 2009

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Hiperfosfatemia pada penyakit ginjal kronis

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lebih dari 6,0 mg/dl terdapat pada wanita (Ferri, 2017).

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB I PENDAHULUAN. dengan angka kejadian yang masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, UKDW

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal

BAB 1 PENDAHULUAN. Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi dari 2-3 bulan hingga tahun (Price dan Wilson, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB I PENDAHULUAN. pada tubuh dapat menimbulkan penyakit yang dikenal dengan. retina mata, ginjal, jantung, serta persendian (Shetty et al., 2011).

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya penyakit dibagi menjadi menular dan penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang dapat dilakukan adalah pengendalian penyakit tidak menular. 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari mulai faal ginjal normal sampai tidak berfungsi lagi. Penyakit gagal ginjal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian berasal dari PTM dengan perbandingan satu dari dua orang. dewasa mempunyai satu jenis PTM, sedangkan di Indonesia PTM

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease

EVALUASI DAN PEMANTAUAN GANGGUAN MINERAL DAN TULANG PADA PASIEN HEMODIALISIS REGULER

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

oleh K/DOQI sebagai suatu keadaan dengan nilai GFR kurang dari 60 ml/men/1,73 m 2, selama lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronis telah terjadi di Indonesia seiring dengan kemajuan teknologi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Malnutrisi merupakan salah satu permasalahan yang banyak dialami

I. PENDAHULUAN. adekuat untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal (Dipiro et al, 2005;

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan ekstraksi biji tanaman kopi. Kopi dapat digolongkan sebagai minuman

BAB I PENDAHULUAN. berpendapat usia setiap manusia sudah ditentukan oleh Tuhan, sampai usia. tertentu, yang tidak sama pada setiap manusia.

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit renal tahap akhir

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini mampu

BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berada di dalam jaringan lain dan cairan tubuh yang secara luas didistribusikan ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) berdasarkan American Diabetes

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB I PENDAHULUAN. dapat terjadi secara akut dan kronis. Dikatakan akut apabila penyakit berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK)mempunyai risiko lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal stadium akhir (gagal ginjal kronik tahap 5) dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. ginjal yang bersifat irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk

HUBUNGAN KADAR KALIUM, KALSIUM, DAN FOSFOR ANORGANIK PADA PENDERITA GAGAL GINJAL

BAB I PENDAHULUAN. (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15 -

Hubungan Kepatuhan dan Pola Konsumsi Obat Pengikat Fosfat terhadap Kadar Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik Stadium V

BAB I PENDAHULUAN. didefenisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN NABATI DAN HEWANI DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS RAWAT JALAN DI RSUP

BAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. bahkan terjadi gagal ginjal. Jika tidak diobati, penyakit ginjal bisa

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Penderita penyakit - penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya, resiko kematian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain : gangguan kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, inflamasi, dislipidemia, dan gangguan metabolisme mineral. Salah satu diantara gangguan metabolisme mineral adalah gangguan metabolisme fosfat dan kalsium. 1 Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat merupakan salah satu komplikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang harus mendapat perhatian karena mempunyai peran yang sangat besar pada morbiditas dan mortalitas PGK. Pada PGK, akibat terhambatnya ekskresi fosfat, akan terjadi hiperfosfatemia yang secara fisikokimiawi akan mengakibatkan terjadinya hipokalsemia. Selanjutnya, hiperfofatemia dan hipokalsemia akan merangsang peningkatan sekresi hormon paratiroid (HPT). Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia ini pada umumnya terjadi pada kliren kreatinin kurang dari 50 ml/menit. Apabila tidak mendapat penanggulangan secara tepat atau apabila terjadi asupan kalsium berlebih, kondisi tersebut akan berubah menjadi hiperfosfatemia dan hiperkalsemia. Hiperfosfatemia-hipokalsemia maupun hiperfosfatemia dan hiperkalsemia, keduanya memberikan kontribusi yang cukup besar dalam morbiditas dan mortalitas PGK. Block dkk (1998), melaporkan peningkatan resiko kematian yang berkaitan dengan hiperfosfatemia pada 6407 penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis regular. Dilaporkan bahwa, penderita dengan kadar fosfat serum 1

6,5 mg/dl memperlihatkan angka kematian yang meningkat sebesar 27%. 2 Setelah dilakukan penyesuaian terhadap usia, onset gagal ginjal kronik, ras, jenis kelamin, diabetes, AIDS, neoplasma dan perokok aktif, kematian masih 27% lebih tinggi dibandingkan dengan penderita dengan kadar fosfat serum antara 5 6,5 mg/dl (p< 0,01). Hiperfosfatemia pada PGK memberikan konsekuensi : 1) hiperparatiroidisme, 2) peningkatan insiden kalsifikasi jaringan ikat lunak dan sindrom kalsifilaksis, dan 3) gangguan terhadap sekresi hormon paratiroid (HPT). 3,4 Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah sekelompok gangguan tulang pada PGK yang merupakan konsekuensi hiperfosfatemia setelah terjadi hiperparatiroidisme sekunder. Salah satu contohnya ialah osteodistrofi renal. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari 1) Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat, HPT dan Vitamin D, 2) Kelainan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan kekuatannya, 3) Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain. 5,6 Belum diketahui secara pasti, penyebab percepatan progresifitas gagal ginjal, apakah vitamin D aktif, atau kelebihan hormone fosfaturik FGF 23. Block dkk (2004), lewat penelitian kohort berskala besar melaporkan bahwa, yang berperan besar dalam kejadian tersebut adalah hiperfosfatemiahiperkalsemia dan hiperparatiroidisme yang berat. Kematian penderita terutama disebabkan oleh gangguan kardiovaskuler dan yang terkait dengan kalsifikasi kardiovaskuler. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk penanggulangan hiperfosfatemia pada PGK ini. Usaha-usaha tersebut adalah, 1) restriksi asupan fosfat, 2) pemberian pengikat fosfat (phosphate binder), 3) meningkatkan efektifitas dialisis, dan 4) pemakaian bahan kalsimemetik

(calcimemetic agent). Untuk menekan morbiditas dan mortalitas, KDOQI menargetkan kadar fosfat serum penderita PGK adalah 3,5 5,5 mg/dl, dan perkalian kadar fosfat dan kalsium kurang dari 55 mg2/dl2 (dengan mempergunakan kadar kalsium yang telah dikoreksikan dengan kadar albumin plasma). Tetapi target ini masih belum sepenuhnya bisa dicapai, terbukti dari masih tingginya prevalensi hiperfosfatemia pada pasien PGK. USRDS (United States Renal Data System) (1993), mencatat prevalensi hiperfosfatemia masih 53,6 %, walaupun pengikat fosfat sudah diberikan pada sekitar 80% kasus. Dapat disimpulkan bahwa, diet restriksi fosfat (dietary intervention), dialisis yang ketat dan pemakaian obat-obatan yang dilakukan selama ini, masih belum cukup untuk memenuhi target KDOQI dalam mengatasi hiperfosfatemia. Masih dibutuhkan usaha yang lebih intensif. 3 Beberapa peneliti melaporkan bahwa komponen ferri dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan bila diberikan secara oral. Hergessel dan Ritz (1999), melaporkan terjadi penurunan kadar fosfat darah sebesar 20 % serta ekskresi fosfat lewat urin sebesar 37 % pada 13 penderita PGK dengan hiperfosfatemia. 7 Penelitian Chen dkk (1999), juga melaporkan bahwa komponen garam ferri yang dicampurkan, bersama-sama dengan makanan dan diberikan pada percobaan kelompok hewan tikus yang normal maupun kelompok tikus azotemic (sudah subtotal nefrectomy) juga efektif mengikat fosfat dan menurunkan penyerapan fosfat diusus halus setelah diberikan selama 2 dan 4 minggu. Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut. 8 Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan besi dalam bentuk sediaan hidrat sulfat ferrosus (FeSO 4.7 H 2 O) 300 mg sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) antara lain mencoba menggantikan peran

garam aluminium sebagai phosphate binder yang pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan intoksikasi aluminium, sedangkan penggunan garam kalsium beresiko terjadinya hiperkalsemia. 8 Sebab itu, dicobalah penggunaan sediaan hidrat sulfas ferrosus ini sebagai pengikat fosfat (phosphate binder), disamping harganya murah juga mudah didapat. Hal ini berdampak mengurangi biaya pengobatan hiperfosfatemia yang terjadi pada pasien. Pasien-pasien PGK di Indonesia yang sebagian besar menggunakan jasa pelayanan Jamkesmas dan Askes saat melakukan hemodialisis tentunya akan sangat terbantu dengan kondisi ini. Saat ini banyak pemberian berbagai jenis pengikat fosfat yang ada dan dibutuhkan pasien PGK dengan hiperfosfatemia ini tidak mendapat tanggungan pengobatan dari Askes maupun Jamkesmas. 9 Berikut ini disajikan gambaran grafik jumlah kasus yang menjalani dialisis yang diambil datanya dari PT. ASKES. Data ini tidak mencerminkan seluruh kasus dialisis di Indonesia, tetapi hanya kasus dialisis yang di biayai oleh PT. ASKES. Namun demikian jumlah kasus yang di biayai oleh PT. ASKES mencapai lebih dari 80% jumlah kasus dialisis, yaitu sekitar 14,6 juta pegawai negeri sipil dan pensiunannya serta 74,6 juta peserta Jamkesmas yang mulai dibiayai pengobatan cuci darahnya sejak 2005 2006.10

5 Jumlah kasus dialisis yang dibiayai oleh PT ASKES pada tahun 1988-2006. 10 Dengan latar belakang demikian, maka penulis ingin mencoba mengamati dan meneliti adanya peran sulfas ferrosus sebagai pengikat fosfat (phosphate binder ) pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler.