Scanned by CamScanner

dokumen-dokumen yang mirip
Dentofasial, Vol.11, No.3, Oktober 2012: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

Kata kunci : palatum, maloklusi Angle, indeks tinggi palatum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lengkung gigi terdiri dari superior dan inferior dimana masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran lebar mesiodistal gigi setiap individu adalah berbeda, setiap

BAB I. Pendahuluan. A. Latar belakang. waktu yang diharapkan (Hupp dkk., 2008). Molar ketiga merupakan gigi terakhir

BAB 1 PENDAHULUAN. studi. 7 Analisis model studi digunakan untuk mengukur derajat maloklusi,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Soetjiningsih (1995)

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

Kata kunci: lebar mesiodistal gigi, indeks Bolton, maloklusi kelas I Angle, overjet, overbite, spacing, crowding

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung maupun tidak langsung pada pasien. 1. indeks kepala dan indeks wajah. Indeks kepala mengklasifikasian bentuk kepala

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah (Mokhtar, 2002). Susunan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mengevaluasi keberhasilan perawatan yang telah dilakukan. 1,2,3 Kemudian dapat

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

BAB 1 PENDAHULUAN. ditimbulkan oleh gangguan erupsi gigi di rongga mulut, sudah selayaknya bagi dokter

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia merupakan bagian dari Ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. ekstraoral. Perubahan pada intraoral antara lain resorbsi prosesus alveolaris

BAGIAN ILMU BIOLOGI ORAL FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERBEDAAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN I SALATIGA JAWA TENGAH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

BAB 1 PENDAHULUAN. gigi permanen bersamaan di dalam rongga mulut. Fase gigi bercampur dimulai dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. permukaan oklusal gigi geligi rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maloklusi adalah ketidakteraturan letak gigi geligi sehingga menyimpang dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia menurut American Association of Orthodontists adalah bagian

BAB II CELAH PALATUM KOMPLET BILATERAL. Kelainan kongenital berupa celah palatum telah diketahui sejak lama. Pada

ABSTRAK. Kata kunci: Arch Length Discrepancy (ALD), indeks Howes, indeks Pont, Model studi

BAB I PENDAHULUAN. diri atau tidak melalui bentuk gigi dan bentuk senyuman. Penting bagi dokter gigi

PERUBAHAN LEBAR DAN PANJANG LENGKUNG GIGI PADA KASUS NON-EKSTRAKSI MALOKLUSI KLAS I ANGLE DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

BAB 3 METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

GAMBARAN ORAL HABIT PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LEBAR MESIODISTAL GIGI PERMANEN RAHANG ATAS DAN RAHANG BAWAH PADA MAHASISWA MALAYSIA DI FKG USU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan serangkaian pulau besar-kecil dengan lingkungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEBUTUHAN PERAWATAN ORTODONSI BERDASARKAN INDEX OF ORTHODONTIC TREATMENT NEED PADA SISWA KELAS II DI SMP NEGERI 2 BITUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam

PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

KONTROL PLAK. Kontrol plak adalah prosedur yang dilakukan oleh pasien di rumah dengan tujuan untuk:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

ABSTRAK KORELASI ANTARA BENTUK WAJAH DAN BENTUK GIGI INSISIVUS SENTRAL MAKSILA PADA ETNIS TIONGHOA USIA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hal yang harus dipertimbangkan dalam perawatan ortodonsi salah satunya

BAB III PREVENTIF ORTHODONTIK

III. RENCANA PERAWATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rasa. Istilah aesthetic berasal dari bahasa Yunani yaitu aisthetike dan

Analisis Model Studi, Sumber Informasi Penting bagi Diagnosis Ortodonti. Analisis model studi merupakan salah satu sumber informasi penting untuk

Transkripsi:

Scanned by CamScanner

Scanned by CamScanner

Scanned by CamScanner

Scanned by CamScanner

Scanned by CamScanner

PALATAL HEIGHT DIFFERENCES IN MALE AND FEMALE OF BUGINESE, MAKASSARESE AND TORAJANESSE. Irene Edith Rieuwpassa, 1 * Thalib Rifky S.A.S.A., 2 Muh.Iqbal Basri, 3 1,3 Bagian Anatomi, 2 Mahasiswa Oral Biologi FKG-FK Universitas Hasanuddin ABSTRACT Background : Each trible has a special characteristic for a particular, so it can be used as a standard. Pont and Korkhaus using indeks which obtained from Caucasians, so research needs in Buginese, Torajanese and Makassaresewhich belong to Paleomongoloid race. Patients with high palate has a narrow dental arch. It indicates the existence of relationship between bone of head, maxilla and palate in this research. This research also obtained to know index value of Buginese, Makassarnese and Torajanese. Objective : This study using observational analytic research. 90 samples, each race has 30 samples of male and female. The data was collected from hight palatum messurement in model study base of parameters by Korkhaus. T-test and ANOVA test is used to analyzing data. Results : The result showed that male of Buginese, Makassarnese and Torajanese has palatal height value 41.23±3.21 and female of Buginese, Makassarnese and Torajanese has palatal height value 41.77±2.35. This result also showed significant differences of palatal height in each race. Conclusions : There are high significant differences of palatal height mean index between male and female base of Korkhaus index in Buginese, Makassarnese and Torajanese. Key words : Korkhaus index, palatal height.

PERBEDAAN TINGGI PALATUM ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SUKU BUGIS, MAKASSAR DAN TORAJA ABSTRAK Latar Belakang : Setiap ras memiliki ciri-ciri khusus sehingga untuk suatu ras tertentu tidak dapat digunakan sebagai standar untuk ras yang lainnya. Pont dan Korkhaus menggunakan indeks yang didapatkan dari ras Kaukasoid sehingga perlu dilakukan penelitian pada suku Bugis, Toraja, Makassar yang tergolong dalam ras Paleomongoloid. Sering dijumpai pasien dengan palatum tinggi mempunyai lengkung gigi yang panjang dan sempit. Hal ini menandakan adanya hubungan antara tulang kepala, maxilla dan palatum. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai indeks tinggi palatum suku Bugis, Makassar dan Toraja. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik. Sebanyak 90 sampel, masing-masing 30 orang persuku laki-laki dan perempuan. Data diperoleh dari pengukuran tinggi palatum pada model studi rahang atas sesuai parameter yang digunakan oleh Korkhaus, uji t dan uji ANOVA digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada laki-laki dari suku Bugis, Makassar dan Toraja mempunyai indeks tinggi palatum 41.23±3.21 dan pada perempuan suku Bugis, Makassar dan Toraja mempunyai indeks tinggi palatum 41.77±2.35. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari indeks tinggi palatum (p 0.5). Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang signifikan pada rata-rata indeks tinggi palatum lakilaki dan perempuan berdasarkan indeks Korkhaus pada suku Bugis, Makassar dan Toraja. Kata kunci : Indeks Korkhaus, tinggi palatum. Corresponding author *: drgirene@yahoo.com

LATAR BELAKANG Setiap ras memiliki ciri-ciri khusus untuk suatu ras tertentu sehingga tidak dapat digunakan sebagai standar untuk ras yang lainnya. Pont dan Korkhaus menggunakan indeks yang didapatkan dari ras Kaukasoid sehingga perlu dilakukan penelitian pada suku Bugis, Toraja, Makassar yang tergolong dalam ras Paleomongoloid. Selain itu pada masa kini, estetik menjadi hal yang sangat diperhatikan. Tampilan wajah merupakan fenomena yang sangat penting. Walaupun tidak ada ukuran obyektif mengenai daya tarik fisik, individu dalam kehidupan sosial atau budaya memiliki standar yang hampir sama. Oleh karena itu perlunya untuk mengetahui berbagai macam ukuran tinggi dari palatum selain bisa menjadi database yang bisa digunakan untuk sebagai informasi ilmiah penelitian selanjutnya. RUMUSAN MASALAH Penelitian ini ingin mengetahui: Bagaimana perbedaan tinggi palatum laki-laki dan perempuan suku Bugis, Makassar, dan Toraja? TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tinggi palatum laki-laki dan perempuan suku Bugis, Makassar, dan Toraja. TINJAUAN PUSTAKA 1. DEFINISI PALATUM Palatum merupakan salah satu bagian dari kraniofasial yang juga merupakan pembentuk dari sepertiga tengah wajah. Palatum dibentuk sekitar 5-6 minggu intra uterine, pertumbuhan palatum terdiri dari tiga bagian yaitu : satu bagian anterior medial dan dua bagian lateral prosesus palatine. Bagian medial palatum disebut palatum primer dan terus tumbuh ke arah dasar dari nasal pits, sedangkan prosessus palatine tumbuh kearah lateral luar dari maksila dan tumbuh ke arah garis tengah atau midline. 2 Palatum dibentuk dengan kontribusi dari prosesus maksilaris dan prosesus fronto nasalis. Proses maksilaris membentuk palatum keras atau palatum durum pada tiga perempat bagian anterior sedangkan pada bagian posterior palatum tidak terjadi penulangan dan membentuk

palatum molle atau palatum lunak. Pertambahan panjang palatum setelah kelahiran berhubungan dengan tepi posterior maksila yang merupakan daerah tuberositas yang mengalami aposisi sehingga menambah ruangan untuk tempat erupsi gigi molar. Pada periode gigi sulung, pertumbuhan palatum ada hubungannya dengan pertumbuhan prosesus alveolaris dan remodeling dari tulang palatum itu sendiri. Pada periode ini pertumbuhan lebih pesat kearah sagital terutama arah posterior dibanding arah anterior. 1 Palatum memperlihatkan hubungan antara kranium dan fasial. Bentuk palatum akan berpengaruh jika terjadi asimetri pada basis kranium. Palatum ikut turun sesuai pertumbuhan maksila ke bawah yang diikuti oleh aposisi pada permukaan yang menghadap ke dasar rongga hidung. Ciusa dkk. Yang dikutip dari Paramesthi dkk. menyatakan bahwa pertumbuhan palatum dapat dipengaruhi kebiasaan buruk dan parafungsi oral. Disamping itu ditemukan pula adanya variasi pertumbuhan tinggi palatum antara laki-laki dan perempuan, dapat dikatakan bahwa jenis kelamin mempengaruhi tinggi palatum 2 Lengkungan transversal dan sagital dari palatum akan bertambah besar sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa. Pertumbuhan palatum dapat dipengaruhi kebiasaan buruk dan parafungsi oral. Pertumbuhan tinggi palatum telah lengkap pada usia 16 tahun dan jenis kelamin mempengaruhi tinggi palatum. Bentuk palatum dikelompokkan menjadi bentuk normal yaitu bentuk U dan bentuk V yang menandakan bahwa maksila sempit. Perbedaan bentuk palatum juga berkaitan dengan ras. Ras Kaukasoid cenderung memiliki kubah palatum tinggi, ras Negroid cenderung memiliki kubah palatum pendek, dan ras Mongoloid cenderung memiliki kubah palatum datar. 1

2. TINGGI PALATUM Menurut korkhaus dan Rakosi menilai bentuk palatum berdasarkan indeks tinggi palatum. Palatum yang tinggi merupakan gambaran dari penyempitan bagian apical prossessus alveolaris maksila yang biasanya terjadi pada kasus dengan kebiasaan menghisap jari atau bernafas melalui mulut. Tinggi palatum berdasarkan korkhaus didefinisikan sebagai garis vertical yang tegak lurus terhadap raphe palatine yang berjalan dari permukaan palatum ke permukaan oklusal pada garis intermolar menurut Pont. Jarak intermolar menurut Pont adalah 64 mm. 1 Rumus indeks tinggi palatum menurut korkhaus sebagai berikut : Indeks tinggi palatum = tinggi palatum x 100 Jarak intermolar perbedaan ras juga menjadikan indeks tinggi palatum Korkhaus. Pada suku Jawa sebesar 36,29 sedangkan indeks Korkhaus sebesar 42 pada ras Kaukasoid. Hal ini dapat dikarenakan adanya perbedaan morfologi palatum antar satu ras dengan yang lain. Ras Kaukasoid memiliki kubah palatum yang tinggi, sempit dan cenderung berbentuk segitiga. sedangkan pada suku Jawa yang mewakili ras Mongoloid cenderung memiliki kubah palatum datar dengan lebar palatum berukuran sedang.hal tersebut menyebabkan nilai indeks tinggi palatum pada suku Jawa lebih kecil daripada nilai indeks Korkhaus pada ras Kaukasoid. (1)

3. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BENTUK PALATUM Pertumbuhan palatum yang aktif terjadi pada usia 12 tahun sampai usia 15 tahun. Selanjutnya pertumbuhan palatum terhenti yang disertai dengan berakhirnya penutupan sutura palatinus. Pertumbuhan maksila berhenti pada usia sekitar 15 tahun untuk perempuan dan sekitar usia 17 tahun untuk laki-laki. 8 Variasi bentuk palatum selain dipengaruhi pertumbuhan herediter dari tulang palatum, lengkung prossesus alveolaris, juga dipengaruhi oleh factor lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi bentuk palatum antara lain kebiasaan menghisap jari yang menetap, anak dengan kebiasaan bernafas melalui mulut, anak dengan kelainan hambatan pernafasan. Anak dengan kebiasaan seperti yang telah disebutkan diatas dapat menyebabkan terjadinya deformitas bentuk palatum, lebar intermolar yang pendek dan terjadinya perubahan lengkung rahang. 2 Kebiasaan anak muncul dalam berbagai kondisi. Dalam kondisi ringan, beberapa perilaku tidak mengganggu aktivitas normal sehari-hari dan karenanya bukan merupakan gangguan kejiwaan. Namun, kondisi ringan dari perilaku tersebut dapat berkembang untuk menyebabkan melemahnya fungsi fisik atau psikologis. 10 4. VARIASI RAS Kelompok etnik yang berbeda-beda juga mempunyai kecenderungan untuk memiliki pola bentuk rahang tertentu, walaupun pola semacam itu seringkali dipengaruhi oleh variasi individu. Khususnya indeks gnatik, yaitu proporsi dari panjang tulang alveolar terhadap panjang tulang basal dari rahang yang dinyatakan dalam persentase, dan cenderung bervariasi antar berbagai kelompok etnik. Jadi,ras mongoloid cenderung mesognatik, yaitu memiliki panjang alveolar yang lebih kecil daripada panjang basal, sedangkan ras negro cenderung prognatik, yaitu

mempunyai panjang alveolar yang lebih besar daripada panjang basal. Meskipun demikian, seperti sudah disebutkan di atas, ada variasi individual yang cukup besar di antara kelompokkelompok etnik, yang barangkali berasal dari campuran populasi, dan variasi ras hanya bisa dijabarkan dalam lingkup yang sangat luas. (3) Suku Bugis merupakan salah satu dari empat suku yang awalnya mendiami Sulawesi Selatan. Seperti yang dilaporkan Yusuf dkk, secara genetik suku ini hampir sama dengan suku yang lain walaupun berbeda secara geografis dan budaya. Suku Bugis mendiami hampir seluruh dataran dan perbukitan sebelah selatan. (5) Secara genetik, suku Toraja mempunyai ukuran rahang yang lebih besar dibandingkan suku Bugis, disebabkan faktor lingkungan yaitu jenis makanan. Secara umum, makanan suku Toraja memerlukan kekuatan kunyah yang lebih besar. Akan tetapi, proses evolusi sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia sehingga ukuran rahang berkurang. Selain karena faktor lingkungan, kejadian ini juga disebabkan karena faktor turunan. Suku Toraja yang menikah dengan suku lain yang secara genetik memiliki rahang yang kecil. (4) Selain itu bisa juga disebabkan karena individu mewarisi sifat-sifat genetik orang tuanya yang merupakan individu yang memiliki ukuran gigi yang besar dengan rahang yang besar pula dan individu yang memiliki ukuran gigi yang kecil dengan rahang yang kecil pula. Dari penelitian ini kita juga bias memperoleh gambaran bahwa ukuran rahang yang besar yang merupakan ciri khas suku Toraja sekarang ini tidak lagi menjadi ciri khas suku tersebut, karena masyarakat suku Toraja telah mengalami evolusi yang disebutkan karena faktor lingkungannya, yaitu berubahnya kebiasaan makan makanan yang relatif lebih keras ke makanan yang relatif lebih lunak. Demikian juga yang terjadi pada suku Bugis. 4

5. VARIASI INDIVIDUAL Variasi pada bentuk dan ukuran rahang di antara berbagai individu adalah sangat umum dan sangat terkenal sehingga hampir tidak memerlukan deskripsi. Kelihatannya variasi seperti ini sebagian besar ditentukan secara genetik, dan anggapan ini juga telah didukung dengan studi kembar. Beberapa penulis melaporkan bahwa ada pengaruh genetik yang kuat pada perkembangan bentuk dan hubungan wajah serta rahang. Populasi campuran, seperti yang terjadi dalam jumlah besar beberapa saat akhir-akhir ini, cenderung meningkatkan variasi semacam itu. Variasi individual sangat rumit sehingga sulit untuk menentukan bentuk ideal atau normal untuk semua parameter ukuran dan bentuk rahang. Akan lebih realistik untuk mengatakan bahwa normal adalah segala sesuatu yang tidak melibatkan perubahan patologis, dan untuk menganggap bahwa semua ciri nonpatologis ada dalam kisaran variasi normal yang luas. 3 METODOLOGI PENELITIAN Rancangan penelitian : Ruang lingkup yang digunakan observasional analitik Penelitian menurut waktunya yaitu cross sectional. Subtansi penelitian yaitu dasar Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling Tempat penelitian yang akan dilakukan yaitu di wilayah kota Makassar, Toraja, dan Jeneponto Waktu penelitian selama bulan Februari-Agustus 2012

Sampel yang digunakan adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kota Makassar, Jeneponto, dan Toraja laki-laki dan perempuan suku Bugis, Makassar, dan Toraja. JENIS DAN SUMBER DATA Jenis data yang digunakan adalah data primer. Pengumpulan data dilakukan dari data hasil pengukuran mengenai tinggi pada laki-laki dan perempuan suku Bugis, Makassar, dan Toraja. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan computer dan ditabulasikan dengan bantuan SPSS 16.00. KRITERIA PENELITIAN Untuk mengukur tinggi palatum adalah dengan menggunakan indeks tinggi palatum Korkhaus. Jarak intermolar menurut Pont adalah 64. Pengukuran tinggi palatum dapat dilihat pada rumus di bawah ini : Indeks tinggi palatum = tinggi palatum X 100 Jarak intermolar HASIL PENELITIAN

Perbedaan indeks palatum pada jenis kelamin laki-laki pada ketiga suku indeks tinggi palatum laki-laki 41.8 41.6 41.4 41.2 41 indeks tinggi palatum laki-laki 40.8 40.6 40.4 bugis makassar toraja

Perbedaan indeks palatum pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada ketiga suku 42.5 42 41.5 41 laki-laki perempuan 40.5 40 39.5 bugis makassar toraja

PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan melalui pengukuran terhadap 90 model studi rahang atas pada suku Makassar, Bugis dan Toraja. 30 orang per suku, Yang terdiri dari 15 laki-laki dan 15 perempuan dari masing-masing suku tersebut Data dianalisa berdasarkan uji statistik ANOVA dan t-test. Uji ANOVA. Penelitian mengenai indeks palatum laki-laki dari suku Bugis, Makassar dan Toraja, menunjukkan bahwa dari hasil penelitian ini, rata-rata indeks tinggi palatum laki-laki suku Bugis adalah 40.71, rata-rata indeks tinggi palatum laki-laki suku Makassar 41.52, dan indeks tinggi palatum suku laki-laki suku Toraja 41.19 Adapun, melalui hasil uji statistik independent sample ANOVA diperoleh nilai p untuk index tinggi palatum jenis kelamin laki-laki ketiga suku adalah 0.669 (>0.005). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada indeks tinggi palatum laki-laki dari ketiga suku tersebut. Selanjutnya penelitian mengenai perbedaan indeks tinggi palatum perempuan pada ketiga suku tersebut menunjukkan bahwa rata-rata indeks tinggi palatum perempuan suku Bugis adalah 40.87, rata-rata indeks tinggi palatum perempuan suku Makassar 41.12, dan indeks tinggi palatum perempuan suku Toraja 41.77 Adapun, melalui hasil uji statistik independent sample ANOVA diperoleh nilai p untuk index tinggi palatum jenis kelamin perempuan ketiga suku adalah 0.379 (>0.005). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada indeks tinggi palatum perempuan dari ketiga suku tersebut. Pada penelitian ini didapatkan rata-rata tinggi palatum laki-laki lebih rendah dari pada tinggi palatum perempuan, dimana laki-laki 41.23 dan perempuan 41.77. Kemudian dengan melakukan uji statistik paired sample t-test untuk menguji perbedaan indeks tinggi palatum pada

jenis laki-laki perempuan pada ketiga suku tersebut, didapatkan hasil tidak ditemukan perbedaan bermakna dari laki-laki dan perempuan pada Suku Bugis, Makassar, dan Toraja. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. Dari hasil penelitian pada 90 model studi dari suku Bugis, Makassar dan Toraja dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dari penelitian ini di dapatkan indeks tinggi palatum pada jenis kelamin perempuan lebih tinggi dibanding jenis kelamin laki-laki 2. Indeks tinggi palatum dari Suku Makassar paling tinggi daripada kedua suku lainnya pada jenis kelamin laki-laki, sedangkan Suku Toraja pada jenis kelamin perempuan 3. Hasil uji Rata-rata indeks tinggi palatum jenis kelamin laki-laki pada ketiga suku tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan. 4. Hasil uji Rata-rata indeks tinggi palatum jenis kelamin laki-laki pada ketiga suku tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan. 5. Hasil uji rata-rata indeks tinggi palatum jenis kelamin laki laki dan perempuan pada ketiga suku tersebut didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan Saran. Saran penulis dalam penelitian ini:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan cakupan yang luas untuk mendapatkan indeks standar tinggi palatum pada suku Bugis, Makassar dan Toraja atau cakupan yang lebih luas lagi pada ras Paleomongoloid 2. Untuk mendapat hasil yang lebih detail perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan Palatal Height Guider sebagai alat ukur dengan tujuan menunjang keberhasilan perawatan kesehatan gigi dan mulut. DAFTAR PUSTAKA 1. Paramesthi GAMDH, Farmasyanti CA, Karunia D. Besar indeks Pont dan Korhaus serta hubungan antara lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum pada suku Jawa. [internet]. Available from: URL:http://cendrawasih.a.f.staff.ugm.ac.id/wpcontent/besar-indeks-pont-korkhaus-serta-hubungan-antara-lebar-dan-panjang-lengkunggigi-terhadap-tinggi-palatum-pada-suku-jawa.pdf. Diakses Desember 2, 2011 2. Tri Fajari Agustini, Heriandi Sutadi, Hendrarlin Soenawan. 2003. Hubungan antara tinggi palatum dan lebar intermolar dan panjang lengkung gigi posterior pada anak usia 12-14 tahun. Jurnal PDGI. Th 53 no.2. p. 16-24. 3. Foster T.D. Buku Ajar Ortodonsi edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1997. p : 16-17. 4. Thalib Baharuddin. Analisis hubungan status gigi dengan pola makan dan asupan nutrisi pada manula Suku Bugis dan Suku Mandar. Dentofasial. Jurnal Kedokteran Gigi, vol 7 no.1,2008. p. 26-37.

5. Chandha Hendra.M, Zahbia Nurul Zia. Pengaruh bentuk gigi geligi terhadap terjadinya impaksi gigi molar ketiga rahang bawah. Dentofasial, vol 6.2,2007. p. 65-71. 6. Agustini TF, Sutadi H, Soenawan H. Hubungan antara tinggi palatum dengan lebar intermolar dan panjang lengkung gigi posterior pada anak usia 12-14 tahun. Jurnal PDGI 2003;53(2):16-24 7. Budiman JA, Hayati R, Sutrisna B, Soemantri ES. Identifikasi bentuk lengkung gigi secara kuantitatif. Dentika Dent J 2009;14(2):120-4 8. Rahardjo P. Ortodonti dasar. Surabaya: Airlangga University Press; 2009, p. 8-16 9. Elonara W sophia, Elysia M Go. Perbedaan ukuran sudut mandibula antara laki-laki dan wanita. Oral biology dental journal vol.1 No.1.jan-juny 2009; 25-27 10. Ilmu Kesehatan Gigi. Kebiasaan-kebiasaan buruk anak terhadap gigi anak. Available from: http://ilmukesehatangigi.com. Accessed: 2011 Juni 5 th.