BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Subsatuan Punggungan Homoklin

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

GEOLOGI DAERAH SADENG LEUWISADENG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Batulempung (Gambar 3.20), abu abu kehijauan, lapuk, karbonan, setempat terdapat sisipan karbon yang berwarna hitam, tebal ± 5 30 cm.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III Perolehan dan Analisis Data

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

// - Nikol X - Nikol 1mm

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Ciri Litologi

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas.

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

batupasir batulempung Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten.

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Raden Ario Wicaksono/

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Batupasir. Batugamping. Batupasir. Batugamping. Batupasir

Gambar Singkapan batulempung I (gambar kiri) dengan sisipan batupasir yang tersingkap pada dinding Sungai Cipaku (gambar kanan).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Transkripsi:

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi 3.1.1. Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung dan metode langsung. Pengamatan dengan metode tidak langsung dilakukan dengan mengamati pola kerapatan kontur pada peta topografi, serta kenampakan warna, rona, dan tekstur pada citra radar Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM). Sedangkan pengamatan dengan metode langsung dilakukan dengan mengamati morfologi daerah penelitian secara langsung di lapangan. Peta Elevasi Daerah Sadeng-Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat U 0 2 km Keterangan Elevasi (meter) 325 > 300-325 275-300 250-275 225-250 200-225 175-200 150 13.5 135-50 Gambar 3.1. Peta Elevasi Daerah Sadeng-Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Peta ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah penelitian berupa dataran rendah. Perbukitan cenderung terletak di sebelah utara daerah penelitian. Secara umum, daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif renggang-sangat rapat dan terletak pada ketinggian topografi antara 85 mdpl 396 mdpl (Gambar 3.1). Bentuk morfologi di daerah penelitian sangat dikontrol oleh jenis litologi dan struktur geologi 14

dengan kemiringan lereng sangat landai hingga sangat terjal. Morfologi di daerah penelitian umumnya berupa rangkaian perbukitan, punggungan, gawir, dataran, dan lembah yang sebagian besar tertutupi oleh vegetasi hutan tropis, persawahan, perkebunan, dan pemukiman. 3.1.2. Pola Aliran Sungai Pola aliran sungai merupakan ekspresi dari karakter litologi serta control struktur geologi yang berkembang di suatu daerah tertentu. Pola aliran sungai yang berkembang di daerah penelitian berdasarkan pengamatan pada peta topografi Bakosutranal skala 1:25.000 dan pengamatan lapangan adalah pola aliran subparalel (Gambar 3.2) (Howard, 1967 dalam van Zuidam, 1985). Pola Aliran Subparalel Gambar 3.2. Peta pola aliran sungai di daerah penelitian. Pola aliran ini menempati seluruh daerah. Pola aliran subparalel yang terbentuk ditafsirkan berkaitan erat dengan topografi yang memiliki kemiringan yang seragam dan dicirikan oleh posisi hulu sungai yang hampir sama. Pada Pola aliran sungai Subparalel ini, sungai sungai kecil yang ada mengalir mengikuti kemiringan lereng perbukitan ke 15

arah lembah yang terdapat memanjang barat timur di tengah daerah penelitan yang selanjutnya bermuara pada sungai Cikaniki yang merupakan sungai besar dan utama di daerah penelitian yang mengalir ke arah timur. Bentuk topografi seperti ini diinterpretasikan merupakan sayap dari sebuah lipatan dengan jenis litologi dan tingkat resistensi terhadap erosi permukaan yang seragam atau hampir seragam sehingga menghasilkan pola aliran subparalel. Adapun kontrol utama yang membentuk pola aliran Subparalel ini adalah pengaruh dari kemiringan lereng bukit dan keseragaman litologinya. Tipe genetik sungai yang terdapat pada pola aliran Subparalel ini adalah tipe Konsekuen di sebelah selatan daerah penelitian dan tipe Obsekuen pada bagian utaranya. 3.1.3. Satuan Geomorfologi Pembagian satuan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan mengamati pola kerapatan kontur pada peta topografi, serta warna, rona, dan tekstur pada citra radar Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM), dan berdasarkan pengamatan lapangan. Berdasarkan hal tersebut diatas dan mengacu kepada klasifikasi van Zuidam (1985) yang mendiskripsikan suatu bentuk bentang alam berdasarkan morfografi, morfometri, dan material penyusun, maka geomorfologi di daerah penelitian dapat dikelompokan menjadi dua satuan geomorfologi yaitu : 1. Satuan Perbukitan Homoklin 2. Satuan Lembah Antiklin 3.1.3.1. Satuan Perbukitan Homoklin Perbukitan ini dikelompokan kedalam satuan morfologi perbukitan homoklin karena pada daerah tersebut dijumpai kemiringan lapisan yang berarah sama yaitu ke utara. Penyebaran satuan morfologi perbukitan Homoklin ini meliputi ± 40 % dari luas daerah penelitian dan ditandai dengan warna hijau pada peta geomorfologi (lampiran D), sebagian besar menempati daerah tengah daerah penelitian, memanjang dari Legokranji (450 m) di sebelah barat sampai sekitar daerah Kawungluwukpangangkang (420 m) disebelah timurnya. 16

Morfologi dicirikan oleh daerah yang terjal membentuk perbukitan. Ekspresi morfologi menunjukkan satuan ini memiliki relief yang rapat dan menunjukkan bahwa satuan ini memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap erosi dan denudasi. Kondisi lapangan yang nampak pada satuan morfologi ini berupa perbukitan memanjang barattimur dengan besar sudut lereng mengah (20 o 45 o ) yang melandai ke arah selatan (Foto 1). Litologi satuan morfologi ini terdiri dari batupasir tufaan, lempung tufaan, dan perselingan antara kedua serta konglomerat tufaan. Foto 1. Kenampakan morfologi perbukitan homoklin, di foto dari bukit Kampung Paburan Satu ke arah Utara. 3.1.3.2. Satuan Lembah Antiklin Satuan lembah antiklin meliputi ± 60 % dari luas daerah penelitian dan ditandai dengan warna kuning pada peta geomorfologi (Lampiran D). Satuan ini terletak pada bagian tengah peta memanjang barat- timur, dikelilingi oleh perbukitan yang berada di bagian utara. Satuan ini berada pada ketinggian 91-278 meter diatas permukaan laut dan meliputi daerah Desa Kalong 2, Sadeng, dan Leuwiliang. 17

Morfologi yang terdapat pada satuan ini dicirikan oleh daerah yang landai hingga sedang membentuk lembah (Foto 2). Ekspresi morfologi yang halus dan datar menunjukkan bahwa satuan ini memiliki tingkat resistensi yang rendah terhadap erosi dan denudasi. Litologi penyusun satuan ini adalah batulempung sisipan batupasir dengan kemiringan lapisan berkisar antara 25-48 o dan pola umum berarah utara dan selatan membentuk suatu antiklin. Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini adalah pola aliran Subparalel. Foto 2. Kenampakan morfologi lembah antiklin, di foto dari bukit Kampung Kawungluwuk Kaler ke arah selatan. 3.2. Stratigrafi Secara regional, pada Peta Geologi Lembar Bogor (Effendi, 1998) daerah penelitian terdiri dari empat satuan yaitu, Formasi Bojongmanik (Tmb), Anggota Batugamping Formasi Bojongmanik (Tmbl), Tuf dan Breksi (Tmtb), dan Aluvial. Berdasarkan jenis batuan, keseragaman, dan ciri-ciri fisik batuan yang dapat diamati di lapangan. Satuan batuan di daerah penelitian dibagi menjadi empat satuan batuan tidak resmi. Stratigrafi daerah penelitian diurutkan dari tua ke muda adalah sebagai berikut (Tabel 3.1) dan kolom kesebandingan stratigrafi daerah penelitian (Tabel 3.2). 18

Tabel 3.1. Kolom stratigrafi kesebandingan daerah penelitian dengan Lajur Bogor. 19

Tabel 3.2. Kolom stratigrafi daerah penelitian 20

3.2.1. Satuan Batulempung 3.2.1.1. Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini meliputi 40% dari luas daerah penelitian dan tersingkap di bagian tengah daerah penelitian dengan penyebaran dari barat ke arah timur. Kondisi singkapan yang dijumpai umumnya tidak begitu baik karena sebagian besar telah lapuk atau tertutup vegetasi, longsoran ataupun air sungai, hanya beberapa tempat saja keadaan singkapan dapat diamati dengan baik dan jelas. Penyebaran satuan ini dapat diamati dengan baik di hilir Sungai Cinanggung dan Sungai Cisalak. Oleh karena tidak ditemukannya batas bawah dari satuan ini, penulis tidak dapat menentukan dengan pasti ketebalan formasi ini, tetapi dari pengukuran penampang terukur yang dilakukan bahwa ketebalan sebenarnya dari Satuan Batulempung ini adalah lebih dari 500,25 meter. 3.2.1.2. Ciri Litologi Satuan ini terdiri dari litologi berupa batulempung, perselingan batupasir batulempung dan lensa batugamping. Batulempung dengan ciri litologi warna abu-abu, pasiran, kompak getas, karbonatan, mengandung fragmen batugamping dan kekar-kekar yang terisi kalsit, dan setempat mengandung sisa-sisa pecahan cangkang moluska (Foto 3). Litologi ini umumnya hadir dalam bentuk masif, namun setempat hadir dengan struktur sedimen perlapisan sejajar dengan lapisan yang tebal. Pengamatan petrografi pada litologi ini menunjukkan bahwa litologi ini adalah batulempung pasiran (Lampiran A, ER-405), tekstur klastik, terpilah sedang baik, kemas terbuka, butiran (20%) terdiri dari butiran kuarsa (15%), fragmen batuan (3%), dan kalsit (2%), berukuran 0,05 mm 1 mm, berbentuk menyudut tanggung membulat tanggung, tertanam dalam matriks (80%) terdiri dari tuf (65%) dan gelas vulkanik (15%) yang hadir mengikat butiran. Perselingan batulempung-batupasir menebal dan mengasar ke atas, pada batupasir terdapat struktur sedimen laminasi sejajar (Foto 4) dan coarsening upward sequence. Batulempung berwarna abu-abu gelap, getas, terdapat flaser batupasir. Batupasir berwarna abu-abu terang, ukuran butir pasir sangat halus-kasar, bentuk butir membulat tanggung, terpilah baik-sedang, kemas tertutup, mineral terdiri dari plagioklas, glaukonit dan kuarsa. Perselingan batulempung-batugamping terdapat banyak acakan binatang (bioturbasi). Batulempung berwarna abu-abu gelap, getas dan terdapat banyak cangkang moluska 21

Batugamping ini merupakan lensa-lensa di dalam satuan batulempung. Pada perselingan batulempung-batugamping terisi kalsit pada retakan-retakannya, berstruktur sedimen laminasi sejajar dan pecah-pecah. Foto 3. Singkapan batulempung dengan fragmen batugamping dan kekar-kekar terisi kalsit di lokasi Sungai Cinanggung (ER-405). Batugamping (Foto 5) ini merupakan lensa di dalam Satuan Batulempung. Batugamping terdiri dari batugamping Boundstone (Framestone, Bindstone, dan Bafflestone) (Klasifikasi Dunham, 1962 dan Embry and Klovan, 1971). Batugamping Framestone terlihat jelas secara megaskopis dengan adanya massive head coral, encrusting bryozoa, formaninifera dan alga. Batuan ini berwarna putih kotor hingga abuabu terang, sangat masif, padat dan terdapat di sebelah barat perbukitan Jambu. Batugamping Bindstone terlihat jelas secara megaskopis dengan adanya coral pada kondisi tumbuh, dengan pengisian lumpur karbonat, encrusting bryozoa, formaninifera dan alga pada jarak antar koral. Batuan ini berwarna putih kotor hingga abu-abu terang, sangat masif, padat dan terdapat di sebelah barat perbukitan Jambu. Batugamping Bafflestone terlihat jelas secara megaskopis dengan adanya branching coral pada kondisi tumbuh, dengan pengisian lumpur karbonat, encrusting bryozoa, formaninifera dan alga pada jarak antar koral. Batuan ini berwarna putih kotor hingga abu-abu terang, sangat masif, padat dan terdapat di sebelah barat perbukitan Jambu. 22

Foto 4. Singkapan batupasir yang kaya akan koral dan sisa pecahan cangkang moluska di lokasi Sungai Cisalak (ER-509). Foto 5. Singkapan batugamping terumbu (ER-606 (a), ER-508 (b), dan ER- 608 (c)) 23

3.2.1.3. Mekanisme dan Lingkungan Pengendapan Untuk menganalisa lingkungan pengendapan di daerah penelitian, dilakukan beberapa metode pendekatan, antara lain: a. Analisa mikropaleontologi terhadap foraminifera kecil bentos. b. Memperhatikan asosiasi mineral khas penunjuk suatu lingkungan pengendapan tertentu. c. Pengamatan terhadap struktur sedimen yang dijumpai serta memperhatikan ciri litologinya. d. Membandingkan suatu profil yang terdapat pada daerah penelitian dengan suatu model lingkungan pengendapan yang sudah ada. Dari segi litologi dan struktur sedimen, bagian bawah Satuan Batulempung di daerah penelitian, pada umumnya dijumpai singkapan lempung, serta banyak terdapatnya struktur sedimen yang berupa acakan binatang (bioturbasi) pada bagian tengah dengan urutan litologi yang umumnya memperlihatkan pengasaran ke atas. Keadaan tersebut menunjukkan lingkungan pengendapan dekat pantai hingga neritik. Mineral khas yang dijumpai pada umumnya adalah glaukonit sedangkan pirit dalam jumlah yang lebih sedikit. Adanya mineral glaukonit ini dianggap sebagai indikasi langsung akan dekatnya pantai dalam lingkungan marin. Sedangkan mineral pirit secara teoritis terbentuk pada lingkungan dengan ph basa. Selain itu terdapat singkapan batugamping boundstone di bagian tengah dari formasi ini, yang berlapis dengan sisipan lempung dan disertai adanya struktur sedimen bioturbasi pada bagian bawahnya. Batugamping ini cukup tebal (± 60 meter), sehingga kemungkinan gamping ini tumbuh membentuk suatu barrier ataupun off shore bar. Analisis mikropaleontologi pada contoh litologi batulempung menunjukkan kehadiran fosil foraminifera bentik berupa Textularia spp., Elphidium sp., Lagena sulcata, Nonion sp, Nodosaria sp., Cibicides sp., dan Amphistegina sp. (Lampiran B). Menurut van Marle (1991), asosiasi fosil foraminifera bentik ini menunjukkan lingkungan neritik tepi (kedalaman 0-30 meter). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Satuan Batulempung yang tersingkap di daerah penelitian merupakan Formasi Cibulakan bagian atas yang diendapan pada 24

lingkungan laut dangkal dengan mekanisme pengendapan berupa arus traksi. Selain itu dengan ditandai oleh mulai banyak bermunculannya batugamping boundstone dapat diperkirakan bahwa Satuan Batulempung yang terdapat di daerah penelitian ini diendapkan dalam keadaan laut yang tenang dan kondisi tektonik yang relatif stabil. Gambar 3.3. Zonasi Marginal Reef. Menunjukkan korelasi antara fasies batugamping dengan lingkungan pengendapannya. 3.2.1.4. Umur dan Hubungan Stratigrafi Dari hasil analisis mikropaleontologi pada contoh litologi batulempung, menunjukkan kehadiran fosil foraminifera plangton berupa Globorotalia mayeri, Sphaerodinelopsis subdehiscens, Globigerina parabuloides, Globigerinoides immaturus, dan Orbulina universa (Lampiran B). Berdasarkan ciri litologi, kandungan fosil, dan umur dari Satuan Batulempung, maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Cibulakan yang berumur N9 - N13 (Miosen Tengah). Hubungan stratigrafi satuan ini dengan satuan di bawahnya yang lebih tua tidak diketahui karena tidak tersingkap di daerah penelitian, sedangkan hubungannya dengan Satuan Batupasir adalah ditutupi secara tidak selaras. Perubahan dari lingkungan darat fluviatil menjadi lingkungan neritik tepi (kedalaman 0 30 meter). Hubungan ini diinterpretasi berdasarkan arah jurus yang sama dari kedua satuan batuan tersebut yang mencerminkan umur yang sama dan berdasarkan pengamatan petrografi yang menunjukkan bahwa litologi dari kedua satuan batuan tersebut bersifat tufaan dan 25

diinterpretasikan berasal dari sumber yang sama yaitu dari daerah selatan penelitian (Martodjojo, 1984). 3.2.2. Satuan Batupasir 3.2.2.1. Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini meliputi 40% dari luas penelitian, tersebar di bagian utara dan selatan daerah penelitian dengan penyebaran yang memanjang dari bagian barat ke timur. Penyebaran satuan ini dapat diamati dengan baik di Sungai Cisalak, Sungai Cinanggung, Sungai Cisaru, Sungai Cikowol, dan Sungai Cikamaung. Satuan ini memiliki jurus lapisan batuan secara umum berarah barat timur dengan kemiringan lapisan batuan berkisar antara 30 o 55 o ke arah utara dan selatan. Pada Satuan Batupasir, batas bawah dan atasnya tersingkap di lapangan, sehingga ketebalannya dapat diukur. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, maka ketebalan satuan ini diperkirakan sekitar 282, 66 meter. 3.2.2.2. Ciri Litologi Satuan ini terdiri dari litologi berupa batupasir, konglomerat, tuff dan batulempung. Batupasir dengan ciri litologi warna abu-abu terang, kehijauan kekuningan, halus sedang, kemas terbuka, pemilahan sedang buruk, fragmen litik dan kuarsa, ukuran pasir kasar kerikil, menyudut tanggung membulat tanggung, porositas sedang baik, non karbonatan, kompak, dan setempat mengandung sisa kayu yang terkesikkan yang merupakan ciri penting dari Formasi Bojongmanik (Foto 6). Struktur sedimen yang teramati adalah struktur perlapisan sejajar dengan lapisan yang tebal, laminasi sejajar, dan laminasi silang siur. Pengamatan petrografi pada litologi ini menunjukkan bahwa litologi ini adalah batupasir tufaan (Lampiran A, ER-306), tekstur klastik, terpilah buruk, kemas terbuka, beberapa menunjukkan point contact dan long contact, butiran (40%) terdiri dari butiran kuarsa (12%), plagioklas (5%), mineral opak (3%), dan fragmen batuan (20%), berukuran 0.1 mm 1 mm, berbentuk menyudut tanggung membulat tanggung, tertanam dalam matriks (45%) yang terdiri dari tuf (40%) dan gelas vulkanik (5%) berwarna coklat kekuningan keruh yang hadir mengikat butiran. Porositas (15%) berupa porositas intergranular. 26

Konglomerat umumnya hadir sebagai sisipan pada batupasir, setempat hadir dalam bentuk masif dan dalam bentuk perlapisan dengan batupasir, dengan ciri litologi : warna abu-abu, kemas terbuka, pemilahan buruk, fragmen polimik berupa litik dan kuarsa, ukuran kerikil kerakal, bentuk membulat membulat tanggung, kompak, dan keras (Foto 7). Batulempung hadir dalam bentuk struktur masif dengan ciri litologi warna abu-abu terang kehijauan, kompak getas, dan non karbonatan (Foto 8). Setempat terlihat bahwa batulempung telah mengalami oksidasi dicirikan dengan berwarna kemerahan. Secara megaskopis, Tuff (Foto 9) berwarna putih, ukuran butir pasir halus hingga kasar, bentuk butir membulat tanggung, terpilah baik, kemas tertutup, mineral terdiri dari mineral gelas dan opak. Foto 6. Singkapan batupasir dengan sisipan konglomerat di lokasi Sungai Cisaru (ER-306) Foto 7. (a) Singkapan batupasir yang memperlihatkan struktur sedimen perlapisan sejajar dengan lapisan yang tebal di lokasi Sungai Cisaru (ER-307), (b) Singkapan batupasir yang mengandung sisa arang kayu di lokasi Sungai Cinanggung (ER-401). 27

Foto 8. Singkapan batulempung di lokasi Sungai Cisalak (ER-208) Foto 9. Singkapan tuff di Desa Pasirminggu (ER-901) 28

3.2.2.3. Mekanisme dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan pada pengamatan data lapangan terhadap Satuan Batupasir ini yang berupa : a. Adanya perulangan jenis litologi yang terdiri dari batupasir tufaan, konglomeratan, lempung tufaan, dan tufa. b. Tidak dijumpainya fosil fauna laut. c. Terdapatnya sisa-sisa kayu yang terkersikkan. d. Adanya karbon yang dijumpai pada lapisan lempung. e. Bentuk dan jenis struktur sedimen yang menunjukkan adanya aktifitas arus traksi. f. Sering dijumpainya ukuran butir yang makin menghalus ke arah atas. Maka secara umum dapat dikatakan bahwa Satuan Batupasir ini terbentuk pada lingkungan darat (fluvial). Selain itu, dari pengamatan singkapan dapat dilihat bahwa pada bagian bawah Satuan Batupasir ini, perubahan jenis litologi terjadi secara berangsur makin menghalus ke atas, dari batupasir kasar berstruktur sedimen silang-siur, sampai pada lempung yang berlaminasi tipis. 3.2.2.4. Umur dan Hubungan Stratigrafi Pada awalnya dalam menentukan umur formasi ini, penulis memakai metoda analisa mikropaleontologi, tetapi karena pada semua contoh batuan formasi ini tidak dijumpai adanya fosil foraminifera maupun moluska selain sisa kayu yang terkersikkan, sehingga secara paleontologi umurnya sulit ditentukkan. Untuk menentukan formasi ini, penulis mendasarkannya pada kedudukan stratigrafi formasi ini terhadap satuan batuan lain yang terdapat di bawah dan di atasnya. Melihat kedudukan satuan batuan ini di daerah penelitian yang menutupi secara tak selararas Satuan Batulempung dan ditutupi secara tak selaras pula oleh Satuan Breksi Piroklastik, maka umur satuan ini diperkirakan Miosen Tengah. 29

3.2.3. Satuan Breksi Piroklastik 3.2.3.1. Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini meliputi 15% dari luas daerah penelitian, terletak di bagian utara daerah penelitian dengan penyebaran memanjang dari barat ke timur dan di utara daerah penelitian. Penyebaran satuan ini dapat diamati dengan baik di Sungai Citampuan, Sungai Gunungpeteuy, Sungai Cisalak, Sungai Cinanggung, Sungai Cisaru, Sungai Cikowol, dan Sungai Cikamaung. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, maka ketebalan satuan ini diperkirakan sekitar 320 meter. Satuan batuan ini di lapangan dijumpai berupa singkapan breksi yang mengandung fragmen batuan beku dengan masa dasar pada umumnya berupa pasir tufaan. Ukuran fragmen bervariasi dari mulai 1 cm sampai 50 cm, dengan kemas terbuka (sebagian besar). Foto 10. Satuan Breksi Piroklastik menutupi secara tidak selaras Satuan Batupasir (ER-503) Kondisi singkapan batuan ini, umumnya dijumpai dalam keadaan lapuk, terutama disebelah utara. Pada daerah dengan kondisi pelapukannya yang intensif, satuan batuan ini hanya akan terlihat sebagai bongkah-bongkah batuan beku atau sedimen besar yang sebenarnya merupakan fragmen yang dikelilingi oleh masa dasar yang telah lapuk. Sifat lain yang ditemukan pada Satuan Endapan Vulkanik ini ialah sifat mudah mengurai yang 30

menunjukkan bahwa satuan tersebut belum terkompaksikan secara kuat akibat belum cukupnya waktu dalam mengalami tekanan yang dihasilkan oleh gejala-gejala geologi. Satuan ini menutupi Satuan Batupasir secara tidak selaras (Foto 10). Selain itu pada satuan ini, tidak ditemukan adanya fosil yang berarti bagi penentuan umurnya, sehingga dalam menentukan umur satuan batuan ini, penulis berpedoman pada literatur yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu, dan kedudukan stratigrafi satuan batuan tersebut. 3.2.3.2. Ciri Litologi Satuan ini terdiri dari litologi berupa breksi piroklastik dan lava andesit. Breksi piroklastik dengan ciri litologi warna abu-abu putih kekuningan, pemilahan buruk, kemas terbuka, fragmen monomik berupa batuan beku andesit, kerikil bongkah, menyudut menyudut tanggung, mengambang dalam masadasar berukuran debu halus debu sedang berupa tuf krital-gelas (Foto 11). Pengamatan petrografi pada fragmen breksi pirkolastik (Foto12) menunjukkan komposisi andesit piroksen (Lampiran A, ER-201) dan andesit hornblende (Lampiran A, CT-13). Andesit piroksen, tekstur hipokristalin, porfiritik, memiliki fenokris (25%) terdiri dari plagioklas (15%) berkomposisi labradorit (An61 Ab39), piroksen (6%) terdiri dari klinopiroksen dan ortopiroksen, hornblenda (2%), dan mineral opak (2%), ukuran kristal 0,25 mm 2,25 mm, tertanam dalam masadasar (75%) terdiri dari mikrolit plagioklas, piroksen, mineral opak, dan gelas vulkanik, struktur pilotaksitik dan intergranular. Andesit hornblenda, tekstur hipokristalin, porfiritik, memiliki fenokris (30%) terdiri dari plagioklas (20%) berkomposisi Labradorit (An52 Ab48), piroksen (2%) terdiri dari klinopiroksen dan ortopiroksen, hornblenda (5%), dan mineral opak (3%), berukuran 0,25 mm 3,35 mm, tertanam dalam masadasar (70%) terdiri dari mikrolit plagioklas, hornblenda, mineral opak, dan gelas vulkanik. Pengamatan petrografi pada masadasar breksi piroklastik menunjukkan komposisi tuf kristal-gelas (Lampiran A, ER-301), tekstur klastik, terpilah buruk, kemas terbuka, butiran (55%) terdiri dari kristal plagioklas (25%), piroksen (3%), hornblenda (7%), kuarsa (5%), dan fragmen batuan andesit (15%), ukuran fragmen 0,05 mm 3, 05 mm, tertanam dalam matriks (40%) terdiri dari gelas vulkanik. Porositas (5%) terbentuk oleh rongga antar butir. 31

3.2.3.3. Umur dan Hubungan Stratigrafi Berdasarkan ciri-ciri litologi yang teramati, maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Satuan Tuf dan Breksi (Tmtb) yang berumur Miosen Akhir (Effendi, dkk., 1998). Hubungan stratigrafi satuan ini dengan Satuan Batupasir di bawahnya adalah tidak selaras (Effendi, dkk., 1998). Hal ini juga diperkuat dengan pengamatan lapangan, dimana penyebaran Satuan Breksi Piroklastik memotong penyebaran dari Satuan Batupasir di bawahnya. Foto 11. Singkapan breksi piroklastik di lokasi Sungai Cikowol (ER-201). Foto 12. Fragmen Batuan Andesit dari Satuan Breksi. Fragmen ini memiliki ukuran bongkah (ER-502) 32

3.2.4. Satuan Endapan Aluvial Satuan Endapan Aluvial ini meliputi sekitar 5% dari keseluruhan luas daerah penelitian. Penyebaran satuan endapan aluvial ini terutama menempati pada tepi kanan dan kiri aliran sungai besar yang ada, terutama Sungai Cikaniki. Di lapangan satuan endapan aluvial ini dijumpai pada aliran Sungai Cikaniki di sekitar daerah Sadeng Kidul dan pada pertemuan Sungai Cikaniki dan Sungai Cikowol, di sekitar daerah Desa Sadeng. Secara litologi, satuan ini dicirikan oleh fragmen-fragmen batuan beku maupun sedimen, pasir, dan lempung yang belum terkompaksikan secara sempurna dan belum terdeformasi, sehingga sifatnya mudah terurai (Foto 13). Ketebalan Satuan Endapan Aluvial ini berkisar antara beberapa sentimeter hingga 5 meter. Dilihat dari kedudukan stratigrafinya, satuan endapan aluvial ini menutupi secara tidak selaras satuan batuan yang ada di bawahnya. Foto 13. Singkapan endapan aluvial (ER-913) 33

3.3. Struktur Geologi Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa struktur primer. Struktur primer yang berkembang di daerah penelitian adalah : Struktur homoklin yang terdapat pada Satuan Batupasir dan Satuan Batulempung. Struktur antiklin yang terdapat pada Satuan batupasir dan Satuan Batulempung. 3.3.1. Struktur Homoklin Struktur ini terdapat pada satuan Batupasir dan satuan Batulempung yang terbentuk setelah pengendapan dari kedua satuan batuan tersebut. Berdasarkan pengukuran jurus dan kemiringan lapisan batuan serta rekonstruksi penampang geologi, secara umum jurus lapisan batuan berarah barat timur dengan kemiringan lapisan batuan berkisar antara 30 o - 55 o ke arah utara. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian memiliki struktur homoklin berupa sayap lipatan antiklin dengan sumbu lipatan terletak di daerah penelitian. 3.3.2. Struktur Lipatan Adanya lipatan pada daerah penelitian dapat disimpulkan dari perubahan arah kemiringan pada lapisan batuan. Jenis lipatan pada daerah penelitian didasarkan pada klasifikasi Rickard (1971) dalam Harsolumakso (1997) dan klasifikasi sudut antar sayap. Struktur lipatan di daerah penelitian memiliki arah sumbu lipatan Timur-Barat. Seperti telah disebutkan sebelumnya, arah lipatan ini telah dapat dilihat dari arah umum kelurusan yang terdapat di daerah penelitian. Struktur lipatan tersebut didapatkan dari hasil rekonstruksi penampang geologi dari kedudukan lapisan yang diamati di daerah penelitian. Berdasarkan arah sumbu lipatan, dapat diambil kesimpulan awal bahwa arah tegasan utama yang bekerja di daerah penelitian memiliki arah Utara-Selatan yang erat kaitannya dengan peristiwa tektonik berupa berpindahnya busur magmatik dari selatan Pulau Jawa ke tengah Pulau Jawa. 34

3.3.2.1. Lipatan Antiklin Pada daerah penelitian, lipatan antiklin ditandai dengan adanya perubahan jurus dan kemiringan yang ditemukan pada daerah Sadeng-Jambu. Kedudukan lapisan batulempung pada meander Sungai Cikaniki adalah N250 E/60 NE, sedangkan pada Sungai Citeras memiliki kedudukan lapisan N124 E/50 SW. Arah sumbu lipatan memiliki arah timurlaut-baratdaya. Perlipatan diperkirakan terjadi pada kala Miosen Akhir setelah diendapkan Formasi Cibulakan dan Bojongmanik (Martodjojo, 1984). 3.3.3. Proses Pembentukan Struktur Geologi pada Daerah Penelitian Berdasarkan analisis kinematika dari data struktur yang terdapat pada daerah penelitian struktur geologi yang terbentuk berupa lipatan antiklin. Analisis tegasan berdasarkan model pure shear (Gambar 4), arah tegasan yang menyebabkan terbentuknya lipatan yang berarah barat timur (Antiklin Leuwisadeng). Pola struktur berupa lipatan melibatkan satuan batuan yang tertua pada daerah penelitian yaitu Satuan Batulempung dan Satuan Batupasir yang berumur Miosen Tengah. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pembalikan kemiringan lapisan yang terekam pada satuan batuan tersebut, sehingga dapat diperkirakan bahwa tegasan yang relatif berarah utara-selatan tersebut berumur pasca Miosen Tengah. Gambar 3.4. Model Pure Shear (Thomas dkk., 1973 op. cit. Twiss & Moores, 1992). 35