BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan salah satu elemen yang penting untuk menentukan maju atau tidaknya suatu bangsa. Karena pada suatu hari, mereka akan menjadi generasi penerus yang akan datang. Masa anak-anak merupakan masa yang kritis karena rumit dan penuh risiko. Setiap anak pasti tumbuh dan berkembang sejak konsepsi. Namun pertumbuhan dan perkembangan ini dapat tergangu oleh beberapa faktor. Baik faktor fisik maupun psikis. Apabila ada gangguan pada setiap tahap dapat menyebabkan hambatan pada tahap selanjutnya. Sehingga dibutuhkan deteksi dini, monitoring, dan stimulasi pertumbuhan perkembangan serta intervensi dini untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Sitaresmi, 2004). Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang lebih dikenal dengan autisme merupakan suatu istilah yang menggambarkan jenis gangguan perkembangan parfasif pada anak yang dapat mengakibatkan gangguan keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, emosi, komunikasi dan interaksi sosial. Namun yang paling mencolok adalah gangguan pada hal interaksi sosial dan komunikasi (Gamayanti, 2003). Jumlah anak autisme di dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1987, prevalensi anak autisme di dunia diperkirakan 1: 5000 anak dan tahun 2001 meningkat 50 kali lipat menjadi menjadi 1: 100 kelahiran (Kelana, 2007). Prevalensi anak autisme di Indonesia pada tahun 1994 menunjukkan angka 1: 2500 anak, dan pada tahun 2007 meningkat lebih dari 26 kali lipat menjadi 1: 96 anak. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 96 anak terdapat 1 anak 1
autisme (Handojo, 2007). Menurut jenis kelamin, prevalensi anak autisme lakilaki dibandingkan perempuan mencapai 4: 1 (Exkorn, 2005). Menurut warna kulit, anak autisme lebih banyak yang berkulit putih dibandingkan yang berkulit hitam (Kogan, 2009) Manifestasi dari autisme sangat bergantung pada level perkembangan dan umur kronologi dari masing-masing individu. Namun pada umumnya anak autisme mengalami gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik, gangguan kuantitatif dalam hal komunikasi serta adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku ( American Psychiatric Association, 1994). Namun tidak semua anak yang didiagnosis autisme mengalami gangguan yang sama dalam waktu hampir bersamaan. Selain mengalami ganggguan komunikasi dan interaksi sosial, 90% anak autisme mengalami masalah atau gangguan perilaku makan. Hal ini disebabkan oleh anak autisme memiliki taactile yang sensitif dan penapisan penciuman sehingga dapat menyebabkan ketidaknomalan dalam merasakan dan membaui sesuatu (Rogers, 2003). Anak autisme juga memiliki kekhususan pada perilaku makan dan preferensi makanan. Mereka lebih sering mengalami pembatasan varietas jenis makanan dan keengganan terhadap makanan tertentu berdasarkan tekstur (Ahearn, 2001), warna, kemasan, merk (Lockner, 2008), maupun rasa (Schreck, 2004). Mereka juga mengalami kesulitan merubah tempat makan seperti rumah atau sekolah (Isherwood, 2011) Selain pembatasan varietas makanan, anak autis juga harus menjalani beberapa terapi. Salah satunya yaitu terapi diet. Terapi diet yang biasa dijalani oleh anak autisme yaitu terapi diet bebas gluten, kasein, gula, fruktosa, jamur, 2
zat adiktif, fenol dan salisilat. Semua terapi diet ini bertujuan untuk mengurangi gejala autisme (Sari, 2009). Survei konsumsi makanan merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui status gizi seseorang. Selain itu survei konsumsi juga digunakan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan (Supariasa, 2002). Lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap anak. Hal ini juga terjadi karena di dalam keluarga anak memperoleh pengalaman pertama dalam kehidupannya. Dalam hal ini orang tua mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk kesukaan makan anak-anaknya, karena orang tua adalah model pertama yang dilihat oleh anak. Hubungan social yang dekat yang berlangsung lama antara anggota keluarga memungkinkan bagi anggotanya mengenal jenis makanan yang sama dengan keluarga (Karyadi, 1990). Anak belum dapat menentukan makanan yang sebaiknya mereka pilih, sehingga sebagian besar dari mereka meniru makanan orang tuanya (Lucas, 2008). Pada anak autis ada kemungkinan pola konsumsinya berbeda dengan pola konsumsi keluarganya karena anak autis memiliki perilaku makan yang khas dan adanya terapi diet yang membatasi varietas makanannya. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi sangat menarik untuk dilakukan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang dapat diambil pada penelitian ini yaitu Apakah ada perbedaan antara pola konsumsi anak autisme dengan pola konsumsi keluarga? 3
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui ada tidaknya perbedaan antara pola konsumsi anak autisme dengan pola konsumsi keluarga. 2. Tujuan khusus Beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah a. Mengetahui pola konsumsi anak autisme. b. Mengetahui pola konsumsi keluarga anak autisme. c. Mengetahui ada tidaknya perbedaan antara pola konsumsi anak autisme dengan pola konsumsi keluarga. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Manfaat penelitian ini bagi peneliti yaitu menambah pengalaman, wawasan dan pengetahuan mengenai pola makan anak autisme. 2. Bagi orang tua Manfaat penelitian ini bagi orang tua yaitu memberikan masukan mengenai pola konsumsi anak autisme. 3. Bagi sekolah Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam mengembangkan solusi baru untuk memperbaiki pola konsumsi autis. E. Keaslian Penelitian 1. Hyman (2012) dengan judul Nutrient Intake From Food in Children with Autism. Penelitian ini terhadap 356 anak autisme. Hasil dari penelitian ini adalah konsumsi makanan pada anak autisme lebih sedikit daripada jumlah yang direkomendasikan. Adapun perbedaan dengan penelitian ini adalah 4
peneliti tidak hanya mengukur pola konsumsi anak autisme tetapi juga menghubungkannya dengan pola konsumsi keluarganya. 2. Evans (2012) dengan judul Dietary Patterns and Body Mass Index in Children with Autism and Typically Developing Children. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan 53 anak autisme dan 58 anak dengan perkembangan normal. Hasil dari penelitian ini adalah anak autisme mengkonsumsi lebih banyak mengkonsumsi makanan manis dan makanan ringan dibandingkan dengan anak dengan perkembangan normal. Adapun perbedaan dengan penelitian ini adalah peneliti membandingkan pola konsumsi anak autisme dengan pola konsumsi keluarga. 3. Schreck (2006) dengan judul Food Preference and Factor Influencing Food Selectivity for Children with Autism Spectrum Disorders. Penelitian ini dilakukan terhadap 138 anak autis. Hasil dari penelitian ini adalah anak autisme memiliki jumlah preferensi makan lebih sedikit daripada keluarganya, namun preferensi keluarga lebih berpengaruh terhadap pemilihan makan anak autisme daripada karakteristik diagnosis anak autisme. Adapun perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini meneliti adakah perbedaan pola konsumsi anak autis dengan pola konsumsi keluarga. 4. Hartyasari (2011) dengan judul Hubungan Perilaku Makan dan Preferensi Makanan Keluarga dengan Preferensi Makanan Anak Autisme di SLB Yogyakarta. Penelitian dilakukan terhadap 30 anak autisme. Hasil dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan signifikan antara perilaku makan dengan preferensi makanan anak autisme, tetapi ada hubungan signifikan antara preferensi makanan keluarga dengan preferensi makanan anak 5
autisme. Adapun perbedaan dengan penelitian ini adalah tidak mengukur preferensi makan, melainkan mengukur pola makan anak autisme. 6