Adanya indikasi penurunan kayu bulat tersebut ternyata telah disadari oleh para produsen kayu yang menggunakan kayu bulat sebagai bahan bakunya. Untuk mencari barang substitusi dari kayu bulat tersebut, salah satunya adalah mencari papan tiruan yang disebut dengan Medium Density Fiberboard (MDF). Prospek industri MDF diperkirakan cukup cerah karena persediaan bahan baku bagi industri MDF dapat berupa limbah-limbah industri kayu lapis dan dari Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berukuran diameter kecil. Pertumbuhan pasar MDF dunia telah meningkat dengan rata-rata 15% per tahun sejak tahun 1970 hingga tahun 1993, sedangkan konsumsi MDF sampai dengan tahun 1993 telah mencapai 7,7 juta m3 dan diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2000 pephutbun, 1999). Sampai dengan tahun 1995 industri MDF di Indonesia yang telah berdiri sebanyak 4 unit dengan kapasitas 830.000 m3 sedangkan yang akan dibangun sampai dengan tahun 1999 sebanyak 5 unit. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Industri MDF di Indonesia sampai dengan Tahun 1995 Nama Perusahaan Lokasi A. Telah berdiri Hutrindo Jaya Fiberboard Masari Dwi Sepakat Prima Mas Sumalindo Lestari Jaya JUML,AH (A) B. Akan Berdiri Canang Indah Megarimba Karyatama Nityasa Mandiri Arjuna Perdana Mahkota Prabu Alaska JUMLAH (B) Sumber : Departemen Kehutanan (1996) Sumatera Selatan Jawa Barat Jambi Kalimantan Timur Sumatera Utara Sumatera Selatan Kalimantan Timur Riau Irian Jaya Kapasitas Terpasang (Iv13/tahun) 100.000 70.000 360.000 300.000 830.000 100.000 130.000 200.000 200.000 60.000 690.000
Menurut International Tropical Timber Organization (ITTO) (1994), pada masa yang akan datang (tahun 2000-an) masyarakat dunia lebih menyukai kayu olahan yang berasal dari sustainable forest management atau hasil hutan yang dikelola secara berkesinambungan, sehingga dapat menjamin kelestarian hutan tropis. Sehubungan dengan kecenderungan tersebut serta MDF dihasilkan dari limbah kayu dan dari HTI maka peluang MDF untuk diterima pasar intemasional akan semakin cerah terutama apabila memperoleh sertifikat seperti International Standardization Organization (ISO) seri 14000 maupun Ecolabeling. MDF yang berasal dari negara Eropa, Amerika, dan Australia menggunakan bahan baku dari Pinus sp yang berwama putih dan berserat panjang, sedangkan MDF yang diproduksi oleh Indonesia berasal dari bahan baku Gmelina arborea dan Acacia mangium yang bema lebih gelap (coklat kehitam-hitaman) dan berserat pendek. Dari segi bahan baku tersebut diduga akan mempengaruhi penampilan dari h4df tersebut. MDF dapat berfungsi sebagai bahan yang langsung digunakan dan dapat juga berfungsi sebagai bahan baku industri. MDF yang diekspor digunakan menjadi bahan haku industri dan selanjutnya diadakan proses lanjutan, sehingga kegiatan memperoleh nilai tambah (value added) berada di negara importir. Sampai dengan awal tahun 1999, ternyata produsen MDF yang telah mendapatkan ijin belum semuanya aktif berproduksi, tetapi baru lima perusahaan saja. Dua diantara kelima perusahaan tersebut sudah beroperasi dengan kapasitas penuh 200.000 m3 yang tergabung dalam satu grup, yaitu PT. Sumalindo Lestari Jaya dan PT. Nityasa Mandiri di Kalimantan Timur. Tiga perusahaan lainnya adalah PT. Canang Indah di Medan, Sumatera Utara, dengan kapasitas produksi
86.000 m3, PT. Hutrindo Jaya dengan kapasitas produksi 100.000 m3 tetapi berproduksi 3.493,94 m3 dan PT. Sarana Karang Indah dengan kapasitas produksi 105.000 m3. Dua produsen MDF terakhir berlokasi di Palembang, Sumatera Selatan pephutbun, 1999). Melihat selisih antara kapasitas produksi terpasang dengan produksi aktual, maka keberadaan Industri MDF di Indonesia helm optimal. Sekalipun demikian, indikasi tumbuhnya industri MDF di Indonesia telah dimulai tahun 1995 dengan pasar sasaran awal adalah pasar ekspor. Disisi lain, harga untuk pasar ekspor produk MDF lebih murah dibandingkan dengan harga domestik. Menurut ITTO (1999), harga FOB (Free On Board) MDF dengan ketebalan 12-18 mm untuk pasar domestik mencapai US$ 160-170/m3, sedangkan untuk pemasaran ekspor dengan ketebalan yang sama FOB hanya dihargai US$ 120-130/m3. Hal ini disebabkan harga ekspor tersebut belum termasuk ongkos angkut (cost offieight) dan pajak ekspor. Dengan demikian, harga MDF domestik masih lebih kompetitif dibandingkan dengan harga ekspor. Selain itu, menurut Mardanus (1997) ekspor MDF Indonesia juga merupakan kegiatan reekspor karena bahan baku MDF masih ada yang diimpor. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya selisih antara harga MDF yang lebih baik di pasar domestik dibandingkan dengan di pasar ekspor belum sepenuhnya dimanfaatkan PT. Sumalindo Lestari Jaya. Menurut Laporan Tahunan PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk (1998) pada tahun 1997 perusahaan masih menjual MDF dengan harga FOB sebesar US$ 190/m3, sedangkan pada tahun 1998 perusahaan hanya dapat menjual MDF dengan harga FOB sebesar US$ 125/m3. Pada tahun 1998, perusahaan mengekspor MDF lebih dari 70% dari
volume produksi, yaitu ke negara Timur Tengah (29%), Mesir (23%), Eropa (16%) dan Amerika Serikat (5%) serta negara lainnya (4%). Dengan demikian penetrasi pasar domestik diduga belum optimal, sedangkan harga di pasar domestik lebih baik. Dari uraian tersebut di atas, maka bisnis MDF masih dalam fase permulaan (introduction) yang baru benunur dua tahun, clan diduga adanya pergeseran tujuan penjualan (target market) dari sasaran ekspor ke pasar sasaran domestik. Penman produksi kayu bulat yang drastis tajam menyebabkan berpindahnya selera konsumen ke barang substitusi, salah satunya adalah MDF. Permintaan pasar domestik yang meningkat serta harga yang lebih tinggi, disisi lain konsumen pasar domestik belum terbiasa menggunakan MDF, menyiratkan diperlukannya suatu penelitian tentang strategi pemasaran MDF. Oleh karena itu penelitian dilakukan untuk menjawab permasalahan diatas. B. Identifikasi Masalah Rendahnya persentase volume penjualan MDF PT. Sumalindo Lestari Jaya di pasar domestik diduga karena konsumen domestik masih terbiasa menggunakan kayu bulat dari hutan alam. Di sisi lain, masih terdapatnya MDF impor menunjukkan permintaan di pasar domestik masih potensial. Selain kedua faktor di atas, harga MDF di pasar domestik temyata lebih baik daripada pasar ekspor. Dengan demikian, peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar akan diperoleh apabila konsumen potensial dapat dipenuhi di pasar domestik. Keuntungan lain yang diperoleh secara nasional adalah adanya kegiatan memperoleh nilai tambah pada industri dalam negeri.
Dalam mengantisipasi permintaan akan produk-produk kayu yang terus meningkat tetapi tidak lagi didukung oleh produksi kayu bulat dari hutan alam, maka kehadiran MDF mutlak dan sangat penting posisinya sebagai barang substitusi. Namun demikian, kehadiran MDF tidak mudah diterima oleh konsumen, khususnya konsumen domestik, sehingga dibutuhkan strategi pemasaran agar dapat diterima dan bersaing dengan produk MDF impor. Mengingat masih adanya kegiatan mengimpor MDF, sedangkan harga MDF di pasar domestik lebih baik dibandingkan harga ekspor, maka dua ha1 ini mengindikasikan adanya permasalahan strategi pemasaran yang belum optimal diterapkan. C. Perumusan Masalah Penman produksi kayu bulat yang cukup tajam yang disebabkan oleh makin menipisnya cadangan sumberdaya kayu hutan, mengakibatkan banyak industri pengolahan kayu di Indonesia kekurangan bahan baku. Kekurangan bahan baku tersebut telah memicu untuk berpindah ke barang substitusi berupa MDF. Namun, masyarakat Indonesia belum terbiasa menggunakan papan tiruan tersebut, karena selama ini masih terbiasa menggunakan kayu bulat yang herasal dari hutan alam untuk keperluan konstruksi (exterior), maupun untuk keperluan interior. Menurut Maloney (1993), penggunaan MDF bukan hanya sekedar sebagai bahan baku interior furniture tetapi lebih daripada itu, misalnya untuk konstruksi seperti floor underlayment, mobile home decking, door and window fiame, dan lain sebagainya. Pengetahuan konsumen yang terbatas tentang suatu material akan menyebabkan hang diterimanya suatu material tersebut di pasar. Disisi lain,
produser MDF Indonesia kebanyakan langsung mengekspor produknya, sehingga yang menikmati nilai tambah lebih besar adalah pengusaha luar negeri. Apabila produk tersebut terlebih dahulu diolah menjadi produk jadi, maka nilai tambah akan lebih besar dinikmati pengusaha Indonesia. Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan perumusan masalah di atas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana persepsi konsumen terhadap MDF dan seberapa dalam penetrasi pasar domestik MDF. 2. Bagaimana Struktu~ Industri MDF dalam negeri. 3. Bagaimana strategi pemasaran MDF yang ham dikembangkan agar berlangsu& efektif dan efisien. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan menganalisa hal-ha1 dibawah ini : 1. Mengetahui persepsi konsumen terhadap produk MDF khususnya di pasar domestik. 2. Menganalisa intensitas persaingan di industri MDF. 3. Mengetahui posisi perusahaan clan mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan utama perusahaan. 4. Merumuskan alternatif strategi pemasaran MDF khususnya di pasar domestik.
E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi perusahaan untuk mengevaluasi serta melakukan penentuan strategi pemasaran dalam bentuk informasi, serta sebagai sarana promosi produk MDF melalui kalangan akademisi. F. Ruang Lingkup Ruang lingkup Penelitian ini difokuskan pada cakupan : 1. Permasalahan aspek pemasaran MIX, yang ditujukan khususnya untuk pasar domestik. 2. Penelitian ini terbatas pada tahap sintesa dan altematif solusi masalah pemasaran MDF, selanjutnya hasil penelitian diserahkan kepada manajemen PT. Surnalindo Lestari Jaya.