II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Kemitraan di Indonesia Jauh sebelum masyarakat Indonesia mengenal sistem kemitraan pertanian seperti sekarang, pada awalnya sistem kemitraan ini lebih dikenal dengan sistem contract farming. Penerapan sistem pertanian kontrak secara formal untuk pertama kali adalah pada masa pelaksanaan sistem cultuur stelsel atau sistem tanam paksa pada abad ke-19, dimana pada masa itu para petani dipaksa untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk menanam tanaman komersial (cash crops) yang ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda, antara lain teh, kopi dan tebudan kemudian menjual hasil panen mereka kepada pihak pemerintah kolonial pada harga yang telah ditentukan (Widjaja 2010). Walaupun cultuur stelsel telah lama berakhir, tetapi praktik pertanian kontrak ala cultuur stelsel ini masih berlanjut hingga saat ini. Perbedaannya, hanyalah berupa perubahan status petani yang tidak lagi sebagai pekerja yang digaji tetapi petani yang diberikan lahan untuk diolah berdasarkan kontrak yang mengikat (Rustiani et al. 1997). Sistem seperti ini terjadi dalam kemitraan pola PIR-Trans (Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi), yang terjadi pada bentuk hubungan kemitraan dalam perkebunan kelapa sawit (Widyastuti 2006). Dalam perkembangannya kemitraan tidak hanya dilakukan pada sektor perkebunan saja. Berbagai bentuk konsep pemberdayaan masyarakat pertanian yang berbasiskan kemitraan banyak ditawarkan oleh investor baik pemerintah maupun swasta (Sumardjo et al. 2004). Pada sektor yang lain seperti pertanian tanaman pangan, perikanan, hingga sektor peternakan praktik kemitraan juga dilakukan. Proses kemitraan yang dilakukan biasanya antara petani kecil dengan perusahaan pertanian. Indrayani (2008) dalam penelitianya yang berjudul Analisis Pola Kemitraan dalam Pengadaan Beras Pandan Wangi Bersertifikat menyebutkan bahwa salah satu contoh kegiatan kemitraan agribisnis di bidang pertanian khususnya tanaman pangan adalah antara Gapoktan Citra Sawargi dengan CV. Quasindo. Kemitraan yang terjalin merupakan kemitraan dalam pengadaan beras pandan wangi bersertifikat. Kemitraan ini terjalin sejak April 2007, dengan 11
melibatkan tiga pelaku utama yaitu gapoktan, CV. Quasindo serta Lembaga Sertifikasi Beras. Di sektor peternakan konsep kemitraan pun sudah sering diterapkan. Menurut Febridinia (2010), kemitraan yang dilakukan CV. Tunas Mekar Farm dengan peternak ayam broiler di Cibinong sudah berjalan selama 6 tahun dengan kerjasama yang lebih menekankan pada penjualan dan bimbingan teknis. Pola kemitraan yang digunakan adalah pola kemitraan inti plasma, dimana dalam kegiatan kemitraan ini pihak perusahaan berperan dalam memberikan bantuan berupa pengadaan bibit (DOC), pakan, vaksin, vitamin, obat-obatan dan pelayanan pembinaan. Peternak mitra berkewajiban untuk menjual hasil panennya kepada pihak perusahaan sesuai ketentuan yang berlaku pada kontrak perjanjian. Bentuk kerjasama usaha atau kemitraan antara agribisnis besar dan agribisnis kecil di sektor perikanan yaitu antara PT. XYZ dengan nelayan di Muara Angke. Tampubolon (2004) menyebutkan bahwa kemitraan yang terjalin karena masing-masing pihak, baik perusahaan maupun nelayan menginginkan adanya efisiensi dan keuntungan, serta dukungan pemerintah dalam memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi. Pada kemitraan ini, nelayan berperan sebagai penangkap ikan dan PT. XYZ berperan sebagai pembimbing dan pemasaran hasil. Perusahaan akan memberikan bimbingan teknik dan manajerial serta bantuan finansial bagi nelayan mitra. Kemitraan yang terjadi antara Lembaga Pertanian Sehat Dompet Dhuafa Replubika dengan Petani Padi Sehat Desa Ciburuy merupakan kemitraan yang terjadi pada komoditi tanaman pangan yaitu dalam pengadaan beras SAE (Sehat, Aman dan Enak). Baik petani maupun LPS-DDR mendapatkan manfaat dari kemitraan ini, petani mendapatkan bantuan modal, sewa lahan, sarana produksi, serta berbagai kegiatan pembinaan dan penyuluhan serta jaminan pasar bagi produknya, sedangkan bagi pihak LPS-DDR mendapatkan beras SAE untuk memenuhi permintaan konsumennya. 12
2.2 Kendala dalam Kemitraan Agribisnis di Indonesia Meskipun kemitraan usaha agribisnis dipercaya sebagai salah satu alternatif untuk memberdayakan pelaku agribisnis kecil, tetapi pada kenyataannya sulit untuk direalisasikan dengan baik. Banyak kendala- kendala yang terjadi pada pelaksanaan kemitraan agribisnis. Permasalahan ataupun kendala yang muncul dalam kegiatan kemitraan dapat bersumber dari adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Berbeda yang terjadi di Muara Angke, berdasarkan hasil penelitian Lopulalan (2003), kemitraan di bidang perikanan juga terdapat di Pulau Saparua. Kemitraan yang terbentuk merupakan kerjasama antara nelayan kecil di Pulau Saparua dengan PT. Sarana Maluku Ventura. Dalam hal ini perusahaan membangun pola kemitraan dengan sistem bagi hasil, dimana perusahaan memberikan bantuan modal usaha dalam bentuk mesin Yanmar TF 115 dan kakso long boat. Pola kemitraan yang terbentuk adalah kemitraan modal ventura. Namun ternyata kemitraan yang terjadi belum memuaskan karena pelaksanaan kemitraan yang cenderung top down. Keterlibatan nelayan dalam kemitraan masih didominasi oleh ketua kelompok, aspek pembinaan masih kurang bahkan koordinasi yang dikembangkan perusahaan bersifat integrasi vertikal, sehingga setiap keputusan harus melalui proses yang bertahap-tahap serta kurang sesuai dengan kondisi di lapang. Selain itu, pemasaran hasil tangkapan belum sesuai dengan kontrak perjanjian, nelayan mitra masih memasarkan ikan ikan mereka kepada tengkulak ataupun langsung ke konsumen akhir. Permasalahan yang sama juga ditemukan Febridinia (2010), walaupun kemitraan yang dilaksanakan memberikan dampak positif bagi peternak tetapi masih banyak ditemukan permasalahan di lapang. Sesuai dengan kontrak perjanjian CV. Tunas Mekar Farm memberikan bantuan pinjaman modal berupa DOC, pakan dan obat-obatan, sedangkan peternak mitra diharapkan menjual hasil panen mereka kepada CV. Tunas Mekar Farm. Namun pada praktiknya peternak melakukan beberapa kecurangan seperti pakan yang seharusnya diberikan untuk ternak, ternyata oleh petani mitra pakan tersebut dijual dan ternaknya diberi pakan dengan pakan yang lebih murah harganya, sehingga mutu pakan yang diberikan peternak lebih rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap mutu ternak itu sendiri. 13
Selain dalam hal ketidakadilan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban, kendala dalam kemitraan juga terjadi karena tidak adanya pembagian risiko. Hal ini dikemukakan pula oleh Echánove dan Steffen (2005) yang menemukan bahwa perusahaan tidak terikat apapun dalam perjanjian pembagian risiko budidaya akibat cuaca buruk ataupun serangan hama pengganggu. Oleh karena itu, petani harus membayar sendiri biaya asuransi tanamannya. Permasalahan serupa juga ditemukan Febridinia (2010), dimana peternak tidak bisa membayar pinjamannya kepada pihak perusahaan dikarenakan gagal panen akibat penyakit maupun kelalaian peternak sendiri. Peternak dianggap berhutang sehingga peternak yang terlibat dalam permasalahan ini tidak mendapatkan pinjaman lagi pada periode selanjutnya. Dalam pelaksanaan kemitraan antara LPS-DDR dan petani padi sehat Desa Ciburuy juga menghadapi berbegai macam kendala seperti dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban yang sepenuhnya belum sesuai dengan kesepakan yang sudah ditentukan di awal kegiatan kemitraan berlangsung. 2.3 Evaluasi Kemitraan Indikator evaluasi pelaksanaan kemitraan sebenarnya dapat dilihat dari pelaksanaan hak dan kewajiban pihak pihak yang bermitra. Hal ini dikarenakan perjanjian yang di dalamnya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak secara rinci dapat menjadi pedoman pelaksanaan kegiatan bagi pihak pihak yang bermitra (Indrayani 2008). Penggunaan hak dan kewajiban sebagai dasar evaluasi pelaksanaan kemitraan juga dilakukan oleh Widyastuti (2006) dengan penelitiannya yang berjudul Evaluasi Pelaksanaan PIR pada PT. Indosawit Subur di Pabrik Minyak Kelapa Sawit Buatan, Kabupaten Pelalawan, Riau dan Rahman (2008) dengan penelitian berjudul Evaluasi Kemitraan PTI dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani di Kelurahan Sukatani, Kecamatan Cimanggis, Depok. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Indrayani (2008) yang menilai pelaksanaan kemitraan antara CV. Quasindo dan Gapoktan Citra Sawargi telah berjalan dengan baik dimana masing-masing pihak dapat memenuhi hak dan kewajiban yang tertulis dalam perjanjian formal kemitraan yang mengikat secara hukum, Widyastuti (2006) menilai pelaksanaan antara PT.IIS dan petani plasma berlangsung dengan baik, begitu juga dengan penilaian pelaksanaan kemitraan 14
yang dilakukan oleh Rahman (2008). Rahman (2008) menilai kemitraan yang terjalin antara petani sayuran dengan PTI berlangsung baik, hak dan kewajiban yang ada di dalam perjanjian hampir semuanya terealisasi dengan baik. Dalam mengevaluasi pelaksanaan kemitraan yang terjalin antara LPS- DDR dengan petani padi sehat desa Ciburuy dilakukan dengan melihat tanggapan masing-masing pelaku terhadap pelaksanaan kemitraan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kemitraan, selain itu dilakukan evaluasi melalui pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pelaku kemitraan. 2.4 Kepuasan Pelayanan Kemitraan Kusumah (2008), Rahman (2008), Rochmatika (2006) menggunakan Important Performance Analysis (IPA) dan Customer Satisfaction Index (CSI) untuk menganalisis kepuasan petani mitra. Dengan metode tersebut Kusumah (2008) menilai beberapa atribut yang diduga berpengaruh terhadap kepuasan peternak, diantaranya yang sudah sesuai dengan keinginan peternak adalah penetapan harga kontrak DOC, kualitas pakan, kualitas obat dan vaksin, serta bimbingan teknis yang diberikan perusahaan. Sedangkan atribut yang menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan kinerjanya adalah kualitas DOC. Kualitas DOC yang diinginkan oleh peternak adalah DOC yang memiliki kualitas baik serta lebih tahan terhadap penyakit dan stress. Kemudian keluhan dari peternak tidak mendapat tindak lanjut dari perusahaan. Peternak juga merasa kurang puas dengan mengeluhkan kurangnya kompensasi jika terjadi kematian ayam dalam jumlah besar. Nilai Indeks Kepuasan peternak diperoleh nilai 60 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa peternak mitra cukup puas dengan pelayanan Tunas Mekar Farm. Rahman (2008), dalam penelitianya berdasarkan analisis Importance Performance Analysis, atribut yang masuk pada prioritas utama untuk ditingkatkan kinerjanya adalah atribut sistem pengairan. Atribut yang perlu dipertahankan perusahaan dalam memberikan pelayanan yaitu atribut harga sarana produksi yang dijual, bantuan biaya garap, ketepatan waktu pemberian biaya garap, lahan yang digarap dan atribut respon terhadap segala keluhan. Atribut yang memiliki tingkat kepuasan rendah mencakup atribut keragaman penyediaan 15
sarana produksi, pembagian penguasaan lahan dan sistem bagi hasil. Atribut yang dirasakan berlebihan terdapat atribut kualitas benih yang diberikan dan pola pemasaran jual sendiri. Secara keseluruhan, berdasarkan analisis indeks kepuasan konsumen, pelaksanaan kemitraan PTI telah memuaskan petani dengan nilai indeks kepuasan sebesar 72,4 persen. Rochmatika (2006), meneliti tentang tingkat kepuasan petani tebu terhadap pelaksanaan kemitraan pabrik gula XYZ. Petani mitra dibagi tiga berdasarkan lahan skala usaha. Petani mitra skala kecil menilai atribut yang paling mempengaruhi kepuasan adalah bantuan biaya angkut, sedangkan atribut yang memiliki tingkat kepuasan paling rendah adalah bantuan biaya garap. Petani mitra skala menengah menilai atribut bantuan biaya angkut merupakan yang paling mempengaruhi kepuasan, sedangkan atribut penentuan kualitas memiliki tingkat kesesuaian paling rendah. Petani mitra skala besar menilai atribut yang memberikan tingkat kepuasan paling tinggi adalah kualitas dan kuantitas bibit yang diberikan. Atribut yang memiliki tingkat kepuasan paling rendah adalah waktu pembayaran hasil panen. Indeks Kepuasan Pelanggan petani mitra skala kecil, skala menengah dan skala besar masing masing adalah sebesar 63,21 persen; 61,46 persen dan 60,25 persen. Nilai indeks menunjukkan bahwa petani mitra cukup puas terhadap kemitraan yang dijalankan. Prastiwi (2010), Widyastuti (2006) dan Rahmita (2003) hanya menggunakan Important Performance Analysis (IPA) untuk menganalisis kepuasan petani mitra. Prastiwi (2010) dengan penelitiannya yang berjudul Evaluasi Kemitraan dan Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Jalar Kuningan dan Ubi Jalar Jepang, Studi Kasus Kemitraan PT. Galih Estetika dan Petani Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan menemukan bahwa atribut yang harus ditingkatkan kinerjanya adalah atribut terhadap segala keluhan dan harga ubi jalar yang diberikan (responden ubi jalar Kuningan) dan harga ubi jalar yang diberikan (responden ubu jalar Jepang). Widyastuti (2006) mengidentifikasi bahwa atribut yang termasuk dalam prioritas utama yang harus ditingkatkan kinerjanya pada penelitianya adalah harga beli TBS, harga sarana produksi, serta ketanggapan inti dalam menyelesaikan keluhan petani. Rahmita (2003) dengan penelitiannya yang berjudul Kajian Kemitraan Petani dengan PT. Riau Andalan Pulp and Paper 16
menemukan bahwa atribut yang berada pada prioritas utama adalah kemudahan mendapat sarana produksi peternakan baik di wilayah sekitar hutan maupun di sekitar pabrik, serta kemudahan pemasaran di sekitar wilayah hutan. Sama halnya dengan penelitian terdahulu, kemitraan dalam pengadaan beras SAE antara petani padi Desa Ciburuy dengan LPS-DDR dalam menganalisis tingkat kepuasan juga menggunakan metode IPA dan CSI, dimana dengan menggunakan metode tersebut dapat mengetahui tingkat kepuasan petani mitra terhadap pelayanan dalam kemitraan serta mengetahui tingkat kepentingan dan kepuasan masing-masing atribut, sehingga nantinya diperoleh atribut yang menjadi prioritas untuk memperbaiki kinerja kemitraan. Adapun atribut yang akan dinilai tingkat kepuasannya yaitu kemudahan dalam mendapatkan sarana produksi, harga sarana produksi, bantuan biaya garap, ketepatan waktu pemberian biaya garap, penyediaan sewa lahan, frekuensi pembinaan, pelayanan dan materi pembinaan, kemampuan pendamping untuk cepat tanggap dalam menghadapi permasalahan petani, pendamping mudah ditemukan dan dihubungi untuk berkonsultasi, pengetahuan dan kecakapan pendamping dalam memberikan pelayanan terhadap petani, respon terhadap segala keluhan, harga beli gabah, ketepatan pembayaran hasil penjualan gabah ke petani. Atribut-atribut tersebut disusun berdasarkan pelaksanaan kemitraan, perjanjian kontrak kemitraan serta teori servqual. 17