BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan. 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman perwujudan bangunan gapura di Bali hingga saat ini dapat disaksikan keberadaannya. Perwujudan bangunan gapura yang beragam tersebut dapat dilihat dari pelbagai karakteristik yang berbeda di antara bagian-bagian penyusunnya. Bagian-bagian penyusun bangunan gapura berangkat dari tatanan tradisi yang berdasarkan adat dan kepercayaan masyarakat Bali. Gapura berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Gopura yang berarti pintu gerbang, serta pada hakekatnya perwujudan bangunan gapura terdiri dari dua tipe, yaitu Gapura Paduraksa dan Gapura Bentar (Kastawan, 2009:7). Gapura secara umum sebagai istilah bagi pintu masuk candi, rumah bangsawan, keraton, desa dan negara (Altson 1964, dalam Kaelan 1998). Dalam konteksnya sebagai bangunan tradisional Bali dan sebagai simbol pintu gerbang, gapura memiliki terminologi yang beragam. Gapura Paduraksa disebut juga Pemedal, Kori, Kori Agung, Candi Kurung, Gelung Kori, Pemesuan, Bebetelan, atau Angkul-angkul, sedangkan Gapura Bentar juga disebut dengan Candi Bentar (Saraswati, 2001:2). Walaupun secara teoritis perwujudannya 1
serupa, jika ditinjau berdasarkan karakteristik penyusunnya, terdapat beberapa elemen bentuk yang membedakan setiap terminologi lain dari bangunan gapura. Gapura berpedoman pada arsitektur tradisional Bali dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Arsitektur tradisional Bali yang dimaksud adalah pengulangan bentuk, konsepsi dan tata cara dari generasi ke generasi berikutnya, tanpa ataupun sedikit perubahan. Penerapan arsitektur tradisional Bali dapat terlihat melalui konsepsi Tri Angga, yang membagi bangunan ke dalam tiga bagian, yaitu: kepala, badan, dan kaki. Kepala sebagai gelung atau puncak, badan sebagai pengawak, apit-apit dan lelengen, serta kaki dianalogikan sebagai bataran dari gapura. Namun seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat selalu berupaya untuk selalu beradaptasi untuk bertahan hidup. Berkaitan dengan adaptasi, masyarakat Bali memiliki sikap fleksibel sekaligus mampu mengembangkan lebih jauh kebutuhan mereka. Sebagai dampak dari adaptasi, maka tidak terelakkan terjadinya perubahan dalam arsitektur Bali. Perubahan muncul dari perkembangan pola pikir dan inovasi baru, yang disertai dengan perkembangan dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya. Perubahan dapat terjadi dalam aspek fisik maupun nonfisik, dan menurut Koentjaraningrat (1985:180), perubahan sistem budaya mempengaruhi sistem sosial dan benda budaya, termasuk unsur arsitekturnya. Demikian pula dalam berarsitektur, masyarakat Bali secara bertahap mengalami perubahan untuk mewadahi kegiatan yang berkaitan dengan kehidupannya. Perkembangan jaman memberi pelbagai variasi dan kemungkinan dalam 2
perubahan arsitektur Bali. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap perwujudan gapura di Bali yang memiliki ciri khas bentuk, citra lingkungan alam dan corak ragam hias yang kuat setiap masing-masing daerahnya. Demikian halnya dengan keberagaman bangunan gapura di Puri Klungkung. Perwujudan bangunan gapura di Puri Klungkung, masing-masing memiliki ciri bentuk, citra lingkungan alam dan corak ragam hias yang khas. Gapura-gapura tersebut beberapa diantaranya memiliki umur yang cukup tua, dan memiliki keterkaitan historis dengan Kerajaan Klungkung pada masa lampau. Kerajaan Klungkung merupakan pusat pemerintahan Bali pada abad ke-14 hingga abad ke- 19 (Wirawan 2008:13-41). Klungkung sebagai kerajaan yang pernah menjadi pusat pemerintahan di Bali pada masa lalu, kini masih memiliki peninggalan arsitektur pada masa kerajaan, salah satunya adalah bangunan Gapura Paduraksa atau sering disebut juga Pemedal Agung. Gapura Paduraksa sebagai peninggalan arsitektur pada masa kerajaan, menjadi identitas dari Kerajaan Klungkung di Bali. Disadari atau tidak, gapura sebagai suatu karya arsitektur hampir selalu mencerminkan ciri budaya dari kelompok manusia yang terlibat di dalam proses penciptaannya. Dengan demikian apabila secara cermat diamati sejumlah karya arsitektur suatu masyarakat, maka lambat laun pasti dapat dikenali ciri budaya masyarakat tersebut. Hal tersebut tercermin langsung melalui tampilan fisiknya maupun dari tata nilai yang mereka anut (Sumarjan dalam Budiharjo, 1989:24). 3
Arsitektur dibuat oleh manusia untuk manusia, sehingga karya yang dihasilkan banyak mencerminkan maksud dan kepentingan manusia. Arsitektur merupakan salah satu kekuatan terbesar pada integrasi dari gagasan, ingatan dan impian dari manusia (Bachelard dalam Leach, 1997:8). Gapura di Puri Klungkung sebagai salah satu karya arsitektur yang memberi imajinasi dan menyiratkan nilai-nilai, sehingga memungkinkan untuk diinterpretasikan karya arsitektur tersebut. Dalam gapura di Puri Klungkung ini, terjadi pula proses dimana manusia menyampaikan suatu maksud melalui hasil karyanya, dan manusia yang lain berusaha menangkap maksud yang tersirat dari hasil karya tersebut. Dari uraian di atas, menarik untuk dilakukan penelitian Arsitektur Gapura di Puri Klungkung, yang lebih dilihat dari proses terbentuknya gapura di Puri Klungkung berdasarkan periode waktu yang berbeda. Dengan demikian, Arsitektur Gapura di Puri Klungkung ini berangkat dari nilai-nilai normatif pembentuk gapura puri masa lalu, serta nilai-nilai pragmatik yang menyertai perubahan bentuk gapura puri masa kini. 1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang ditimbulkan dan akan dicari jawabannya dalam penelitian ini dapat disebutkan sebagai berikut. Bagaimanakah Arsitektur Gapura di Puri Klungkung? 4
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ditimbulkan dari uraian latar belakang dan rumusan masalah, secara umum dijabarkan sebagai berikut: Untuk mengidentifikasi Arsitektur Gapura di Puri Klungkung. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi manfaat praktis (manfaat yang didapatkan oleh masyarakat umum dan peneliti), dan manfaat akademik (manfaat bagi ilmu pengetahuan), serta uraiannya adalah sebagai berikut: Manfaat Praktis dari penelitian ini yaitu dapat memperdalam kemampuan peneliti dan menambah wawasan masyarakat umum tentang arsitektur gapura di Puri Klungkung. Manfaat Akademik dari penelitian ini yaitu untuk memperkaya referensi penelitian tentang arsitektur gapura, khususnya menyangkut gapura di Puri Klungkung, selain sebagai bahan untuk penelitian lebih lanjut maupun penelitian lain, yang memiliki keterkaitan dengan gapura di Bali. 1.5 Keaslian Penelitian Untuk menghindari duplikasi penelitian dan menambah wawasan peneliti tentang obyek dan topik penelitian yang akan dilakukan, maka terlebih dahulu dilakukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan gapura. Hal ini diharapkan penelitian ini memiliki hasil yang lebih baik daripada penelitian sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut, antara lain, yaitu: Pamesuan 5
(Anak Agung Ayu Oka Saraswati, 2002), Tinjauan Estetika pada Bentuk Kori Agung Puri-Puri di Denpasar dan Badung (I Gusti Ayu Istri Novitadewi, 2007), Dialog antara Tradisi dengan Modernitas Sebuah Pamesuan dalam Arsitektur Tradisional Bali (Tiara Candhrasari, 2006). Saraswati, dalam penelitiannya yang berjudul Pamesuan yang dilakukan pada tahun 2001, melakukan pengkajian terhadap pemesuan atau gapura berdasarkan atas asal, perkembangan, hingga apa yang terwujud saat ini. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan fungsi, estetika (bentuk dan langgam) dan struktur pada pemesuan. Di dalam penelitian ini, Saraswati melakukan kajian yang mengetengahkan suatu evaluasi terhadap transformasi pamesuan yang telah terjadi di masyarakat. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan pada rumah/paumahan, pura, kantor, fasilitas pariwisata, seperti: hotel, restoran, toko kesenian yang ada di Bali, baik sebagai penguatan teori maupun obyek kajian. Tipologi pamesuan dikategorikan berdasarkan dimensi, struktur, bahan dan ragam hiasnya. Dari hasil kajian yang telah dilakukan, Saraswati menyimpulkan jika untuk menyatakan suatu pintu gerbang sebagai suatu pamesuan, perlu dilakukan penelusuran dengan melihat perkembangan berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut: (1) pengertian, (2) fungsi, penempatan dan kelengkapan, (3) tipologi berdasarkan dimensi, struktur, bahan, ragam hias. Persamaan adalah kesamaan objek penelitian yang berupa bangunan Gapura Paduraksa dan Gapura Bentar, serta terminologi yang berbeda terhadap objek penelitian, dimana Saraswati menyebut bangunan Gapura Paduraksa yang 6
memenuhi kriteria pamesuan sebagai pamesuan. Maka manfaat yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Saraswati terhadap penelitian Arsitektur Gapura di Puri Klungkung adalah terminologi lain dari Gapura Paduraksa. Penelitian yang dilakukan oleh Novitadewi pada tahun 2007 berjudul Tinjauan Estetika pada Bentuk Kori Agung Puri-Puri di Denpasar dan Badung. Topiknya adalah meninjau bentuk kori agung pada puri-puri yang ada di Denpasar dan Badung dalam sudut pandang teori universal, yaitu teori estetika, yang terdiri dari unsur-unsur harmoni, unity, vocal point, balance, simplicity, dan proporsi. Dari hasil analisisnya, Novitadewi menyimpulkan jika unsur-unsur dalam teori estetika dapat ditemukan dalam kori agung dilokasi penelitian. Dari hasil uraiannya, Novitadewi menentukan kriteria suatu tempat yang dapat dikatakan sebagai puri, yaitu: 1) merupakan tempat tinggal kasta ksatria keturunan raja, 2) berlokasi di salah satu sudut perempatan agung atau catus patha, dan 3) memiliki tatanan arsitektur yang terdiri dari sembilan mandala (sanga mandala). Selain itu, Novitadewi juga menguraikan pemahaman terhadap kori agung. Uraian tersebut terbagi menjadi sembilan bagian, yaitu: Pengertian Kori Agung, Bagian-bagian Kori Agung, Dimensi Kori Agung, Fungsi Kori Agung, Penempatan Kori Agung, Material Kori Agung, Ragam Hias Kori Agung, Konsepsi Perwujudan Kori Agung, dan Kori Agung di Puri. Persamaannya adalah objek penelitian, yang sama-sama mengambil objek Kori Agung yang diartikan sebagai pintu gerbang pada puri. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek-aspek yang dianalisisnya. Penelitian yang dilakukan oleh 7
Novitadewi menganalisis dalam sudut pandang estetika terhadap kori agung yang ada di Puri di Denpasar dan Badung, sedangkan penelitian ini menganalisis morfologi bangunan gapura. Selain itu terdapat penelitian tentang Dialog antara Tradisi dengan Modernitas Sebuah Pamesuan dalam Arsitektur Tradisional Bali oleh Tiara Candhrasari pada tahun 2006. Penelitian tersebut menganalisis perubahan Pamesuan, meliputi: (1) perubahan fungsi, (2) estetika (bentuk), (3) struktur, serta (4) perubahan makna secara simbolis yang terjadi pada Pamesuan di Desa Tradisional Penglipuran, Desa Tradisional Tenganan, Puri Pamecutan dan Puri Agung Klungkung. Hasil deskripsi perubahan Pamesuan. Pemilihan topik penelitian tersebut disebabkan karena Pamesuan yang pada hakekatnya terlahir dari konsep tradisional dan akan terus mengalami perkembangan. Dipaparkan juga mengenai perubahan yang terjadi pada Pamesuan yang terletak di area Desa Tradisonal dengan Puri Pemecutan yang telah mengalami beberapa perubahan dan Puri Agung Klungkung yang masih terjaga keasliannya. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Candhrasari dengan penelitian Arsitektur Gapura di Puri Klungkung adalah terdapat perbedaan variabel dan lingkup penelitian yang menganalisis makna saat ini. Fokus penelitian ini samasama menekankan pada gapura. 8