BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kondisi perekonomian di Indonesia yang masih belum menentu mengakibatkan tingginya risiko suatu perusahaan sehingga mengalami kesulitan keuangan atau bahkan kepailitan. Setiap perusahaan didirikan dengan harapan bahwa kondisi keuangan perusahaan tersebut akan selalu berada dalam kondisi yang sehat dan memiliki kinerja keuangan yang baik sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. Sektor property sebagai salah satu sektor yang penting di Indonesia. Sektor property merupakan indikator penting untuk menganalisis kesehatan ekonomi suatu negara. Industri property juga merupakan sektor yang pertama memberi sinyal jatuh atau sedang bangunnya perekonomian sebuah negara (Santoso, 2005). Perusahaan property and real estate adalah perusahaan yang perkembangan bisnisnya di Indonesia dinilai akan semakin pesat dan memuncak. Jakarta termasuk menjadi salah satu kota terbaik untuk berbisnis properti. Alasan lainnya yang mendukung tumbuh pesatnya bisnis properti di Indonesia terlihat dari beberapa developer terpercaya yang terus melakukan pembangunan infrastruktur pengembangan property. Pada tahun 2012 dan pertengahan pertama tahun 2013 sektor properti Indonesia bertumbuh cepat, maka pertumbuhan keuntungan para developer properti Indonesia melonjak tajam (dari 45 perusahaan properti yang terdaftar 1
2 di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012, 26 perusahaan mencatat pertumbuhan laba bersih lebih dari 50%) dan, jelas harga properti di Indonesia meningkat sejalan dengan itu, pada umumnya harga properti residensial bertumbuh hampir 30% per tahun antara 2011 dan 2013 (Schaar, 2015). Pertumbuhan kuat tiba-tiba jatuh karena beberapa faktor; di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia semakin kuatir mengenai berkembangnya gelembung properti karena perekonomian umum sedang melambat namun sektor properti naik sangat tinggi di pertengahan pertama tahun 2013 (manajemen fiskal yang berhati-hati telah menjadi karakteristik pihak berwenang Indonesia setelah Krisis Finansial Asia). Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia mengetatkan kebijakannya. BI menaikkan persyaratan uang muka minimum dan memotong pinjaman hipotek untuk kepemilikan rumah kedua (untuk mencegah peningkatan berlebihan dari pinjaman untuk hunian). Perubahan penting lainnya termasuk tingkat suku bunga Indonesia. Setelah sentuh titik rendah dalam sejarah pada 5,75% dari Februari 2012, Bank Indonesia secara bertahap, namun agresif, menaikkan BI rate antara Juni 2013 sampai November 2013 menjadi 7,50%. Ketiga, tahun politik Indonesia (Indonesia mengadakan pemilihan legislatif dan presiden pada tengah 2014) menyebabkan ketidakjelasan politik (dan karenanya ketidakjelasan perekonomian juga) yang besar. Menjelang pemilihanpemilihan ini, para pengembang Indonesia cenderung menunda proyekproyek baru (penundaan proyek-proyek properti juga merupakan dampak dari
3 menurunnya pencairan pinjaman hipotek dan BI rate yang lebih tinggi). Bersama-sama, faktor-faktor ini menyebabkan penurunan pasar properti Indonesia. Contohnya, Indeks harga properti hunian dari Bank Indonesia menurun 6,3% di 2014, turun dari tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 11,5% pada setahun sebelumnya (terlebih lagi inflasi Indonesia naik 8,4% di 2014, karenanya melebihi kecepatan pertumbuhan indeks harga properti). Penurunan terbesar untuk pertumbuhan properti dirasakan di wilayah (Jabodetabek) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang & Bekasi (Schaar, 2015). Sebuah survei dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa penjualan properti hunian di kuartal 1 tahun 2015 mengalami penurunan signifikan dalam perbandingan quarter-to-quarter (q/q). Hasil dari penjualan di kuartal pertama tahun 2015 mencatat pertumbuhan 26,6% dibandingkan dengan 40,1% di kuartal ke-4 tahun 2014. Sementara itu, tingkat pencairan pijaman hipotek di bank-bank untuk rumah dan apartemen di kuartal 1 tahun 2015 naik hanya 0,12% (q/q) dibandingkan kuartal sebelumnya (Schaar, 2015). Semua segmen pasar property di Indonesia terbuka sebagai lahan investasi termasuk ke pasar kelas paling bawah. Melihat siklus perkembangan beberapa produk property saat ini diketahui arah perkembangannya kedepan sangat diperkirakan lebih positif karena pertambahan penduduk di Indonesia yang tinggi menyebabkan kebutuhan hunian yang akan terus meningkat dan akan semakin tinggi persaingan antar perusahaan maka akan mengakibatkan semakin tinggi pula biaya yang dikeluarkan perusahaan tersebut. Apabila usaha tersebut gagal dalam arti
4 kalah dalam persaingan maka perusahaan tersebut akan mengalami kerugian, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keuangan perusahaan yang akan menyebabkan perusahaan tersebut mengalami financial distress. Berikut perusahaan Property and Real Estate yang memiliki net income negatif periode tahun 2011-2015. Tabel 1.1 Net Income Negatif Perusahaan Property and Real Estate Periode Tahun 2011-2015 Million Rp No Perusahaan 2011 2012 2013 2014 2015 1 Bakrieland Development Tbk. 107.401 (731.602) (232.250) 474.715 (724.167) 2 Bhuwanatala Indah Permai Tbk. (20.192) (15.132) 109.203 19.659 125.182 3 Bukit Darmo Property Tbk. (20.784) (58.396) (59.139) 7.195 (27.623) 4 Cowell Development Tbk 33.322 69.675 48.712 165.397 (174.809) 5 Eureka Prima Jakarta Tbk. (1.565) (678) (6.272) 17.473 (313) 6 Fortune Mate Indonesia Tbk (536) 969 (7.958) 2.471 159.505 7 Indonesia Prima Property Tbk. 90.842 39.913 (23.884) 107.057 (20.882) 8 Metro Realty Tbk 4.395 4.163 (2.077) (1.096) (4.678) 9 Nirvana Development Tbk - 25.192 7.206 (108.501) (28.007) 10 Ristia Bintang Mahkotasejati Tbk. (13.960) 1.923 (13.984) 3.001 (3.086) Sumber idx.co.id Berdasarkan tabel 1.1 dapat dilihat gambaran beberapa perusahaan yang terindikasi dalam kondisi kesulitan keuangan. Dimana pada beberapa perusahaan, yaitu Bakrieland Development Tbk, Bhuwanatala Indah Permai Tbk, Bukit Darmo Property Tbk, Eureka Prima Jakarta Tbk, Metro Realty Tbk, Nirvana Development Tbk, terlihat memiliki net income (negatif) dalam dua tahun atau lebih secara berurut-turut pada periode tahun 2011-2015. Perusahaan yang memiliki laba bersih (net income) negatif selama dua tahun atau lebih secara berturut-turut, hal ini menunjukkan kondisi financial distress karena dengan adanya laba bersih (net income) negatif selama dua
5 tahun atau lebih secara berturut-turut berarti perusahaan mengalami penurunan kondisi keuangan atau kerugian (Putri, 2015). Dengan diketahuinya financial distress, hal ini harus diwaspadai oleh perusahaan karena jika perusahaan berada pada kondisi financial distress terus menerus, maka perusahaan dapat dikatakan dalam kondisi bangkrut atau perusahaan tersebut benar-benar mengalami kegagalan usaha. Oleh karena itu, perusahaan diharapkan dapat melakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja perusahaan dan mencegah terjadinya potensi kebangkrutan, agar perusahaan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya yaitu profit. Financial distress terjadi sebelum mengalami kebangkrutan dan dapat dimengerti sebagai kondisi keuangan perusahaan yang mengalami penurunan. Menurut Khaliq et al (2014) kesulitan keuangan atau financial distress adalah keadaan dimana perusahaan menemui kesulitan atau bahkan tidak bisa untuk membayar kewajiban keuangannya kepada para kreditur. Menurut Almilia dan Herdiningtyas (2005) kebangkrutan adalah suatu keadaan dimana perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban kepada debitur karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya sehingga tidak dapat mencapai tujuan ekonomi perusahaan, yaitu profit. Perusahaan yang mengalami kondisi financial distress berarti memiliki kondisi keuangan yang tidak sehat. Hal ini mengacu pada terjadinya cash flow yang kurang baik, pengurangan jumlah karyawan, penurunan
6 kualitas produk, tagihan dari kreditor yang sulit dibayar, pembagian deviden yang dihilangkan, dan lain-lain. Financial distress penting untuk dipelajari karena berfungsi sebagai tanda bahwa suatu perusahaan akan bangkrut sehingga dapat dilakukan tindakan antisipatif untuk mencegah hal tersebut. Model prediksi financial distress perlu dikembangkan untuk membantu manajer dalam mengawasi kinerja perusahaan dan membantu mengidentifikasi tren yang penting (Ray, 2011). Rasio keuangan banyak digunakan untuk dianalisis dan selanjutnya menjadi model prediksi kebangkrutan (financial distress). Rasio keuangan dapat menggambarkan keadaan pada masa lampau, sekarang, dan akan datang sebagai indikator yang sangat berguna yang bisa dihitung dari laporan keuangan (Khaliq et al, 2014). Alat analisis yang sering digunakan yaitu analisis Z-Score model Altman, model Springate, dan model Zmijewski. Alasan ketiga alat analisis tersebut banyak digunakan yaitu karena ketiga alat analisis tersebut relatif mudah untuk digunakan dan juga memiliki tingkat keakuratan yang cukup tinggi dalam melakukan prediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Altman Z-Score memiliki tingkat keakuratan dalam memprediksi kebangkrutan yaitu sebesar 95%, Springate memiliki akurasi sebesar 92,5% dan untuk tingkat akurasi dari model Zmijewski ini adalah sebesar 94,9% (Purnajaya dan Merkusiwati, 2014). Sehingga dari beberapa model itu, Almatn Z-Score merupakan metode yang memiliki
7 tingkat keakuratan paling tinggi dalam menilai tingkat kebangkrutan suatu perusahaan. Indikator rasio keuangan dalam penelitian ini menggunakan metode Altman Z-Score Modifikasi dan Springate. Dimana metode Altman Z-Scroe Modifikasi menggunakan rasio Working Capital to Total Assets, Retained Earnings to Total Assets, Earning Before Interest and Taxes to Total Assets dan Market Value of Equity to Book Value Of Total Debt. Metode Springate menggunakan rasio Working Capital to Total Assets, Earning Before Interest and Taxes to Total Assets, Earning Before Taxes to Current Liabilities dan Sales to Total Assets. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi perusahaan Property and Real Estate yang terdaftar di BEI tahun 2011-2015 mengalami kondisi financial distress atau dalam keadaan keuangan yang sehat, selanjutnya dapat memprediksi kebangkrutan perusahaan di masa yang akan datang berdasarkan metode Altman Z-Score Modifikasi dan Springate. Beberapa penelitian terdahulu telah menganalisis rasio keuangan untuk menentukan kondisi financial distress. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliastary dan Wirakusuma (2014) menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang dianalisis dengan metode Z-score Altman, Springate, Zmijewski pada PT. Fast Food Indonesia Tbk Periode 2008-2012 diklasifikasikan dalam keadaan sehat atau tidak berpotensi bangkrut. Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Sondakh, Murni dan Mandagie (2014) menunjukkan bahwa olah data dengan ketiga metode analisis Altman Z-Score, Springate
8 dan Zmijewski diperoleh hasil yang berbeda satu sama lain, serta terdapat 3 perusahaan yang berpotensi bangkrut pada tahun-tahun tertentu. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian prediksi kebangkrutan (financial distress) di sub sektor property dengan judul Analisis Rasio Keuangan Terhadap Kondisi Financial Distress Pada Perusahaan Property and Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2011-2015. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah perusahaan property and real estate yang terdaftar di BEI tahun 2011-2015 mengalami kondisi financial distress dengan menggunakan metode Altman Z-Score Modifikasi? 2. Apakah perusahaan property and real estate yang terdaftar di BEI tahun 2011-2015 mengalami kondisi financial distress dengan menggunakan metode Springate? 3. Apakah terdapat perbedaan hasil antara metode Altman Z-Score Modifikasi dan Springate dalam memprediksi kebangkrutan pada perusahaan property and real estate yang terdaftar di BEI tahun 2011-2015?
9 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kondisi perusahaan property and real estate yang terdaftar di BEI tahun 2011-2015 mengalami kondisi financial distress atau dalam keadaan keuangan yang sehat dengan menggunakan metode Altman Z- Score Modifikasi. 2. Mengetahui kondisi perusahaan property and real estate yang terdaftar di BEI tahun 2011-2015 mengalami kondisi financial distress atau dalam keadaan keuangan yang sehat dengan menggunakan metode Springate. 3. Mengetahui terdapat perbedaan hasil antara metode Altman Z-Score Modifikasi dan Springate dalam memprediksi kebangkrutan pada perusahaan property and real estate yang terdaftar di BEI tahun 2011-2015. D. Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan antara lain: a. Manajemen Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi manajer perusahaan untuk pengambilan kebijaksanaan dan meningkatkan kinerja perusahaan agar perusahaan dapat mengantisipasi terjadinya kondisi
10 financial distress (kebangkrutan) di masa yang akan datang. Sehingga perusahaan dapat berkembang dan menghasilkan laba. b. Investor Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mengambil keputusan yang tepat dalam menanamkan investasinya. c. Pihak Lain (Akademik) Penelitian ini diharapakn dapat bermanfaat sebagai bahan informasi atau referensi bagi berbagai pihak yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang (financial distress) kebangkrutan perusahaan, sehingga kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini dapat diperbaiki di penelitian selanjutnya.