BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

NASKAH PUBLIKASI PERAN AYAH DALAM PENGASUHAN DAN KELEKATAN REMAJA PADA AYAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. sebutan masa kanak-kanak akhir, misalnya orangtua memberi sebutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya. resiprokal antara bayi dan pengasuhnya, yang sama-sama memberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. semangat untuk menjadi lebih baik dari kegiatan belajar tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. paling menarik dari percepatan perkembangan seorang remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diri dan lingkungan sekitarnya. Cara pandang individu dalam memandang dirinya

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari

BAB I PENDAHULUAN. dewasa dimana usianya berkisar antara tahun. Pada masa ini individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. lingkungan (Semiun, 2006). Penyesuaian diri diistilahkan sebagai adjustment.

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja seseorang akan mengalami tugas-tugas perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

Seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak, secara otomatis. memegang tanggung j awab membantu anak dalam mengembangkan semua

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

2016 HUBUNGAN ATTACHMENT ANAK TERHADAP ORANGTUA DAN PEER PRESSURE DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SMAN 1 SUKATANI PURWAKARTA

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. digolongkan pada individu yang sedang tumbuh dan berkembang (Yusuf,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Febi Rosalia Indah, 2014

KELEKATAN PADA ANAK. Oleh : Sri Maslihah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kembang remaja. Istilah remaja sendiri berasal dari bahasa latin yaitu adolescere

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

Perkembangan dari Attachment (kelekatan) Kita harus memakai orang yang khusus di dalam kehidupan yang dapat membimbing anak-anak untuk merasakan rasa

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

PROSES PEMBENTUKAN KELEKATAN PADA BAYI

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maslah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA SISWA LAKI-LAKI KELAS X SMK NEGERI 4 SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa transisi dari masa anakanak ke masa dewasa yang disertai dengan perubahan (Gunarsa, 2003). Remaja akan mengalami berbagai perubahan dalam diri mereka antara lain, perubahan fisik, kepribadian, dan intelektual dan peranan dilingkungan keluarga maupun lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi remaja dan orang tua sebab selama masa perubahan tersebut remaja akan mengalami ketidak stabilan (Newman & newman, 1986). Perubahan- perubahan yang yang dialami remaja terjadi sangat pesat salah satunya adalah perubahan emosi (Gunarsa, 2003) Menurut Hall (dalam Papalia, 2007) Masa remaja merupakan masa puncak emosionalitas yaitu terjadi peningkatan ketegangan emosional yang dihasilkan dari perubahan fisik dan hormonal. Pada masa ini, remaja akan menunjukan sifat sensitif, reaktif yang sangat kuat terhadap suatu peristiwa atau situasi sosial, remaja juga bersifat negatif dan memiliki temperamen tinggi seperti, mudah tersinggung, sedih dan kecewa. Suatu perasaaan dan fikiran khas dari individu, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian perasaaan untuk bertindak disebut dengan emosi (goleman,2001). Menurut Goleman (1995) emosi memainkan peranan penting dalam perilaku individu. Oleh sebab itu apabila remaja tidak mampu mengendalikan emosi mereka akan melakukan perilaku-perilaku negatif. Goldberg menyatakan

bahwa perempuan lebih dapat merasakan dan mengutarakan perasaan dan permasalahannya dan lebih dapat mengenali emosi orang lain daripada laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan (dalam Santrock, 2003). Ketika remaja laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, maka laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi dan cenderung merespon masalah dengan menggunakan kemarahan (Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008). Perilaku melanggar norma sosial, norma hukum, dan norma agama seperti perkelahian, pencurian, mabuk-mabukan, perampokan, penganiayaan, hubungan seks pra-nikah, dan penyalah gunaan obat-obat terlarang yang dilakukan oleh para remaja merupakan gambaran adanya emosi yang tidak terkendali dan menunjukan tingginya dan ketidakseimbangan emosi remaja (Goleman, 2001). Pada remaja laki-laki mereka mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi seperti rasa malu, kesal, sedih sehingga emosi yang ditunjukan berupa rasa marah. Pada masa remaja sebagian remaja laki-laki akan mengalami kesulitan dalam menangani berbagai perubahan yang terjadi. Apabila ada kegiatan di sekolah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan emosional remaja laki-laki, maka mereka akan meluapkan kelebihan emosi negatifnya kepada hal-hal yang negatif seperti tawuran, mencoret dinding-dinding sekolah. Hal ini menunjukan bahwa pada usia remaja mereka memiliki gejolak emosi yang meningkat (Yusuf, 2000).

Pada usia remaja tengah (15-18 tahun) remaja telah mampu mengevaluasi apa yang baik dan buruk serta dapat menjalin hubungan yang menyenangkan dan penuh kasih sayang (Stein & Book,2004) Tetapi kenyataannya berbeda, fakta kenakalan remaja di Indonesia justru semakin meningkat di usia remaja akhir yaitu 15-19 tahun (Kartono, 2002). Selain itu, ada kasus bunuh diri umumnya terjadi antara umur 15-24 tahun (McIntosh dalam McWhirter, 2000) dan kasus tawuran rata-rata dilakukan saat usia 15-18 tahun (Goleman, 2002). Secara umum kenakalan remaja di Amerika pada usia 16-19 tahun. (World Youth Report, 2003). Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku-perilaku yang menunjukan tidak adanya kecerdasan emosi berada pada usia remaja akhir.oleh sebab itu, remaja sebaiknya memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang disebut dengan kecerdasan emosi. Menurut Goleman (2003) kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, dan mengendalikan emosi dalam menunda kepuasan. Kecerdasan emosional membuat seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana emosi. Kecerdasan emosi adalah kecakapan emosional yang meliputi a) kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi rintangan, b) mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat merasa puas, c) mampu mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan agar tidak mengganggu kemampuan berfikir, d) mampu berempati (Goleman, 2001).

Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari emosi (Goleman 1997). Orang tua atau lingkungan keluarga dapat mengajarkan kecerdasan emosi kepada anak sejak masih bayi meskipun masih melalui ekspresi wajah. Oleh sebab itu, pengalaman emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Orang tua merupakan bagian dari keluarga yang memiliki peranan yang sangat penting dan dibutuhkan anak. Orang tua juga merupakan sistem dukungan dan tokoh attachment yang penting dalam keluarga (Santrock, 2003). Ainsworth (1969) mengatakan bahwa attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. Attachment yang diperolah anak saat kecil akan berdampak terhadap perkembangan anak diusia remaja. Bowlby mengatakan bahwa anak masih membutuhkan orangtua sebagai figur attachment selama masa kanak-kanak dan remaja. Attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membentuk kompetensi sosial, kesejahteraan social remaja seperti ciri-ciri harga diri, penyesuaian emosional dan kesejahteraan fisik (Allen, dkk 1994; Kobak & Cole dalam Santrock, 2003). Armsden (1987) juga mengatakan bahwa remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dengan orang tua dan orang tua akan memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang baik pada remaja. Adapun ciri efektif yang menunjukkan attachment adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur

digantikan oleh orang lain dan attachment dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Adiyanti, 1985). Hubungan attachment antara anak dengan orang tua akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan attachment anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Dengan kata lain, attachment tidak hanya dapat diperoleh ibu namun dari pengganti ibu yaitu, ayah (Bowlby dalam Haditono dkk,1994). Attachment yang terbentuk antara bayi dan orangtua (hubungan sosial pertama dalam hidup manusia) merupakan landasan dasar bagi hubungan manusia pada masa selanjutnya (Erickson, Sroufe & fleeson dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Bowlby mengatakan bahwa anak masih membutuhkan orangtua sebagai figur attachment selama masa kanak-kanak dan remaja. Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe,2002). Memasuki usia remaja, attachment yang terbentuk tidak lagi berwujud kelekatan (fisik) melainkan lebih kepada ikatan emosional (Greenberg et, al dalam O koon, 1997).Menurut penelitian yang lakukan oleh Fox, Kimmely dan Schafer, 1991) secure attachment dan insecure attachment yang dibutuhkan anak dari ibu dan ayah memilki persentase yang seimbang yaitu, 65 % secure attachment dan 35% insecure attachmen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayah juga memberikan attachment yang sama penting dibandingkan ibu.

Attachment yang diberikan ayah kepada anak laki-laki sejak ia bayi akan memberikan perasaan nyaman dan dicintai hingga ia dewasa (Sulliver 1999). Ayah merupakan aset terbesar dalam mendidik emosi remaja laki-laki yaitu, memberikan perhatian penuh pada remaja laki-laki. Ayah juga memberikan manfaat yang positif bagi remaja laki-laki antara lain, dalam pengembangan pengendalian diri, kemampuan untuk menunda keinginan serta membantu remaja dalam penyesuaian sosialnya (Gotman & Declaire dalam Andayani & Koentjoro, 2004). Ayah akan mempengaruhi remaja secara berbeda dengan para ibu, terutama di bidang-bidang seperti hubungan remaja dengan teman sebaya dan prestasi akademis (Gottman & DeClaire, dalam Maharani & Andayani, 2003). Gottman dan Declaire (dalam Andayani & Koentjoro, 2004) menyebutkan bahwa ayah memanfaatkan maskulinitasnya dalam permainan yang cenderung lebih bersifat fisik dan melibatkan gerak motorik kasar. Hal ini akan memberikan pengalaman emosional yang berbeda pada remaja dibandingkan ketika berinteraksi dengan ibunya yang cenderung lebih bersifat lembut dan mengeksplorasi kegiatan yang cenderung lebih intelektual. Ini membuat peran ayah tidak kalah pentingnya dengan peran ibu. Levant mengemukakan bahwa ayah memiliki kemampuan untuk mengenali dan menanggapi emosi anak secara konstruktif terhadap anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Remaja laki-laki yang sering ditinggal dan tidak memperoleh atttachment dari ayah tidak menunjukan perilaku maskulin (Watson &Lindgren dalam Dagun, 2002). Penelitian yang dilakukan Krampe dan fairweather, (1993) menunjukan bahwa remaja yang memiliki attachment yang

kuat dan konsisten dari ayah akan mengahasilkan harga diri yang lebih baik, meningkatnya kemauan untuk berkompetisi, meningkatkan intelektual dan keberhasilan dalam bidang akademik. Attachment yang diberikan ayah kepada anak laki-laki juga memiliki hubungan yang positif dengan kemampuan sosial anak laki-laki. Menurut Ainsworth, pola attachment yang terjadi antara orangtua (ayah) dan remaja terbagi atas tiga pola yaitu, secure attachment (aman), pola anxious attachment, pola avoidant attachment. Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan menunjukan bahwa Attachment ayah memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan remaja laki-laki terutama dalam perkembangan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin melihat hubungan antara setiap pola attachment (secure attachment, pola anxious attachment, pola avoidant attachment) terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki. B. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki? Adapun pertanyaan yang lebih mendetail adalah 1. apakah ada hubungan positif secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki? 2. apakah ada hubungan negatif anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki?

3. apakah ada hubungan negatif avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki? C. Tujuan penelitian Berdasarkan uraian di atas adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional pada remaja laki-laki 2. Untuk mengetahui tingkat attachment terhadap ayah pada remaja laki-laki 3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki 4. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan positif secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki 5. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan negatif anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki 6. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan negatif avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja laki-laki D. Manfaat penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh bukti-bukt i empiris mengenai hubungan antara kelekatan padap ayah dengan kecerdasan emosional pada remaja, sehingga penelitian ini dapat bermanfaat bagi :Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu: 1. Manfaat teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

pengembangan ilmu psikologi, khususnya dibidang Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat praktis a. Memberikan kontribusi kepada orang tua mengenai peranan ayah dalam kecerdasan emosi remaja b. Bagi orang tua, penelitian ini memberi gambaran dan informasi mengenai hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi sehingga diharapkan orang tua, dalam hal ini adalah ayah, dapat memberi perhatian yang lebih intensif kepada anak-anaknya. c. Bagi ilmuwan atau peneliti yang melakukan penelitian sejenis ini, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengembangkan penelitian dan bisa mengungkap aspek-aspek atau hal-hal yang belum terungkap dalam penelitian F. Sistematika penelitian Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Latar Belakang Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai Pengertian Attachment, pengertian attachment terhadap ayah, peran ayah,

pola-pola attachment, figur attachment pada remaja, pengertian kecerdasan emosi, aspek-aspek kecerdasan emosi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan rendah, pengertian remaja, tugas perkembangan remaja, ciri-ciri masa remaja, perubahan masa remaja, hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki dan hipotesa Penelitian Bab III : Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kuatitatif identifikasi variabel penelitian, DO, sampel dan populasi, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi Bab ini berisi penjelasan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisa data penelitian dan pembahasan Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi penjelasan mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran untuk pihak terkait dan penelitian selanjutnya