BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ulkus mulut merupakan kelainan patologis yang sering dijumpai di rongga mulut dan penyakit yang sering dikeluhkan masyarakat. Ulkus mulut dapat terjadi di berbagai usia maupun jenis kelamin. Prevalensi ulkus mulut yang terjadi di Jordania mencapai 41,08% dari populasi (Muhaidat dkk., 2013). Ulkus mulut yang sering dijumpai dapat berupa lesi akibat trauma maupun ulkus aftosa. Penelitian yang dilakukan di Meksiko menunjukkan bahwa, prevalensi ulkus mulut akibat trauma mencapai 40,24% (Castellanos dkk., 2003). Ahmed dan Uddin (2010) melaporkan bahwa ulkus aftosa mempengaruhi dan terjadi pada 25% populasi dunia. Ulkus mulut merupakan kelainan patologis yang ditandai suatu luka terbuka dari jaringan mukosa yang memperlihatkan disintegrasi jaringan epitel sehingga membentuk suatu cekungan berbatas tegas, serta dilapisi eksudat fibrinosa dengan dasar jaringan granulasi (Langlais dan Miller, 2012; Lynch, 1994). Ulkus bisa disebabkan oleh banyak faktor, antara lain trauma, jejas kimiawi, gangguan hormon, gangguan penyerapan nutrisi, gangguan sistemik dan sebagainya (Wood dan Goaz, 1997; Regezi dan Sciubba, 1993). Keluhan rasa nyeri yang ditimbulkan ulkus mulut membuat penderita tidak nyaman sehingga mengganggu pengunyahan yang berdampak pada berkurangnya asupan nutrisi (Jordan dan Lewis, 2013). 1
2 Trauma merupakan penyebab ulkus mulut yang paling sering terjadi pada pasien. Trauma bisa terjadi akibat jejas secara mekanis, kimiawi dan termal. (Neville dkk., 2002). Penyebab trauma secara kimiawi antara lain terpapar makanan terlalu asam atau faktor iatrogenik yang menyebabkan iritasi lokal. Penggunaan aspirin dapat mengiritasi mukosa mulut yang biasa dikenal dengan sebutan aspirin burn. Paparan bahan etsa gigi secara tidak sengaja dapat menyebabkan sensasi terbakar pada mukosa mulut, selain itu prosedur bleaching gigi yang mengandung 30% hidrogen peroksida juga menimbulkan jejas kimiawi pada mukosa mulut. Penggunaan mouthwash dengan kandungan alkohol tinggi dapat mengakibatkan efek serupa (Regezi dan Sciubba, 2003; Neville dkk., 2009). Patofisologi ulkus akibat jejas kimiawi terjadi melalui penetrasi bahan iritan ke dalam jaringan melalui beberapa jalur sampai ke lapisan yang lebih dalam sehingga mengaktifkan sel-sel peradangan yang berlanjut menjadi ulkus dan kerusakan jaringan. Meningkatnya permeabilitas jaringan diperkirakan dapat mempermudah jalur penetrasi iritan melalui lapisan epitel, oleh karena itu mukosa bukal dan mukosa dasar mulut lebih sering mengalami peradangan dibandingkan dengan mukosa palatum (Davis dkk., 1998). Ulkus mulut biasanya menimbulkan rasa sakit yang merupakan reaksi dari inflamasi. Rasa sakit tersebut disebabkan oleh adanya kerusakan mukosa mulut hingga jaringan ikat di bawahnya yang melepaskan mediator inflamasi dan menstimulasi akhiran saraf bebas sensorik pada membran basalis. Adanya rangsangan nosiseptif akibat jejas jaringan mengirimkan sinyal nyeri
3 somatik ke sistem saraf pusat yang kemudian diproses menjadi sensasi nyeri (Sawynok, 2003; Mravak-Stipetic, 2010). Ulkus mulut sering kali memerlukan obat topikal agar perawatan efektif (Langlais dan Miller, 2012). Obat topikal dengan agen antiinflamasi merupakan pilihan utama terapi ulkus mulut (Barrons, 2001). Penggunaan obat kumur, pasta gigi dan topikal kortikosteroid juga biasa digunakan untuk mengurangi gejala rasa sakit yang muncul (Bricker dkk., 1994). Proses penyembuhan luka secara umum terjadi melalui 4 fase yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi dan remodeling (Diegelman dan Evans, 2004). Infiltrasi sel-sel pada jaringan luka yang terjadi selama fase inflamasi sedangkan angiogenesis, fibroplasia dan re-epitelisasi berlangsung selama fase proliferasi. Selama fase proliferasi, mulai terbentuk jaringan granulasi dan luka mulai menutup (Romo, 2008). Fase terakhir yaitu remodeling meliputi proses maturasi sel untuk menghasilkan struktur ikatan baru yang serupa dengan jarigan sekitarnya (Harrison, 1991). Penyembuhan ulkus pada dasarnya sama dengan penyembuhan luka yang melibatkan fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Kondisi ulkus menunjukkan adanya proses inflamasi, sehingga pada proses penyembuhannya melibatkan pelepasan growth factor serta migrasi sel inflamasi menuju area jejas (Tarnawski dkk., 2001; Orstead dkk., 2004; Chi, 2009). Mukosa oral memiliki komposisi sel epitel yang memperbaharui diri dan secara cepat berproliferasi sehingga perbaikan integritas jaringan segera terjadi (Hom dkk., 2009).
4 Salah satu sel yang berperan dalam proses inflamasi adalah sel leukosit polimorfonuklear (PMN). Leukosit polimorfonuklear disebut juga sel neutrofil, merupakan sel pertahanan pertama saat terjadi perlukaan. Neutrofil merupakan leukosit pertama saat terjadi jejas, memasuki area jejas beberapa jam setelah luka awal. Fungsi utama neutrofil atau leukosit PMN dalam luka secara umum dipercaya sebagai agen protektif terhadap infeksi luka (McCulloch dan Kloth, 2010). Menurut Saraf (2006), dalam 6-24 jam setelah jejas, terlihat neutrofil atau sel leukosit PMN mendominasi area jejas. Jumlah sel leukosit PMN secara bertahap akan meningkat dengan puncaknya pada 24-48 jam setelah jejas. Sel leukosit PMN memiliki fungsi sebagai sel fagosit untuk membersihkan area dari debris dan bakteri. Selain itu sel leukosit PMN juga berfungsi sebagai tanda dimulainya respon inflamasi dalam penyembuhan luka (Sussman dan Bates-Jensen, 2007; Dovi dkk, 2004). Pengobatan ulkus mulut pada umumnya adalah untuk mengurangi rasa nyeri dan mencegah infeksi. Pengobatan ulkus mulut sesuai dengan etiologi, durasi, serta keparahan penyakit. Pengobatan dapat diberikan secara topikal maupun sistemik (Scully dan Porter, 2008). Sebanyak 45% populasi menggunakan steroid topikal sebagai obat ulkus mulut. Beberapa kortikosteroid yang sering diresepkan sebagai penanganan ulkus mulut adalah Kenalog in Orabase yang mengandung triamcinolone acetonide 0,1 %, salep hydrocortisone acetate 1%, dan salep bethamethasone dipropionate 0,05% (Savage dan McCullough, 2005). Menurut McBride (2000), penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang kemungkinan dapat
5 menyebabkan munculnya infeksi jamur, virus, atau bakteri pada mulut dan tenggorokan. Adanya efek samping dari penggunaan obat kortikostreoid tersebut maka diperlukan adanya pengembangan dari obat herbal sebagai antiinflamasi dan pengurang rasa nyeri (Maroon dkk., 2010). Pada penggunaan obat alami di masyarakat, tanaman Plantago lanceolata digunakan sebagai antiinflamasi, antibakteri, penyembuh luka, diuretik dan antiasma tanpa adanya toksisitas. Oleh karena itu banyak peneliti yang kemudian melakukan penelitian tentang kandungan senyawa aktif dari Plantago lanceolata sehingga dapat menjelaskan berbagai manfaat dari tanaman tersebut (Fons dkk, 1998). Menurut Fakhrudin (2012), ekstrak diklorometan (DCM) daun Plantago lanceolata memberikan efek antiinflamasi dengan cara penghambatan migrasi leukosit. Penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa ekstrak DCM daun P. lanceolata menghambat mediator inflamasi nuclear factor-kappaβ (NF-kB) dan mengaktivasi peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR), secara in vitro pada sel HEK293 (Human Embryonic Kidney) (Volg, dkk., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Beara dkk. (2010) menunjukkan bahwa, ekstrak metanol daun Plantago lanceolata mempunyai kemampuan sebagai antiinflamasi menghambat COX-1 dan 12-LOX. Plantago lanceolata secara in vitro memiliki efek antiinflamasi yaitu dengan cara menghambat produksi nitrat oksida (NO) pada sel makrofag yang diinduksi oleh lipopolisacharide (LPS) (Vigo dkk., 2005). Adanya potensi efek antiinflamasi pada Plantago
6 lanceolata maka perlu untuk meneliti potensi antiinflamasi tanaman tersebut pada ulkus mulut apabila diberikan secara topikal. Penelitian ini dilakukan pada hewan coba karena pengamatan histologis sel leukosit polimorfonuklear pada ulkus mulut memerlukan pengambilan jaringan mulut sehingga tidak memungkinkan dilakukan pada manusia. Tikus banyak digunakan dalam penelitian dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi, maupun dalam mempelajari tingkah lakunya (Malole dan Pramono, 1989). Rattus norvegicus secara histologis struktur dan susunan jaringan mukosa tikus mirip dengan jaringan mukosa pada manusia sehingga digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian (Widurini, 2003). Menurut Marcondes (2002), tikus memiliki struktur mukosa oral yang mirip dengan mukosa oral manusia yang terdiri dari jaringan epitel dan jaringan ikat. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang timbul suatu permasalahan apakah aplikasi topikal ekstrak daun sendok (Plantago lanceolata) efektif terhadap proses penyembuhan model ulkus traumatik mulut Rattus norvegicus melalui pengamatan jumlah sel leukosit polimorfonuklear? C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terdahulu mengenai efektifitas ekstrak daun sendok (Plantago lanceolata L. terhadap penyembuhan luka adalah sebagai berikut: 1. Penelitian mengenai efektifitas ekstrak daun Plantago lanceolata L. secara in vitro telah dilakukan oleh Vigo dkk. pada tahun 2005 untuk
7 mengetahui sifat antiinflamasi tanaman Plantago lanceolata L. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak Plantago Lanceolata L. pada semua dosis mampu menghambat produksi oksida nitrat (NO) pada sel makrofag tanpa menimbulkan efek sitotoksik. 2. Penelitian mengenai efektifitas ekstrak daun Plantago lanceolata L. terhadap proses penyembuhan luka telah dilakukan oleh Farahpour dkk. pada tahun 2012. Ekstrak Plantago lanceolata diberikan secara topikal pada luka punggung tikus Wistar jantan yang dieksisi dengan punch biopsy. Hasil penelitian menunjukkan penyembuhan secara signifikan pada luka yang diaplikasi ekstrak Plantago laneolata L. pada beberapa konsentrasi berbeda. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas aplikasi topikal ekstrak daun sendok (Plantago lanceolata) terhadap jumlah sel leukosit polimorfonuklear pada proses penyembuhan model ulkus mulut Rattus norvegicus. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pemanfaatan daun sendok (Plantago lanceolata) sebagai bahan herbal untuk pengobatan alternatif yang aman, murah dan mudah dijangkau, serta memberikan informasi ilmiah bagi perkembangan Ilmu Kedokteran Gigi khususnya dalam proses penyembuhan ulkus mulut secara topikal. Selain itu sebagai acuan dan referensi untuk penelitian lebih lanjut.