1. PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

Penentuan Bilangan Asam dan Bilangan Penyabunan Sampel Minyak atau Lemak

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok

Bab II Tinjauan Pustaka

4 Pembahasan Degumming

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

3.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng

PENGARUH GORENGAN DAN INTENSITAS PENGGORENGAN TERHADAP KUALITAS MINYAK GORENG

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

PENGARUH FREKUENSI PENGGORENGAN TERHADAP ANGKA ASAM DAN PEROKSIDA MINYAK JELANTAH DARI KREMES YANG DITAMBAHKAN TEPUNG KUNYIT

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas

BAB I PENDAHULUAN. bahan dasar seperti kelapa sawit, kelapa, kedelai, jagung, dan lain-lain. Meski

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. energi dan pembentukan jaringan adipose. Lemak merupakan sumber energi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab III Metode Penelitian

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F )

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi

PENGARUH TINGKAT KEBENINGAN MINYAK GORENG KELAPA SAWIT TERHADAP TINGKAT KERUSAKANNYA SELAMA PROSES PENGGORENGAN AYAM

BAB I PENDAHULUAN. Makanan gorengan menjadi hal yang tidak terlepas dari konsumsi masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

BAB I PENDAHULUAN. Gorengan adalah produk makanan yang diolah dengan cara menggoreng

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG MINYAK GORENG TERHADAP PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DENGAN METODE ALKALIMETRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gliserol dan asam lemak rantai panjang. Lemak dan minyak (trigliserida) yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

11/14/2011. By: Yuli Yanti, S.Pt., M.Si Lab. IPHT Jurusan Peternakan Fak Pertanian UNS. Lemak. Apa beda lemak dan minyak?

BAB III RENCANA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

sidang tugas akhir kondisi penggorengan terbaik pada proses deep frying Oleh : 1. Septin Ayu Hapsari Arina Nurlaili R

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES. teknologi proses. Secara garis besar, sistem proses utama dari sebuah pabrik kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS ANALISIS AIR, MAKANAN DAN MINUMAN ANALISIS LEMAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (Theobroma cacao) dan biasa digunakan sebagai komponen utama dari coklat

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

II. DESKRIPSI PROSES

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN A ANALISA MINYAK

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara

Penentuan Sifat Minyak dan Lemak. Angka penyabunan Angka Iod Angka Reichert-Meissl Angka ester Angka Polenske Titik cair BJ Indeks bias

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab II. Tinjauan Pustaka

4. PEMBAHASAN 4.1.Sifat Fisik Kimia Minyak Goreng

Oleh: Dimas Rahadian AM, S.TP. M.Sc JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA

MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utama minyak sangat menentukan mutu minyak adalah asam lemaknya, karena asam

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak

Gambar I.1. Pertumbuhan Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia [1]

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

Transkripsi:

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, telah beredar asumsi di masyarakat bahwa minyak goreng yang lebih bening adalah yang lebih sehat. Didukung oleh hasil survey yang telah dilakukan untuk mengetahui persepsi dan kondisi di masyarakat seputar minyak goreng (Lampiran 1), sebagian besar masyarakat memang berasumsi bahwa minyak goreng yang warnanya lebih bening berarti lebih sehat. Selain dipengaruhi oleh kandungan beta karoten di dalamnya, tingkat kebeningan minyak goreng juga dipengaruhi oleh kondisi proses fraksinasi minyak. Fraksinasi yaitu pemisahan antara fraksi cair minyak (olein) dan fraksi padat minyak (stearin) (Lin, 2011). Olein mengandung 39-45% asam oleat dan 10-13% asam linoleat sehingga tetap terlihat jernih pada suhu ruang (25 C), sedangkan stearin mengandung lebih banyak asam-asam lemak jenuh yang dapat menyebabkan minyak menjadi cloudy atau keruh karena asam lemak jenuh memiliki titik leleh yang lebih tinggi (Sarin et al., 2009 dalam Roiaini et al., 2015). Namun demikian, minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh khususnya polyunsaturated fatty acids (PUFA) seperti asam linoleat dan linolenat yang tinggi cenderung lebih rentan terhadap oksidasi (Roiaini et al., 2015). Untuk menemukan jawaban atas pertentangan antara persepsi masyarakat dan teori dari Roiaini et al. (2015) tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan pengujian tingkat kerusakan minyak goreng dengan menggunakan sampel berupa minyak goreng merek A dan B. Berdasarkan hasil observasi (Lampiran 1), minyak goreng A dan B adalah minyak goreng yang banyak digunakan oleh masyarakat, dan secara visual, minyak goreng B memiliki warna yang lebih bening daripada minyak goreng A. Selain itu, didapatkan juga bahwa ayam merupakan bahan pangan yang paling sering digoreng di kalangan masyarakat. Hal inilah yang mendasari digunakannya ayam sebagai bahan untuk proses penggorengan dalam penelitian ini. Selama proses penggorengan, minyak digunakan secara berlanjut dan berulang pada suhu tinggi (160-180 C) dengan paparan udara dan moisture. Hal ini menyebabkan 1

2 terjadinya dekomposisi minyak, baik secara termal maupun oksidatif (Moreira et al., 1999). Akibatnya, mutu kimia dan organoleptik minyak goreng menjadi berkurang (Choe & Min, 2007). Bahkan menurut Sunisa et al. (2011), penggorengan yang berulang dapat menghasilkan konstituen-konstituen yang tidak hanya mempengaruhi kualitas makanan tetapi juga dapat mendorong pembentukan senyawa-senyawa dengan implikasi gizi yang merugikan dan bahaya yang potensial terhadap kesehatan manusia. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penurunan kualitas minyak antara lain jenis penggorengan, suhu, derajat ketidakjenuhan minyak goreng, jenis bahan makanan, desain dan pemeliharaan alat penggorengan, cahaya, serta penggunaan filter (Moreira et al., 1999). 1.2. Tinjauan Pustaka 1.2.1. Minyak Kelapa Sawit Umumnya minyak kelapa sawit yang diekstrak dari buah kelapa sawit disebut Crude Palm Oil (CPO). Di dalam CPO masih terdapat komponen-komponen yang tidak diinginkan, seperti air, komponen tak larut, serat, asam lemak bebas, fosfolipid, logam berat, produk oksidasi, dan komponen berbau. Oleh karena itu, sebelum diproses menjadi minyak goreng yang siap digunakan, CPO perlu melalui tahapan proses pemurnian (refinery) dan fraksinasi terlebih dahulu, sehingga didapatkan minyak goreng kelapa sawit yang berbentuk cair, tidak berasa, tidak berbau, dan berwarna kuning bening (Basiron, 2005). Refinery merupakan proses pemurnian minyak kelapa sawit yang bertujuan untuk menghilangkan konstituen-konstituen minor yang bersifat mengganggu (Gibon et al., 2007). Pada umumnya, proses refinery terdiri atas tahap degumming, bleaching, dan deodorisasi. Degumming bertujuan untuk menghilangkan kandungan fosfolipid di dalam minyak dengan cara menambahkan larutan asam fosfor yang disertai dengan pemanasan. Bleaching bertujuan untuk menyerap pengotor, produk oksidasi, fosfolipid yang terendapkan, serta menghilangkan asam fosfor yang berlebih, yaitu dengan cara menambahkan bleaching earth yang juga disertai dengan pemanasan. Setelah bleaching

3 earth dihilangkan dengan cara filtrasi, minyak kemudian melalui tahap deodorisasi. Deodorisasi dilakukan dengan cara memanaskan minyak pada suhu yang sangat tinggi dalam kondisi tekanan vakum hingga didapatkan minyak yang tidak berasa, tidak berbau, dan berwarna cerah (Basiron, 2005). Minyak yang masih berupa fase semisolid selanjutnya memasuki tahap fraksinasi. Pada tahap fraksinasi, minyak dikristalisasi dengan cara didinginkan secara terkontrol, sehingga trigliserida yang titik lelehnya tinggi akan membentuk fraksi padat, sementara trigliserida yang titik lelehnya rendah akan tetap berupa fraksi cair. Setelah itu, fraksi cair (olein) dari minyak kelapa sawit akan dipisahkan dari fraksi padatnya (stearin), sehingga didapatkan minyak goreng kelapa sawit yang siap digunakan (Basiron, 2005). Komposisi minyak kelapa sawit mengalami beberapa perubahan setelah menjadi olein. Sebelum diproses, kandungan CPO terdiri atas trigliserida (98%), digliserida (2-3%), dan monogliserida (0,1%), serta beberapa komponen minor seperti karotenoid, tokoferol, sterol, ubiquinon, squalen, fosfolipid, triterpen, metil sterol, dan alkohol alifatik dalam jumlah yang sangat kecil (Basiron, 2005). Setelah diproses, komposisi minyak hampir merupakan trigliserida murni (Moreira et al., 1999). Pada Tabel 1 dapat dilihat perbedaan kandungan komponen minor pada CPO dan minyak kelapa sawit yang telah dimurnikan menurut Lin (2011). Tabel 1. Kandungan Komponen Minor pada Minyak Kelapa Sawit Komponen Minor Minyak Kelapa Sawit Mentah (ppm) Minyak Kelapa Sawit Murni (ppm) Karotenoid 500-700 TD Tokoferol 600-1000 350-630 Sterol 326-527 TA Ubiquinon 10-80 10-70 Squalen 200-500 TA Fosfolipid 5-130 TA Alkohol triterpen 40-80 TA Metil sterol 40-80 TA Alkohol alifatik 100-200 TA Keterangan: TD : tidak dapat terdeteksi TA : tidak ada

4 1.2.2. Deep-fat Frying Deep-fat frying merupakan salah satu metode penyajian makanan yang paling populer, di mana minyak nabati tidak hanya digunakan sebagai media perpindahan panas, tetapi juga berkontribusi terhadap kualitas produk yang digoreng (Shahidi & Zhong, 2005). Ketika makanan dimasukkan ke dalam minyak panas, suhu minyak menurun. Air yang terkandung di dalam makanan membentuk steam dengan cepat sebelum akhirnya menghilang. Selanjutnya, warna makanan menjadi coklat dan minyak yang terserap ke dalam makanan membentuk tekstur crispy dan flavor deep-fried. Di sisi lain, minyak yang telah digunakan menjadi rusak karena kondisi penggorengan yang melibatkan panas tinggi dan kandungan air (Warner, 2004). Suhu minyak merupakan faktor terpenting yang berkontribusi terhadap kualitas akhir produk. Jika suhu minyak terlalu rendah, maka waktu yang dibutuhkan makanan untuk mengalami browning menjadi lebih lama. Akibatnya, makanan menjadi semakin lama berada di dalam minyak. Semakin lama makanan berada di dalam minyak, semakin banyak minyak yang terserap dan rasa makanan menjadi semakin tidak enak. Dalam hal ini, minyak yang telah digunakan berulang-ulang atau tidak disimpan dengan benar dapat mengandung asam lemak terpolimerisasi yang menyebabkan peningkatan penyerapan lemak (Moreira et al., 1999). Menurut Frankel (2012), untuk hasil yang memuaskan, suhu penggorengan berkisar antara 160-190 C tergantung pada bahan makanannya. 1.2.3. Pengaruh Penambahan Bahan Makanan pada Proses Penggorengan Perubahan yang terjadi pada minyak goreng dapat dipengaruhi oleh perpindahan lemak dari makanan ke minyak goreng (Frankel, 2012). Paha ayam beserta kulitnya mengandung 19,10 per 100 gram lemak, dengan kandungan lemak jenuh sebesar 5,85 gram. Paha ayam merupakan salah satu sumber asam lemak tak jenuh yang berupa asam linoleat atau yang biasa dikenal sebagai omega 6 (Atyeo & Cook, 2014). Menurut Frankel (2012), makanan yang digoreng akan mengubah komposisi minyak goreng, karena ketika dilakukan penggorengan, terjadi pelepasan asam-asam lemak dari

5 makanan dan konsentrasi asam-asam lemak tersebut di dalam minyak goreng akan meningkat pada penggorengan yang berlanjut. Migrasi konstituen-konstituen minor dari makanan dapat menghambat maupun mempercepat oksidasi (Frankel, 2012). Selain itu, partikel-partikel makanan yang terakumulasi di dalam minyak juga mempercepat kerusakan minyak (Warner, 2004). Choe & Min (2007) menambahkan bahwa logam-logam transisi seperti zat besi yang terdapat di dalam makanan juga akan terakumulasi di dalam minyak selama penggorengan dan hal ini dapat meningkatkan kecepatan oksidasi maupun degradasi minyak secara termal. Menurut Frankel (2005), deoksihemoglobin dan deoksimioglobin yang terkandung pada ayam memiliki bagian kosong yang dapat mengikat besi dan dengan keberadaan udara dapat mengkatalis oksidasi lemak. 1.2.4. Reaksi Kerusakan pada Minyak Goreng Pada umumnya, terdapat dua jenis reaksi kerusakan utama yang terjadi pada minyak goreng, antara lain: a. Oksidasi Reaksi oksidasi merupakan reaksi kerusakan kimia yang umum terjadi selama periode penyimpanan minyak. Oksigen dari atmosfer bereaksi dengan minyak yang berada di permukaan dengan cara menyerang ikatan rangkap, menyebabkan perubahan oksidatif. Reaksi oksidasi menghasilkan hidroperoksida yang dapat mengalami tiga tipe degradasi utama: (1) fisi yang menghasilkan alkohol, aldehid, asam, dan hidrokarbon; (2) dehidrasi yang menghasilkan keton, dan (3) pembentukan radikal bebas. Produk-produk sampingan dari reaksi oksidasi dapat menghasilkan off-flavor pada minyak. Minyak goreng yang telah melalui proses refinery dan disimpan dengan kondisi yang layak akan memiliki umur simpan minimal 12 minggu (Moreira et al., 1999).

6 Ketika minyak dipanaskan dengan kehadiran udara, proses oksidasi menjadi lebih cepat. Sebagai hasilnya, ikatan rangkap pada molekul minyak menjadi rusak, dan substansi-substansi baru mulai terbentuk di dalam penggorengan. Sebagian besar substansi-substansi tersebut memiliki bau yang tidak sedap, bahkan menjadi penyebab timbulnya bau khas pada minyak yang sudah digunakan, serta hilangnya rasa pada makanan yang digoreng. Selain itu, logam-logam seperti besi dan tembaga dapat mempercepat oksidasi lemak dan harus dihindari (Moreira et al., 1999). b. Hidrolisis Reaksi kimia utama yang terjadi selama penggorengan dengan metode deep-fat frying adalah hidrolisis. Air yang terkandung di dalam makanan akan membentuk steam pada saat penggorengan berlangsung. Reaksi hidrolisis terjadi ketika steam bereaksi dengan trigliserida membentuk asam lemak bebas, monogliserida, digliserida, dan gliserol (gliserin). Asam lemak bebas dan produk-produk hasil penguraiannya memiliki bau yang tidak sedap. Sebagai akibatnya, asam lemak bebas akan menyebabkan minyak dan makanan yang digoreng mengalami off flavor (Moreira et al., 1999). Soda kaustik dan senyawa alkali lain yang digunakan sebagai bahan pembersih cenderung memicu hidrolisis dan harus dibilas sampai benar-benar bersih setelah digunakan. Bahan-bahan kimia lain seperti baking powder di dalam makanan yang digoreng juga dapat memicu hidrolisis. Selain itu, kandungan air di dalam makanan cenderung mempercepat reaksi hidrolisis dan polimer-polimer yang terbentuk akibat reaksi oksidasi menyebabkan foaming. Foaming akan membuat gelembunggelembung steam terperangkap lebih lama di dalam minyak sehingga dapat semakin mempercepat hidrolisis (Moreira et al., 1999). 1.2.5. Analisa Tingkat Kerusakan Minyak Goreng Kerusakan minyak goreng dapat diketahui melalui pembentukan bau dan flavor tertentu. Penggorengan menyebabkan perubahan komposisi minyak. Minyak yang sebelumnya

7 terdiri atas trigliserida dengan tingkat kemurnian hampir 100% berubah menjadi campuran dari ratusan jenis senyawa. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti bahan makanan yang larut ke dalam minyak, penguraian minyak itu sendiri, dan absorpsi oksigen pada permukaan minyak dan makanan. Sebagian besar produk dekomposisi memiliki berat molekul yang rendah dan akan terbawa oleh steam setelah terbentuk. Komponen-komponen tersebut dapat menimbulkan bau dan mempengaruhi rasa makanan yang digoreng (Moreira et al., 1999). Menurut Shahidi & Zhong (2005), pengukuran oksidasi lemak diperlukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap makanan, kualitas minyak goreng, serta umur penggunaan minyak goreng tersebut. Hal ini dikarenakan oksidasi lemak sangat mudah terjadi pada suhu yang relatif tinggi, menghasilkan suatu rangkaian senyawa kompleks yang dapat mempengaruhi flavor dan kualitas makanan. Perubahan-perubahan oksidatif dalam minyak goreng dapat dinilai melalui penurunan tingkat ketidakjenuhan minyak, peningkatan kandungan asam lemak bebas, foaming, warna, viskositas, kandungan senyawa polar, dan materi polimerik. Pengukuran kualitas minyak goreng dapat dilakukan dengan metode fisika dan metode kimia. Metode fisika mengestimasi degradasi oksidatif dengan cara mengamati perubahan sifat fisik minyak goreng, seperti berat molekuler, gravitasi spesifik, smoke point, indeks refraktif, parameter kromatik, viskositas, tegangan permukaan, dan konstanta dielektrik. Pada umumnya, batas penggunaan minyak goreng ditetapkan melalui evaluasi sensori. Metode kimia meliputi iodine value, nilai saponifikasi, free fatty acid, peroxide value, nilai TBA, atau p-anisidine value (Shahidi & Zhong, 2005). a. Uji Warna Warna merupakan suatu parameter kualitas yang penting untuk minyak goreng, baik dalam lingkungan pengolahan maupun pemasaran (Wan et al., 1997). Metode pengukuran warna minyak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui metode Lovibond dan spektrofotometri (O Keefe & Pike, 2010). Metode Lovibond merupakan metode perbandingan di mana suatu colorimeter yang dilengkapi dengan

8 serangkaian kaca berwarna dirancang berdasarkan Lovibond Scale atau AOCS Scale. Metode ini akurat, namun membutuhkan pengamat yang berpengalaman. Oleh karena itu, untuk mengeliminasi variabilitas operator, digunakan sebuah instrumen yang dapat menggantikan pengukuran warna secara visual, yaitu dengan metode spektrofotometri. Metode ini menunjukkan korelasi yang baik dengan metode Lovibond dan dapat menjadi sebuah alternatif yang potensial (Wan et al., 1997). b. Iodine Value (IV) Iodine value merupakan ukuran derajat ketidakjenuhan, yaitu jumlah ikatan rangkap rantai karbon dibandingkan dengan jumlah molekul lemak atau minyak. Iodine value didefinisikan sebagai gram iodin yang terserap per 100 gram sampel. Semakin tinggi tingkat ketidakjenuhan, maka semakin banyak iodin yang terserap dan semakin tinggi nilai iodin (O Keefe & Pike, 2010). c. Asam Lemak Bebas dan Nilai Asam Asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) merupakan persentase berat dari suatu asam lemak yang spesifik. Nilai asam atau acid value (AV) didefinisikan sebagai mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak yang terdapat di dalam satu gram lemak atau minyak. Nilai asam sering digunakan sebagai indikator kualitas minyak goreng dengan batasan 2 mg KOH/g minyak (O Keefe & Pike, 2010). d. Peroxide Value (PV) Peroxide value didefinisikan sebagai miliekuivalen (meq) peroksida per kilogram sampel. Penentuan ini didasarkan pada titrimetri redoks, dengan asumsi bahwa senyawa-senyawa yang bereaksi di bawah kondisi pengujian merupakan peroksida atau produk oksidasi lemak yang serupa. Peroxide value menunjukkan jumlah produk transien dari reaksi oksidasi. PV yang rendah dapat mengindikasikan dua jenis kondisi, yaitu terjadinya reaksi oksidasi tahap awal atau oksidasi tahap

9 lanjutan. Kedua hal ini dapat dibedakan melalui pengukuran PV dalam serangkaian waktu atau dengan cara mengukur produk-produk sekunder dari reaksi oksidasi (O Keefe & Pike, 2010). e. p-anisidine Value (p-av) Dalam analisanya, p-anisidin (4-metoksianilin) digunakan sebagai suatu reagen untuk menunjukkan terjadinya tahap sekunder dari reaksi oksidasi. Metode ini didasarkan pada reaksi antara p-anisidin dan senyawa-senyawa aldehid (terutama 2- alkenal dan 2,4-alkadienal) yang terdapat di dalam sampel minyak pada kondisi asam. Reaksi tersebut menghasilkan suatu senyawa yang berwarna kuning dengan absorbansi pada 350 nm (Semb, 2012). p-av diekspresikan sebagai absorbansi dari suatu larutan yang dibuat dari 1 gram lemak dalam 100 ml pelarut isooktan dan reagen p-anisidin (Frankel, 2012). f. Total Oxidation (TOTOX) Holm (1972) dalam Semb (2012) mengusulkan diciptakannya suatu kombinasi ekspresi antara peroksida dan produk-produk oksidasi sekunder, sehingga pada akhirnya dikembangkan konsep nilai TOTOX. Holm menunjukkan bahwa suatu peningkatan dari satu unit PV setara dengan peningkatan dari dua unit p-av. Secara bersamaan, dapat ditetapkan nilai TOTOX = 2PV + p-av, menghasilkan nilai total oksidasi di dalam minyak. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak goreng kelapa sawit selama proses penggorengan ayam dengan menggunakan dua jenis sampel minyak goreng yang memiliki tingkat kebeningan berbeda.