BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

ISTILAH DI NEGARA LAIN

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JENIS CITRA

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat)

Citra Satelit IKONOS

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

Wisnu Widyatmadja Taufik Hery Purwanto

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB III METODE PENELITIAN. Citra Quickbird untuk menperoleh data variabel penelitian. Digunakan teknik

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan

ANALISIS KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

banyaknya perubahan lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun, memaksa penyediaan lahan menjadi semakin besar dan apabila lahan tidak mungkin

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

III. METODE PENELITIAN

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

BAB I PENDAHULUAN. pusat aktivitas dari penduduk, oleh karena itu kelangsungan dan kelestarian kota

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah perkotaan merupakan suatu zone atau daerah yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, pusat pemerintahan serta pemusatan penduduk dengan cara hidup yang heterogen (Lindgren, 1974 dalam Suharyadi, 2008). Sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan, daerah perkotaan memiliki daya tarik tersendiri dengan banyaknya fasilitas, sarana, dan prasarana yang terwakili oleh dominasi lahan terbangun di perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk di dalamnya. Permasalahan yang sering muncul di daerah perkotaan di Indonesia sebagai dampak dari daya tarik daerah perkotaan adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Diperkirakan pada tahun 2020 penduduk yang tinggal di perkotaan akan mencapai leblh dan 60% dari seluruh penduduk (Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran, 2005). Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi tingginya pertumbuhan penduduk tersebut selain diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk alami, disebabkan oleh adanya proses migrasi penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan (urbanisasi). Urbanisasi merupakan proses awal pembentukan kota, dengan suatu peningkatan konsentrasi penduduk dan fungsi di dalam perkotaan (Pitzl, 2004). Peningkatan urbanisasi datang dengan seiring adanya era industri di daerah perkotaan. Sebagai imbas dari kemajuan industrialisasi, kegiatan ekonomi mengalami peningkatan yang terkonsentrasi di pusat kota dan penduduk mulai bermigrasi dari pedesaan untuk memanfaatkan peluang ketenagakerjaan yang baru (Urban Environmental Governance, 2007). Fenomena ledakan penduduk (booming) di daerah perkotaan juga berimbas pada hal lain, yaitu makin tingginya tuntutan akan permintaan lahan terbangun. Tingginya permintaan akan lahan terbangun tidak diiringi dengan ketersediaan lahan perkotaan yang sangat terbatas, yang pada akhirnya mengakibatkan pembangunan lahan terbangun yang semakin padat (densifikasi) dan tidak teratur, terlebih lagi pembangunan lahan terbangun tersebut terkadang tidak diimbangi 1

dengan fasilitas-fasilitas penunjang kebutuhan hidup. Kondisi lingkungan tersebut sangat tidak memenuhi persyaratan karena tidak memenuhi rasa keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan keselamatan serta dapat menyebabkan daerah tersebut berada dalam kondisi bahaya, salah satunya adalah bahaya kebakaran. Kebakaran merupakan bencana yang kerap terjadi di kota-kota besar Indonesia, termasuk Kota Surakarta. Dinas Pemadam Kebakaran Surakarta mencatat bahwa sepanjang tahun 2011 telah terjadi 47 kasus kebakaran, dengan 22 kasus berupa kebakaran rumah dan 25 kasus kebakaran lainnya. Total jumlah kerugian dari kebakaran tersebut tidaklah sedikit, yakni mencapai Rp771.500.000. Bahkan rekor kerugian tertinggi dalam 10 tahun terakhir tercatat mencapai Rp4.782.100.000 pada tahun 2008. Jumlah kejadian kebakaran, dan kerugian akibat kebakaran antara tahun 2005 2011 dan jumlah penyebab kebakaran antara tahun 2005-2009 di Kota Surakarta disajikan pada Tabel 1.1, Tabel 1.2, dan Tabel 1.3 berikut. Tahun Tabel 1.1. Jumlah Peristiwa Kebakaran dan Yang Terbakar Menurut Jenis Rumah Kantor Industri / Pabrik Bangunan / Objek Terbakar Pasar Toko Swalayan Sumber : Dinas Pemadam Kebakaran Kota Surakarta Tahun 2012 Lain-lain Jumlah 2011 22 0 0 0 0 25 47 2010 30 0 0 0 0 27 30 2009 12 1 0 0 0 31 44 2008 10 1 1 1 0 39 52 2007 9 0 1 0 0 30 40 2006 17 0 2 0 2 29 50 2005 17 0 1 0 0 22 40 2

Tabel 1.2. Jumlah Korban dan Kerugian Harta Benda dalam Kebakaran Tahun Meninggal Korban Luka-luka Kerugian (rupiah) 2011 0 1 771.500.000 2010 0 2 1.515.500.000 2009 5 3 655.975.000 2008 0 0 4.782.100.000 2007 0 0 477.950.000 2006 0 0 236.900.000 2005 1 9 486.500.000 Sumber : Dinas Pemadam Kebakaran Kota Surakarta Tahun 2012 Melihat kerugian yang ditimbulkan oleh bencana kebakaran baik kerugian material maupun nonmaterial yang tidak sedikit maka diperlukan suatu usaha untuk mencegah dan mengurangi risiko akan bahaya kebakaran, yaitu dengan memetakan tingkat bahaya kebakaran. Dengan adanya peta tingkat bahaya kebakaran, maka langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan kebakaran dapat dilaksanakan dengan efektif. Pemetaan tingkat bahaya kebakaran dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan penginderaan jauh. Pendekatan penginderaan jauh sangat efektif dan efisien dalam fungsinya sebagai sumber data pemetaan, karena dengan menggunakan data penginderaan jauh dapat diperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand et. al, 1990). Penggunaan data penginderaan jauh dapat menutupi beberapa kekurangan pada survei terestrial yang memiliki waktu pengukuran yang relatif lama, biaya kegiatan yang besar, dan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Untuk pemetaan tingkat bahaya kebakaran di daerah perkotaan, dibutuhkan suatu citra satelit dengan resolusi spasial dan resolusi temporal yang tinggi, karena data yang dibutuhkan berupa data dengan informasi spasial yang detil serta mampu mendeteksi perkembangan fisik perkotaan yang berubah dengan cepat. Salah satu citra satelit yang memiliki kemampuan tersebut adalah citra satelit 3

Quickbird yang mampu memiliki resolusi spasial hingga 0,6 meter untuk saluran pankromatik dan resolusi temporal antara 1 hingga 3,5 hari. Kelebihan lain dari citra satelit Quickbird adalah lebar sapuan (swath) yang luas, yaitu sebesar 16,5 km². Data yang disadap melalui citra Quickbird selanjutnya diolah, dianalisis dan disajikan dengan sistem informasi geografis. 1.2. Perumusan Masalah Sebagai pusat dari berbagai kegiatan yang kompleks, daerah perkotaan mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Perkembangan tersebut diiringi dengan laju pembangunan lahan terbangun sebagai dampak dari laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tersebut diakibatkan oleh pertumbuhan alami penduduk dan tingginya laju urbanisasi yang pada akhirnya membutuhkan ruang lebih untuk bertempat tinggal, melaksanakan aktivitas serta fasilitas pemenuhan kebutuhan hidup. Akibatnya terjadi pemadatan lahan terbangun (densifikasi) pada lahan perkotaan yang terbatas, serta tidak tertutup pula kemungkinan berdirinya blok-blok bangunan dengan kepadatan yang sangat tinggi, tata ruang yang semrawut, minim fasilitas pendukung pemenuhan hidup, dan dibangun dengan mutu bahan bangunan yang rendah seperti kayu, triplek, bambu (gedhek), ijuk, dan lain-lain. Blok-blok bangunan dengan ciriciri tersebut biasanya didirikan oleh kaum miskin kota. Fenomena-fenomena tersebut kurang memperhatikan aspek-aspek penunjang keselamatan, kesehatan, dan keamanan lingkungan permukiman sehingga sangat rawan bagi penghuninya untuk terjadi kecelakaan lingkungan, salah satunya adalah bahaya kebakaran. Kebakaran merupakan bencana yang kerap terjadi di lingkungan perkotaan. Selain merenggut korban nyawa, kebakaran juga menimbulkan kerusakan yang tidak sedikit pada lingkungan. Menurut data statistik BPS pada periode tahun 2007 hingga 2011 tercatat total 6 korban meninggal dan kerugian material sebesar 5,92 milyar rupiah sebagai akibat bencana kebakaran di Kota Surakarta. Untuk mencegah dan menghindari banyaknya jatuhnya korban dan kerugian harta benda akibat kebakaran diperlukan suatu upaya yang efektif dan efisien agar upaya tersebut dapat berjalan dengan optimal. Salah satu upaya pencegahan dan 4

penanggulangan kebakaran tersebut berupa penyajian informasi mengenai daerah yang termasuk dalam zona bahaya kebakaran. Proses penyajian informasi mengenai zona bahaya kebakaran membutuhkan suatu sumber data yang dapat menyediakan informasi yang dapat diakses dengan cepat dan akurat mengingat perkembangan fisik kota yang berkembang secara dinamis, sehingga dapat dilakukan pemetaan tingkat bahaya kebakaran dengan tepat. Dengan adanya teknologi penginderaan jauh yang semakin berkembang dan canggih, proses perekaman permukaan bumi dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dengan keakuratan yang tinggi. Pemetaan terhadap tingkat bahaya kebakaran pada suatu blok bangunan menggunakan beberapa variabel untuk menilai tingkat bahayanya, antara lain kepadatan bangunan, lebar jalan masuk, kualitas bahan bangunan, tata letak bangunan, ukuran bangunan, jarak terhadap kantor pemadam kebakaran, dan ketersediaan hidran. Blok bangunan yang jauh dari ancaman bahaya kebakaran setidaknya memiliki kepadatan yang rendah, memiliki tata letak yang teratur, lebar jalan masuk yang cukup lebar, dan dibangun dengan menggunakan bahan yang kokoh dan tidak mudah terbakar. Penilaian variabel-varibel yang berpengaruh terhadap tingkat bahaya kebakaran tersebut diperoleh dengan menggunakan pendekatan penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan sistem informasi geografis. Sistem informasi geogafis sangat penting peranannya dewasa ini karena dapat menjembatani antara dunia nyata (real world) dengan penggambaran dunia nyata itu sendiri dalam bentuk yang lebih sederhana dan representatif. Representasi fenomena di permukaan bumi dapat disajikan dalam bentuk peta yang berisi informasi spasial dan data atribut. Manfaat dari sistem informasi geografis secara teknis adalah dapat mempercepat, menyederhanakan, meningkatkan daya tarik, dan menyeragamkan proses dari suatu data, termasuk data penginderaan jauh. Dengan penggunaan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, maka penyadapan informasi di permukaan bumi, proses pengolahan data, hingga penyajian informasi dapat dilakukan dengan murah, mudah, cepat, dan akurat. Hasil dari kegiatan penelitian ini berupa peta tingkat bahaya kebakaran, sehingga hasilnya 5

diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran di daerahnya. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Berapa besar tingkat ketelitian citra Quickbird dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel yang berpengaruh pada tingkat bahaya kebakaran pada suatu blok bangunan? 2. Bagaimanakah tingkat bahaya kebakaran di daerah penelitian? Berdasarkan permasalah tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Tingkat Bahaya Kebakaran di Sebagian Kota Surakarta. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji tingkat ketelitian citra Quickbird dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel dalam menilai tingkat bahaya kebakaran pada blok bangunan. 2. Pemetaan tingkat bahaya kebakaran di sebagian Kota Surakarta. 1.4. Sasaran Penelitian 1. Tabel uji ketelitian interpretasi citra Quickbird dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel dalam menilai tingkat bahaya kebakaran pada blok bangunan. 2. Peta tingkat bahaya kebakaran di sebagian Kota Surakarta. 1.5. Kegunaan Penelitian 1. Dapat mengetahui tingkat akurasi data citra penginderaan jauh, khususnya citra Quickbird, dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel yang berpengaruh pada tingkat bahaya kebakaran blok bangunan. 6

2. Dapat memberikan informasi mengenai tingkat bahaya kebakaran pada blok bangunan beserta referensi solusi bagi instansi terkait dalam upaya pencegahan meluasnya kebakaran. 1.6. Telaah Pustaka 1.6.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah sebuah alat, teknik, dan metode untuk mengobservasi permukaan bumi melalui suatu ketinggian serta menginterpretasi citra atau nilai numerik yang telah diperoleh, dengan tujuan mendapatkan informasi penting pada suatu objek di permukaan bumi (Buiten dan Clevers, 1993 dalam Principles of Remote Sensing, 2004). Adapun menurut Lillesand et. al. (1990) mengatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Alat yang digunakan dalam proses penyadapan informasi tersebut berupa sensor yang terpasang pada suatu wahana yang berada di angkasa ataupun antariksa, yang dapat berupa balon udara, pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, dan lain-lain. Sensor tersebut berfungsi sebagai perekam data hasil perekaman permukaan bumi yang berupa pantulan atau pancaran energi elektromagnetik. Dalam buku Penginderaan Jauh Jilid 1, 1986, Sutanto mengemukakan bahwa penginderaan jauh terbentuk atas komponen dan interaksi yang terdiri dari: 1. Sumber Tenaga Sumber tenaga yang dimaksud dalam proses penginderaan jauh adalah gelombang elektromagnetik, yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Tenaga alami, yaitu tenaga yang berasal dari tenaga matahari, yang dapat berupa tenaga pantulan dan tenaga pancaran (emisi). Sistem penginderaan jauh yang menggunakan tenaga matahari sebagai sumber tenaganya sering disebut dengan sistem penginderaan jauh pasif. 7

b. Tenaga buatan, yaitu tenaga yang bersumber dari pemancar spektrum elektromagnetik bagian gelombang mikro yang terpasang pada wahana perekam penginderaan jauh. Gelombang mikro tersebut dapat berupa gelombang radio (RADAR), sinar laser (LIDAR), dan gelombang suara (SONAR). Sistem penginderaan jauh gelombang mikro adalah sistem penginderaan jauh dengan sistem aktif. 2. Atmosfer Fungsi utama atmosfer dalam sistem penginderaan jauh adalah sebagai media penyeleksi panjang gelombang elektromagnetik yang dapat mencapai permukaan bumi. 3. Interaksi antara Tenaga dengan Objek Tenaga yang diterima oleh objek akan dipantulkan atau dipancarkan kembali sehingga akan menghasilkan karakteristik tertentu, yang kemudian menjadi salah satu dasar dalam pengenalan objek pada citra. Objek yang banyak memantulkan atau memancarkan tenaga elektromagnetik akan terlihat lebih cerah pada citra daripada objek yang memantulkan atau memancarkan tenaga elektromagnetik lebih sedikit. 4. Sensor Sensor dalam sistem penginderaan jauh berperan sebagai penerima dan perekam tenaga elektromagnetik yang berasal dari pantulan/pancaran objek di permukaan bumi. Sensor memiliki kepekaan yang berbeda-beda dalam merekam tenaga elektromagnetik, sesuai dengan spektrum eletromagnetiknya. Secara umum sensor dibedakan menjadi dua, yaitu sensor fotografik dan sensor nonfotografik 5. Perolehan Data Proses perolehan data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode manual yang dilakukan secara visual dan metode digital dengan bantuan perangkat komputer. Pada umumnya metode manual diterapkan untuk perolehan data pada foto udara, sedangkan metode digital diterapkan pada perolehan data citra satelit. 8

6. Pengguna Data Pengguna data merupakan salah satu komponen terpenting dalam sistem penginderaan jauh. Data penginderaan jauh dianggap bagus apabila data tersebut dapat diterima dan digunakan dengan baik oleh pengguna data. 1.6.1.1. Penginderaan Jauh Non Fotografik Penginderaan jauh sistem non fotografik merupakan generasi tingkat lanjut dari sistem penginderaan jauh terdahulu, yaitu penginderaan jauh fotografik. Penginderaan jauh sistem non fotografik menggunakan scanner sebagai sensor, detektor berupa non film, cakupan daerah relatif lebih luas, serta proses perekaman bekerja secara elektronik dan serentak. Pada umumnya penginderaan jauh non fotografik menggunakan satelit sebagai wahana perekamannya, walaupun terkadang masih menggunakan wahana pesawat terbang untuk tujuan tertentu. Dilihat dari sensor yang digunakan, detektor penyiaman, proses dan mekanisme perekaman, serta spektrum elektromagnetiknya, citra foto memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan citra foto. Perbedaan-perbedaan tersebut terlampir dalam tabel 1.4 di bawah ini. Variabel Pembeda Tabel 1.4. Perbedaan Citra Non Foto dengan Citra Foto Citra Foto Jenis Citra Citra Non Foto Perekaman data Kamera Scanner / non kamera Detektor Proses perekaman Penyimpanan data Pita film, CCD (charge-coupled device), CMOS (complementary metal-oxide semiconductor) Fotografi/Kimiawi dan elektromagnetik Negatif film, kertas cetak, DVD, harddisk Pita magnetik, foto konduktif, termistor, foto voltaik Elektromagnetik Harddisk, DVD, cloud storage, FTP (file transfer protocol) Mekanisme perekaman Serentak Bertahap / parsial Spektrum Spektrum tampak dan Spektrum tampak dan elektromagnetik perluasannya perluasannya, termal, dan gelombang mikro Dirangkum dari berbagai sumber : Sutanto (1986), Lillesand, Kieffer, dan Chipman ( 2007), dan Digital Globe Inc. (2013) 9

Menurut fungsinya citra non foto / citra satelit dapat dibedakan menjadi empat, yaitu satelit sumber daya bumi (Landsat, SPOT, IKONOS, Quickbird, ASTER), satelit cuaca (NOAA, Nimbus, METEOSAT, MODIS), satelit kelautan (MOS, JERS), dan satelit militer. Satelit bergerak di angkasa sesuai dengan jalur lintasannya, atau sering disebut dengan orbit. Orbit satelit disesuaikan dengan fungsi dan tujuan satelit tersebut dalam menjalankan misinya. Dalam penginderaan jauh dikenal 2 tipe orbit yang umum digunakan, yaitu : 1. Geostasioner (Geo synchronous) Orbit geostasioner adalah kondisi dimana posisi satelit terhadap bumi adalah sama. Satelit dengan tipe orbit geostasioner bergerak searah serta memiliki kecepatan yang sama dengan rotasi bumi. Orbit geostasioner diaplikasikan pada satelit yang berinteraksi dengan bagian permukaan bumi yang sama selama misinya. Contoh satelit yang menggunakan orbit geostasioner adalah satelit komunikasi dan satelit cuaca. 2. Sinkron matahari (Sun synchronous) Orbit sun synchronous adalah orbit dimana posisi satelit sinkron kedudukannya terhadap matahari. Satelit berorbit sinkron matahari bergerak ke arah utara-selatan bumi sementara bumi berotasi ke arah timur-barat. Dengan gerakan tersebut memungkinkan satelit untuk merekam seluruh permukaan bumi, dan dapat kembali ke posisi awal dalam periode waktu tertentu. 1.6.1.2. Citra Satelit Quickbird Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini mengarah pada peningkatan resolusi spasial pada citra yang dihasilkan, sehingga dimungkinkannya mendapatkan informasi yang lebih detil dan akurat. Hal tersebut didukung dengan diluncurkannya satelit Quickbird pada tanggal 18 Oktober 2001 di Vandenberg Air Force Base, California. Satelit Quickbird diproduksi oleh DigitalGlobe, Inc. dan diluncurkan dengan pesawat Boeing Delta II untuk misi penginderaan jauh resolusi tinggi. Dengan ketinggian 450 meter dari permukaan bumi dan orbit sunsynchronous, satelit bergerak ke arah utara-selatan hingga mendekati kutub bumi, 10

satelit Quickbird mampu meliput sebagian besar permukaan bumi. Luas liputan citra Quickbird sebesar 16,5 km x 16,5 km untuk satu area, dan 16,5 km x 115 km untuk citra strip. Satelit Quickbird bergerak dengan kecepatan 7,1 km/jam dan melintasi permukaan bumi selama 93,6 menit untuk satu periode lintasan. Citra Quickbird memiliki resolusi temporal, yaitu kemampuan satelit untuk merekam liputan yang sama dalam waktu tertentu, selama 1 3,5 hari dan melintasi ekuator kurang lebih pada pukul 10.30. Dengan resolusi temporal yang tinggi tersebut citra Quickbird sangat cocok digunakan untuk perekaman objek dan fenomena perkotaan. Citra Quickbird memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi, yaitu sebesar 0,61 meter untuk saluran pankromatik dan 2,4 meter untuk saluran multispektral. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil yang dapat dikenali pada citra, atau dapat juga dikatakan sebagai kemampuan satelit untuk dapat merekam objek terkecil. Semakin tinggi resolusi spasial suatu citra, maka semakin kecil objek yang dapat terekam. Sensor pada satelit Quickbird memiliki kepekaan terhadap 5 spektrum elektromagnetik, yaitu spektrum pankromatik (panjang gelombang 0,45 0,53 µm), spektrum biru (panjang gelombang 0,45 0,52 µm), spektrum hijau (panjang gelombang 0,52 0,60 µm), spektrum merah (panjang gelombang 0,63 0,69 µm), dan spektrum inframerah dekat (panjang gelombang 0,76 0,90 µm ). Satelit Quickbird memiliki kemampuan 11 bit untuk tiap pikselnya, dengan kata lain dalam 1 piksel citra Quickbird mampu menampilkan 2048 skala keabuan (grayscale). Skala keabuan ini tergolong tinggi mengingat citra satelit generasi sebelumnya hanya menggunakan 8 bit atau 256 skala keabuan. Namun pada kenyataan di lapangan hanya 87,9% dari 2048 skala keabuan yang dapat digunakan disesuaikan dengan kemampuan perangkat lunak pengolah data. Data dan karakteristik citra Quickbird dapat dilihat pada tabel 1.5 di bawah ini. 11

Tabel 1.5. Karakteristik Citra Satelit Quickbird Tanggal peluncuran 18 Oktober 2001 Wahana Boeing Delta II Lokasi peluncuran Vandenberg Air Force Base, California Altitude 450-482 km Inklinasi 97,2º Kecepatan 7,1 km/jam Orbit Sun-synchronous, periode orbit 93,6 menit (alt. 450 km) 94,2 menit (alt. 482 km) Akurasi metrik 23 meter horisontal (CE 90%) Resolusi spasial (nadir) Pankromatik : 61 cm (altitude 450 km) - 65 cm (altitude 482 km) Multispektral : 2,44 m (altitude 450 km) 2,62 m (altitude 482 km) Resolusi spektral Pankromatik : 0,45 0,53 µm Biru : 0,430 0,545 µm Hijau : 0,466 0,620 µm Merah : 0,590 0,710 µm Inframerah dekat : 0,715 0,918 µm Masa akhir misi Awal tahun 2014 Sumber : DigitalGlobe, Inc, 2012 Citra Quickbird memiliki tiga level produksi: (1) Basic Imagery dengan sedikit pemrosesan (geometrically raw), antara lain koreksi distorsi radiometrik, geometrik, dan optikal, (2) Standard Imagery dengan koreksi optikal, radiometrik geometrik, serta disiapkan dengan sebuah proyeksi kartografis, dan (3) Orthorectified Imagery, dengan koreksi radiometrik, geometrik, dan topografi, serta mempunyai sebuah proyeksi kartografis. DigitalGlobe memberikan lima pilihan untuk produk citra Quickbird, antara lain : 1. Produk hitam putih (pankromatik) Produk dengan format hitam putih memiliki kesan rona objek yang tajam serupa dengan kesan pada mata manusia dan mudah dianalisis secara visual. 2. Produk multispektral Produk ini mencakup panjang gelombang cahaya tampak dan inframerah dekat, cocok untuk analisis multispektral. 12

3. Produk bundel (bundle) Produk ini terdiri dari produk pankromatik (hitam-putih) dan produk multispektral. 4. Produk warna (3 saluran warna natural atau inframerah berwarna) Produk ini terdiri dari kombinasi 3 saluran multispektral, yang dapat divisualisasikan berupa citra warna alami (kombinasi saluran biru, hijau, dan merah) dan citra inframerah berwarna (kombinasi saluran inframerah, saluran hijau, dan merah) 5. Produk pan-sharpened Produk pan-sharpened adalah produk hasil penggabungan saluran multispektral dengan saluran pankromatik. Tujuan dari produk pan-sharpened adalah mengkombinasikan keunggulan saluran multispektral yang memiliki resolusi spektral tinggi tetapi beresolusi spasial rendah dengan citra pankromatik yang beresolusi spasial tinggi tetapi resolusi spektralnya rendah, sehingga dihasilkan sebuah citra pankromatik berwarna yang tajam. 1.6.1.3. Unsur-Unsur Interpretasi Citra Citra satelit berisi informasi mengenai objek, fenomena, dan kenampakan di permukaan bumi yang harus melewati proses interpretasi untuk dapat disadap data dan informasi di dalamnya. Proses interpretasi merupakan salah satu tahapan terpenting dalam sistem penginderaan jauh, karena hasil dari proses interpretasi tersebut akan menentukan kualitas suatu data untuk dapat diolah lebih lanjut. Kunci utama dalam interpretsi citra terletak pada pengenalan objek yang bertumpu pada karakteristik tiap objek. Secara umum unsur-unsur interpretasi citra dibagi menjadi 8, yaitu : 1. Rona Rona adalah tingkat kecerahan / kegelapan pada suatu objek yang ditunjukkan dengan tingkatan dari hitam-putih atau sebaliknya. 2. Warna Warna adalah wujud yang terlihat oleh mata pada spektrum yang sempit. Perbedaan antara rona dan warna adalah, rona hanya menunjukkan perbedaan 13

tingkat kecerahan / kegelapan dalam hitam putih, sedangkan warna menunjukkan perbedaan tingkat yang lebih beragam (merah, hijau, biru, kuning, jingga, dan lain-lain). 3. Bentuk Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi suatu objek. Variabel bentuk sangat jelas terlihat pada citra untuk dapat mengenali suatu objek. Unsur bentuk dapat dibedakan menjadi 2, yaitu bentuk luar (shape) dan bentuk rinci (form) 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kieffer, 2004). Tekstur dihasilkan oleh kumpulan objek yang terlalu kecil untuk dilihat sehingga menghasilkan konfigurasi yang mengesankan tingkat kekasaran suatu objek. 5. Pola Pola adalah hubungan spasial antar objek yang menghasilkan karakteristik khas suatu objek secara individu ataupun berkelompok. Identifikasi suatu pola dibutuhkan pengenalan objek lebih lanjut. 6. Bayangan Bayangan banyak digunakan dalam interpretasi identifikasi ketinggian suatu objek. Bayangan juga dapat digunakan sebagai orientasi dalam membaca citra. 7. Situs Situs adalah lokasi objek terhadap objek lain di sekitarnya. Pengenalan situs sangat penting dalam keefektifan pengenalan objek pada citra. 8. Asosiasi Asosiasi merupakan keterkaitan antara objek satu dengan objek yang lain. Asosiasi dapat dijadikan petunjuk pengenalan objek dengan melihat eksistensi objek lain di sekitarnya. 14

1.6.2. Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis adalah sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data, yang mana data tersebut secara spasial (keruangan) terkait dengan muka bumi (Linden, 1987, dalam Suharyadi, 2006). Adapun Calkins dan Tomlinson (1977) mengatakan bahwa sistem informasi geografis merupakan paket perangkat lunak (software) terpadu yang didesain khusus untuk fungsi data geografis yang menampilkan kisaran komprehensif berbagai tugas penanganan data. Tugas-tugas tersebut meliputi masukan data, penyimpanan, pengambilan, dan keluaran data, serta berbagai proses deskriptif dan analisis. Menurut Aronoff (1989) sistem informasi geografis adalah sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis. Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan aspek yang penting untuk dianalisis. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat dideskripsikan bahwa sistem informasi geografis adalah suatu sistem yang terdiri dari proses penyimpanan, pengolahan, pemanipulasian, dan analisis data secara keruangan yang bekerja secara otomatis dengan bantuan perangkat lunak komputer. Sistem informasi geografis terdiri dari tiga tahapan yang saling berhubungan dalam prosesnya, yaitu masukan data, pengolahan data, dan keluaran data. Penjabaran lebih lanjut mengenai ketiganya dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Masukan data (input) Jenis masukan data dalam sistem informasi geografis dapat dibagi menjadi dua, yaitu data grafis dan data atribut. Data grafis dapat diperoleh melalui proses digitasi (manual dan on screen), koordinat geometri, penyiaman (raster to vektor process), live digitizing, dan hasil pengolahan citra penginderaan jauh. 2. Pengolahan data (proses) Tahap pengolahan data meliputi proses konversi data, manipulasi data, hingga analisis data sehingga didapat informasi tertentu. 15

3. Keluaran data (output) Proses keluaran data berfungsi untuk menayangkan informasi hasil analisis data geografis secara kualitatif dan kuantitatif. Penayangan informasiinformasi tersebut dapat ditayangkan dengan format data softcopy yang berupa peta elektronik maupun dalam bentuk hardcopy melalui proses pencetakan terlebih dahulu. 1.6.3. Kebakaran dan Pencegahannya pada Bangunan Gedung Kebakaran adalah suatu nyala api, baik kecil atau besar pada tempat yang tidak kita kehendaki, merugikan dan pada umumnya sukar dikendalikan. Proses nyala api terjadi karena adanya persenyawaan dari sumber panas (energi elektron listrik statis atau dinamis, sinar matahari, reaksi kimia dan perubahan kimia), benda mudah terbakar (bahan-bahan kimia, bahan bakar, kayu, plastik dan sebagainya), serta adanya oksigen sebagai bahan bakar api (Suprapto, 2008). Secara keseluruhan bencana kebakaran dimulai dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap, dan gas yang ditimbulkan. Kebakaran dapat dibedakan berdasarkan kondisi dan lokasi sumber api berada. Kebakaran pada bangunan umumnya berawal dari kebakaran dalam suatu ruangan, yang sering disebut sebagai kebakaran dalam ruangan tertutup (compartment fire). Sifat kimia dan fisika yang terjadi saat penyulutan, dilanjutkan dengan pembakaran (combustion) ditambah dengan tersedianya beban api (fire load) dengan jumlah yang cukup dan didukung dengan dimensi ruangan serta faktor ventilasi yang menunjang, maka intensitas kebakaran akan meningkat. Peningkatan intensitas kebakaran ditandai dengan kecepatan penjalaran dan panas yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat (Suprapto, 2008). Semakin meningkatnya kejadian kebakaran bangunan di perkotaan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, serta Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran 16

di Perkotaan. Kedua keputusan menteri tersebut memuat hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran, seperti perencanaan tata letak bangunan, sarana penyelamatan, sistem proteksi pasif dan aktif, kelaikan dan keandalan bangunan gedung, serta manajemen penanggulangan kebakaran. Penelitian ini menyinggung tentang perencanaan tata letak bangunan, sistem proteksi pasif dan aktif, serta kelaikan dan keandalan bangunan. Pemerintah juga memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran pada bangunan gedung dengan dikeluarkannya Undang-Undang tentang Bangunan Gedung Nomor 28 Tahun 2002. Pada undang-undang tersebut bangunan gedung didefinisikan sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Pada Bab IV undang-undang tersebut terdapat 2 (dua) hal utama pada persyaratan bangunan yakni persyaratan administrasi (perizinan, status lahan, kepemilikan bangunan) dan persyaratan teknis (persyaratan intensitas bangunan dan persyaratan kehandalan). Pada persyaratan kehandalan diatur mengenai persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan persyaratan aksesibilitas. Proteksi kebakaran termasuk dalam aspek keselamatan disamping gempa dan bahaya petir. Persyaratan kemampuan gedung dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran merupakan kemampuan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi aktif dan pasif. Sistem proteksi pasif meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, serta proteksi pada bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan penjalaran api dan asap kebakaran. Sistem proteksi aktif meliputi kemampuan dalam mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan kebakaran. Pemenuhan peraturan dan standar teknis proteksi kebakaran secara konsisten diperlukan dalam rangka keselamatan bangunan terhadap bahaya kebakaran yang setiap saat bisa terjadi. Banyak kejadian kebakaran yang berakibat fatal karena tidak memenuhi ketentuan proteksi kebakaran seperti minimnya jumlah 17

dan kerusakan fasilitas pencegah meluasnya dampak kebakaran di daerah perkotaan, salah satunya adalah hidran. Hidran adalah suatu sistem pemadam kebakaran dengan menggunakan air bertekanan tinggi. Karena keberadaannya sangat penting sebagai pencegah meluasnya dampak kebakaran, proses perancangan dan penempatan hidran telah melalui tahapan perencanaan yang matang sehingga keberadaannya dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Penempatan hidran diprioritaskan pada daerah-daerah yang memiliki kondisi yang bahaya akan kebakaran dan diletakkan pada lokasi yang mudah diakses oleh semua orang khususnya petugas pemadam kebakaran, seperti di pinggir jalan dan di selasela trotoar. Kelengkapan alat pemadam kebakaran seperti selang-selang dan pipapipa dapat membantu pemadaman api dan menghambat penjalaran api, disamping itu hidran tersebut harus memiliki suatu pompa untuk dapat menghasilkan air yang bertekanan tinggi (Egan, 1977 dalam Karina, 2005). 1.6.4. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai studi lahan terbangun perkotaan khususnya tentang identifikasi bahaya kebakaran dengan pendekatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Setiawan (2001) meneliti tentang pemetaan potensi rawan kebakaran permukiman dengan menggunakan foto udara dan sistem informasi geografis. Selain untuk memetakan potensi rawan kebakaran, penelitian ini juga bertujuan untuk mengukur kemampuan foto udara dalam menyadap variabel penilaian potensi rawan kebakaran permukiman. Analisis potensi rawan kebakaran permukiman diperoleh dengan memadukan variabel kondisi fisik permukman dengan ketersediaan fasilitas pemadam kebakaran. Variabel kondisi fisik permukiman didapat melalui penyadapan informasi pada foto udara pankromatik hitam putih tahun 1996 skala 1 : 13.000, meliputi kepadatan permukiman, ukuran rumah, lebar jalan masuk, tata letak, lokasi permukiman, dan jenis atap. Variabel fasilitas pemadam kebakaran didapat melalui dua cara yaitu melalui kegiatan kerja lapangan untuk variabel jarak lokasi kantor pemadam kebakaran dari permukiman dan ketersediaan alat pemadam portabel (APAR), dan data sekunder untuk data lokasi 18

hidran. Variabel lain didapat melalui kerja lapangan antara lain variabel instalasi listrik, ketersediaan penangkal petir, kualitas bahan bangunan, dan aktivitas internal. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa foto udara pankromatik hitam putih skala 1:13.000 dapat digunakan sebagai sumber data yang valid untuk penelitian potensi kerawanan kebakaran permukiman dengan akurasi 87,5%. Saptoriyadi (2003) dalam penelitiannya tentang pewilayahan tingkat kerawanan kebakaran permukiman kota dengan penggunaan foto udara, berlokasi di Kecamatan Jetis dan Tegalrejo Kota Yogyakarta, menyimpulkan bahwa wilayah permukiman yang sangat rawan kebakaran ditandai dengan kepadatan bangunan tinggi, bangunan rumah saling menempel, pola tidak teratur, lebar jalan sempit, lokasi permukiman jauh dari jalan utama, kualitas bahan bangunan buruk, dan tidak ada fasilitas pemadam kebakaran. Wilayah permukiman dengan ciri tersebut mencakup sebagian besar luasan pada daerah penelitian yaitu sebesar 187,94 Ha (68,42%), disusul wilayah dengan kategori rawan seluas 86,4 Ha (31,15%) dan kategori tidak rawan seluas 1,9 Ha (0,43%). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh variabel penilai rawan kebakaran permukiman kota berdasarkan interpretasi foto udara dan menentukan pewilayahan tingkat kerawanan kebakaran permukiman. Analisis tingkat kerawanan kebakaran permukiman didapat melalui pengharkatan berjenjang tertimbang antara variabel fisik permukiman dan variabel ketersediaan fasilitas pemadam kebakaran. Variabel fisik permukiman meliputi kepadatan bangunan mukim, pola bangunan, lebar jalan masuk, dan lokasi permukiman dari jalan utama diperoleh dari interpretasi foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : 5.000. Variabel yang diperoleh melalui kegiatan lapangan meliputi kualitas bahan bangunan, instalasi listrik, dan ketersediaan alat pemadam portabel. Variabel ketersediaan hidran diperoleh dari data sekunder. Martanti (2004) melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Teknik Penginderaan Jauh untuk Pemetan Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman (studi kasus di Kecamatan Jatinegara dan Pulogadung, Jakarta Timur). Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji kemampuan foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : 10.000 dalam menyadap variabel-variabel fisik lingkungan permukiman untuk penilaian kerawanan kebakaran. Variabel-variabel tersebut diperoleh dari 19

interpretasi foto udara, data sekunder, dan kerja lapangan. Variabel yang diperoleh dari interpretasi foto udara adalah kepadatan bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, dan lokasi permukiman dari jalan utama. Variabel ukuran rumah, tata letak bangunan, bahan bangunan, instalasi listrik, ketersediaan hidran, ketersediaan alat pemadam portabel dan informasi jarak permukiman dengan kantor pemadam kebakaran diperoleh dari data sekunder dan kerja lapangan. Variabel-variabel tersebut digolongkan dalam dua jenis variabel, yaitu variabel yang menjadi faktor pemicu terjadinya kebakaran dan variabel yang menjadi faktor terhadap penanggulangan meluasnya kebakaran. Tingkat kerawanan kebakaran diperoleh dari overlay antara variabel kerawanan kebakaran yang menjadi faktor pemicu kebakaran dan faktor penanggulangan kebakaran. Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : 10.000 dapat digunakan untuk pemetaan kerawanan kebakaran dengan tingkat ketelitian 85%. Selain itu didapati permukiman yang sangat rawan kebakaran dicirikan dengan kepadatan permukiman yang sangat tinggi (kepadatan >60%), ukuran rumah kecil, tata letak tidak teratur, lokasi permukiman jauh dari jalan utama, jalan masuk sempit, bahan bangunan non permanen, instalasi listrik tidak sesuai ketentuan, diperparah dengan ketersediaan pemadam api portabel <25% dari unit permukiman, hidran banyak rusak, lokasi jauh dari kantor pemadam kebakaran. Perbedaan utama antara penelitian ini dengan 3 (tiga) penelitian di atas terletak pada tema pemetaan, objek penelitian, dan alat yang digunakan. Sasaran pemetaan pada tiga penelitian di atas adalah tingkat kerawanan kebakaran, sedangkan sasaran pemetaan pada penelitian ini adalah tingkat bahaya kebakaran. Objek pada tiga penelitian di atas terbatas pada permukiman saja, sedangkan objek pada penelitian ini adalah bangunan gedung secara umum (bangunan mukim dan nonmukim). Alat yang digunakan pada tiga penelitian di atas berupa foto udara pankromatik hitam putih, sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Quickbird. Hati (2005) melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Citra Quickbird untuk Zonasi Daerah Rawan Kebakaran di Sebagian Wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian tersebut bertujuan mengkaji tingkat ketelitian citra 20

Quickbird dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel yang berpengaruh terhadap tingkat kerawanan kebakaran dan untuk menentukan tingkat kerawanan kebakaran di daerah penelitian. Selain dua hal yang telah disebutkan di atas, penelitian ini juga bertujuan untuk menyusun prioritas pembangunan hidran sebagai alternatif untuk mencegah meluasnya kebakaran. Bahan yang digunakan dalam ini adalah citra Quickbird, yang mampu memberikan informasi mengenai kepadatan bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, ukuran bangunan, jarak terhadap kantor pemadam kebakaran, dan jarak terhadap sungai. Variabel aktivitas internal, kualitas bahan bangunan, dan instalasi listrik diperoleh melalui kegiatan kerja lapangan. Informasi data ketersediaan dan lokasi hidran diperoleh melalui dua metode yaitu melalui kegiatan lapangan dan data sekunder. Proses pengambilan sampel data di lapangan menggunakan metode strarified random sampling, yang kemudian dianalisis melalui pemodelan spasial dengan pendekatan pengharkatan berjenjang tertimbang. Pemberian harkat dan faktor penimbang pada tiap variabel didasari oleh besarnya pengaruh variabel tersebut dalam tingkat kerawanan kebakaran. Semakin besar nilai harkat dan faktor penimbang maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap tingkat kerawanan kebakaran. Hasil dari penelitian ini adalah citra Quickbird dapat digunakan untuk menyadap informasi pada lahan terbangun perkotaan yang berkaitan dengan kerawanan kebakaran dengan tingkat ketelitian sebesar 91,8%. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian di atas terletak pada tema pemetaan dan daerah penelitian. Penelitian di atas bertujuan untuk memetakan tingkat kerawanan kebakaran, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk memetakan tingkat bahaya kebakaran. Penelitian di atas berlokasi di Kota Yogyakarta, sedangkan penelitian ini berlokasi di Kota Surakarta. Perbandingan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya selengkapnya disajikan dalam Tabel 1.6. 21

Tabel 1.6. Perbandingan penelitian antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya. Peneliti (tahun) Sony Setiawan (2001) Judul Penggunaan Foto Udara dan Sistem Inforamsi Geografis untuk Pemetaan Potensi Rawan Kebakaran Permukiman di Sebagian Kota Yogyakarta Tujuan Pemetaan potensi kerawanan kebakaran dengan FU dan SIG Lokasi Sebagian kota penelitian Yogyakarta T. Saptoriyadi (2003) Penggunaan Foto Udara untuk Pewilayahan Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman Kota Pewilayahan tingkat kerawanan kebakaran Kec. Tegalrejo dan Jetis, Kota Yogyakarta Metode Integrasi PJ dan SIG Interpretasi FU dan SIG Bahan Foto udara pankromatik hitam putih skala 1:13.000 tahun 1996 Variabel - Kepadatan rumah - Ukuran rumah - Tata letak - Lebar jalan masuk - Lokasi dari jalan - Jenis atap - Ketersediaan hidran - Lokasi kantor pemadam kebakaran - Alat portabel - Aktivitas internal - Listrik - Penangkal petir Foto udara pankromatik hitam putih skala 1:5.000 - Kepadatan bangunan - Pola bangunan - Lebar jalan masuk - Lokasi dari jalan - Kualitas bahan bangunan - Ketersediaan hidran - Lokasi kantor pemadam kebakaran - Alat portabel - Listrik H. Sri Martanti (2004) Pemanfaatan Teknik Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Kerawanan Kebakaran Permukiman (Kasus di Kec. Jatinegara dan Pulogadung, Jakarta Timur) Pemetaan tingkat kerawanan kebakaran permukiman Kec. Jatinegara dan pulogadung, jakarta timur Integrasi PJ dan SIG serta analisis data sekunder Foto udara pankromatik hitam putih skala 1:10.000 - Kepadatan bangunan - Ukuran bangunan - Tata letak bangunan - Lebar jalan masuk - Lokasi dari jalan - Kualitas bahan bangunan - Ketersediaan hidran - Lokasi kantor pemadam kebakaran - Alat portabel - Aktivitas internal - Listrik K. Bunga Hati (2005) Pemanfaatan Citra Quickbird untuk Zonasi Daerah Rawan Kebakaran di Sebagian Wilayah Kota Yogyakarta Pemetaan tingkat kerawanan kebakaran dan prioritas hidran Kec. Gondokusuman, Gondomanan, dan Pakualaman. Kota Yogyakarta Interpretasi citra satelit dan SIG Citra Quickbird tahun 2003 - Kepadatan bangunan - Ukuran bangunan - Tata letak bangunan - Lebar jalan masuk - Jarak terhadap sungai - Kualitas bahan bangunan - Ketersediaan hidran - Lokasi kantor pemadam kebakaran - Aktivitas internal - Listrik Yuniar Adiarto (penelitian saat ini) Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Tingkat Bahaya Kebakaran di Sebagian Kota Surakarta - Pemetaan tingkat bahaya kebakaran Sebagian Surakarta kota Integrasi PJ sistem satelit dan SIG Citra Quickbird perekaman tahun 2006 - Kepadatan bangunan - Ukuran bangunan - Tata letak bangunan - Lebar jalan masuk - Kualitas bahan bangunan - Ketersediaan hidran - Jarak terhadap kantor pemadam kebakaran Hasil Peta Potensi Rawan Kebakaran Permukiman Sebagian Kota Yogyakarta Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman di Sebagian Kota Yogyakarta Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman di kec. Jatinegara, Jakarta Timur Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Sebagian Kota Yogyakarta Dan Peta Prioritas Hidran - Peta Tingkat Bahaya Kebakaran di Sebagian Kota Surakarta 22

1.6.5. Kerangka Pemikiran Meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan berbanding lurus dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan melonjaknya jumlah permintaan lahan terbangun serta fasilitas penunjang dan pelayanan kehidupan. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya banyak permukiman padat dan bangunan lain dimana jarak antar bangunan sangat berdekatan bahkan berhimpitan dengan pola yang tidak teratur. Meningkatnya kepadatan bangunan tersebut terkadang tidak diiringi dengan dipenuhinya persyaratan teknis bangunan dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Salah satu bahaya lingkungan yang timbul dari wilayah tersebut adalah bahaya kebakaran yang dapat mengancam kehidupan manusia di sekitarnya. Langkah pemantauan, pencegahan dan penanggulangan terjadinya bahaya kebakaran di perkotaan membutuhkan suatu pedoman dalam memberikan informasi mengenai tingkat bahaya kebakaran. Hal ini dimaksudkan agar upaya tersebut dapat berjalan efektif. Informasi tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk peta tingkat bahaya kebakaran. Tahap awal dalam langkah pemantauan, pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran adalah dengan mengumpulkan data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya akan bahaya kebakaran pada lahan terbangun perkotaan. Dalam menunjang proses tersebut dibutuhkan suatu alat dan metode yang dapat memberikan data fisik lahan terbangun dengan akurat, waktu yang singkat, dan efisien. Penggunaan data penginderaan jauh diharapkan dapat menjembatani permasalahan tersebut. Citra satelit Quickbird memiliki resolusi spasial dan temporal yang sangat baik sehingga cocok untuk studi perkotaan dalam memberikan penilaian faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya kebakaran di perkotaan. Tingkat bahaya kebakaran diformulasikan sebagai sejauh mana dampak penjalaran api terhadap kerusakan yang ditimbulkan apabila terjadi bencana kebakaran. Untuk menentukan tingkat bahaya kebakaran pada suatu wilayah dibutuhkan informasi atau data mengenai kondisi fisik lingkungan. Informasi atau data tersebut disadap sebagai variabel-variabel yang berpengaruh terhadap potensi dan meluasnya kebakaran, antara lain kepadatan bangunan, tata letak bangunan, 23

ukuran bangunan, lebar jalan masuk, jarak dari kantor pemadam kebakaran, kualitas bahan bangunan, dan ketersediaan hidran. Tujuh variabel tersebut diperoleh dari tiga sumber data, yaitu citra Quickbird, data hasil kerja lapangan, dan data sekunder. Variabel yang diperoleh melalui penyadapan informasi citra Quickbird antara lain kepadatan bangunan, tata letak bangunan, ukuran bangunan, lebar jalan masuk, kualitas bahan bangunan, dan jarak terhadap kantor pemadam kebakaran. Variabel yang diperoleh melalui data sekunder dan kegiatan kerja lapangan adalah variabel ketersediaan hidran. Kegiatan kerja lapangan selain bertujuan untuk memperoleh data yang tidak bisa disadap melalui citra Quickbird, juga untuk mengecek ketelitian hasil interpretasi citra dengan kondisi nyata di lapangan (cek lapangan). Cek lapangan dilakukan untuk mengetahui ketelitian hasil interpretasi citra, yang mana hasilnya berpengaruh terhadap kevalidan data tersebut sebagai sumber data. Proses kerja lapangan tidak dilakukan pada seluruh satuan pemetaan, tapi hanya pada daerah yang telah dijadikan sampel dengan metode stratified random sampling. Data sekunder dibutuhkan untuk mengetahui data sebaran dan ketersediaan hidran. Proses pengolahan dan penyajian data untuk mengetahui tingkat bahaya kebakaran dikerjakan dengan sistem informasi geografis secara dijital. Hal ini dilakukan karena proses pengerjaannya yang relatif cepat dan mudah dibanding sistem manual, tampilan yang menarik, dan proses updating dan editing data dapat dilakukan dengan mudah. 24

Pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan Peningkatan kebutuhan tahan terbangun (bangunan mukim dan non mukim) Penginderaan jauh citra satelit Quickbird dan survei lapangan Variabel fisik bangunan Utilitas dan yang berpengaruh terhadap pelayanan pemadam bahaya kebakaran kebakaran Pemadatan daerah terbangun (densifikasi) Pemodelan spasial menggunakan SIG Penurunan kualitas lingkungan dalam bentuk bahaya kebakaran bangunan Tingkat bahaya kebakaran sebagian Kota Surakarta Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran 25