BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesenjangan Antar Daerah Menurul Cornelis Lay dalam Lia (1995), keterbelakangan dan kesenjangan daerah ini dapat dibagi atas empat pemikiran utama yaitu keseimbangan regional (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan struktural (spatial inequality), dan kebijaksanaan negara. a. Keseimbangan regional, asumsi yang digunakan adalah mekanisme pasar dipercayakan sebagai alokator sumberdaya paling efisien. Ketimpangan harus terjadi sebagai fenomena awal pembangunan karena perbedaan kemampuan untuk tumbuh yang bersifat prinsipil antara satu daerah dengan daerah lain. Teori ini menjelaskan bahwa semakin matangnya struktur perekonomian suatu wilayah maka secara alami ketimpangan tersebut berakhir. b. Ketidakseimbangan regional, menurut teori ini kesenjangan terjadi akibat kekuatan pasar dan struktural dari sistem kapitalisme. Efek timbal balik yang dihasilkan dari mekanisme kekuatan pasar yaitu backwash effect dan spread effect yang dapat menjelaskan kesenjangan wilayah. Menurut Hirschman (1976) kesenjangan akan diseimbangkan melalui trickle down effcts yang bekerja melalui permintaan produk dan input faktor. Pemikir lainnya melandaskan penyebaran spasial aktivitas ekonomi cenderung untuk 24
mempromosikan pemusatan pertumbuhan pada sejumlah wilayah atas biaya yang mesti oleh wilayah lainnya. c. Ketergantungan struktural, kesenjangan daerah diyakini sebagai kondisi yang wajib hukumnya bagi berkembangnya pusat-pusat dan sebagai terminal akhir dari proses bekerjanya kekuatan pasar secara global. Akibatnya ketergantungan struktural dianggap merupakan produk dari sistem kapitalisme disamping produk pemerataan. d. Kebijaksanaan Negara, kebijaksanaan yang bias, diskriminatif, dan tidak tepat dipandang sebagai sebab-sebab penting dalam memahami fenomena kesenjangan. Istilah bias menggambarkan terjadinya inefisiensi dan kesenjangan sebagai akibat konsentrasi modal dan penerapan industrialisasi padat modal dalam situasi dimana tenaga kerja berlimpah sedangkan modal langka. Hal ini bersumber pada kebijaksanaan terhadap kawasan satu dengan yang lainnya. 2.2 Batas Kawasan Indonesia Indonesia yang terbagi menjadi dua kawasan besar yaitu Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Penentuan batas kawasan ini tidak hanya berdasarkan letak geografisnya, namun banyak aspek yang menjadi pembatas kedua wilayah ini diantanya aspek kinerja perekonomian, demografi, sumberdaya alam, sarana dan prasarana, serta aspek sosial ekonomi. Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 dan Keputusan Presiden RI Nomor 55 tahun 2001 wilayah yang termasuk pada Kawasan Barat Indonesia (KBI) terdiri dari Jawa, Sumatra, Bali. Sedangkan 25
Kawasan Timur Indonesia (KTI) terdiri dari Kalimantan, NTB, NTT, Sulawesi, Gorontalo, Maluku, dan Provinsi di Irian Jaya. 2.3 Penelitian Terdahulu 2. 3.1 Kesenjangan Wilayah Berdasarkan hasil penelitian Rahayu (2006), mengenai kesenjangan di wilayah pesisir menunjukan bahwa antar PDRB dan kesenjangan memiliki hubungan yang negatif yang artinya pada tahap pertumbuhan awal terjadi pemeratan pendapatan yang memburuk, sedangkan pada tahap pertumbuhan lanjut pemerataan semakin membaik. Analisis yang digunakan adalah Index Williamson yang memperlihatkan kesenjangan di tingkat provinsi lebih besar dibandingkan masing-masing wilayah pesisir dan non pesisir berkaitan dengan perbedaan struktur ekonomi yang berpengaruh terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan. Lia (1995) meneliti kesenjangan kondisi ekonomi regional kawasan barat dan kawasan timur Indonesia dengan menggunakan deskriptif tabulasi dan model persamaan simultan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kesenjangan regional. Hasil penelitian ini faktor yang mempengaruhi pertumbuhan suatu daerah secara nyata adalah pendapatan regional yang mencerminkan nilai tambah, kapital, investasi, tenaga kerja yang dipengaruhi tingkat pendidikan, upah, jumlah penduduk dan pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun pendapatan asli daerah yang mempengaruhi secara tidak langsung pembentukan investasi. Hasil analisis deskriptif menunjukkan kesenjangan PDRB non migas dan PDRB non migas per kapita menunjukkan KBI memiliki keadaan yang lebih baik dari pada KTI. Selain itu kesenjangan dalam arus penanaman modal/ investasi, 26
kapital, pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun PAD, tingkat kemampuan baca-tulis, tingkat partisipasi pendidikan uang mempengaruhi kualitas SDM serta tingkat partisipasi angkatan kerja yang menunjukan ketidakmerataan distribusi dan produktivitas tenaga kerja. Pada fungsi produksi, nilai elastisitas tenaga kerja dan kapital menunjukkan nilai elastisitas kapital tertinggi terdapat di KBI yaitu Jawa dan Bali, sedangkan di KTI yaitu Irian, Maluku, tapi untuk elastisitas tenaga kerja menunjukan tanda koefisien negatif. Indeks efisiensi menunjukkan KTI memiliki nilai yang lebih baik dari KBI yang artinya KTI memiliki potensi yang besar dalam distribusi akumulasi kapital. 2.3.2 Ekspor dan Produksi Komoditas Pertanian di Indonesia Edwin (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor komoditi teh Indonesia, serta daya saing komoditi teh di pasar Internasional. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk melihat perkembangan produksi dan ekspor teh di Indonesia, dan metode kuantitatif dengan model persamaan regresi berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor teh. Dari hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan luas areal perkebunan teh selama sepuluh tahun (1982-2001) hanya sekitar 1,56 persen, dimana luas lahan yang paling besar dimiliki oleh pelaku perkebunan rakyat. Daerah yang paling luas untuk perkebunan teh adalah provinsi Jawa Barat sedangkan yang paling kecil adalah DI Aceh. 27
Dilihat dari hasil model regresi berganda dintara variabel-variabel yang mempengaruhi ekspor yaitu produksi teh domestik, volume ekspor teh Indonesia tahun sebelumnya, harga teh dunia, harga teh dunia tahun sebelumnya, konsumsi teh domestik dan harga teh domestik, variabel yang berpengaruh nyata pada taraf 5 persen adalah variabel produksi teh domestik, volume ekspor tahun sebelumnya dan konsumsi teh domestik, sedangkan sisanya tidak berpengaruh nyata. Berdasarkan perhitungan elastisitas semua variabel kurang elastis atau bersifat inelastis, namun hanya variabel produksi domestik yang memiliki keelastisitasan lebih dari satu dengan kata lain ekspor teh Indonesia cukup peka terhadap perubahan produksi teh domestik. Yopi (2005) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor tomat segar Indonesia. Metode yang digunakan deskriptif tabulasi dan model regresi liner berganda. Hasil yang diperoleh menunjukkan jumlah produksi tomat Indonesia selama tiga tahun terakhir (1984-2003) tidak sejalan dengan ekspor nya, hal ini disebabkan menurunnya kualitas tomat segar ekspor sehingga tidak dapat memenuhi standar ekspor yang berlaku. Berdasarkan persamaan produksi tomat Indonesia diantara variabel penjelas yaitu luas areal tanaman tomat, tingkat teknologi, harga tomat ekspor, dan harga pupuk urea. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi tomat Indonesia pada taraf satu Persen adalah luas areal tanaman tomat dan tingkat teknologi, dimana nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 99,4 persen. Untuk persamaan ekspor tomat segar Indonesia yang terdiri dari variabel produksi tomat Indonesia, ekspor tomat tahun sebelumnya, harga tomat ekpor tahun sebelumnya dan laju inflasi, yang berpengaruh nyata pada taraf sepuluh persen adalah ekspor 28
tomat tahun sebelumnya dan harga tomat domestik dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) 63.4 persen. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menganalisis sebaran produksi dan ekspor untuk komoditas pertanian diantara dua kawasan besar Indonesia yaitu kawasan barat dan timur. Alat analisis yang digunakan yaitu pemetaan yang menggambarkan secara kasat mata penyebarannya. Selain itu menganalisis kesenjangan untuk produk pertanian di dua kawasan ini, serta dalam penelitian ini membagi wilayah indonesia menjadi empat kriteria/ kategori yang menunjukkan laju pertumbuhan ekspor dan produksinya. 29