BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB 8. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Kearifan lokal yang ada pada masyarakat nelayan di Selat Madura terdiri dari :

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

BAB 7. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Kearifan lokal yang ada pada masyarakat nelayan di Selat Madura adalah :

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI PERBANDINGAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN KOTA TEGAL DAN KABUPATEN TEGAL TUGAS AKHIR

penangkapan (Berkes et a/., 2001 dalam Wiyono dan Wahju, 2006). Secara de

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani

BAB I PENDAHULUAN. pedesaan telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil. Teori

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

KEBUTUHAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN KOLAKA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KOLAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. daratannya. Selain itu, Indonesia juga merupakan Negara dengan garis

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara maritim, dimana 70 persen dari luas wilayah

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

Potensi penangkapan ikan dari tahun ke tahun cenderung mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Trilogi pembangunan yang salah satunya berbunyi pemerataan pembangunan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum, analisis kebijakan menghasilkan pengetahuan mengenai dan dipahami sebagai proses untuk dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa informasi yang dapat digunakan untuk menguji pertimbangan yang mendasatri setiap pemecahan masalah praktis yang dihadapi masyarakat luas. Kata kebijakan dalam tulisan ini merupakan terjemahan dari kata policy dalam bahasa Inggris. 1.1. Pengertian Kebijakan Menurut Dunn definisi yang lebih dalam tentang analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan penalaran dan fakta untuk memperjelas, menaksir dan menunjukkan pemecahan masalah yang diikuti prosedur tertentu agar dapat menghasilkan pandangan yang rasional mengenai kebijakan. Dunn menganjurkan menggunakan definisi analisis kebijakan yang ditulis oleh Quade sebagai berikut : Bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil keputusan. Dalam hal ini, kata anaiisis secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan yang dirinci menurut komponen-komponennya, tapi juga merencanakan dan mencari sintesis untuk mengasilkan alternatif kebijakan yang baru. Aktifitas ini meliputi sejak tahapan penelitian untuk memberikan wawasan tentang masalah yang kita hadapi atau persoalan yang mendahului atau evaluasi program yang telah selesai. Beberapa analisis bersifat informal, namun dengan pemikiran yang keras dan teliti, sedang lainnya membutuhkan data yang mencukupi sehingga dapat dihitung dengan menggunakan matematika yang terkadang rumit. Dengan dasar uraian diatas, Dunn kebijakan sebagai : menyusun definisi analisis sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatakan pada tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

2 Dengan pengertian demikian, maka analisis kebijakan merupakan proses analisis yang menerobos pagar disiplin ilmu tertentu dengan tujuan tidak hanya menghasilkan fakta, tapi juga untuk menghasilkan nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Analisis kebijakan menggunakan berbagai disiplin yang tujuannya bersifat : (1) penandaan (designative), (2) indikator performance, (3) penilaian (evaluative) atas keberhasilan/ kegagalan, dan (4) anjuran (advocative) dalam tindakan. Dengan demikian, sebuah kebijakan dapat dinyatakan sebagai suatu argumen yang masuk akal untuk mempengaruhi perilaku masyarakat terkait dengan kebijakan tertentu mengenai tiga hal, yaitu : (1) Nilai-nilai yang capaiannya menjadi tolok ukur (indicator performance) apakah suatu masalah telah dapat dipecahkan; (2) Fakta-fakta yang keberadaannya mempertinggi pencapaian nilai-nilai, dan (3) Tindakan-tindakan yang pelaksanaanya menghasilkan pencapaian nilainilai dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.. Adapun prosedur dalam analisis kebijakan menurut Dunn ada empat cara. (1) Deskrepsi yang memungkinkan kita menghasilkan informasi mengenai sebab dan akibat kebijakan di masa lalu; (2) Peramalan (prediksi) yang memungkinkan kita menghasilkan informasi mengenai akibat kebijakan untuk waktu mendatang; (3) Evaluasi yang memungkinkan kita membuat informasi mengenai nilai dari kebijakan di masa lalu dan di masa mendatang; dan (4) Rekomendasi yang memungkinkan kita menghasilkan informasi mengenai arah tindakan yang akan datang yang diperkirakan akan menimbulkan akibat lebih punya nilai Sementara itu, menurut Dunn, pengetahuan mengenai fakta, nilai dan tindakan membutuhkan lima tipe informasi, yaitu : (1) Permasalahan kebijakan, yaitu : nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terpuaskan, tapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik ;

3 (2) Alternatif kebijakan yang harus dipilih, yaitu : arah tindakan yang secara potensial tersedia dan memberikan sumbangan dalam pencapaian nilai, dan oleh karena iitu memberikan kontribusi dalam pemecahan masalah yang dihadapi; (3) Tindakan kebijakan, yaitu : rangkaian langkah sesuai dengan alternatif kebijakan yang dipilih dan dilakukan untuk mencapai tujuan; (4) Hasil kebijakan, yaitu : dampak yang terjadi dari rangkaian tindakan yang dilaksanakan, dan (5) Pencapaian kebijakan merupakan tingkatan seberapa jauh hasil kebijakan memberikan sumbangan pada pencapaian nilai yang kita tetapkan. Dengan dasar uraian diatas, dan dengan memasukkan peran metode kuantitatif dalam proses analisis kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan selanjutnya dapat disajikan pada Gambar 1.1. MASALAH KEBIJAKAN METODE KUANTITATIF (2) PERUMUSAN (1) (4) MASALAH PERAMALAN (3) (9) HASIL KEBIJAKAN EVALUASI (10) ALTERNATIF KEBIJAKAN (5) (8) MONITORING KEBIJAKAN HASIL GUNA (11) REKOMENDASI KEBIJAKAN (6) TINDAKAN KEBIJAKAN (7) Gambar 1.1. Proses analisis kebijakan Dengan dasar proses analisis kebijakan yang disajikan pada Gambar 1.1, maka kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan dapat dipandang sebagai tindakan pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan warga negara,

4 khususunya rumahtangga nelayan dan atau masyarakat pesisir, juga perbaikan kondisi sumberdaya perikanan dan kelautan, dalam hal ini kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya dan kondisi sumberdaya perikanan dan kelautan pada waktu sekarang dan akan datang. Tindakan pemerintah tersebut dapat berupa kebijkan kenaikan harga BBM, pemberian kredit, ijin penangkapan, pembatasan ukuran alat tangkap ikan, penetapan jalur penangkapan ikan, atau kebijakan pajak. 1.2. Permasalahan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Indonesia Indonesia memiliki panjang pantai sekitar 81.000 Km, terdiri dari sekitar 17,51 ribu pulau dengan potensi lahan tambak 840.000 Ha. Disamping itu, wilayah ini memiliki wilayah laut yang luasnya sekitar 5,8 juta Km 2 dengan dugaan potensi perikanan sebesar 6,10 juta ton per tahun. Pemanfaatan potensi ini diduga telah mencapai 3,91 juta ton, atau 64.00 % MSY (Nikijuluw, 2002). Berdasarkan komitmen internasional yang dibuat FAO yang dinyatakan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), potensi sumberdaya laut yang boleh dimanfaatkan hanya sekitar 80% dari tingkat panen maksimum berkelanjutan (Maximum Sustainable Yield, MSY). Dengan dasar pemanfaatan potensi yang boleh ditangkap (Total Allowable Catch, TAC) sebesar 80 % dari MSY, maka batas produksi maksimum berkelanjutan yang diperkenankan untuk dimanfaatkan adalah sekitar 4,88 juta ton per tahun. Itu berarti sisa penambahan produksi sekitar 20.00 %. Untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut tersebut secara optimal, selama empatpuluh tahun pembangunan perikanan Indonesia, tahun 1968 2007, pemerintah telah menempuh kebijakan modernisasi armada perikanan rakyat melalui pengembangan kapal motor dan perbaikan teknologi alat tangkap ikan. Direktorat Jenderal Perikanan (1998) melaporkan bahwa kebijakan pembangunan perikanan rakyat skala kecil selama empatpuluh tahun tersebut telah memacu perkembangan produksi perikanan laut sebesar 4,19 % per tahun.

5 Dengan meningkatnya produksi, maka satu sisi pasar ekspor ikan juga berkembang dan penerimaan devisa dari ekspor hasil perikanan juga meningkat. Jika pada tahun 1994 ekspor perikanan Indonesia sebesar 545,37 ribu ton, dengan nilai sebesar $ 1.68 milyar, pada tahun 1997 devisa yang disumbangkan komoditas perikanan mencapai US$ 1.90 milyar dengan volume 651,57 ribu ton atau sekitar 19.00% dari total produksi ikan nasional. Dengan demikian selama tahun 1994-1997 telah terjadi peningkatan volume ekspor sebesar 6,14 % per tahun, atau kenaikan nilai ekspor sebesar 4,32 % per tahun. Dengan dasar perkembangan ekspor tersebut, maka pada tahun 2000, Departemen Kelautan dan Perikanan merencanakan sasaran ekspor perikanan hasil tangkapan ikan laut mencapai 1,47 juta ton atau sekitar 30,12 % dari TAC dengan nilai $ 2.64 milyar. Namun sisi lain, modernisasi perikanan rakyat menunjukkan mampu memacu peningkatan produksi dan ekspor hasil perikanan, namun belum terkendali secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di beberapa wilayah perairan laut Indonesia menunjukkan gejala lebih tangkap (overfishing) (Cholik, 1996). Tim KEPAS (1987) melaporkan adanya gejala lebih tangkap sumberdaya perikanan pelagis di perairan Laut Jawa. Nikijuluw (2002) menyebutkan bahwa perairan teritorial di kawasan barat Indonesia, yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Cina Selatan, juga menunjukkan gejala lebih tangkap. Sementara itu, pengalaman di berbagai negara lain, dampak modernisasi armada penangkapan ikan juga menunjukkan pengurasan sumberdaya perikanan secara berlebih, seperti yang dilaporkan oleh O Rourke (1971) di perairan laut California. Hasil evaluasi FAO, dari 16 wilayah perairan laut dunia, sumberdaya perikanan di perairan laut Indonesia dinyatakan telah mencapai puncak pemanfaatannya. Oleh karena itu, produksi perikanan tangkap ke depan tidak dapat ditingkatkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Indonesia perlu melakukan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan secara lebih hati-hati, sehingga ikan yang masih ada dapat menjadi modal bagi perbaikan (recovery) ketersediaan ikan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan nelayan secara berkelanjutan (Nikijuluw, 2002). Sejalan dengan semakin meningkatnya konsumsi ikan di dunia, pada tahap pembangunan selanjutnya banyak kalangan berharap agar sektor

6 perikanan dapat berfungsi sebagai sumber pertumbuhan baru pada perekonomian nasional Indonesia. Hanya saja, usaha-usaha untuk menjadikan sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan baru bukan persoalan yang mudah. Usaha perikanan sampai saat ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan skala kecil, teknologi sederhana, sangat dipengaruhi oleh musim dan ditujukan untuk konsumsi lokal. Sekitar 80,00% produksi ikan nasional dikonsumsi untuk kebutuhan pasar domestik. Kapalkapal kecil tersebut umumnya beroperasi pada perairan padat tangkap dan sebagian terbesar nelayan masih miskin (Cholik, 1996). Dengan semakin terbatasnya sumberdaya perairan laut yang dapat dimanfaatkan, maka usaha untuk memacu peningkatan produksi perikanan laut perlu digeser pada usaha-usaha untuk meningkatkan mutu hasil tangkapan dan perbaikan kesejahteraan nelayan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan menghadapi berbagai tantangan, seperti arus globalisasi, yurisdiksi otonomi daerah dan pemberdayaan nelayan miskin. Peningkatan kesejahteraan nelayan disamping dipengaruhi oleh faktor internal seperti pendidikan, pengalaman, penguasaan teknologi dan akumulasi modal (tabungan) nelayan yang rendah, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti potensi sumberdaya, mekanisme pasar dan harga ikan, yurisdiksi daerah otonomi, keadaan infrastruktur pelabuhan perikanan dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan modernisasi usaha perikanan skala kecil secara nasional. Untuk memahami berbagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan diperlukan pendekatan yang memperhatikan pola pengambilan keputusan rumahtangga nelayan secara internal disamping pengaruh eksternal. Keterlibatan seorang anggota keluarga nelayan dalam upaya mengurangi kemiskinan ternyata tidak hanya didasarkan pada keputusan pribadi nelayan, melainkan secara bersama-sama oleh anggota keluarganya. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1993), sumber pendapatan nelayan dari kegiatan non-perikanan, seperti buruh tani, karyawan, dan tukang berkisar antara 22.00% - 43.00%. Kontribusi kerja wanita dalam rumahtangga nelayan adalah dalam kegiatan perdagangan dan pengolahan ikan. (Upton dan Susilowati, 1992; Antunes, 1998).

7 Antunes (1998) melaporkan 60% angkatan kerja wanita di wilayah Bendar, Juwana bekerja dalam kegiatan perikanan. Menurut Susilowati (1998) partisipasi kerja isteri/wanita dalam menambah pendapatan nelayan dipengaruhi oleh pekerjaan dan posisi suami, jumlah anggota keluarga dan peranannya dalam proses pengambilan keputusan dalam rumahtangganya. Dengan demikian rumahtangga nelayan disamping sebagai rumahtangga konsumsi, juga melakukan kegiatan produksi untuk berbagai jenis pekerjaan. Kegiatan produksi dan konsumsi bukanlah didasarkan pada keputusan pribadi nelayan (suami), melainkan secara bersama-sama dilakukan oleh anggota rumahtangga yaitu suami, istri dan anaknya. Disamping itu, kegiatan ekonomi rumahtangga nelayan dalam merespon kebijakan pemerintah maupun perubahan non-kebijakan selalu terkait dengan dinamika ekonomi rumahtangga, lingkungan (ekologi) dan dinamika armada penangkapan ikan dalam upaya eksploitasi sumberdaya ikan dan operasi melaut berlangsung secara simultan. Sistem perikanan memiliki interaksi sangat kompleks antara dinamika ketersediaan ikan, armada perikanan dan faktor produksi seperti modal dan tenaga kerja rumahtangga nelayan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan yang tersedia (Hilborn and Walters, 1992). Oleh karena itu, untuk memahami dampak kebijakan terhadap dinamika ekonomi rumahtangga nelayan diperlukan pengkajian ekonomi dengan pendekatan sistem, yaitu melalui konstruksi model ekonomi rumahtangga yang mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya ikan, dinamika armada penangkapan dan lapangan kerja dalam sektor perikanan. Atas dasar analisis dengan pendekatan sistem diharapkan dapat ditelaah struktur dan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dan interaksinya dengan dinamika stok ikan, sehingga dengan mensimulasi input sistem dapat diperoleh output yang diharapkan. Implikasi lebih lanjut adalah dimungkinkannya rekayasa eko-sosio-ekonomi-teknologi terhadap sistem ekonomi rumahtangga nelayan agar berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan di wilayah pedesaan pantai dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (sustainable).

8 Dalam pembangunan perikanan, tantangan untuk memelihara sumberdaya secara berkelanjutan merupakan permasalahan yang cukup kompleks. Sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya yang dapat pulih, namun pertanyaan yang sering muncul adalah kebijakan seberapa besar ikan dapat dipanen tanpa harus menimbulkan dampak negatif untuk masa mendatang. Keberlanjutan adalah merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat perikanan itu sendiri (Fauzi dan Anna, 2002). Kebijakan pembangunan perikanan pada tahun 1979 1999 lebih berorientasi pada peningkatan produksi melalui penambahan jumlah armada penangkapan ikan dan perbaikan teknologi intensifikasi dan ekstensifikasi pemanfaatan sumberdaya ikan. Mengingat lemahnya pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia, termasuk di Jawa Timur, maka pemanfaatan sumberdaya perikanan berisifat quasi open access (Fauzi dan Anna, 2002), dimana pengendalian ijin armada penangkapan ikan masih mengandung banyak kelemahan. Sekalipun pemerintah telah banyak membuat kebijakan untuk mengembangkan usaha perikanan skala kecil, seperti kebijakan penyediaan kredit modal kerja, investasi sarana pelabuhan/ tempat pendaratan ikan, perbaikan teknologi kapal dan alat tangkap, kebijakan harga BBM dan lainlain, namun pelaksanaannya masih belum efektif. Kebijakan tersebut makin memacu tumbuhnya ekonomi pasar, modernisasi perikanan tangkap, peningkatan produksi dan budaya komersial di pedesaan pantai. Sementara itu, orientasi peningkatan produksi telah menimbulkan berbagai dampak, seperti : (1) tidak seimbangnya pemanfaatan sumberdaya ikan, (2) lebih tangkap, (3) konsentrasi nelayan pada wilayah penangkapan ikan tertentu, (4) harga ikan yang relatif belum stabil, dan (5) kurang berkembangnya agribisnis perikanan (Cholik, 1996). Sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999, kewenangan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara nasional telah bergeser ke daerah, yaitu : (1) kewenangan pemerintah Daerah Kota/Kabupaten pada wilayah laut empat mil, (2) kewenangan Daerah Propinsi pada wilayah laut kurang dari duabelas mil laut (21.60 Km),

9 dan (3) kewenangan Pemerintah Pusat pada wilayah lepas pantai melebihi duabelas mil sampai wilayah ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia) 200 mil. Disamping itu, kebijakan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dalam kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang padat tangkap sering menghadapi kesulitan dalam implementasi di lapangan. Rumahtangga nelayan, dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sering menganggap bahwa sumberdaya kelautan dan perikanan menyediakan ketersediaan ikan secara tidak terbatas, sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan berlangsung secara eksploitatif. Dengan demikian, pengembangan sektor perikanan dan kelautan agar menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia menghadapi berbagai peluang dan tantangan sebagai berikut : 1. Kebijakan peningkatan produksi ikan belum berhasil melakukan perbaikan kinerja ekonomi rumahtangga nelayan. 2. Rendahnya pengetahuan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayahnya. 3. Keterbatasan prasarana pelabuhan perikanan melayani penggunaan kapal ikan dengan ukuran yang semakin membesar. 4. Rendahnya kesempatan kerja dan berusaha dalam kegiatan non-melaut di pedesaan pantai untuk menambah sumber pendapatan baru bagi rumahtangga nelayan. 5. Sumberdaya perikanan di wilayah ZEE belum dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan nasional. Dalam menghadapi peluang dan tantangan tersebut, pada waktu mendatang diperlukan kebijakan untuk mengembangkan potensi ekonomi rumahtangga nelayan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian, permasalahan pemanfaaatn sumberdaya perikanan secara berkelanjutan ini tidak hanya mengetahui kinerja ekonomi rumahtangga nelayan, juga merumuskan pilihan kebijakan pemerintah yang diharapkan tidak saja ditujukan untuk peningkatan produksi, namun juga untuk memecahkan permasalahan peningkatan kesejahtaraan nelayan..

10 PERMASALAHAN KEBIJAKAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA : Keragaan ekonomi rumahtangga nelayan : 1. Produktifitas mulai menurun Menunjukkan gejala lebih tangkap 2. Kerja melaut eksploitatif 3. Kesejahteraan Juragan meningkat Pemerataan Juragan-ABK buruk Banyak nelayan Pendega miskin 4. Tabungan nelayan rendah Kebijakan peningkatan produksi : 1. Tekanan pertumbuhan penduduk dan peningkatan konsumsi ikan 2. Tekanan eksploitasi sumberdaya meningkat 3. Peningkatan teknologi alat dan ijin armada penangkapan ikan 4.Orientasi pertumbuhan ekonomi Rendahnya tingkat pengetahuan nelayan, keterbatasan kesempatan kerja non-melaut, keterbatasan pelayanan pelabuhan perikanan, pelelangan ikan belum berfungsi dan pemanfaatan wilayah ZEE oleh nelayan nasional /tradisional belum dilakukan secara optimal. Lemahnya kebijakan dan pengendalian yang mengkaitkan ketersediaan ikan, perilaku rumahtangga nelayan dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan Diperlukan model integrasi antara ketersediaan ikan, perilaku rumahtangga nelayan dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan ( bio-sosio-eko-tek) PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN Peningkatan keragaan ekonomi rumahtangga nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan Tekanan internal : penduduk, lapangan kerja dan keterbatasan sumberdaya perikanan Tekanan eksternal : komitmen pemerintah, pertumbuhan, ekspor, pemerataan dan komitmen internasional Kebijakan Pemerintah dan Non-Kebijakan Gambar 1. Permasalahan Penelitian (1) dari dalam negeri sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memenuhi SASARAN : Kesejahteraan nelayan meningkat, pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dan menjadikan Rumahtangga Perikanan sebagai pusat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di pedesaan pantai Gambar 1.2 Permasalahan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

11 Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan pemanfaaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan ini dirumuskan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.2.. Gambar 1.2. menjelaskan tentang permasalahan dan kondisi ekonomi rumahtangga nelayan di masa datang yang diramalkan akan mendapat tekanan internal maupun eksternal. Tekanan internal muncul sejalan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat yang berakibat meningkatnya pengangguran dan bertambah buruknya tingkat kesejahteraan nelayan. Sementara itu, tekanan eksploitasi sumberdaya perikanan akan semakin meningkat. Tekanan internal tersebut membawa konsekuensi pentingnya kemauan bersama antara pemerintah dan masyarakat nelayan menetapkan arah pembangunan perikanan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Adapun tekanan dan peluang eksternal bersumber dari dua hal, yaitu : (1) sasaran peningkatan ekspor dan devisa negara dari komoditi perikanan, dan (2) dari luar negeri sejalan dengan komitmen Indonesia untuk memenuhi kewajiban internasional dengan cara mengijinkan kapal asing memanfaatkan sumberdaya perikanan di wilayah Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang belum dimanfaatan secara optimal oleh nelayan nasional. Untuk memecahkan permasalahan kebijakan tersebut diperlukan model yang mampu menunjukkan keterkaitan sitemik antara kondisi ketersediaan ikan, perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Atas dasar model tersebut digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan pilihan kebijakan perikanan dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Melalui kebijakan pemerintah, selanjutnya ekonomi rumahtangga nelayan diharapkan dapat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan pantai. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan, maka secara umum kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk mempengaruhi perilaku (respon) ekonomi rumahtangga nelayan terhadap ketersediaan sumberdaya perikanan dan berbagai perubahan kebijakan pemerintah dan non-kebijakan dalam rangka modernisasi perikanan.

12 Respon ekonomi rumahtangga nelayan tersebut seyogianya dapat dipakai sebagai dasar penetapan pilihan kebijakan pengembangan bisnis dan industri perikanan yang dapat mengembangkan sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di pedesaan pantai. Untuk menjawab tujuan tersebut, maka pembuat kebijakan memerlukan berbagai langkah berkaitan dengan pilihan dan dampak kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan.