BAB I PENDAHULUAN Penderita penyakit - penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya, resiko kematian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain : gangguan kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, inflamasi, dislipidemia, dan gangguan metabolisme mineral. Salah satu diantara gangguan metabolisme mineral adalah gangguan metabolisme fosfat dan kalsium. 1 Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat merupakan salah satu komplikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang harus mendapat perhatian karena mempunyai peran yang sangat besar pada morbiditas dan mortalitas PGK. Pada PGK, akibat terhambatnya ekskresi fosfat, akan terjadi hiperfosfatemia yang secara fisikokimiawi akan mengakibatkan terjadinya hipokalsemia. Selanjutnya, hiperfofatemia dan hipokalsemia akan merangsang peningkatan sekresi hormon paratiroid (HPT). Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia ini pada umumnya terjadi pada kliren kreatinin kurang dari 50 ml/menit. Apabila tidak mendapat penanggulangan secara tepat atau apabila terjadi asupan kalsium berlebih, kondisi tersebut akan berubah menjadi hiperfosfatemia dan hiperkalsemia. Hiperfosfatemia-hipokalsemia maupun hiperfosfatemia dan hiperkalsemia, keduanya memberikan kontribusi yang cukup besar dalam morbiditas dan mortalitas PGK. Block dkk (1998), melaporkan peningkatan resiko kematian yang berkaitan dengan hiperfosfatemia pada 6407 penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis regular. Dilaporkan bahwa, penderita dengan kadar fosfat serum 1
6,5 mg/dl memperlihatkan angka kematian yang meningkat sebesar 27%. 2 Setelah dilakukan penyesuaian terhadap usia, onset gagal ginjal kronik, ras, jenis kelamin, diabetes, AIDS, neoplasma dan perokok aktif, kematian masih 27% lebih tinggi dibandingkan dengan penderita dengan kadar fosfat serum antara 5 6,5 mg/dl (p< 0,01). Hiperfosfatemia pada PGK memberikan konsekuensi : 1) hiperparatiroidisme, 2) peningkatan insiden kalsifikasi jaringan ikat lunak dan sindrom kalsifilaksis, dan 3) gangguan terhadap sekresi hormon paratiroid (HPT). 3,4 Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah sekelompok gangguan tulang pada PGK yang merupakan konsekuensi hiperfosfatemia setelah terjadi hiperparatiroidisme sekunder. Salah satu contohnya ialah osteodistrofi renal. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari 1) Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat, HPT dan Vitamin D, 2) Kelainan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan kekuatannya, 3) Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain. 5,6 Belum diketahui secara pasti, penyebab percepatan progresifitas gagal ginjal, apakah vitamin D aktif, atau kelebihan hormone fosfaturik FGF 23. Block dkk (2004), lewat penelitian kohort berskala besar melaporkan bahwa, yang berperan besar dalam kejadian tersebut adalah hiperfosfatemiahiperkalsemia dan hiperparatiroidisme yang berat. Kematian penderita terutama disebabkan oleh gangguan kardiovaskuler dan yang terkait dengan kalsifikasi kardiovaskuler. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk penanggulangan hiperfosfatemia pada PGK ini. Usaha-usaha tersebut adalah, 1) restriksi asupan fosfat, 2) pemberian pengikat fosfat (phosphate binder), 3) meningkatkan efektifitas dialisis, dan 4) pemakaian bahan kalsimemetik
(calcimemetic agent). Untuk menekan morbiditas dan mortalitas, KDOQI menargetkan kadar fosfat serum penderita PGK adalah 3,5 5,5 mg/dl, dan perkalian kadar fosfat dan kalsium kurang dari 55 mg2/dl2 (dengan mempergunakan kadar kalsium yang telah dikoreksikan dengan kadar albumin plasma). Tetapi target ini masih belum sepenuhnya bisa dicapai, terbukti dari masih tingginya prevalensi hiperfosfatemia pada pasien PGK. USRDS (United States Renal Data System) (1993), mencatat prevalensi hiperfosfatemia masih 53,6 %, walaupun pengikat fosfat sudah diberikan pada sekitar 80% kasus. Dapat disimpulkan bahwa, diet restriksi fosfat (dietary intervention), dialisis yang ketat dan pemakaian obat-obatan yang dilakukan selama ini, masih belum cukup untuk memenuhi target KDOQI dalam mengatasi hiperfosfatemia. Masih dibutuhkan usaha yang lebih intensif. 3 Beberapa peneliti melaporkan bahwa komponen ferri dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan bila diberikan secara oral. Hergessel dan Ritz (1999), melaporkan terjadi penurunan kadar fosfat darah sebesar 20 % serta ekskresi fosfat lewat urin sebesar 37 % pada 13 penderita PGK dengan hiperfosfatemia. 7 Penelitian Chen dkk (1999), juga melaporkan bahwa komponen garam ferri yang dicampurkan, bersama-sama dengan makanan dan diberikan pada percobaan kelompok hewan tikus yang normal maupun kelompok tikus azotemic (sudah subtotal nefrectomy) juga efektif mengikat fosfat dan menurunkan penyerapan fosfat diusus halus setelah diberikan selama 2 dan 4 minggu. Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut. 8 Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan besi dalam bentuk sediaan hidrat sulfat ferrosus (FeSO 4.7 H 2 O) 300 mg sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) antara lain mencoba menggantikan peran
garam aluminium sebagai phosphate binder yang pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan intoksikasi aluminium, sedangkan penggunan garam kalsium beresiko terjadinya hiperkalsemia. 8 Sebab itu, dicobalah penggunaan sediaan hidrat sulfas ferrosus ini sebagai pengikat fosfat (phosphate binder), disamping harganya murah juga mudah didapat. Hal ini berdampak mengurangi biaya pengobatan hiperfosfatemia yang terjadi pada pasien. Pasien-pasien PGK di Indonesia yang sebagian besar menggunakan jasa pelayanan Jamkesmas dan Askes saat melakukan hemodialisis tentunya akan sangat terbantu dengan kondisi ini. Saat ini banyak pemberian berbagai jenis pengikat fosfat yang ada dan dibutuhkan pasien PGK dengan hiperfosfatemia ini tidak mendapat tanggungan pengobatan dari Askes maupun Jamkesmas. 9 Berikut ini disajikan gambaran grafik jumlah kasus yang menjalani dialisis yang diambil datanya dari PT. ASKES. Data ini tidak mencerminkan seluruh kasus dialisis di Indonesia, tetapi hanya kasus dialisis yang di biayai oleh PT. ASKES. Namun demikian jumlah kasus yang di biayai oleh PT. ASKES mencapai lebih dari 80% jumlah kasus dialisis, yaitu sekitar 14,6 juta pegawai negeri sipil dan pensiunannya serta 74,6 juta peserta Jamkesmas yang mulai dibiayai pengobatan cuci darahnya sejak 2005 2006.10
5 Jumlah kasus dialisis yang dibiayai oleh PT ASKES pada tahun 1988-2006. 10 Dengan latar belakang demikian, maka penulis ingin mencoba mengamati dan meneliti adanya peran sulfas ferrosus sebagai pengikat fosfat (phosphate binder ) pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler.